Kamis, 03 Maret 2011

17 Kelemahan dan Kerapuhan Fondasi Paham Inkar Sunnah (8-10)

Oleh: Abduh Zulfidar Akaha

8. Mereka Mengatakan Tidak Ada “Hadits Nabi” dalam Al-Qur`an

Ini adalah permainan bahasa dari inkar Sunnah. Dan, memang itulah salah satu karakteristik mereka. Mereka tidak mau mengambil Sunnah Nabi ataupun pendapat para ulama ataupun mengutip dari kitab-kitab tafsir dalam menafsirkan dan memahami Al-Qur`an. Sebab, mereka sudah mempunyai dua sumber utama dalam menafsirkan dan memahami Al-Qur`an, yang pertama yaitu hawa nafsu, dan kedua adalah permainan bahasa. Entah itu akar bahasa, sinonim, anonim, padanan kata, atau yang lain. Mereka selalu mengatakan bahwa hadits yang sesungguhnya adalah Al-Qur`an. Bukan hadits Nabi,[1] karena tidak ada kata “hadits Nabi” dalam Al-Qur`an. Akan tetapi, apakah benar demikian seperti kata mereka? Apakah dalam Al-Qur`an benar-benar tidak ada hadits Nabi?

Pak Abdul Malik[2] mengatakan, “Istilah hadits disebut dalam banyak ayat di dalam Al-Qur`an. Kebanyakan penggunaan kata ‘hadits’ diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘perkataan/ucapan.’ Beberapa di antara kata ‘hadits’ dimaksudkan untuk menyebut ‘Al-Qur`an’ karena Al-Qur`an pun pada dasarnya adalah perkataan, yaitu perkataan Allah. Uniknya, tidak ada ditemukan satupun rangkaian kata ‘hadits Nabi Muhammad’ di dalam Al-Qur`an.”

Kali ini tampaknya kita mesti memakai jurus permainan bahasa mereka dalam menafsirkan Al-Qur`an. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ .

“Dan ketika Nabi membisikkan suatu hadits secara rahasia kepada salah seorang istrinya. Maka, tatkala dia (istri Nabi) menceritakan hadits itu (kepada istri yang lain), Allah pun memberitahukan hal itu kepada Nabi, lalu Nabi memberitahukan sebagian dan menyembunyikan sebagian yang lain. Maka, tatkala Nabi memberitahukan hal itu kepadanya, dia (istri Nabi) bertanya; Siapa yang memberitahukan hal ini kepadamu? Nabi berkata; Yang memberitahukan kepadaku adalah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (At-Tahrim: 3)[3]

Dalam ayat ini, secara tekstual letterledge (harfiyah) Allah menyebutkan kata “hadits” dan “Nabi” dalam satu rangkaian kalimat. Apa yang dikatakan Nabi kepada istrinya kalau bukan hadits? Sekiranya mereka mengelak dengan mengatakan bahwa kata “hadits” dan “Nabi” dalam ayat di atas tidak bersambung secara sempurna menjadi “hadits Nabi” alias masih terpenggal dengan beberapa kata, maka itu adalah alasan yang dibuat-buat dan mengada-ada. Sebab, mereka pun mengatakan bahwa waktu shalat yang cuma tiga kali sehari itu juga tidak disebutkan secara sempurna dan terpenggal dengan beberapa kata.

Dengan mendasarkan ayat yang berbunyi,

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا .

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) fajar. Sesungguhnya shalat fajar itu disaksikan (oleh malaikat).” (Al-Israa`: 78)

Mereka mengatakan bahwa macam shalat yang tiga kali sehari yaitu; shalat duluk (asy-syams), shalat (ghasaq) lail, dan shalat (qur`an) fajar. Dari mana mereka mengatakan ada nama-nama shalat semacam ini? Bukankah kata “shalat” dan tiga macam shalatnya juga tidak bersambung langsung? Kalau mau fair, semestinya mereka juga mengakui bahwa kata “hadits Nabi” juga terdapat dalam Al-Qur`an. Bagaimanapun juga, Al-Qur`an adalah perkataan (kalam) Allah dan Sunnah adalah perkataan Nabi.[4] Apabila sumber Al-Qur`an adalah Allah, maka sumber Sunnah adalah Nabi; berdasarkan wahyu dan petunjuk dari Allah Ta’ala.

