Tampilkan postingan dengan label Tulisan Tafakkur Ust Irfan Toni H. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tulisan Tafakkur Ust Irfan Toni H. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Januari 2011

Kupu-Kupu

By Ust. Irfan Toni Herlambang

Ada seorang pemuda di tepian telaga. Ia tampak termenung. Matanya kosong, menatap hamparan air di depannya. Seluruh penjuru mata angin telah dilewatinya, namun tak satu pun titik membuatnya puas. Kekosongan makin senyap sampai ada suara yang menyapanya. Ada orang lain di sana.

"Sedang apa kau di sini, Anak Muda?" tanya orang itu. Rupanya suara seorang kakek tua. "Apa yang kau risaukan?"

Anak muda itu menoleh. "Aku lelah, Pak Tua. Telah berkilo-kilo jarak yang kutempuh untuk mencari kebahagiaan, namun tak juga kutemukan rasa itu dalam diriku. Aku telah berlari melewati gunung dan lembah, tapi tak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Ke manakah aku harus mencarinya? Bilakah kutemukan rasa itu?"

Kakek Tua mengambil tempat di samping pemuda itu. Ia mendengarkan keluhan pemuda itu dengan penuh perhatian. Dipandanginya wajah lelah si pemuda. Lalu, ia berkata, "Di depan sana ada taman. Jika kau ingin jawabannya, tangkaplah seekor kupu-kupu buatku.”

Pemuda itu menatap kakek itu. Tidak percaya. Si kakek menganggukkan kepalanya. “Ya..., tangkapkan seekor kupu-kupu untukku dengan tanganmu," kakek itu mengulang kalimatnya.

Perlahan pemuda itu bangkit. Ia menuju arah yang ditunjuk kakek tadi. Ke taman. Dan benar, ia menemukan taman itu. Taman yang semarak dengan pohon dan bunga-bunga bermekaran. Tak heran banyak kupu-kupu berterbangan di sana.

Anak muda itu mulai bergerak. Mengendap-endap. Ditujunya sebuah sasaran. Perlahan. Hap! Luput. Segera dikejarnya lagi kupu-kupu itu. Ia tak mau kehilangan buruan. Sekali lagi tangannya menyambar. Hap! Gagal.

Pemuda itu mulai berlari tak beraturan. Menerjang ke sana ke sini. Merobek ilalang, menerjang perdu, mengejar kupu-kupu itu. Gerakannya semakin liar.

Sejam, dua jam. Belum ada tanda-tanda pemuda itu akan berhenti. Belum ada kupu-kupu tertangkap. Pemuda itu mulai kelelahan. Nafasnya memburu, dadanya bergerak naik-turun dengan cepat. Tiba-tiba ada teriakan, "Berhenti dulu, Anak Muda. Istirahatlah!" Rupanya Sang Kakek. Ia berjalan perlahan. Tapi, lihatlah! Ada sekumpulan kupu-kupu beterbangan di kedua sisinya. Beberapa hinggap di tubuh tua itu.

"Begitukah caramu mengejar kebahagiaan? Berlari dan menerjang? Menabrak-nabrak tak tentu arah, menerobos tanpa peduli apa yang kau rusak?" Sang Kakek menatap pemuda itu. "Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu. Semakin kau terjang, semakin ia akan menghindar. Semakin kau buru, semakin pula ia pergi dari dirimu."

"Tangkaplah kupu-kupu itu dalam hatimu. Karena kebahagiaan itu bukan benda yang dapat kau genggam atau sesuatu yang dapat kau simpan. Carilah kebahagiaan itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kalbumu. Ia tak akan lari ke mana-mana. Bahkan, tanpa kau sadari kebahagiaan itu sering datang sendiri."

Kakek Tua itu mengangkat tangannya. Dan, seekor kupu-kupu hinggap di ujung jari. Terlihat kepak-kepak sayap kupu-kupu itu memancarkan keindahan. Pesonanya begitu mengagumkan. Kelopak sayap yang mengalun perlahan layaknya kebahagiaan yang hadir dalam hati. Warnanya begitu indah. Seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu menyelaminya.

Teman, benar mencari kebahagiaan layaknya menangkap kupu-kupu. Sulit bagi mereka yang terlalu bernafsu. Tapi, mudah bagi yang tahu apa yang mereka cari. Kita mungkin dapat mencarinya dengan menerjang sana-sini, menabrak sana-sini, atau menerobos sana-sini. Kita dapat saja mengejarnya dengan berlari kencang ke seluruh penjuru arah. Kita pun dapat meraihnya dengan bernafsu seperti menangkap buruan yang dapat kita santap setelah mendapatkannya.

Namun, kita belajar. Kita belajar bahwa kebahagiaan tak bisa didapat dengan cara-cara seperti itu. Kita belajar bahwa bahagia bukanlah sesuatu yang dapat di genggam atau benda yang dapat disimpan. Bahagia adalah udara. Kebahagiaan adalah aroma dari udara itu. Kita belajar bahwa bahagia itu memang ada dalam hati. Semakin kita mengejarnya, semakin pula kebahagiaan itu akan pergi dari kita. Semakin kita berusaha meraihnya, semakin pula kebahagiaan itu akan menjauh.

Teman, cobalah temukan kebahagiaan itu dalam hatimu. Biarkanlah rasa itu menetap dan abadi dalam hati kita. Temukanlah kebahagiaan itu dalam setiap langkah yang kita lakukan. Dalam bekerja, dalam belajar, dalam menjalani hidup kita, dalam sedih, dalam gembira, dalam sunyi, dan dalam riuh. Temukanlah bahagia itu, dengan perlahan, dalam tenang, dalam ketulusan hati kita.

Bahagia itu ada dimana-mana. Rasa itu ada di sekitar kita. Bahkan, bahagia itu "hinggap" di hati kita, namun kita tak pernah memperdulikannya. Mungkin juga bahagia itu berterbangan di sekeliling kita, namun kita terlalu acuh untuk menikmatinya.
Readmore »»

Daun

By Ust. Irfan Toni Herlambang

Seorang pemuda duduk sendiri di sebuah taman. Di pangkuannya terhampar sebuah buku yang masih terbuka. Di sebelah kanannya, sisa makanan berhimpit dengan botol minuman. Hari itu adalah awal musim gugur di tahun ini. Tak heran banyak sekali daun berjatuhan. Terserak. Begitupun di bangku tempat pemuda itu duduk.

Sang pemuda masih menikmati sore itu dengan membaca. Tangannya membolak-balik halaman buku. Setiap kali selesai membaca beberapa paragraf, matanya tak lepas dari urutan kata dalam buku. Menelusuri setiap kalimat yang tersusun di sana. Tak ada rasa terganggu dengan daun-daun yang sesekali jatuh menimpanya. Sementara di kejauhan, ada beberapa anak kecil berlari. Mereka bermain, menikmati matahari sore yang indah itu.

Srekkk... srekk. Terdengar langkah. Pemuda itu menoleh. Srekk.. srekk... srekk. Terdengar lagi langkah kaki bergesekan dengan daun-daun. Seorang ibu tua sedang memunguti daun-daun. Tangan kirinya menggenggam kantung kain. Isinya daun-daun kering.

Pemuda itu tertegun. Heran.
"Ibu sedang apa?"
"Aku sedang mengumpulkan daun."
Mata tuanya terus menjelajah, mengamati hamparan daun di taman itu.
"Aku sedang mencari daun-daun terbaik untuk kujalin menjadi mainan buat anak-anak di sana."
Satu dua daun dimasukkan ke kantung kain. Pemuda itu beringsut. Buku di depannya diletakkan. Ia kembali bertanya, "Sejak kapan Ibu melakukannya?"
"Setiap musim gugur aku lakukan ini untuk anak-anak. Akan kubuatkan selempang dan mahkota daun buat mereka. Jika aku dapat banyak daun, akan kubuatkan pula selubung-selubung ikat pinggang. Ah, mereka pasti senang." Mata tua itu berbinar. Syal di lehernya berjuntai di bahu. Tangannya kembali memasukkan beberapa daun.
"Tapi, Bu, sampai kapan Ibu lakukan ini? Anak-anak itu pasti akan membuat semuanya rusak setiap kali mereka selesai bermain. Lagipula, terlalu banyak daun yang ada di sini. Ini musim gugur, daun itu akan terus jatuh layaknya hujan," lagi-lagi si pemuda bertanya. "Apa Ibu tak pernah berpikir untuk berhenti?”

"Berhenti? Berpikir untuk berhenti? Memang, anak-anak itu akan selalu merusak setiap rangkaian daun yang kubuat. Mereka juga akan selalu membuat mahkota daunku koyak. Selempang daunku juga akan putus setiap kali mereka selesai bermain. Tapi, itu semua tak akan membuatku berhenti."
Ibu tua itu menarik nafas. Syal di lehernya makin dipererat.
"Masih ada ribuan daun yang harus kupungut di sini. Masih ada beberapa kelok jalan lagi yang harus kutempuh. Waktuku mungkin tak cukup untuk mengambil semua daun di sini. Tapi, aku tak akan berhenti."

"Akankah aku berhenti dari kebahagiaan yang telah kutemukan? Akankah aku berhenti memandang kegembiraan dan binar-binar mata anak-anak itu? Akankah aku menyerah dari kedamaian yang telah aku rasakan setiap musim gugur itu?” tanyanya retoris.
“Tidak, Nak! Aku tidak akan berhenti berusaha untuk kebahagiaan itu. Aku tidak akan berhenti hanya karena koyaknya mahkota daun atau ribuan daun lain yang harus kupungut."

Tangan tua itu kembali meraih sepotong daun. Lalu, dengan suara pelan, ia
berbisik, "Ingat Nak, jangan berhenti. Jangan pernah berhenti untuk berusaha." Larik-larik senja telah muncul, menerobos sela-sela pohon, membentuk sinar-sinar panjang, dan berpendar pada tubuh ibu tua itu.

Teman, adakah kita pernah merasa ingin berhenti dari hidup ini? Adakah kita pernah merasa gagal? Adakah kita berpikir untuk tak mau melanjutkan impian-impian kita? Saya percaya, ada banyak dari kita yang pernah mengalaminya. Ada banyak dari kita yang mungkin berpikir untuk menyerah karena begitu banyaknya tantangan yang kita hadapi.

Namun, apakah kita harus berhenti berusaha ketika melihat "mahkota-mahkota daun" impian kita koyak? Haruskah kita berhenti saat "selempang daun" harapan yang kita sandang putus? Akankah kita menyerah saat "rangkaian daun" kebahagiaan kita tak berbentuk? Saya percaya, ada banyak pilihan untuk itu. Beragam pilihan akan muncul di kepala kita saat kenyataan pahit ada di depan kita.

Lalu, akankah kita surut melangkah, saat kita melihat ada ribuan "daun tantangan" yang harus kita pungut? Akankah kaki kita menyerah ketika kita bertemu dengan hamparan "daun ujian" didepan kita? Agaknya, kita harus ingat perkataan ibu tua itu. "Jangan pernah berhenti untuk berusaha. Jangan pernah menyerah untuk kebahagiaan yang akan kita raih."