9. Mereka Tidak Menghargai Ilmu dan Ulama

Bagaimana orang-orang inkar Sunnah mau dikatakan menghargai ilmu dan ulama, sementara mereka membatasi ruang lingkup ilmu (agama) hanya Al-Qur`an dan terjemahannya saja? Tidak ada tafsir Al-Qur`an, tidak ada ilmu tajwid, tidak ada ulumul Qur`an, tidak ada hadits Nabi, tidak ada ilmu-ilmu hadits, tidak ada Sirah Nabi, tidak ada kisah para sahabat, tidak ada sejarah Islam, tidak ada fikih, tidak ada perbandingan madzhab, tidak ada ushul fikih, tidak ada metode dakwah, tidak ada tarbiyah, dan tidak ada ilmu-ilmu (agama) yang lain.

Katakanlah, misalnya ada orang inkar Sunnah mau mendirikan sekolah Islam. Lalu, apa yang mau diajarkan? Apakah yang diajarkan hanya mata pelajaran terjemahan Al-Qur`an saja? Apakah mereka hanya akan mengajarkan dua materi pendukung terjemahan Al-Qur`an ini yang tak lain adalah hawa nafsu setan dan permainan bahasa, plus jurus bersilat lidah? Dalam hal ini, sesungguhnya inkar Sunnah yang mengaku sebagai qur`aniyyun telah melanggar ajaran Al-Qur`an dalam masalah ilmu. Sebab, Al-Qur`an sendiri sangat menghargai ilmu, mewajibkan umat Islam untuk menuntut ilmu, dan memuliakan orang yang berilmu.

Demikian adalah ajaran Al-Qur`an tentang ilmu yang semakin menunjukkan kelemahan, kerapuhan fondasi, dan kedok inkar Sunnah, yang sebetulnya adalah bukan Islam melainkan musuh Islam dalam selimut:

a. Al-Qur`an Menyuruh Umatnya Untuk Menuntut Ilmu

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ .

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak setiap golongan di antara mereka ada beberapa orang yang pergi untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali kepada kaumnya, supaya mereka dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)

Sangat jelas dalam ayat ini adanya perintah dari Allah kepada kaum mukminin agar ada sebagian di antara mereka yang pergi menuntut ilmu agama. Jangan sampai semua orang pergi ke medan perang untuk berjihad langsung melawan musuh. Sebab, bagaimanapun juga harus ada orang-orang yang memiliki pengetahuan agama untuk berdakwah dan memperingatkan umat Islam tentang ajaran-ajaran agamanya. Termasuk memperingatkan para mujahidin ketika mereka telah kembali lagi dari medan perang.

Menukil pendapat Qatadah dan Hasan Al-Bashri, Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) mengatakan bahwa hendaknya jangan semua kaum muslimin pergi berjihad dan meninggalkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam seorang diri. Akan tetapi, seyogyanya ada sekelompok orang dari setiap golongan yang tetap tinggal bersama Rasul di Madinah untuk mendalami ilmu agama, supaya mereka dapat mengingatkan orang-orang yang pergi berperang ketika kembali lagi dari perangnya.[5]

Kaitannya dengan inkar Sunnah yang juga anti tafsir, bahwa ilmu agama yang didalami oleh para sahabat tentu bukan hanya Al-Qur`an. Sebab, bisa dikatakan bahwa hampir semua sahabat hafal Al-Qur`an. Akan tetapi, tentu yang dipelajari adalah bagaimana cara penerapan Al-Qur`an itu sendiri; penjelasannya, perinciannya, dan hal-hal lain yang diwahyukan Allah kepada Nabi yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an. Dan, apa yang disampaikan Nabi namun tidak terdapat dalam Al-Qur`an, maka itu adalah Sunnah.

b. Allah Menyuruh Orang yang Tidak Tahu Untuk Bertanya Kepada yang Tahu

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ .

“Maka, bertanyalah kalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)

Sebagian tafsir tentang ayat ini sudah pernah kita bicarakan dalam pembahasan sebelumnya. Intinya, sekiranya agama ini hanya Al-Qur`an saja, maka logikanya setiap orang Islam adalah ulama dengan cuma bermodal Al-Qur`an atau Al-Qur`an terjemahan saja. Sebab, tidak ada lagi yang perlu ditanyakan ataupun diberikan penjelasan. Apalagi menurut inkar Sunnah, Al-Qur`an itu mudah dipahami dan tidak memerlukan perangkat apa pun untuk memahami Al-Qur`an. Lalu, untuk apa seseorang bertanya jika sudah ada Al-Qur`an di hadapannya dan lagi pula apa lagi yang mau ditanyakan jika semua dianggap sudah jelas?

Akhirnya, tidak ada lagi orang (ulama) yang dianggap lebih mengetahui masalah agama dan pula tak ada lagi yang namanya orang awam yang perlu bertanya. Semuanya bisa langsung membuka Al-Qur`an atau terjemahannya jika ada yang mau ditanyakan. Kalaupun ada yang belum paham, ya dipahami sendiri saja menurut anggapan yang bersangkutan, karena tidak ada yang tidak jelas dalam Al-Qur`an. Lantas, buat apa Allah menyuruh umatnya untuk bertanya kepada yang lebih tahu? Siapa itu yang dianggap lebih tahu dan siapa pula yang dianggap tidak tahu?

c. Tidak Sama Antara Orang yang Mengetahui dan Tidak Mengetahui

Allah Azza wa Jalla berfirman,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ .

“Katakanlah; Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar: 9)

Sesungguhnya, jawaban dari pertanyaan Alah ini sudah jelas, yakni jelas tidak sama antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui. Bagaimanapun juga, ini adalah dua hal yang kontradiktif. Sebagaimana halnya orang yang bisa melihat tentu tidak sama dengan orang yang buta, orang yang bisa mendengar pasti berbeda dengan orang yang tuli, orang yang bisa berbicara pun tidak sama dengan orang bisu, laki-laki berbeda dengan perempuan, dan seterusnya. Tentu, dua hal yang bertentangan tidak akan bisa disamakan. Akan tetapi, bagi orang inkar Sunnah, dua hal ini bisa menjadi sama tanpa ada perbedaan.

Kenapa demikian? Karena dalam ayat tersebut Allah sudah memberikan penjelasan yang sudah jelas, bahwa “Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” Artinya, apabila Islam ini hanya butuh Al-Qur`an saja dan setiap orang Islam cukup memegang Al-Qur`an, apalagi Al-Qur`an sudah jelas dan terperinci (menurut versi sesat mereka); maka tidak ada lagi perbedaan antara orang Islam yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada lagi yang namanya orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui. Semuanya dianggap sudah mengetahui!

d. Allah Meninggikan Derajat Orang yang Berilmu

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ .

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadilah: 11)

Sekiranya menurut inkar Sunnah tidak ada perbedaan antara orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu, tidak ada bedanya antara orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui, serta tidak ada lagi yang perlu dipelajari selain Al-Qur`an alias tidak ada kewajiban menuntut ilmu agama; maka tidak ada lagi orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah dikarenakan ilmunya.

e. Yang Paling Takut Kepada Allah Adalah Para Ulama

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ .

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 28)

Bisa dimaklumi jika orang inkar Sunnah tidak ada yang takut kepada Allah. Sebab, tidak ada ulama di kalangan mereka. Ulama dalam arti kata sesungguhnya, yakni orang yang menguasai pengetahuan agama berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan mengamalkan apa yang diketahuinya.

Apabila inkar Sunnah mengklaim bahwa ada ulama di antara mereka, maka pertanyaannya; ulama yang seperti apa yang mereka maksud? Bukankah menurut pemahaman inkar Sunnah Al-Qur`an itu sudah jelas dan terperinci sehingga tidak memerlukan perangkat apa pun lagi (selain hawa nafsu dan permainan bahasa) dalam mempelajari dan mamahaminya? Artinya, tentu tidak ada lagi ulama di kalangan inkar Sunnah. Bahkan, barangkali yang lebih tepat untuk dikatakan untuk mereka adalah; mereka memang tidak mempelajari dan tidak memahami Al-Qur`an kecuali untuk menyelewengkan Al-Qur`an!


10. Tidak Ada Perintah Membaca dan Menghafal Al-Qur`an dalam Al-Qur`an

Sangat bisa dimaklumi jika orang inkar Sunnah tidak paham dan tidak menguasai Al-Qur`an dengan baik. Sebab, kalaupun mereka mengaku mencintai Al-Qur`an dan selalu membacanya, bahkan mungkin membual bahwa mereka hafal Al-Qur`an; maka harus ditanyakan kepada mereka; apakah ada perintah untuk membaca dan menghafalkan Al-Qur`an di dalam Al-Qur`an?

Kalau mereka mau konsisten dengan sikapnya, bahwa segala sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an tidak perlu diamalkan dan bahwa yang harus diamalkan adalah apa yang hanya terdapat dalam Al-Qur`an; maka mereka pun harus bisa menjawab; untuk apa mereka membaca dan menghafalkan Al-Qur`an? Bukankah dalam Al-Qur`an tidak ada satu pun ayat yang secara tekstual memerintahkan hal tersebut?

Semakin terbongkarlah kedok inkar Sunnah, bahwa mereka mengotak-atik Al-Qur`an tidak lain dan tidak bukan memang hanya untuk menghancurkan Islam dari dalam. Sebab, segala pemahaman sesat mereka selalu didasarkan hanya pada Al-Qur`an. Akan tetapi, Al-Qur`an sendiri tidak pernah menyuruh umatnya untuk membaca dan menghafalkannya. Kalaupun toh mereka menyodorkan ayat, “Wa rattilil Qur`aana tartiilaa,”[6] maka hal ini pun menunjukkan ketidakkonsistenan mereka. Sebab, mereka menerjemahkan kata “rattil” dengan menyusun (susunlah),[7] bukan membaca (bacalah).

Bahkan, mereka pun menerjemahkan kata “iqra`” sebagai pahamilah, bukan bacalah. Kalaupun ayat iqra` pada awal surat Al-Alaq dijadikan dalil pun masih kurang tepat, setidaknya menurut kerangka berpikir mereka. Paling-paling mereka bisa mengambil dalil dari ayat, “Faqra`uu maa tayassara minal Qur`aan.”[8] Akan tetapi, mereka tidak akan mungkin berani mengambil (potongan) ayat ini sebagai dalil dikarenakan tiga sebab.

Pertama; Mereka menerjemahkan kata “qara`a” bukan sebagai membaca, melainkan memahami.[9] Kedua; Jika mereka menerjemahkan ayat ini sebagaimana terjemahan Ahlu Sunnah, maka hal ini akan menggugurkan pemahaman sesat mereka bahwa shalat dalam sehari cuma tiga kali dan hanya ada tiga macam. Karena ayat ini berbicara tentang shalat tahajjud! Dan ketiga; Mereka pun akan menabrak fondasi pemikirannya sendiri dalam memahami Al-Qur`an yang hanya memakai permainan bahasa (dan hawa nafsu). Sebab, dalam ayat tersebut dipakai kata “min” yang mengandung makna sebagian. Artinya, yang diperintahkan untuk dibaca itu cuma sebagian saja, tidak semua Al-Qur`an, itu pun hanya yang mudah-mudah.

Di bawah ini adalah tulisan Pak Abdul Malik tentang “Belajar Al-Qur`an” yang diposting di milis sesat inkar Sunnah Pengajian_Kantor yang dikelolanya. Pada kata-kata yang kami anggap perlu diperhatikan kesesatannya, kami beri tanda garis bawah (underline).

To: Pengajian_Kantor@yahoogroups.com

From: "debusemesta"

Date: Wed, 28 Sep 2005 05:01:31 –0000

Subject: [Pengajian_Kantor] Belajar Al-Qur’an

BELAJAR AL-QUR'AN

Dalam upaya kita kaum muslim untuk mempelajari Al-Qur'an, hal yang
pertama harus kita yakini adalah bahwa Allah memudahkan Al-Qur'an
itu untuk dipelajari.