Teman, ibu tua itu benar. Kita mungkin tak akan mampu meraih semua daun-daun kebahagiaan itu. Mahkota, selempang, dan selubung ikat pinggang daun itu akan koyak. Tapi, janganlah itu membuat kita berhenti melangkah. Masih ada berjuta daun-daun harapan lain yang masih dapat kira pungut. Di depan sana, masih terhampar berjuta daun impian lain yang memberikan kita beragam pilihan. Mungkin jalan di depan kita masih berkelok, masih panjang, namun daun-daun itu ada disana. Berjuta daun kebahagian lain masih menunggu untuk kita rajut, jalin, anyam, dan susun. Jangan menyerah. Jangan pernah menyerah, karena Allah selalu bersama hamba-Nya yang sabar.
Readmore »»

Keberanian

by ust. irfan antoni Herlambang
Suatu ketika seorang Indian muda mendatangi tenda ayahnya. Di dalam sana, duduk seorang tua dengan pipa panjang yang mengepulkan asap. Matanya terpejam, tampak sedang bersemadi. Hening.
“Ayah, bolehkah aku ikut berburu besok pagi?” tanya Indian muda itu memecahkan kesunyian disana. Mata sang Ayah membuka perlahan, sorot matanya tajam, memandang ke arah anak yang paling disayanginya itu. Kepala suku itu hanya diam.
“Ya Ayah, bolehkah aku ikut berburu besok? Lihat, aku sudah mengasah pisauku. Kini semuanya tajam dan berkilat.” Tangan si kecil merogoh sesuatu dari balik kantung kulitnya. Sang Ayah masih diam mendengarkan. “Aku juga sudah membuat panah-panah untuk bekalku berburu. Ini, lihatlah Ayah, semuanya pasti tajam. Busurku pun telah kurentangkan agar lentur. Pasti aku akan menjadi Indian pemberani yang hebat seperti Ayah. Ijinkan aku ikut Ayah.” rengek si kecil.
Suasana masih tetap senyap. Keduanya saling pandang. Terdengar suara berat sang Ayah, “Apakah kamu sudah berani untuk berburu? “Ya!” segera saya terdengar jawaban singkat dari si kecil. “Dengan pisau dan panahku, aku akan menjadi yang paling hebat.” Sang Ayah tersenyum, “Baiklah, kamu boleh ikut besok, tapi ingat, kamu harus berjalan di depan pasukan kita. Mengerti?” Sang Indian muda mengangguk.
Keesokan hari, pasukan Indian telah siap di pinggir hutan. Kepala suku, dan Indian muda, berdiri paling depan. “Hari ini anakku yang akan memimpin perburuan kita. Biarkan dia berjalan di depan.”
Indian muda itu tampak gagah. Ada beberapa pisau yang terselip di pinggang. Panah dan busur, tampak melintang penuh di punggungnya. Ini adalah perburuan pertamanya. Si kecil berteriak nyaring, “ayo kita berangkat.”
Mereka mulai memasuki hutan. Pohon-pohon semakin rapat, dan semak semakin tinggi. Sinar matahari pun tak leluasa menyinari lebatnya hutan. Mulai terdengar suara-suara dari binatang yang ada disana. Indian kecil yang tadi melangkah dengan gagah, mulai berjalan hati-hati. Parasnya cemas dan takut. Wajahnya sesekali menengok ke belakang, ke arah sang Ayah. Linglung, dan ngeri. Tiba-tiba terdengar beberapa suara harimau mengaum. “Ayah...!!” teriak si kecil. Tangannya menutup wajah, dan ia berusaha lari ke belakang. Sang Ayah tersenyum melihat kelakuan anaknya, begitupun Indian lainnya.
“Kenapa? Kamu takut? Apakah pisau dan panahmu telah tumpul? Mana keberanian yang kamu perlihatkan kemarin?” Indian muda itu terdiam. “Bukankah kamu bilang, pisau dan panahmu dapat membuatmu berani? Kenapa kamu takut sekarang? Lihat Nak, keberanian itu bukan berasal dari apa yang kau miliki. Tapi, keberanian itu datang dari sini, dari jiwamu, dari dalam dadamu.” Tangan Kepala Suku menunjuk ke arah dada si kecil.
“Kalau kamu masih mau jadi Indian pemberani, teruskan langkahmu. Tapi jika, di dalam dirimu masih ada jiwa penakut, ikuti langkah kakiku.” Indian muda itu masih terdiam. “Setajam apapun pisau dan panah yang kau punya, tak akan membuatmu berani kalau jiwamu masih penakut. Sekuat apapun busur telah kau rentangkan, tak akan membuatmu gagah jika jiwa pengecut lebih banyak berada di dalam dirimu.”
“...Aauummmm.” Tiba-tiba terdengar suara harimau yang mengaum kembali. Indian muda kembali pucat. Ia memilih untuk berjalan di belakang sang Ayah.

***

Apakah itu keberanian? Keberanian bukanlah rasa yang dimiliki oleh orang yang menganggap dirinya memiliki segalanya. Keberanian juga bukan merupakan rasa yang berasal dari sifat-sifat sombong dan takabur. Keberanian adalah jiwa yang berasal dari dalam hati, dan bukan dari materi yang kita miliki. Keberanian adalah sesuatu yang tersembunyi yang membuat orang tak pernah gentar walau apapun yang dia hadapi.
Saya percaya, keberanian bukan berasal dari apa yang kita sandang atau kita miliki. Keberanian bukan datang dari apa yang kita pamerkan atau yang kita punyai. Teman, keberanian adalah datang dari dalam diri, dari dalam dada kita sendiri. Keberanian adalah sesuatu yang melingkupi perasaan kita, dan menjadi bekal dalam setiap langkah yang kita ayunkan.
Teman, mungkin saat ini kita diberikan banyak kemudahan yang membuat kita merasa cukup berani dalam menjalani hidup. Kita mungkin dititipkan kelebihan-kelebihan dan membuat kita takabur bahwa semua masalah akan mampu dihadapi. Mungkin saat ini kita kaya, rupawan, berpendidikan tinggi, dan berkedudukan bagus, tapi apakah itu bisa menjadi jaminan bahwa kita akan selamanya dapat menjalani hidup ini? Apakah itu akan selamanya cukup untuk menjadi bekal kita dalam “perburuan” hidup ini?
Jadilah Indian muda yang tetap melangkah, dengan jiwa pemberani yang hadir dari dalam hati, dan BUKAN dari pisau dan panah yang telah diasah. Jadilah Indian muda yang tak pernah gentar mendengar suara harimau, sekeras apapun suara itu terdengar. Jadilah Indian muda yang tetap yakin dengan pilihan keberanian yang ia putuskan. Jangan gentar, jangan surut untuk melangkah.
Readmore »»

Burung Pipit

Di sebuah taman tinggallah keluarga burung pipit. Mereka bersarang di sebuah pohon yang rindang, di pucuk dekat dahan yang terjulur ke tengah kolam. Ada seekor pipit kecil yang tinggal di sana, sementara kedua induknya terbang bolak-balik untuk mencari makan. Kadang kedua sejoli itu membawa ranting kering untuk penghangat pipit yang baru menetas itu. Cericit nyaring kerap terdengar, tanda si kecil butuh makan dan butuh kehadiran induknya.
Dua minggu telah berlalu, pipit kecil itupun sudah mulai dewasa. Bulu-bulu di tubuhnya mulai rapat. Paruhnya pun tampak lebih runcing. Bulu yang muncul di kedua sayap semakin banyak. Itu berarti, sang pipit harus mulai belajar untuk terbang dan mengepakkan sayap-sayap kecil di udara. Kedua induk pipit itu pun mulai tak sabar untuk melatihnya terbang beriring. Maka beberapa pekan selanjutnya mulailah mereka mengajak pipit muda itu keluar dari sarang.
"Ayo, sekarang saatnya belajar terbang," cericit Ayah pipit kepada anaknya. "Sayap-sayapmu sudah tumbuh, cobalah kepakkan ke udara.." Namun, sang Ayah mendapatkan jawaban pendek. "Aku tak mau belajar terbang. Aku malas." Sang Ayah yang sudah bertengger di sisi dahan, kembali menuju sarang. "Kenapa?" tanyanya. "sayapku masih kecil, " jawab si pipit, "Lagipula, aku belum mau terbang. Tempat ini pun terlalu tinggi, tentu sakit sekali jika aku terjatuh."
Mendengar jawaban itu, sang Ayah pipit mengepak-ngepakkan sayapnya. Ia terbang berkeliling. Berputar-putar di sekitar sarangnya. Pipit kecil hanya memperhatikan. "Kita bangsa burung, pasti punya sayap. Tapi bukan sayap itu saja yang membuat kita terbang. Tapi, kepakan sayaplah yang membuat kita bertahan di udara. Cobalah, kepakkan sayapmu. Jangan berhenti." Cericit kecil dari induk pipit terdengar ramai. Kepakan sayapnya tak henti-henti.
"Biarkan sayapmu berlatih. Biarkan angin dan udara yang membuatnya kuat. Biarkan sinar matahari yang membuatnya gesit. Biarkan tanah di bawah yang jauh itu sebagai ujiannya." Kepakan sayap Ayah membuat si kecil terpesona. Ia mulai bangkit dari sarang dan berjalan meniti dahan. " Biarkan saja air hujan yang jatuh mengenai kedua sayapmu. Jadikan dahan-dahan ini tempatmu berkelit. Jangan pernah berhenti menggerakkan sayapmu jika ingin terbang seperti Ayah. Jangan berhenti."
Pipit kecil mulai bergerak. Burung itu mulai mengayuh kedua sayapnya. Plap...plap, sayap mungil itu terangkat perlahan. Plap..plap..plap, badannya mulai naik ke atas. Lihat, si kecil mulai terbang. Ups...badannya mulai oleng sedikit, tapi plap..plap..plap, ia mulai terangkat kembali. Pipit kecil mulai belajar terbang. Ia juga belajar, bahwa angin, udara, sinar matahari, dan dahan-dahan itulah yang menjadi karibnya belajar.