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an itu untuk
peringatan. Maka adakah orang yang mau memikirkan?" [Q.S. 54:17]
(Ayat dengan redaksi serupa: 54:22, 54:32, 54:40)

AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT
Ketika membuka lembaran-lembaran Al-Qur'an kita menemukan sebuah
susunan yang unik dan mungkin dirasa kurang memuaskan. Susunannya
dikatakan unik karena topik-topik yang dibahas didalam Al-Qur'an
umumnya tidak termuat utuh dalam sebuah cuplikan ayat-ayat yang
berurutan.

Sekadar contoh, ketentuan tentang shalat dapat kita temukan di dalam
surat Al-Baqarah ayat (3), kemudian ayat (43), (45), (83) dan pada
surat-surat lainnya di dalam Al-Qur'an.

Begitulah Al-Qur'an. Di dalamnya terdapat ayat-ayat yang jelas
menetapkan sebuah ketentuan secara tegas (muhkamat) dan terdapat
pula ayat-ayat yang serupa (mutasyabihat) dan tersebar pada berbagai
surat di dalam Al-Qur'an.

Adanya ayat-ayat yang serupa (mutasyabihat) disamping ayat-ayat yang
tegas (muhkamat) adalah untuk memisahkan antara orang-orang beriman
dengan orang-orang yang hatinya menyimpang.

"Dialah yang menurunkan al-Kitab kepadamu, di dalamnya ada ayat-ayat
muhkamat (tegas). Itulah ibu al-Kitab, dan yang lain mutasyabihat
(serupa). Adapun orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan,
mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat darinya untuk
menginginkan pertikaian, dan mencari-cari interpretasinya. Tiada
yang mengetahui interpretasinya kecuali Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata, `Kami beriman kepadanya; semua itu dari
sisi Pemelihara kami'; dan tidak dapat mengambil pelajaran, kecuali
orang-orang yang berakal." [Q.S. 3:7]

TAHAP-TAHAP BELAJAR AL-QURAN
1.Bahasa
Kendala pertama yang mencuat ketika ingin mempelajari Al-Qur'an
biasanya adalah masalah penguasaan bahasa Arab. Para pemuka agama
yang hatinya menyimpang menjadikan kendala ini senjata untuk menakut-
nakuti umat agar asing dari Al-Qur'an sehingga cukup ucapan mereka
(pemuka agama) saja yang dijadikan dasar untuk beragama.

Tentu saja menguasai bahasa Arab adalah sebuah nilai lebih, namun
itu bukan syarat untuk dapat menangkap pesan-pesan Allah. Dewasa
ini terdapat banyak karya-karya terjemahan Al-Qur'an dalam berbagai
bahasa, tidak ketinggalan pula berjenis-jenis kamus untuk mengecek
kecocokan kata.

Dapat atau tidaknya kita menangkap pesan Allah yang ada di dalam Al-
Qur'an tidak bergantung pada ilmu bahasa Arab kita melainkan pada
karunia iman yang ada di dalam hati kita.
Allah yang mengatur apakah kita akan dibuat paham atau tidak!

"Jika Kami membuatnya sebuah Qur'an dalam bahasa asing, tentu mereka
berkata: `Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya? Apakah dalam bahasa
asing sedang orangnya berbahasa Arab?' Katakanlah: `Al-Qur'an ini
adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan
orang-orang yang tidak beriman di dalam telinga mereka ada sumbat,
dan Al-Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka; mereka itu seperti
dipanggil dari tempat yang jauh." [Q.S. 41:44]

"Sesungguhnya ia adalah Al-Qur'an yang mulia, dalam Kitab yang
terpelihara, tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang
dibersihkan. Suatu penurunan dari Pemelihara semesta alam." [Q.S.
56:77-80]

2. Menyusun Ayat-Ayat Berdasarkan Topik
Hal ini (menyusun ayat-ayat berdasarkan topik) adalah masalah inti
yang luput dari kaum muslim selama ini. Al-Qur'an sendiri
memerintahkan penyusunan berdasarkan topik ini didalam
perintah `Ratil'.

"Bangunlah pada waktu malam, kecuali sedikit. Separuhnya atau kurang
daripadanya sedikit. Atau lebih atasnya, dan susunlah (rattili) Al-
Qur'an dengan sebuah penyusunan (tartiila). Sesungguhnya Kami akan
menurunkan kepada kamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bagian
pertama malam lebih kuat dan lebih berkesan. Sesungguhnya pada
siang hari kamu mempunyai urusan yang panjang." [Q.S. 73:2-7]

`Ratil' adalah kata bahasa Arab yang berarti: `menyusun hal-hal yang
serupa'.
Sebagai contoh: Tank-tank yang dibariskan bersama disebut `Ratil
Dababat' (susunan tank-tank). Tidak dikatakan `Ratil' dalam bahasa
Arab bila hal-hal yang disusun tidak serupa (misalkan di dalam
sebuah barisan terdapat tank-tank, mobil-mobil, dan pesawat-pesawat
maka kata `Ratil' tidak dapat digunakan).

Oleh karena itu, apabila misalnya kita ingin mengetahui apa yang
dikatakan Allah tentang `zakat', maka kita dapat mulai dengan
mengutip semua ayat-ayat yang bicara tentang topik `zakat' di dalam
Al-Qur'an dan kemudian `menyusunnya bersama-sama' (Tartiil).

Ayat-ayat yang serupa (mutasyabihat) ini dikumpulkan untuk melihat
pengertian menyeluruh dari sebuah topik sehingga kita terhindar dari
kesalahan karena langsung manarik kesimpulan dari sebuah ayat yang
serupa (mutasyabihat) sebagaimana diperingatkan Allah pada Q.S. 3:7
di atas.

3.Menarik Pengertian Dari Ayat-Ayat
Setelah kita mengumpulkan ayat-ayat tentang suatu topik tertentu
maka sekarang waktunya bagi kita untuk `menarik pengertian'.

"Sesungguhnya Pemeliharamu mengetahui bahwa kamu berjaga-jaga hampir
dua per tiga malam, atau separuhnya, atau satu per tiganya, dan
segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menentukan
malam dan siang. Dia mengetahui bahwa kamu tidak akan
menjumlahkannya, dan Dia menerima taubat kamu. Maka pahamilah
(faqra'u) dari al-Qur'an semudah yang dapat. Dia mengetahui bahwa
antara kamu ada yang sakit, dan yang lain antara kamu berpergian di
bumi, mencari pemberian Allah, dan yang lain berperang di jalan
Allah. Maka pahamilah (faqra'u) darinya semudah yang dapat." [Q.S.
73:20]

Kata `Iqra' berarti: `memahami/ mengerti sebuah arti'. Sayangnya
kata ini sekarang biasa diartikan dengan hanya `membaca'. `Iqra'
adalah turunan dari kata `qarana' yang berarti `menyusun sesuatu
bersama-sama'.

Sebagai contoh: Ketika seseorang membaca majalah, maka ia `Yatlu'
majalah (bukan qar'a atau iqr'a)… Sedangkan ketika seorang guru
mengajarkan teori Newton kepada muridnya, dia `Yaqra' pelajaran
(menjelaskan/ memahamkan) kepada murid.

Fase menarik sebuah pengertian dari ayat-ayat Al-Qur'an ini adalah
fase paling krusial dimana kesalahan mungkin saja terjadi.

Perhatikan faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya kesalahan:
- Tidak mengumpulkan ayat-ayat serupa dengan lengkap
- Terdapat penterjemahan kata yang tidak tepat
- Diperlukan pengetahuan teknis untuk memahami ayat-ayat
tertentu dengan lebih baik. Misalkan ayat-ayat tentang penciptaan
alam semesta akan lebih baik dijelaskan oleh orang yang memang
mendalami ilmu fisika

Disamping itu tidak lupa kita meminta perlindungan dari godaan
syetan yang ingin mengintervensi hati kita ke dalam keragu-raguan.
"Apabila kamu memahami Al-Qur'an,[10] mohonlah perlindungan kepada Allah
dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya syaitan itu tidak ada
baginya kuasa atas orang-orang yang beriman, dan bertawakal kepada
Pemelihara mereka." [Q.S. 16:98-99]

4. Perhatikan penjelasan orang lain dan ikuti pengertian yang
terbaik.
Meskipun sudah menarik pengertian yang kita `rasa' tepat, tetaplah
terbuka terhadap masukan-masukan dari orang lain. Bisa jadi ada
pandangan berbeda yang lebih tepat disebabkan adanya ayat-ayat
ataupun contoh-contoh di dalam Al-Qur'an yang luput dari pengamatan
kita.