Teman, begitulah. Setiap mahluk, mempunyai keunikannya masing-masing. Allah menitipkan pada burung sepasang sayap untuk terbang. Allah juga mengamanatkan sepasang sirip kepada ikan agar mereka berenang. Allah menunjukkan kita tentang sepasang kaki yang kuat dari kuda agar hewan itu dapat berlari kencang, juga memperlihatkan pada kita tentang kokohnya badan gajah saat mereka sedang membawa beban.
Namun, apakah Allah langsung menciptakan burung yang bisa terbang, dan ikan yang terlahir luwes dalam berenang? Apakah Allah juga serta-merta menganugerahi kaki-kaki yang gesit pada kuda, dan badan yang kokoh pada gajah, tanpa membuat hewan itu mengenal arti tentang belajar? Saya kira tidak. Allah menitipkan sayap pada burung agar mereka terbang, tapi juga menyandingkan sayap itu dengan terpaan angin, dan teriknya matahari agar burung itu dapat bertahan di udara. Allah mengamanatkan sirip pada ikan untuk berenang, tapi juga memberikan derasnya arus, dan lekukan-lekukan karang, agar ikan itu dapat luwes berkelit di dalam air.
Begitupun kita. Allah menitipkan kita banyak kemudahan, tubuh yang sempurna, pikiran yang cerdas, dan beragam kemuliaan yang kita miliki. Tapi, Allah juga menyandingkan semua itu dengan cobaan, terpaan, tantangan, hambatan, dan beragam ujian buat kita. Itu semua, adalah bagian dari perjalanan kita dalam belajar, dalam berusaha. Itu semua adalah bagian dari rencana Allah untuk kita, agar kita memahaminya. Layakkah kita untuk berhenti? Pantaskah kita mudah mengeluh? Saya yakin semua ujian itu adalah rahasia Allah agar kita makin sempurna, pikiran kita semakin terbuka, dan kemuliaan kita makin nampak.
Jangan pernah berhenti "menggepakkan sayapmu" teman. Biarkan cobaan itu membuatmu kuat, biarkan derasnya terpaan itu membuatmu gesit berkelit. Biarkan jiwa-jiwa pemenang itu memenuhi hatimu. Biarkan jiwa-jiwa sabar juga menjadi penyejuk bagimu. Selamat terbang. Selamat tak henti mengepakkan sayap-sayapmu.
Readmore »»

Istana Pasir

Pagi mulai beranjak siang saat Pak Tua kedatangan anaknya dari kota. Di
tangan kirinya masih tersampir jala yang sedang diperbaiki. Tangan kanannya masih sibuk menelisik jelujur benang nylon, menyusuri sisi-sisi yang koyak dari jala miliknya. Sinar matahari pantai yang datang sedikit terhalang lelaki yang tegak berdiri. Wajah Pak Tua itu pun menengadah, memandang sorot lelah dari kedua mata anaknya."Ada apa?" tanyanya pelan.
"Hidupku suram, Ayah." Mata si anak nanar. "Usahaku baru saja gagal, dan keluargaku tak lagi membuatku bahagia." Sang Ayah mengerti situasi semacam ini. Segera diletakkannya jala dan kelosan benang. "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan di pantai? Sang Ayah berusaha tersenyum, "Sudahlah, matahari pantai pasti akan membuatmu cerah." Lelaki itu menurut. Wajahnya menoleh ke samping saat sang Ayah menepuk-nepuk punggung. Ia juga berusaha tersenyum.
Pantai mulai ramai saat mereka mulai berjalan. Anak-anak bermain dengan sekop dan ember, membentuk istana-istana pasir dengan tangan mereka. Wajah-wajah yang ceria, membuat mereka tampak lebih lucu. Di sebelah kanan, ada pekik gembira dari anak lainnya yang berkejaran menantang ombak. Mereka meloncat-loncat berusaha menghindari buih yang datang dengan tiba-tiba. Kaki-kaki kecil itu membentuk tapak-tapak yang berbaris di atas pasir pantai. Matahari yang mulai terik tak lagi di hiraukan. Anak-anak itu tetap larut dengan kebahagiaan masa kecil yang hadir seakan tak akan berakhir.
Pasangan ayah dan anak itupun memperhatikan semuanya. Mata mereka tak lepas dari pemandangan yang ada disana. Namun, sang anak tetap hadir dengan tatapan yang kosong. Sang Ayah paham, ia lalu membuka suara "Ingatkah kamu saat masih kecil dulu? Pertanyaan itu dijawab pelan, "Ya Ayah. Kenapa?" Tangan Ayah mengajak mereka menuju sebuah pohon nyiur. Kemudian, duduklah mereka diatas sebuah pelepah kering yang ada disana. "Ya, tentu kamu masih ingat. Seperti anak-anak itulah kamu saat itu. Riang, gembira, dan bahagia. Tak peduli kulitmu menghitam, dan badanmu menggigil kedinginan. Kamu tetap berlari bersama ombak dan membuat istana-istana pasir."
"Cobalah, simak mereka lebih dekat. Lihat sekeliling kita." Keduanya menerawang. "Apakah udara yang kita hirup ini berbeda dengan dihirup oleh anak-anak itu? Apakah sinar matahari yang terkena di kulit kita ini tak sama dengan yang menimpa tubuh mereka? Tapi mengapa engkau begitu murung, sedangkan mereka tidak? Mengapa mereka bisa berwajah cerah sedangkan kamu tidak? Ya. Kita hidup pada matahari yang sama, udara yang sama, dan pasir yang sama, tapi mengapa ada yang bisa memandangnya dalam situasi yang berbeda?”
"Lihatlah mereka. Lihat istana-istana pasir yang mereka buat. Bukankah buih-buih itu selalu melenyapkan istana-istana itu? Bukankah menara-menara pasir itu selalu tumbang dihantam ombak? Bukankah air laut selalu datang merusakkan segalanya? Tapi, apakah mereka berhenti mengayuhkan tangan untuk membangunnya kembali? Tidak. Apakah mereka menyerah untuk menyusunnya kembali? Tidak. Anak-anak itu pasti akan kembali mengumpulkan pasir dan membentuknya menjadi bangunan baru. Mereka akan terus menata, menyusun, dan mendirikan istana-istana yang baru, menara-menara yang baru, dan bangunan-bangunan yang baru." Air muka sang anak mulai cerah. Ayah melanjutkan, "Ayolah, kembalikan ingatan masa kecilmu. Buat kembali istana-istana dan menara-menaramu kembali..."
Mereka tersenyum. Mereka mulai menyusuri pantai kembali. Mereka mungkin tak lagi muda, tapi lihatlah, keduanya kini berkejaran bersanding dengan ombak. Langkah kaki keduanya beriringan cepat, saling ingin mengalahkan. Ah, tubuh tua itu kalah sigap. Tubuhnya kini mulai bergerak keatas, dan digendong anak lelakinya dari belakang. Keduanya tertawa lepas, dan terjatuh bersama. Tubuh mereka basah dengan air laut, wajah dan kaki mereka penuh dengan pasir. Buih-buih terlihat seperti perak yang terhampar. Keduanya tampak seperti anak-anak kecil yang ada disana. Mereka tampak bahagia.

***

Teman, bukankah kita punya banyak persamaan? Ya, kita menjejak pada bumi yang satu, bernaung pada langit yang sama, menghirup udara yang sama, dan mereguk air yang sama. Tapi, mengapa ada orang yang melihatnya dalam situasi yang berlainan. Mengapa ada orang-orang yang bahagia, bersandingan dengan orang yang muram, mengapa ada orang yang gembira, beriringan dengan orang yang sedih hatinya?
Saya tidak sedang membuat suatu generalisasi pada semua hal. Namun, tidakkah kita bisa mengambil sesuatu dari sana? Ada kenyataan bahwa terkadang suatu hal dipandang baik atau buruk, bukan karena penampakannya. Tapi, kita menciptakan sesuatu itu baik atau buruk, bahagia atau tidak bahagia dari pikiran kita sendiri. Pikiran kita sendirilah yang kadang mencuri bahagia yang Allah berikan. Benak kita sendirilah yang kerap menyorongkan kesedihan yang berlarut.
Saya sering merasa iri kepada anak-anak yang menyusun istana pasir di pinggir pantai. Mereka tak pernah lelah. Mereka tak pernah berhenti mencipta. Tawa mereka selalu merekah, binar mata mereka tak pernah hilang dari wajah. Buih, terik matahari, ombak dan air laut tak pernah dihiraukan. Semua itu tak akan membuat mereka jera untuk membuat istana pasir. Mereka baru berhenti saat senja menjelang, atau saat orangtua mereka memanggil. Tidakkah kita bisa mengambil sesuatu dari sana?
Teman, bangkitkanlah ingatan masa kecil, saat kita merasa sedih. Jadilah mereka yang selalu optimis memandang hidup, yang selalu memenuhi hari-hari dengan rasa bahagia. Jadilah mereka yang tak pernah lelah menyusun dan mencipta istana-istana pasir di pinggir pantai. Jadilah mereka yang bisa tersenyum gembira, bermain bersama buih, berkejaran bersama ombak, bercengkrama bersama hewan-hewan kecil dan daun-daun. Tidakkah kita bisa mengambil sesuatu dari sana?
Readmore »»

Kurir Muda

Pos pengiriman barang. Walau hanya pos sederhana di perbatasan, semuanya sibuk. Para kurir bersiap-siap mengirimkan barang ke pemiliknya masing-masing. Petugas administrasi teliti mencatat setiap pengeluaran barang. Kantung-kantung besar dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Di luar sana, pedati beserta kudanya telah menunggu.
"Ini tugas pertamamu. Antarkan paket ini ke Pak Tua di ujung desa," kata seorang petugas pada kurir di depannya. Kurir belia itu tercenung. "Tapi, tempat itu jauh sekali." Ia seperti ingin menolak. "Tak bisa, semua kurir telah mendapat tugas. Cepat ambil kudamu dan antar segera. Pak Tua itu pasti sudah menunggu." Kurir muda itu menelan ludah. Terbayang dalam benaknya perjalanan yang akan ditempuh. Jauh sekali. Melewati beberapa sungai dan jalanan berbatu, berliku, menanjak penuh onak berduri.
Kurir muda itu enggan sekali menunaikan tugas tersebut. "Kalau saja datang lebih awal, tentu aku dapat tugas yang lebih dekat. Tak perlu melewati tanah gersang ini. Ah, kalau saja aku mendapat kiriman yang tak sesulit ini, tentu semua lebih menyenangkan buatku." Ia terus bergumam, mengutuk dirinya sendiri. Jalanan terjal berliku telah beberapa saat dilaluinya. Sungai-sungai kecil dengan airnya yang bening juga telah ditemui. Berkali-kali tapal kudanya terkena kerikil tajam, berkali-kali pula hewan itu terperosok ke dalam lubang besar. Ujung desa tinggal beberapa saat lagi. Keduanya tampak kelelahan ketika mereka tiba di rumah Pak Tua.
Pak Tua gembira menerima paket itu. Katanya, "Nak, terima kasih. Sebagai hadiah, maukah aku tunjukkan sesuatu yang bisa menghapuskan semua lelahmu?" Kurir muda itu bingung. "Aku punya tempat rahasia. Temukanlah jalan itu dan semua lelahmu akan sirna. Berjalanlah ke arah kanan di sebelah pohon besar. Terobos semak yang ada, maka kamu akan menemukan rahasia itu." Anak muda itu mengangguk pelan.
Ia menerobos semak yang ada di depannya. Duhai, ada pemandangan indah di sana. Di balik semak itu terhampar pepohonan yang rindang. Tanahnya landai, lembut tak seperti jalan sebelumnya. Tak ada batu yang terjal dan kerikil yang tajam. Dalam jarak beberapa langkah, terlihat kolam bening. Semuanya begitu menakjubkan. Kurir muda itu merasa nyaman di sana. Hilanglah semua rasa lelahnya. Jalan tembus rahasia yang ditunjukkan orangtua itu memang mengejutkan.
Betul saja, jalan tembus itu terasa lebih pendek. Tak berapa lama, sampailah kurir muda itu ke pos pengiriman barang. Kepala petugas menyambutnya. "Bagaimana perjalananmu, sudahkah kamu melewati jalan rahasia dari pak tua itu?” Si kurir muda bingung, "Dari mana Bapak tahu jalan itu?" tanyanya. "Hahaha…. Sudah kuduga kamu akan bertanya. Pak Tua itu sebenarnya adalah bekas kepala kurir di desa ini. Begitulah cara kami di sini mendidik setiap kurir muda. Mereka akan selalu mengeluh setiap kali ditugasi ke sana. Tapi, saat kembali, semuanya pasti berubah. Jalan rahasia itu selalu ampuh, tempat itu adalah obat bagi orang yang kelelahan. Jalan itu seperti penyembuh bagi setiap orang-orang sepertimu."

Kepala kurir itu kembali bertanya, "Anak muda, belajar apa kamu hari ini?” Kurir muda itu menjawab, "Hmm.… Aku belajar untuk tak menolak setiap tantangan yang ada di depanku.” "Kamu benar, tapi bukan itu saja. Ketahuilah, selalu ada balasan atas semua yang kamu lakukan dalam hidup ini. Sebab, hidup adalah seperti mengantarkan barang kiriman, selalu ada godaan untuk berhenti dan tak mau melanjutkan. Karena itu, jangan berhenti untuk mencapai tujuanmu. Balasan dan imbalan itu bukan ada di tengah perjalanan, tapi saat kaki menjejak di tempat yang dituju." Kurir muda itu tersenyum. Ia berjanji dalam hati untuk tidak mengeluh atas setiap tugas yang diberikan. Karena ia percaya, selalu ada balasan bagi setiap usaha yang dilakukan.
Readmore »»

Pasir dan Batu

Ada dua orang pengembara sedang melakukan perjalanan. Mereka tengah melintasi padang pasir yang sangat luas. Sepanjang mata memandang hanya ada pasir membentang.
Jejak-jejak kaki mereka meliuk-liuk di belakang. Membentuk kurva yang berujung di setiap langkah yang mereka tapaki. Debu-debu pasir yang beterbangan memaksa mereka berjalan merunduk.
Tiba-tiba badai datang. Hembusannya membuat tubuh dua pengembara itu limbung. Pakaian mereka mengelepak, menambah berat langkah mereka yang terbenam di pasir. Mereka saling menjaga dengan tangan berpegangan erat. Mereka mencoba melawan ganasnya badai.
Badai reda. Tapi, musibah lain menimpa mereka. Kantong bekal air minum mereka terbuka saat badai tadi. Isinya tercecer. Entah gundukan pasir mana yang meneguknya. Kedua pengembara itu duduk tercenung, menyesali kehilangan itu. “Ah.., tamat riwayat kita,” kata seorang di antara mereka, kita sebut saja pengembara pertama. Lalu ia menulis di pasir dengan ujung jarinya. “Kami sedih. Kami kehilangan bekal minuman kami di tempat ini.”
Kawannya, si pengembara dua pun tampak bingung. Namun, mencoba tabah. Membereskan perlengkapannya dan mengajak kawannya melanjutkan perjalanan. Setelah lama menyusuri padang pasir, mereka melihat ada oase di kejauhan. “Kita selamat,” seru salah seorang di antara mereka. “Lihat, ada air di sana.”
Dengan sisa tenaga yang ada, mereka berlari ke oase itu. Untung, bukan fatamorgana. Benar-benar sebuah kolam. Kecil tapi airnya cukup banyak. Keduanya pun segera minum sepuas-puasnya dan mengisi kantong air.
Sambil beristirahat, pengembara pertama mengeluarkan pisau genggamnya dan memahat di atas sebuah batu. “Kami bahagia. Kami dapat melanjutkan perjalanan karena menemukan tempat ini.” Itu kalimat yang dipahatnya.
Pengembara kedua heran. “Mengapa kini engkau menulis di atas batu, sementara tadi kau menulis di pasir?”
Yang ditanya tersenyum. “Saat kita mendapat kesusahan, tulislah semua itu di pasir. Biarkan angin keikhlasan membawanya jauh dari ingatan. Biarkan catatan itu hilang bersama menyebarnya pasir ketulusan. Biarkan semuanya lenyap dan pupus,” jawabnya dengan bahasa cukup puitis. “Namun, ingatlah saat kita mendapat kebahagiaan. Pahatlah kemuliaan itu di batu agar tetap terkenang dan membuat kita bahagia. Torehlah kenangan kesenangan itu di kerasnya batu agar tak ada yang dapat menghapusnya. Biarkan catatan kebahagiaan itu tetap ada. Biarkan semuanya tersimpan.”
Keduanya bersitatap dalam senyum mengembang. Bekal air minum telah didapat, istirahat pun telah cukup, kini saatnya untuk melanjutkan perjalanan. Kedua pengembara itu melangkah dengan ringan seringan air yang bertiup mengiringi.

Teman, kesedihan dan kebahagiaan selalu hadir. Berselang-seling mewarnai panjangnya hidup ini. Keduanya mengguratkan memori di hamparan pikiran dan hati kita. Namun, adakah kita bersikap seperti pengembara tadi yang mampu menuliskan setiap kesedihan di pasir agar angin keikhlasan membawanya pergi? Adakah kita ini sosok tegar yang mampu melepaskan setiap kesusahan bersama terbangnya angin ketulusan?
Teman, cobalah untuk selalu mengingat setiap kebaikan dan kebahagiaan yang kita miliki. Simpanlah semua itu di dalam kekokohan hati kita agar tak ada yang mampu menghapusnya. Torehkan kenangan bahagia itu agar tak ada angin kesedihan yang mampu melenyapkannya. Insya Allah, dengan begitu kita akan selalu optimistis dalam mengarungi panjangnya hidup ini.
Readmore »»

Dua Ekor Singa

Suatu sore di tengah telaga terlihat dua orang sedang memancing. Tampaknya mereka ayah dan anak yang sedang menghabiskan waktu bersama. Di atas perahu kecil, keduanya sibuk mengatur joran dan umpan. Air telaga bergoyang perlahan, membentuk riak. Gelombangnya mengalun menuju tepian, menyentuh sayap-sayap angsa yang sedang berjalan beriringan. Suasana begitu tenang hingga terdengar sebuah percakapan.
"Ayah."
"Hmm…, ya." Sang ayah menjawab pelan. Matanya tetap tertuju pada ujung kailnya yang terjulur.
"Beberapa malam ini," ucap sang anak, "aku bermimpi aneh. Dalam mimpiku ada dua ekor singa yang tampak sedang berkelahi dalam hatiku. Gigi-gigi mereka terlihat runcing dan tajam. Keduanya sibuk mencakar dan menggeram seperti saling ingin menerkam. Mereka tampak ingin saling menjatuhkan."
Anak muda ini terdiam sesaat, lalu melanjutkan ceritanya. "Singa yang pertama terlihat baik dan tenang. Geraknya perlahan namun pasti. Badannya pun kokoh, bulunya teratur. Walaupun suaranya keras, tapi terdengar menenangkan buatku."
Ayah menoleh dan meletakkan pancingnya di pinggir haluan.
"Tapi, Ayah, singa yang satu lagi menakutkan. Geraknya tak beraturan, sibuk menerjang ke sana ke mari. Punggung kotor, bulunya koyak, suaranya parau dan menyakitkan.
“Aku bingung apa maksud mimpi itu. Apakah singa-singa itu gambaran dari sifat-sifat baik dan buruk yang aku miliki? Dan, singa mana yang akan memenangkan pertarungan itu karena sepertinya mereka sama-sama kuat?
Melihat anaknya yang baru beranjak dewasa itu bingung, sang Ayah mulai angkat bicara. Dipegangnya punggung pemuda gagah di depannya. Sambil tersenyum, si ayah berkata, "Pemenangnya adalah yang paling sering kamu beri makan."
Ayah kembali tersenyum dan mengambil pancingnya. Lalu, dengan satu hentakan kuat dilontarkannya ujung kail itu ke tengah telaga. Tercipta kembali pusaran-pusaran air yang tampak membesar. Gelombang riak itu kembali menerpa sayap-sayap angsa putih di tepian telaga.

Teman, begitulah adanya. Setiap diri kita punya dua ekor "singa" yang selalu bersaing. Keduanya selalu berusaha untuk saling menjatuhkan. Mereka berusaha untuk menjadi pemimpin bagi yang lainnya. Pertarungan di antara mereka tak pernah tuntas karena selalu saja terjadi pergiliran kemenangan. Kalah-menang dalam persaingan itu layaknya mata koin yang selalu berganti-ganti. Dan kita sering dibuat bingung, sebab kedua kekuatan baik-buruk ini terlihat sama kuatnya.
Tapi, siapakah pemenangnya saat ini dalam diri Anda? Singa yang kokoh dengan bulu yang teratur ataukah singa yang berbulu koyak dan menakutkan? Lalu, singa macam apa yang kini sedang menguasai Anda, "singa" yang optimis, pantang menyerah, tekun, sabar, damai, rendah hati, dan toleran, ataukah "singa" yang pesimis, tertekan, mudah menyerah,
sombong dan penuh dengki?
Saya percaya, kita sendirilah yang menentukan kemenangan bagi kedua singa-singa itu. Jika kita sering memberi "makan" pada singa yang damai tadi, maka imbalan kebaikanlah yang akan kita dapatkan. Jika kita terbiasa untuk memupuk optimis dan pantang menyerah, maka "singa" keberhasilan lah yang akan kita peroleh. Namun sebaliknya, jika setiap saat kita memendam marah, menebar prasangka dan dengki, bersikap tak sabar dan mudah menyerah, maka akan jelaslah "singa" macam apa yang jadi pemenangnya.
Teman, biarkan "singa-singa" penuh semangat hadir dalam jiwa Anda. Rawatlah singa-singa itu dengan keluhuran budi, dan kebersihan nurani. Susunlah bulu-bulu kedamaiannya, cermati terus rahang persahabatannya. Perkuat punggung optimisnya, dan pertajam selalu kuku-kuku kesabaran miliknya. Biarkan singa ini yang jadi pemenang.
Namun, jangan biarkan "singa-singa" pemarah menguasai pikiran Anda. Jangan pernah berikan kesempatan bagi kedengkian itu untuk membesar dan menjadi penghalang keberhasilan. Jangan biarkan rasa pesimis, jiwa yang gundah, tak sabar, dan rendah diri menjadi pemimpin bagi Anda.
Saya percaya, imbalan yang kita peroleh adalah gambaran dari apa yang kita berikan hari ini. Lalu, singa mana yang akan Anda beri makan hari ini?
Readmore »»

Perajin Emas dan Kuningan

Di sebuah negeri hiduplah dua orang perajin yang tinggal bersebelahan. Mereka adalah perajin emas dan perajin kuningan. Keduanya telah lama menjalani pekerjaan itu, sebab itu pekerjaan yang diwariskan secara turun-temurun. Telah banyak pula barang yang dihasilkan: cincin, kalung, gelang, dan untaian rantai penghias.

Setiap akhir bulan mereka membawa hasil kerja itu ke kota. Hari pasar, demikian mereka menyebut hari itu. Mereka akan menjual barang-barang logam itu dan membeli keperluan selama sebulan. Beruntunglah pekan depan akan ada tetamu agung datang mengunjungi kota dan bermaksud memborong barang-barang yang ada di sana. Kabar ini tentu membuat mereka senang. Tentu, berita itu mendorong para pedagang agar membuat lebih banyak barang untuk dijajakan. Tak terkecuali dua orang perajin yang menjadi tokoh kita ini.

Siang-malam terdengar suara logam ditempa. Tungku-tungku api seakan tak pernah padam. Kayu bakar yang membara seakan semangat keduanya. Percik-percik api yang timbul tak pernah di hiraukan mereka. Keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sudah puluhan cincin, kalung, dan untaian rantai penghias yang dihasilkan. Hari pasar makin dekat. Dan, lusa adalah waktu yang tepat untuk berangkat ke kota.

Hari pasar telah tiba dan keduanya pun sampai di kota. Hamparan terpal telah digelar, tanda barang dagangan siap dijajakan. Keduanya pun berjejer berdampingan. Tampaklah barang-barang logam yang telah dihasilkan. Namun, ah sayang, ada kontras di antara keduanya. Walaupun terbuat dari logam mulia, barang-barang yang dibuat oleh pengrajin emas tampak kusam. Warnanya tak berkilau. Ulir-ulirnya kasar. Pokok-pokok simpul rantai tak rapi. Seakan pembuatnya adalah seorang yang tergesa-gesa.

“Ah, biar saja,” demikian ucapan yang terlontar saat pengrajin kuningan menanyakan kenapa perhiasaannya kawannya itu tampak kusam. “Setiap orang akan memilih daganganku, sebab emas selalu lebih baik dari kuningan,” ujar pengrajin emas lagi. “Apalah artinya loyang buatanmu dibanding logam mulia yang kupunya. Aku akan membawa uang lebih banyak darimu.”

Pengrajin kuningan hanya tersenyum. Ketekunannya mengasah logam membuat semua hasil karyanya lebih bersinar. Ulir-ulirnya halus. Lekuk-lekuk cincin dan gelang buatannya terlihat seperli lingkaran yang tak putus. Liku-liku rantai penghiasnya pun lebih sedap dipandang mata.

Ketekunan memang mahal. Hampir semua orang yang lewat tak menaruh perhatian kepada pengrajin emas. Mereka lebih suka mendatangi cincin dan kalung kuningan. Begitupun tetamu agung yang berkenan datang. Mereka pun lebih menyukai benda-benda kuningan itu dibandingkan dengan logam mulia. Sebab, emas itu tidaklah cukup mereka tertarik dan mau membelinya. Sekali lagi, terpampang kekontrasan di hari pasar
itu. Perajin emas tertegun diam dan perajin kuningan yang tersenyum senang.

Hari pasar usai. Para tetamu telah kembali pulang. Kedua perajin itu pun telah selesai membereskan dagangan. Dan, keduanya mendapat pelajaran dari apa yang telah mereka lakukan hari itu.

Teman, ketekunan memang mahal. Tak banyak orang yang bisa menjalaninya. Begitupun kemuliaan dan harga diri. Tak banyak orang menyadari bahwa kedua hal itu tak berasal dari apa yang kita sandang hari ini. Setidaknya tindak-laku kedua perajin di atas adalah potongan siluet kehidupan kita.

Ketekunan adalah titian panjang yang licin berliku. Seringkali jalan panjang itu membuat kita terpelincir dan jatuh. Sering pula titian itu menjadi saringan penentu bagi setiap orang yang hendak menuju kebahagiaan di ujung simpulnya. Namun percayalah, ada balasan bagi ketekunan. Di ujung sana ada sesuatu yang menunggu setiap orang yang mau menekuni jalan itu.

Emas dan kuningan tentu punya nilai yang berbeda. Tapi, apakah kemuliaan dinilai hanya dari apa disandang keduanya? Apakah harga diri hanya ditunjukkan dari simbol-simbol yang tampak di luar? Sebab, kita sama-sama belajar dari perajin kuningan bahwa loyang kadang bernilai lebih dibanding logam mulia. Dan juga bahwa kemuliaan adalah buah dari ketekunan.

Bisa jadi saat ini kita pandai, kaya, punya kedudukan yang tinggi, dan hidup sempurna layaknya emas mulia. Namun, adakah semua itu berharga jika ulir-ulir hati kita kasar dan kusam? Adakah itu mulia jika lekuk-lekuk kalbu kita koyak dan penuh dengan tonjolan-tonjolan kedengkian? Adakah itu semua punya harga jika pokok-pokok simpul jiwa yang kita punya tak di penuhi dengan simpul-simpul ikhlas dan perangai nan luhur?

Teman, mari kita asah kalbu dan hati kita agar bersinar mulia. Mari kita bentuk ulir dan lekuk-lekuk jiwa kita dengan ketekunan agar menampilkan cahaya-Nya. Susunlah simpul-simpul itu dengan jalinan keluhuran budi dan perilaku. Tempalah dengan kesungguhan diri agar hati kita tak keras dan menjadi lembut, luwes, serta mampu memenuhi hati orang lain. Percayalah, ada imbalan untuk semua itu. Amin.
Readmore »»

Benih

Ada pohon rindang. Di bawahnya dua orang yang sedang beristirahat. Tampaknya mereka ayah dan anak. Sang ayah seorang pedagang. mereka kelelahan sehabis berdagang di kota. Dengan menggelar sehelai tikar, duduklah mereka di bawah pohon besar itu.

Angin semilir membuat sang pedagang mengantuk. Namun, tidak demikian dengan anaknya yang masih belia. "Ayah, aku ingin bertanya..." katanya mengusik ambang sadar ayahnya. "Kapan aku besar, Ayah? Kapan aku bisa kuat seperti Ayah dan bisa membawa dagangan kita ke kota?

"Sepertinya,” lanjut sang bocah, "aku tak akan bisa besar. Tubuhku ramping seperti Ibu, berbeda dengan Ayah yang tegap dan berbadan besar. Kupikir, aku tak akan sanggup memikul dagangan kita jika aku tetap seperti ini." Jari tangannya tampak mengores-gores sesuatu di atas tanah. Lalu, ia kembali melanjutkan, "Bilakah aku bisa punya tubuh besar sepertimu, Ayah?”

Sang Ayah yang awalnya mengantuk kini tampak siaga. Diambilnya sebuah benih dari tanah yang sebelumnya di kais-kais anaknya. Diangkatnya benih itu dengan ujung jari telunjuk. Benda itu terlihat seperti kacang kecil di tangan sang pedagang yang besar. Setelah itu, ia pun berujar ke anaknya.

"Nak, jangan pernah malu dengan tubuhmu yang kecil. Pandanglah pohon besar tempat kita berteduh ini. Tahukah kamu, batangnya yang kokoh ini dulu berasal dari benih yang sekecil ini. Dahan, ranting, dan daunnya juga berasal dari benih yang Ayah pegang ini. Akar-akarnya yang tampak menonjol juga dari benih ini. Dan, kalau kamu menggali tanah ini, ketahuilah, sulur-sulur akarnya yang menerobos tanah juga berasal dari tempat yang sama.”

Diperhatikannya wajah sang anak yang tampak tertegun. "Ketahuilah, Nak, benih ini menyimpan segalanya. Benih ini menyimpan batang yang kokoh, dahan yang rindang, daun yang lebar, juga akar-akar yang kuat. Dan untuk menjadi sebesar pohon ini, ia hanya membutuhkan angin, air, dan cahaya matahari yang cukup. Namun jangan lupakan waktu yang membuatnya terus bertumbuh. Pada mereka semualah benih ini berterima kasih karena telah melatihnya menjadi mahluk yang sabar.”

"Suatu saat nanti kamu akan besar, Nak. Jangan pernah takut untuk berharap menjadi besar karena bisa jadi itu hanya butuh ketekunan dan kesabaran."

Terlihat senyuman di wajah mereka. Lalu keduanya merebahkan diri, meluruskan pandangan ke langit lepas, membayangkan berjuta harapan dan impian dalam benak. Tak lama berselang, keduanya pun terlelap dalam tidur, melepaskan lelah mereka setelah seharian bekerja.

Teman, pedagang itu benar. Jangan pernah merasa malu dengan segala keterbatasan. Jangan merasa sedih dengan ketidaksempurnaan. Karena, Allah menciptakan kita penuh dengan keistimewaan. Dan, Allah memang menyiapkan kita menjadi mahluk dengan berbagai kelebihan.

Mungkin suatu ketika kita pernah merasa kecil, tak mampu, tak berdaya dengan segala persoalan hidup. Kita mungkin sering bertanya-tanya, kapan kita menjadi besar dan mampu menggapai semua impian, harapan, dan keinginan yang ada dalam dada. Kita juga bisa jadi sering membayangkan, bilakah saatnya berhasil? Kapankah saat itu akan datang?

Teman, kita adalah layaknya benih kecil itu. Benih yang menyimpan semua kekuatan dari batang yang kokoh, dahan yang kuat, serta daun-daun yang lebar. Dalam benih itu pula akar-akar yang keras dan menghujam itu berasal. Namun, akankah Allah membiarkan benih itu tumbuh besar, tanpa alpa dengan bantuan tiupan angin, derasnya air hujan, dan teriknya sinar matahari?

Begitupun kita, akankah Allah membiarkan kita besar, berhasil, dan sukses tanpa pernah merasakan ujian dan cobaan? Akankah Allah lupa mengingatkan kita dengan hembusan angin "masalah", derasnya air "ujian" serta teriknya matahari "persoalan"? Tidak Teman. Karena Allah Mahatahu bahwa setiap hamba-Nya akan menemukan jalan keberhasilan, maka Allah tak akan pernah lupa dengan itu semua.

Jangan pernah berkecil hati. Semua keberhasilan dan kesuksesan itu telah ada dalam dirimu, Teman.
Readmore »»

Warna

Ada dua orang anak selalu berkelahi. Mereka selalu berselisih paham. Dalam banyak hal, mereka tak pernah akur. Saat yang satu berpendapat A, maka yang lainnya pasti punya pendapat yang berbeda. Mereka lakukan hal ini dimana saja. Di sekolah, di rumah, ataupun di tempat bermain. Tentu saja, hal itu sangat merepotkan guru mereka. Karena, mengganggu orang lain.

Suatu pagi ibu guru memanggil kedua anak itu. Ia meminta mereka masuk ke dua ruangan berbeda. Ruangan itu hanya dipisahkan sebuah tembok, namun ibu guru masih dapat melihat apa yang dilakukan mereka berdua dari kejauhan.

Di ruangan itu terdapat meja dengan selembar kertas yang terhampar di atasnya. Ibu guru meminta mereka menyebutkan apa warna kertas itu. Ah, lagi-lagi mereka berselisih paham. Anak yang pertama bilang, "Kertas itu putih!" Dari ruangan sebelahnya terdengar teriakan, "Bukan, bukan putih, kertas itu berwarna hitam.” Putih! Hitam! Putih!!! Hitam!!! Terdengar suara saling bersahutan.

Suara itu semakin riuh. Kedua anak itu makin sengit. "Hei, dasar buta warna, apa kamu tidak bisa melihat? Kertas itu putih, tau!” Anak kedua tak mau kalah. "Buta warna? Hei, apa kamu tidak bisa membedakan antara hitam dan putih? Jelas-jelas itu kertas hitam."

Mendengar itu semua, ibu guru berkata, "Tenang, tenang, anak-anak.
Sekarang, coba, kalian kemari." Ia mengajak kedua anak itu menghampirinya. "Nah, sekarang, coba kalian berpindah tempat dan katakan apa warna kertas yang ada di atas meja itu.”

Kedua anak itu menurut. Mereka berpindah ruangan. Anak yang pertama berkata."hmm.hii.hii..hitam, Bu.” Di ruangan lain terdengar suara yang serupa. Anak yang kedua berkata, "Putih, Bu."

Keduanya benar. Ternyata, ibu guru menyiapkan dua kertas yang berbeda buat mereka. Ia agaknya ingin memberikan hikmah bahwa saat mereka berselisih paham bisa jadi sesungguhnya kedua anak itu benar. Tak ada yang salah dengan pendapat mereka, hanya mereka mungkin melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda saja.

Teman, begitulah kita. Kita seringkali seperti dua anak kecil yang sering berselisih paham. Kita kerap berseteru, bermusuhan, dan tak pernah akur dalam banyak hal, dalam banyak situasi. Sayangnya, kita kerap pula tak mau mengalah, tak mau memahami, tak mau mengerti, dan tak mau mendengarkan "suara" orang lain. Kita sering berpatokan pada diri sendiri dan menganggap semua pendapat kita adalah benar adanya.

Memang, ya, memang, tak pernah ada kata keliru untuk berbeda pendapat. Tak ada yang salah dengan keragaman. Namun, agaknya kita harus lebih sering untuk bersatu dalam beberapa saat. Kita harus lebih sering untuk mau mengerti, mau memahami, dan mau mendengarkan orang lain. Kita harus lebih sering untuk mau "mengintip" ruangan lain, sebelum kita mulai "menyebutkan warna".

Kadang, kita terlalu tinggi hati untuk mengakui kebenaran orang lain. Kita enggan untuk menyetujui pendapat mereka. Bukan karena pendapat mereka salah, tetapi karena kita tak mau merasa dikalahkan. Kita sering terpesona dengan rasa picik dan tak suka jika ada orang yang lebih baik. Kita memilih untuk tetap berpatokan pada diri sendiri dan membenarkan semua langkah yang kita perbuat.

Saya yakin akan selalu ada kebenaran jika kita memandang dengan cara yang berbeda, persepsi yang berbeda, dan sudut pandang yang berbeda. Sebab, menurut saya, tak ada kebenaran yang hakiki, kecuali milik Ilahi Rabbi.

Teman, cobalah untuk memahami persepsi orang lain sebelum kita berselisiih paham.
Readmore »»

Pendaki

Ada seorang pendaki gunung sedang bersiap-siap melakukan perjalanan. Di punggungnya, ada ransel dan beragam carabiner (pengait). Tak lupa tali-temali tersusun melingkar di sela-sela bahunya. Pendakian kali ini cukup berat. Jadi, persiapannya harus lebih lengkap.

Kini, di hadapan pendaki itu menjulang sebuah gunung yang tinggi. Puncaknya tak terlihat. Tertutup salju yang putih. Awan yang berarak di sekitarnya, membuat tak seorang pun tahu apa yang tersembunyi di sana.

Mulailah pendaki itu melangkah, menapaki jalan-jalan bersalju yang terbentang di hadapannya. Tongkat berkait yang disandangnya menancap setiap kali ia mengayunkan langkah.

Setelah beberapa berjam-jam berjalan, mulailah ia menghadapi dinding yang terjal. Tak mungkin baginya untuk terus melangkah. Dipersiapkannya tali-temali dan pengait di punggungnya. Tebing itu terlalu curam. Ia harus mendaki dengan tali-temali itu. Setelah beberapa kait ditancapkan, tiba-tiba terdengar gemuruh datang dari atas. Astaga, ada badai salju datang tanpa diundang!

Longsoran salju meluncur deras. Menimpa tubuh sang pendaki. Bongkah-bongkah salju yang mengeras, terus berjatuhan disertai deru angin yang membuat tubuhnya terhempas ke arah dinding.

Badai itu terus berlangsung selama beberapa menit. Namun, untunglah tali-temali dan pengait telah menyelamatkan tubuhnya dari dinding yang curam itu. Semua perlengkapannya hilang. Hanya tersisa sebilah pisau di
pinggangnya. Sang pendaki itu tergantung terbalik di dinding yang terjal itu.

Pandangannya kabur. Semua tampak memutih. Ia tak tahu di mana berada. Sang pendaki cemas. Ia berkomat-kamit, memohon doa kepada
Tuhan agar diselamatkan dari bencana. Mulutnya terus bergumam, berharap ada pertolongan Tuhan datang padanya.

Suasana hening setelah badai. Di tengah kepanikan itu, terdengar suara dari hati kecilnya yang menyuruhnya melakukan sesuatu. "Potong tali
itu! Potong tali itu!” Terdengar senyap melintasi telinganya.

Sang pendaki bingung, apakah ini perintah dari Tuhan? Apakah suara ini adalah pertolongan dari Tuhan? Tapi bagaimana mungkin, memotong tali yang telah menyelamatkannya, sementara dinding ini begitu terjal? Pandanganku terhalang oleh salju ini, bagaimana aku bisa tahu?

Banyak sekali pertanyaan dalam dirinya. Lama ia ragu untuk mengambil keputusan. Lama. Ia tak mengambil keputusan apa-apa....

Beberapa minggu kemudian, seorang pendaki menemukan ada tubuh tergantung terbalik di sebuah dinding terjal. Tubuh itu beku. Tampak nya ia meninggal karena kedinginan. Sementara, batas tubuh itu dengan tanah hanya berjarak 1 meter saja!

Teman, kita mungkin kita akan berkata, betapa bodohnya pendaki itu karena tak mau menuruti kata hatinya. Kita mungkin akan menyesalkan tindakan pendaki itu yang tak mau memotong saja tali pengaitnya. Pendaki itu tentu akan selamat dengan membiarkan dirinya jatuh ke tanah yang hanya berjarak 1 meter. Ia tentu tak harus mati kedinginan.

Begitulah, kadang kita berpikir, mengapa Allah tampak tak melindungi hamba-Nya? Kita mungkin sering merasa, mengapa ada banyak sekali beban, masalah, hambatan yang kita hadapi dalam mendaki jalan kehidupan ini. Kita sering mendapati ada banyak sekali badai salju yang terus menghantam tubuh kita. Mengapa tak disediakan saja jalan lurus tanpa perlu menanjak agar kita terbebas dari semua halangan itu?

Namun, Teman, cobaan yang diberikan Allah buat kita adalah latihan. Hanya ujian. Kita adalah layaknya besi-besi yang ditempa. Kita adalah seperti pisau-pisau yang terus diasah. Sesungguhnya, di semua ujian dan latihan itu, tersimpan petunjuk. Ada tersembunyi tanda-tanda, asal KITA PERCAYA. Ya, asal kita percaya.

Seberapa besar rasa percaya kita kepada Allah sehingga mampu membuat kita memutuskan "memotong tali pengait" saat tergantung terbalik? Seberapa besar rasa percaya kita kepada Allah hingga kita mau menyerahkan semua yang ada pada diri kita kepada-Nya?

Teman, percayalah, akan ada petunjuk-petunjuk Allah dalam setiap langkah kita menapaki jalan kehidupan ini. Carilah, gali, dan temukan rasa percaya itu dalam hatimu. Sebab, saat kita telah percaya, maka petunjuk itu akan datang dengan tanpa disangka.
Readmore »»

Katak Lompat

Ada sekelompok katak melintasi hutan. Mereka berjalan beriringan. Hop… hop… lompat… lompat…. Begitu cara mereka berjalan. Tapi, plung! Tiba-tiba dua katak jatuh ke lubang yang dalam.

Semua bingung. Mereka berkumpul di pinggir lubang itu. Mereka melonggok ke bawah. Betapa dalamnya lubang itu. Semua berpikir kedua katak itu pasti sudah mati. Namun mereka keliru. Terdengar suara dari bawah sana. Tolong... tolong…. Ada teriakan minta tolong.

Tak ada yang dapat mereka lakukan. Lubang itu terlalu dalam bagi seekor katak. Mereka yang di pinggir lubang sudah kehilangan semangat. Mereka berseru, tak ada gunanya berusaha, sebab kecil kemungkinan bagi keduanya untuk selamat. Mereka mengatakan, setiap katak yang terjatuh ke dalam lubang itu pasti mati.

Namun, kedua katak itu tidak menghiraukan mereka. Keduanya mencoba melompat dan terus melompat agar dapat mencapai bibir lubang. Mereka lakukan berbagai cara agar dapat keluar dari lubang tersebut.

Akan tetapi, semua katak yang di atas telah patah semangat. Mereka tetap menyarankan agar keduanya berhenti berusaha. Sebab, tak ada yang pernah berhasil keluar dari lubang itu sebelumnya. "Hentikan perbuatan itu," teriak mereka. "Kalian hanya membuang tenaga dengan melompat-lompat seperti itu. Kalau tak mati kelaparan, kalian pasti akan mati kelelahan."

Akhirnya, salah satu dari dua katak itu yang menyerah. Katak ini berpendapat, ia pasti tak akan berhasil. Semua temannya pun berpendapat yang sama. Tak ada yang pernah selamat dari lubang ini. Begitu pikir sang katak pertama. Ia lalu melompat, terjatuh, dan akhirnya mati.

Namun, katak yang kedua tetap melanjutkan usahanya. Ia terus melompat dan melompat. Sekali lagi, kumpulan katak yang ada di atas berteriak agar ia menghentikan usahanya. Mereka terus memperingatkan sang katak ini. "Sudah…, sudahlah! Hentikan perbuatan bodoh itu. Jangan pernah berpikir untuk berhasil. Lubang ini terlalu dalam buat seekor katak sepertimu." Begitu teriak mereka bersama-sama.

Sang katak itu berusaha lebih keras dan lebih keras. Akhirnya ia berhasil. Sebuah lompatan tinggi membuatnya dapat mencapai pinggir lubang. Plop! Sang katak sampai di atas kembali.

Sesampai di atas, teman-temannya berseru, "Hei, apakah kamu tidak mendengarkan kita semua?"

Katak itu malah berkata, "Sobat, terima kasih atas sorakan-sorakan itu."

Lho? Semuanya saling berpandangan. Tapi, tak lama kemudian mereka mengerti. Katak kedua itu tuli! Ia menyangka teman-temannya bersorak menyemangatinya agar terus mencoba melompat.


Teman, kisah ini mengajarkan kita dua hal. Pertama, ada kekuatan antara hidup dan mati di sebuah ucapan. Kata-kata yang berisi semangat kepada seseorang yang sedang lara dan dirundung kemalangan akan dapat membuatnya nyaman. Kata-kata yang menyejukkan akan dapat membuatnya melewati hari-hari dengan lebih cerah.

Kedua, kata-kata yang memojokkan, yang hanya bercerita tentang kemalangan, akan "membunuh" orang lain. Kata-kata itu hanya akan membuat orang yang sedang dilanda kesedihan, menjadi patah semangat.

Teman, berhati-hatilah pada setiap kata yang kita ucapkan. Kata-kata yang kita ucapkan sangat berpengaruh kepada orang lain. Kata-kata itu bisa membuat orang frustasi, pesimis, dan enggan berusaha. Sangat sayang seandainya semua ucapan itu hanya akan merenggut jiwa-jiwa pantang menyerah yang sebenarnya ada di dalam raga.

Terpujilah mereka yang dapat membuat hidup orang lain lebih cerah, lebih nyaman, lebih indah, dan lebih menyenangkan. Karena, hidup itu indah.
Readmore »»

Si Peniru

Di sebuah sekolah diadakan pementasan drama. Pentas drama meriah itu dimainkan oleh siswa-siswi. Setiap anak mendapat peran dan memakai kostum sesuai dengan tokoh yang diperankannya. Semuanya tampak serius, sebab Pak Guru akan memberikan hadiah kepada anak yang tampil terbaik dalam pentas. Sementara di depan panggung semua orang tua murid hadir menyemarakkan acara itu.

Lakon drama berjalan sempurna. Semua anak tampil maksimal. Ada yang berperan sebagai petani lengkap dengan cangkul dan topinya, ada juga yang menjadi nelayan dengan jala disampirkan di bahu. Di sudut sana tampak pula seorang anak dengan raut muka ketus, sebab kebagian peran pak tua yang pemarah. Sementara di sudut lain terlihat anak dengan wajah sedih layaknya si pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan para orangtua dan guru kerap terdengar.

Tibalah kini akhir pementasan. Saatnya Pak Guru mengumumkan siapa yang berhak mendapat hadiah. Setiap anak berdebar-debar. Berharap terpilih menjadi pemain drama terbaik. Mereka komat-kamit berdoa supaya Pak Guru menyebutkan nama mereka dan mengundang ke atas panggung untuk menerima hadiah. Para orangtua pun ikut berdoa, berharap anak mereka menjadi yang terbaik.

Pak Guru naik panggung. Ia menyebutkan sebuah nama. Ahha... ternyata anak yang menjadi pak tua pemarah lah yang menjadi juara. Dengan wajah berbinar, sang anak bersorak gembira. "Aku menang...," begitu teriaknya. Ia pun bergegas naik panggung diiringi kedua orang tuanya yang tampak bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Orang tua anak itu menatap sekeliling, menatap ke seluruh hadirin. Mereka bangga.

Pak Guru menyambut mereka. Sebelum menyerahkan hadiah, ia bertanya, "Nak, kamu memang hebat. Kamu pantas mendapatkannya. Peranmu sebagai seorang pemarah terlihat bagus sekali. Apa rahasianya sehingga kamu bisa tampil sebaik itu? Kamu pasti rajin mengikuti latihan. Coba kamu ceritakan kepada kami semua, apa yang bisa membuat kamu seperti ini."

Sang anak menjawab, "Terima kasih atas hadiahnya, Pak. Dan sebenarnya saya harus berterima kasih kepada ayah saya. Karena, dari Ayah lah saya belajar berteriak dan menjadi pemarah. Kepada Ayah lah saya meniru perilaku ini. Ayah sering berteriak kepada saya, maka bukan hal yang sulit untuk menjadi pemarah seperti ayah." Tampak sang Ayah yang mulai tercenung. Sang anak melanjutkan, "Ayah membesarkan saya dengan cara seperti itu. Jadi, peran ini adalah sangat mudah buat saya."

Senyap. Usai bibir anak itu terkatup keadaan tambah senyap. Begitupun kedua orang tua anak itu. Mereka tertunduk. Jika sebelumnnya mereka merasa bangga, kini keadaannya berubah. Mereka berdiri bagai terdakwa di muka pengadilan. Mereka belajar sesuatu hari ini. Ada yang perlu diluruskan dalam perilaku mereka.

Teman, anak adalah duplikat orang di sekitarnya. Setiap anak peniru. Mereka belajar sesuatu dengan menjadikan kita sebagai contoh. Karena itu, mereka juga cermin bagi kita. Tempat kita berkaca semua hal yang kita lakukan. Mereka laksana air telaga yang merefleksikan bayangan saat kita menatap dalam hamparan perilaku yang mereka perbuat.

Dan, cermin itu meniru pada semua hal, baik-buruk, terpuji-tercela. Jadi, cermin itu pancaran sejati setiap benda di depannya. Kita tentu tak bisa memecahkan cermin atau mengoyak ketenangan telaga itu saat melihat gambaran buruk. Sebab, bukankah itu sama artinya dengan menuding diri sendiri?

Teman, peran apakah yang sedang kita ajarkan kepada anak-anak kita saat ini? Si pemarah atau si welas asih?

Semoga kita bisa menjadi orang yang sabar saat melihat seorang anak memecahkan piring yang mereka pegang. Sebab, mereka baru "belajar" memegang piring itu 5 tahun, sedang kita 20 tahun. Tentu mereka butuh waktu seperti juga kita ketika masih kecil seperti mereka.
Readmore »»

Batu

Suatu ketika ada seorang wanita bijak mendaki gunung. Tanpa disengaja ia menemukan sebongkah batu yang sangat berharga. “Pualam yang indah tentu mahal harganya,” ujarnya.Dia lalu menyimpan batu itu di tempat makanannya.

Tak lama berselang, ia bertemu dengan seorang pendaki lain yang sedang kelaparan. Sang wanita membuka kotak makanannya dan membagi bekal tersebut. Si pendaki yang lapar itu melihat batu pualam. Ia bertanya, apakah ia dapat memiliki pualam indah itu.

Sang wanita mengangguk dan memberikan pualam itu tanpa ragu.

Sang pendaki tentu senang sekali dengan pemberian ini. Dia bersorak dalam hati dan membayangkan pualam itu akan membuat hidupnya terjamin. Dia pasti tak perlu bersusah payah bekerja dan dapat kaya dengan menjual pualam itu. Dia lalu meminta ijin untuk pergi dan melupakan lapar yang dirasakannya.

Namun, beberapa saat kemudian sang pendaki kembali lagi kepada wanita tadi. Dia berkata, "Aku berpikir pualam ini pasti sangat berharga. Namun akan kukembalikan, sebab aku berharap kamu dapat memberikan sesuatu yang lebih berharga. Agaknya, aku lebih memerlukan sepotong roti daripada batu ini. Dan, aku ingin tahu satu hal. Tolong ajari aku bagaimana anda dapat memberikan batu yang sangat berharga ini kepadaku tanpa ragu."

Teman, bisa jadi, tak ada beda antara kita dan si pendaki tadi. Kita kerap melupakan banyak hal untuk sebuah alasan sesaat. Tak jarang kita lebih mengutamakan ketamakan dan nafsu untuk sebuah masa depan. Seringkali, kita terpesona dengan kemilau "pualam" dan mahalnya "intan", namun melupakan "sepotong roti" dan kebijaksanaan si wanita tadi. Kita yang bodoh ini sering mengambil langkah dengan terburu-buru tanpa perhitungan, tanpa memandang jauh ke depan. Yang ada di depan mata hanyalah keuntungan seketika yang akan kita dapat.

Kita jarang untuk bersedekah, padahal harta itulah yang akan menolong kita kelak. Kita jarang untuk berbuat baik, padahal kita sama-sama tahu akan ada imbalan dari-Nya nanti. Kita jarang menolong teman dan tetangga dekat, padahal merekalah yang bisa kita minta bantuannya di kala susah. Kita jarang menanam bibit dan benih kebaikan, padahal rindangnya pohon kebajikan itulah yang akan melindungi kita dari terik dan hujan nestapa.

Sama halnya dengan pendaki tadi, kita memerlukan lebih dari sepotong roti untuk dapat bertahan hidup. Kita butuhkan lebih dari itu. Kita butuhkan kebijaksanaan dan kemurahan hati wanita tadi untuk dapat memberikan kebaikan pada setiap orang yang ditemuinya. Dan saya yakin, kita bisa mendapatkannya dalam hidup ini. Allah akan memberi cahaya buat kita. Nah, Teman, selamat berbagi.
Readmore »»

Kekuatan Cinta

Di Pegunungan Andes hidup dua suku. Satu tinggal di lembah, sedangkan satunya lagi di atas gunung. Suatu hari suku gunung menyerang suku lembah dan menjarah seluruh isi desa. Mereka menculik seorang bayi dari salah satu keluarga suku lembah dan membawanya ke atas gunung.
Orang-orang suku lembah tidak tahu bagaimana mendaki gunung. Mereka tidak tahu jalan mana yang digunakan oleh suku gunung. Mereka tidak tahu di mana letak desa suku gunung. Juga tidak tahu bagaimana mengikuti jejak-jejak suku gunung di tebing-tebing gunung itu. Meski begitu, mereka mengirim prajurit-prajurit terbaik mereka untuk memanjat gunung dan membawa pulang bayi mereka.
Prajurit pertama mencoba memanjat tebing diikuti yang lain. Ketika prajurit pertama gagal, mereka semua pun gagal. Mereka mencoba lagi dengan cara lain. Namun, gagal. Setelah berhari-hari mereka mendaki, mereka hanya bisa memanjat beberapa ratus kaki saja. Suku lembah kehilangan harapan dan putus asa. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke desa saja. Semua upaya dilakukan namun gagal.
Ketika mereka sedang bersiap-siap untuk kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat ibu bayi yang diculik itu sedang menuruni tebing gunung melewati mereka, sambil menggendong bayinya. Mereka terkejut sekali, bagaimana si ibu itu bisa menuruni tebing yang justru mereka sendiri gagal untuk mendakinya? Bagaimana si ibu itu bisa memanjat tebing-tebing itu mengalahkan mereka? Terlebih lagi, mereka melihat si bayi itu telah terselamatkan. Bagaimana mungkin?
Seorang prajurit menyambut ibu itu dan bertanya, "Wahai ibu, kami gagal mendaki tebing ini. Bagaimana kau melakukan semua ini, mengalahkan seluruh prajurit terkuat? Bagaimana bisa? Engkau belum pernah menjadi prajurit!"
Ibu itu mengangkat bahu dan berkata, "Sebab bayi yang diculik itu bukanlah bayimu. Dan, kalian semua belum pernah menjadi Ibu."
Burung tak pernah diajari untuk terbang dan ikan tak pernah belajar untuk berenang. Semuanya alami. Semua berasal dari naluri. Hal itu akan hadir pada setiap mahluk yang percaya akan kebesaran Allah. Hanya Allah lah yang memberikan kita kekuatan itu.

Dan, teman, cinta memberikan kekuatan. Sebab, cinta adalah kekuatan itu sendiri. Cinta seorang ibu adalah naluri, adalah alami, adalah sesuatu yang hadir dalam jiwa-jiwa yang penuh rasa cinta. Setiap Ibu, tak akan pernah diajari bagaimana mengasihi buah hatinya. Rasa itu akan hadir dengan sendirinya. Kita pun punya rasa itu. Asal kita mau menjalani semua garis-garis yang telah ditentukan-Nya.
Readmore »»

Cangkir yang Cantik

Sepasang kakek dan nenek pergi belanja ke sebuah toko suvenir untuk mencari hadiah buat cucu mereka. Kemudian mata mereka tertuju kepada sebuah cangkir yang cantik. "Lihat cangkir itu," kata si nenek kepada suaminya. "Kau benar, itu cangkir tercantik yang pernah aku lihat," ujar si kakek.

#Saat mereka mendekati cangkir itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud
berbicara. "Terima kasih untuk perhatiannya. Perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik. Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi, aku hanyalah seonggok tanah liat yang tidak berguna. Namun suatu hari ada seorang perajin dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah roda berputar.

Kemudian ia mulai memutar-mutar hingga aku merasa pusing. Stop! Stop! Aku berteriak, tetapi orang itu berkata, "Belum!" Lalu ia mulai menyodok dan meninjuku berulang-ulang. Stop! Stop! Teriakku lagi. Tapi orang ini masih saja meninjuku, tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku ke dalam perapian. Panas! Panas! Teriakku dengan keras. Stop! Cukup! Teriakku lagi. Tapi orang ini berkata, "Belum!"

Akhirnya, ia mengangkat aku dari perapian itu dan membiarkan aku sampai dingin. Aku pikir selesailah penderitaanku. Oh, ternyata belum. Setelah dingin aku diberikan kepada seorang wanita muda dan ia mulai mewarnai aku. Asapnya begitu memualkan. Stop! Stop! Aku berteriak.

Wanita itu berkata, "Belum!" Lalu ia memberikan aku kepada seorang pria dan ia memasukkan aku lagi ke perapian yang lebih panas dari sebelumnya! Tolong! Hentikan penyiksaan ini! Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya. Tapi, orang itu tidak peduli dengan teriakanku. Ia terus membakarku. Setelah puas "menyiksaku" kini aku dibiarkan dingin.

Setelah benar-benar dingin, seorang wanita cantik mengangkatku dan menempatkan aku dekat kaca. Aku melihat diriku. Aku terkejut sekali. Aku hampir tidak percaya karena di hadapanku berdiri sebuah cangkir yang begitu cantik. Semua kesakitan dan penderitaanku yang lalu menjadi sirna tatkala kulihat diriku.


Teman, seperti itulah Allah swt. membentuk kita. Pada saat Allah swt. membentuk kita, tidaklah menyenangkan, sakit, penuh penderitaan, dan banyak air mata. Tetapi, itulah cara mengubah kita agar menjadi cantik dan memancarkan kemuliaan-Nya.

Teman, anggaplah sebagai kebahagiaan apabila kamu jatuh ke dalam berbagai cobaan, sebab Anda tahu bahwa ujian menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya Anda menjadi sempurna, utuh, dan tak kekurangan suatu apapun.

Apabila Anda sedang menghadapi ujian hidup, jangan kecil hati karena Allah swt. sedang membentuk Anda. Bentukan-bentukan itu memang menyakitkan, tetapi setelah semua proses itu selesai Anda akan melihat betapa cantiknya Allah membentuk Anda.
Readmore »»

Uang Logam

Suatu ketika ada seorang anak menemukan sekeping uang logam. Dia sangat senang sekali dengan apa yang ditemukannya. Dia mendapatkan uang tanpa harus mengeluarkan tenaga. Tanpa bersusah payah dia dapat membeli apa yang diinginkannya dengan uang yang ditemukannya itu. Lalu dia berpikir untuk melakukan pekerjaan ini sampai sore nanti. Dia lalu menghabiskan hari itu dengan kepala menunduk, mata terbuka lebar, dan meneliti setiap pojok jalan dengan seksama.

Ya, anak itu melakukan kegiatan itu sampai akhir masa kanak-kanaknya. Dia memang menemukan banyak sekali uang dengan cara itu. Ada ratusan uang receh, puluhan uang kertas, beberapa perhiasan, sebuah liontin, dan banyak benda berharga lainnya yang dapat ditukarkan dengan uang dan mainan. Anak itu senang sekali dengan pekerjaan ini.

Memang, dia mendapatkan banyak uang dengan cara ini. Namun, agaknya, dia melupakan banyak hal. Dia telah kehilangan ratusan kehangatan pagi dan indahnya embun di dedaunan. Dia juga melewatkan ratusan pelangi yang kerap hadir di atas awan sebab, kepalanya selalu tertunduk ke bawah. Dia juga tak sempat untuk menyaksikan ribuan fajar dan ribuan senja.

Dia tak pernah menyaksikan burung-burung yang terbang di angkasa dan bercericit di atas pohon-pohon. Dia melewatkan banyak sekali layang-layang yang berkejaran di langit dan meliuk-liukan badannya seperti camar yang membentuk susunan-susunan formasi indah. Dia tak sempat merasakan harumnya bunga-bunga di taman dan tawa riang teman-temannya yang sedang bermain.


Dia tak pernah menemukan senyum hangat setiap orang yang berpapasan dengannya. Dia melewatkan tawa renyah dari kakek yang bertongkat dan selalu mengelus setiap anak yang ditemuinya. Dia tak pernah merasakan itu semua. Burung yang beterbangan, matahari yang bersinar, dan senyuman itu, bukanlah bagian dari ingatan masa kecilnnya.

Teman, begitulah hidup. Kita bisa memilih hidup kita dengan kepala tertunduk, pikiran dipenuhi dengan nafsu kekayaan, dan enggan berurusan dengan orang lain. Kita juga bisa memilih hidup dengan penuh ketakutan, takut kehilangan setiap uang logam, takut akan kritik dan saran, takit pada setiap hal baru yang hadir di depan mata. Kita bisa memilih untuk terpaku pada satu hal, hanya memikirkan diri sendiri.

Ya, kita memang bisa memilih itu semua. Namun, Teman, kita juga bisa memilih untuk hidup dengan selalu memandang ke depan dan pantang menyerah. Kita juga bisa memilih untuk merasakan semua nikmat Allah dan menjadi bagian dari kehangatan persahabatan dan senyuman. Kita juga bisa memilih untuk hidup dan berusaha untuk merasakan semua tawa, semua kehahuram bunga, dan keindahan fajar dan matahari senja. Ya, kita memang bisa memilih hidup kita.
Readmore »»

Kebahagiaan Terbesar

Suatu ketika di ruang kelas sekolah menengah, terlihat suatu percakapan yang menarik. Seorang guru, dengan buku di tangan, tampak menanyakan sesuatu kepada murid-muridnya di depan kelas. Sementara itu, dari mulutnya keluar sebuah pertanyaan. "Anak-anak, kita sudah hampir memasuki saat-saat terakhir bersekolah di sini. Setelah 3 tahun, pencapaian terbesar apa yang membuatmu bahagia? Adakah hal-hal besar yang kalian peroleh selama ini?

Murid-murid tampak saling pandang. Terdengar suara lagi dari guru, "Ya, ceritakanlah satu hal terbesar yang terjadi dalam hidupmu..." Lagi-lagi semua murid saling pandang, hingga kemudian tangan guru itu menunjuk pada seorang murid. "Nah, kamu yang berkacamata, adakah hal besar yang kamu temui? Berbagilah dengan teman-temanmu..."

Sesaat, terlontar sebuah cerita dari si murid, "Seminggu yang lalu, adalah masa yang sangat besar buatku. Orangtuaku, baru saja membelikan sebuah motor, persis seperti yang aku impikan selama ini," Matanya berbinar, tangannya tampak seperti sedang menunggang sesuatu. "Motor sport dengan lampu yang berkilat, pasti tak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaan itu!"

Sang guru tersenyum. Tangannya menunjuk beberapa murid lainnya. Maka, terdengarlah beragam cerita dari murid-murid yang hadir. Ada anak yang baru saja mendapatkan sebuah mobil. Ada pula yang baru dapat melewatkan liburan di luar negeri. Sementara, ada murid yang bercerita tentang keberhasilannya mendaki gunung. Semuanya bercerita tentang hal-hal besar yang mereka temui dan mereka dapatkan. Hampir semua telah bicara, hingga terdengar suara dari arah belakang.

"Pak Guru..Pak, aku belum bercerita." Rupanya, ada seorang anak di pojok kanan yang luput dipanggil. Matanya berbinar. Mata yang sama seperti saat anak-anak lainnya bercerita tentang kisah besar yang mereka punya. "Maaf, silahkan, ayo berbagi dengan kami semua," ujar Pak Guru kepada murid berambut lurus itu. "Apa hal terbesar yang kamu dapatkan?" Pak Guru mengulang pertanyaannya kembali.

"Keberhasilan terbesar buatku, dan juga buat keluargaku adalah..saat nama keluarga kami tercantum dalam buku telpon yang baru terbit 3 hari yang lalu." Sesaat senyap. Tak sedetik, terdengar tawa-tawa kecil yang memenuhi ruangan kelas itu. Ada yang tersenyum simpul, terkikik-kikik, bahkan tertawa terbahak mendengar cerita itu. Dari sudut kelas, ada yang berkomentar, "Ha? aku sudah sejak lahir menemukan nama keluargaku di buku telpon. Buku Telpon? Betapa menyedihkan...hahaha". Dari sudut lain, ada pula yang menimpali, "Apa tak ada hal besar lain yang kamu dapat selain hal yang lumrah semacam itu? Lagi-lagi terdengar derai-derai tawa kecil yang masih memenuhi ruangan.

Pak Guru berusaha menengahi situasi ini, sambil mengangkat tangan. "Tenang sebentar anak-anak, kita belum mendengar cerita selanjutnya. Silahkan teruskan, Nak.." Anak berambut lurus itu pun kembali angkat bicara. "Ya. Memang itulah kebahagiaan terbesar yang pernah aku dapatkan. Dulu, Ayahku bukanlah orang baik-baik. Karenanya, kami sering berpindah-pindah rumah. Kami tak pernah menetap, karena selalu merasa di kejar polisi." Matanya tampak menerawang. Ada bias pantulan cermin dari kedua bola mata anak itu, dan ia melanjutkan.

"Tapi, kini Ayah telah berubah. Dia telah mau menjadi Ayah yang baik buat keluargaku. Sayang, semua itu tidak butuh waktu dan usaha. Tak pernah ada Bank dan Yayasan yang mau memberikan pinjaman modal buat bekerja. Hingga setahun lalu, ada seseorang yang rela meminjamkan modal buat Ayahku. Dan kini, Ayah berhasil. Bukan hanya itu, Ayah juga membeli sebuah rumah kecil buat kami. Dan kami tak perlu berpindah-pindah lagi."

"Tahukah kalian, apa artinya kalau nama keluargamu ada di buku telpon? Itu artinya, aku tak perlu lagi merasa takut setiap malam dibangunkan ayah untuk terus berlari. Itu artinya, aku tak perlu lagi kehilangan teman-teman yang aku sayangi. Itu juga berarti, aku tak harus tidur di dalam mobil setiap malam yang dingin. Dan itu artinya, aku, dan juga keluargaku, adalah sama derajatnya dengan keluarga-keluarga lainnya." Matanya kembali menerawang. Ada bulir bening yang mengalir. "Itu artinya, akan ada harapan-harapan baru yang aku dapatkan nanti..."

Kelas terdiam. Pak Guru tersenyum haru. Murid-murid tertunduk. Mereka baru saja menyaksikan sebuah fragmen tentang kehidupan. Mereka juga baru saja mendapatkan hikmah tentang pencapaian besar, dan kebahagiaan. Mereka juga belajar satu hal: "Bersyukurlah dan berbesar hatilah setiap kali mendengar keberhasilan orang lain. Sekecil apapun. Sebesar apapun.

***

Teman, ada banyak fragmen-fragmen lain yang hadir di depan kita. Ada banyak hal-hal besar yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan. Namun, adakah didalamnya kita bisa berbesar hati dan mensyukuri setiap berkah yang Tuhan berikan buat kita? Namun sayang. Banyak dari kita yang lebih sering membanding-bandingkan. Banyak dari sering membuat perimbangan-perimbangan. Kita sering tergoda untuk iri pada setiap keberhasilan yang orang lain dapatkan, namun, kita juga memilih untuk melecehkannya saat kebeherhasilan orang itu lebih sedikit dari yang kita dapatkan.

Adakah kebahagiaan dan pencapaian terbesar itu bisa dihitung seperti kita menghitung dengan timbangan? Adakah kita bisa mengukur kebahagiaan itu dalam tabel dan diagram seperti statistik sensus ekonomi? Agaknya, bukan cara itu yang kita pakai, sebab ukurannya memang sangat universal, sangat luas, dan melintasi batas. Kebahagiaan terbesar bagi seseorang, bisa jadi adalah hal yang remeh buat orang lain. Kelumrahan bagi seseorang juga mungkin dianggap seperti durian runtuh bagi orang lain.

Dan teman, berbesar hatilah serta bersyukur atas setiap nikmat, berkah, keleluasaan, waktu, dan kesempatan yang kita terima. Ada rahasia-rahasia tersembunyi di dalamnya. Seremeh apapun, sekecil apapun. Bersyukurlah. Bersyukurlah, dan berbesar hatilah, karena tak ada yang remeh dan sepele dalam kamus bahasa Tuhan.
Readmore »»