Jangan langsung apriori atau membantah. Simak dan diamlah sejenak …
"Dan apabila dijelaskan Al-Qur'an,[11] dengarkanlah dan diamlah supaya
kamu dirahmati." [Q.S. 7:204]

Orang-orang yang mendapat petunjuk Allah dan menggunakan akalnya
tidak akan mempertahankan pendapatnya atas dasar ego. Ia akan
mengikuti yang `terbaik' dari beberapa pendapat berbeda yang ada.

"Orang-orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling
baik darinya, mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh
Allah; mereka itulah orang-orang yang mempunyai pikiran." [Q.S.
39:18]

Dalam menjalani proses belajar Al-Qur'an ini kita harus bersabar dan
tidak lupa bahwa guru sebenarnya dalam memahami Al-Qur'an adalah
Allah. Mintalah kepada-Nya agar kita ditambahkan pengetahuan.

"Dan janganlah kamu tergesa-gesa dengan Al-Qur'an sebelum wahyunya
disempurnakan kepadamu. Dan katakanlah: `Wahai Pemeliharaku,
tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." [Q.S. 20:114]

= = =

Dalam email di atas, Pak Abdul Malik sama sekali tidak menyebutkan adanya perintah membaca Al-Qur`an dalam Al-Qur`an. Beberapa kali, beliau selalu menekankan pentingnya memahami Al-Qur`an dengan cara-cara yang disimpulkannya sendiri, berdasarkan dua landasan utamanya; hawa nafsu dan permainan bahasa.

[bersambung...]

[1] Tentang makna Sunnah Nabi dalam Al-Qur`an, sudah kita bicarakan pada pembahasan yang lalu.

[2] Tokoh inkar Sunnah di dunia maya, lawan diskusi kami.

[3] Rangkaian beberapa ayat dalam awal surat At-Tahrim ini menceritakan tentang sikap Nabi yang bersumpah mengharamkan madu atas dirinya demi menyenangkan hati sebagian istrinya. Ketika itu Nabi bercerita kepada Hafshah bahwa beliau menyukai madu yang diberi oleh Mariyah Qibthiyah, salah seorang budak beliau yang kemudian diperistri. Hal ini membuat Hafshah cemburu. Lalu, Hafshah menceritakan hal ini kepada Aisyah. Tetapi Allah memberitahukan pembicaraan antara Hafshah dan Aisyah ini kepada Nabi. Selengkapnya (termasuk versi lain tentang tafsir ayat ini), bisa dilihat di kitab-kitab tafsir.

[4] Yang kami maksud adalah Sunnah qauliyah (perkataan). Sunnah fi’liyah (perbuatan) dan Sunnah taqririyah (ketetapan) juga Sunnah. Bahkan, sebagian ulama ada yang menambahkan macam Sunnah yang keempat, yaitu Sunnah washfiyah (karakter). Sunnah washfiyah adalah yang berkaitan pribadi Nabi secara fisik; postur tubuh, bentuk rambut, warna kulit, wajah, dan sebagainya.

[5] Lihat; Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur`an/Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari/juz 3/tafsir ayat 122 surat At-Taubah/CD Program Islamic Books, Kairo.

[6] Artinya, “Dan bacalah Al-Qur`an dengan tartil (sebaik-baiknya).” (Al-Muzzammil: 4).

[7] Pendapat Pak Abdul Malik dalam menerjemahkan kata “rattil” tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan DR. Syahrur, tokoh inkar Sunnah dari Siria.

[8] Artinya, “Maka bacalah yang apa yang mudah dari Al-Qur`an.” (Al-Muzzammil: 20)

[9] Mereka juga menerjemahkan kata “qara`a” dengan “qarana” (menghubungkan atau membandingkan).

[10] Arti yang sebenarnya, “Apabila kamu hendak membaca Al-Qur`an, maka berlindunglah kamu kepada Allah dari (gangguan) setan yang terkutuk.” (An-Nahl: 98)

[11] Terjemahan yang lebih tepat, “Dan apabila dibacakan Al-Qur`an, … dst.”

Tidak ada komentar: