Tampilkan postingan dengan label Tazkiyatun Nafs. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tazkiyatun Nafs. Tampilkan semua postingan

Jumat, 20 Januari 2012

RUHANIYATUD-DA’IAH (Tarbiyah Ruhiyah)



1.A. FLUKTUASI IMAN
Secara fitrah manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat fujur (dosa) dan ketaqwaan [91:9-10).
“Maka Allah Mengilhamkan kepada jiwa itu Jalan kepasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” [Asy-Syams 91:9-10)

Hal ini mengakibatkan keimanan seseorang mengalami fluktuasi (terkadang naik, terkadang turun).
“Keimanan itu bisa bertambah dan berkurang. Maka perbaharuilah iman kalian dengan Laa Ilaaha Illallah.” (HR. Ibnu Islam)
Catatan :
Fluktuasi iman seorang Muslim seharusnya memiliki kecenderungan untuk senantiasa naik dan bukan fluktuasi yang tidak beraturan.
1.B. HAKIKAT TAQWA
Ungkapan para sahabat dan ulama :
• Taqwa : konsekwensi logis dari keimanan yang kokoh, keimanan yang selalu dipupuk dengan muroqobatullah; merasa takut terhadap murka dan adzab-Nya, dan selalu berharap limpahan karunia dan maghrifah-Nya.
• Taqwa : hendaklah Allah tidak melihat kamu berada dalam larangan-larangan-Nya dan tidak kehilangan kamu dalam perintah-perintah-Nya.
• Taqwa : mencegah diri dari azab Allah dengan berbuat amal sholeh dan takut kepada-Nya di kala sepi atau pun terang-terangan
• Taqwa : Hendaklah kamu berbuat dengan taat kepada Allah, berada di atas cahaya dari Allah, mengharap pahala Allah, meninggalkan kedurhakaan kepada Allah berdasarkan cahaya-Nya dan takut kepada siksa-Nya (Ibnu Mas’ud)




1.C. BALASAN BAGI ORANG-ORANG YANG BERTAKWA
• Diberikan furqon dan diampuni dosanya
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan Memberikan kepadamu Furqan dan Menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan Mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah Mempunyai Karunia yang besar. (Al Anfaal 8:29)
• Diberikan rahmat dan cahaya hidayah dari Allah
Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah Memberikan Rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan Menjadikan untukmu Cahaya yang dengan Cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia Mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (Al Hadid 57:28)
• Diberikan jalan keluar dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka
“Barangsiapa bertawa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizqi dari arah tiada disangka-sangka.” (ath-Thalaq 65:2-3)
• Dimudahkan oleh Allah segala urusan
Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah Menjadikan baginya Kemudahan dalam urusannya. (ath-Thalaq 65:4)
• Ditutupi kesalahan-kesalahan dan akan dilipatgandakan pahala baginya oleh Allah
dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan Menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan Melipatgandakan Pahala baginya. (ath-Thalaq 65:5)
• Mendapatkan berkah dari Allah
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan Melimpahkan kepada mereka Berkat dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (Ayat-ayat Kami) itu, maka Kami Siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Al-A’raahf 7:96)
1.D. JALAN MENCAPAI PERINGKAT TAQWA
Bagian I : Faktor-faktor yang penting
1. MU’AHADAH (Mengikat Perjanjian)
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai Saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah Mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. An Nahl 16:91)
Cara Mu’ahadah : Hendaklah seorang mu’min berkholwat (menyendiri) antara dia dan Allah untuk mengintrospeksi diri seraya mengatakan pada dirinya: “Wahai jiwaku, sesungguhnya kamu telah berjanji kepada Rabbmu setiap hari disaat kamu berdiri membaca”.”Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon bantuan”. Wahai jiwaku, bukankah dalam munajat ini engkau telah berikrar tidak akan berhamba selain kepada Allah, tidak akan meminta pertolongan selain kepada-Nya. Tidakkah engkau telah berikrar untuk tetap komitmen kepada shiratal mustaqim yang terbebas dari kerumitan dan liku-liku perjalanan … Tidakkah engkau telah berikrar untuk berpaling dari jalan orang-orang sesat dan dimurkai Allah ? Kalau memang demikian, hati-hatilah wahai jiwaku. Janganlah engkau langgar janjimu setelah Dia engkau jadikan sebagai pengawasmu. Janganlah engkau mundur dari jalan yang telah ditetapkan oleh Islam setelah engkau jadikan Allah sebagai saksimu. Hati-hatilah jangan sampai engkau mengikuti jalan orang-orang yang sesat dan menyesatkan setelah engkau jadikan Allah sebagai penunjuk jalan. Hati-hati wahai jiwaku, jangan engkau ingkar setelah beriman, jangan tersesat setelah engkau mendapat petunjuk, janganlah engkau menjadi fasiq setelah beriltizam (komitmen) … Barang siapa melanggar maka akibatnya akan menimpa dirinya, barang siapa tersesat maka kesesatannya itu akan menimpanya.
Bila Anda mengharuskan diri untuk komitmen terhadap janji yang diikrarkan 17 kali dalam sehari itu, kemudian anda mewajibkan supaya anda meniti tangga menuju ikrar tersebut … maka anda telah meniti tangga menuju taqwa.

2. MUSYARATHAH (Penetapan Syarat) (16:91)
Jiwa dan hati memerlukan ikatan janji harian. Jika manusia tidak mengikat jiwanya dengan janji harian niscaya akan mendapati jiwanya telah banyak menyimpang, sebagaimana akan mendapati hatinya telah kesat dan lalai.
Caranya : Apabila hamba memasuki waktu shubuh dan telah usai melaksanakan shalat shubuh maka hendaknya ia meluangkan hatinya sesaat untuk menetapkan syarat terhadap jiwa seraya berkata kepada jiwa: Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur; jika ia habis maka habislah modal sehingga tidak ada harapan untuk melakukan perdagangan dan mencari keuntungan. Di hari yang baru ini Allah telah memberi tempo kepadaku. Dia memperpanjang usiaku dan melimpahkan nikmat kepadaku dengan usia tersebut. Seandainya Allah mematikan aku niscaya aku berandai-andai sekiranya Allah mengembalikan aku ke dunia sehari saja agar aku dapat beramal shalih. Anggaplah wahai jiwa bahwa engkau telah meninggal kemudian dikembalikan lagi ke dunia, maka janganlah sampai kamu menyia-nyiakan hari ini, karena setiap nafas adalah mutiara yang tiada terkira nilainya. Ketahuilah wahai jiwa, bahwa sehari semalam adalah duapuluh empat jam, maka bersungguh-sungguhlah pada hari ini untuk mengumpulkan bekalmu dan janganlah engkau biarkan perbendaharaanmu kosong, dan janganlah kamu cenderung kepada kemalasan, kelesuan dan santai sehingga kamu tidak dapat meraih derajat ‘illiyyin sebagaimana orang selainmu telah mendapatkannya.

3. MURAQABAH (Pengawasan)
“Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang) dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (Asy Syu’araa’ 217-219)
Makna : merasakan keagungan Allah di setiap waktu dan keadaan serta merasaka kebersamaan-Nya di kala sepi ataupun ramai.
Caranya : Sebelum memulai suatu pekerjaan dan disaat mengerjakannya, hendaklah seorang mu’min memeriksa dirinya … Apakah setiap gerak dalam melaksanakan amal dan ketaatannya dimaksudkan untuk kepentingan pribadi ataukah karena dorongan ridha Allah dan menghendaki pahala-Nya? Jika benar-benar karena ridha Allah, maka ia akan melaksanakannya kendatipun hawa nafsunya tidak setuju dan ingin meninggalkannya. Kemudian ia menguatkan niat dan tekad untuk melangsungkan ketaatan kepada-Nya dengan keikhlasan sepenuhnya dan semata-mata demi mencari ridha Allah. Itulah hakikat ikhlas.
Macam-macam Muroqobah :
- Muroqobah dalam melaksanakan ketaatan adalah dengan ikhlas kepada-Nya
- Muroqobah dalam kemaksiatan adalah dengan taubat, penyesalan dan meninggalkannya secara total
- Muroqobah dalam hal-hal yang mubah adalah dengan menjaga adab-adab terhadap Allah dan bersyukur atas segala nikmat-Nya
- Muroqobah dalam musibah adalah dengan ridha kepada ketentuan Allah serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran.
4. MUHASABAH (introspeksi diri) setelah Beramal
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al Hasyr:18)
Muhasabah ialah : Hendaklah seorang mu’min menghisab dirinya sendiri ketika selesai melakukan amal perbuatan … apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan ridah Allah? Atau apakah amalnya dirembesi sifat riya’? Apakah dia sudah memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia?….
5. MU’AQABAH (Menghukum Diri atas Segala Kekurangan)
“Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah 2:179)
Apabila seorang mu’min menemukan kesalahan maka tak pantas baginya untuk membiarkannya. Sebab membiarkan diri dalam kesalahan akan mempermudah terlanggarnya kesalahan-kesalahan yang lain dan akan semakin sulit untuk meninggalkannya. Bahkan sepatutnya dia memberikan sanksi atas dirinya dengan sanksi yang mubah (Misalnya dengan menginfakkan sejumlah harta, atau dengan mengerjakan beberapa raka’at shalat sunat). Hal ini merupakan peringatan baginya agar tidak menyalahi ikrar, disamping merupakan dorongan untuk lebih bertaqwa dan bimbingan menuju hidup yang lebih mulia.
6. MUJAHADAH (Bersungguh-sungguh memaksa diri)
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al Ankabuut:69)
Apabila seorang mu’min terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak dari sebelumnya.
Hal-hal yang harus diperhatikan :
• Hendaklah amal-amal yang sunnah tidak membuatnya lupa akan kewajiban yang lainnya
• Tidak memaksakan diri dengan amal-amal sunnah yang di luar kemampuannya
7. MU’ATABAH (Mencela Diri)
Jalan yang harus Anda tempuh adalah berkonsentrasi menghadapinya lalu menyadarkan akan kebodohan dan kedunguannya. Katakanlah kepadanya, “Wahai jiwa, betapa besar kebodohanmu; kamu mengaku bijaksana, cerdas dan tanggap padahal kamu sangat bodoh dan dungu! Tidakkah kamu tahu di hadapanmu ada sorga dan neraka dan bahwa kamu pasti segera memasuki salah satunya? Mengapa kamu berbangga dan sibuk dengan permainan padahal kamu dituntut perkara yang mahapenting? Hari ini atau esok hari kamu bisa saja kamu meninggal, tetapi mengapa aku melihatmu memandang kematian sangat jauh padahal Allah melihatnya sangat dekat? Mengapa kamu tidak bersiap-siap menghadapi kematian padahal ia lebih dekat kepadamu dari setiap hal yang dekat?
Tujuan munajat orang-orang ahli ibadah adalah mencari ridha-Nya dan maksud celaan mereka adalah memperingatkan dan meminta perhatian. Siapa yang mengabaikan mu’atabah dan munajat berarti ia tidak menjaga jiwanya, dan bisa jadi tidak mendapatkan ridha Allah.

Bagian II : Faktor-faktor yang berkaitan dengan kepekaan jiwa
1. Mengingat kematian dan kehidupan sesudahnya
Apabila seorang mu’min senantiasa mengingat bahwa kematian pasti akan menjemputnya, kemudian ia pasti akan ditanya dalam kesendiriannya di alam kubur…Selalu mengingat bahwa kubur itu baginya bisa jadi taman surga atau jurang neraka…Bila semua itu selalu terbayang dibenaknya, maka bisa dipastikan hatinya akan peka terhadap rasa takut kepada Allah dan muroqobah-Nya setiap saat dan di segala tempat. Bahkan jiwa dan raganya akan bangkit untuk melakukan amal-amal sholeh guna mempersiapkan bekal untuk hari yang dijanjikan.



2. Membayangkan hari akhirat dan hal-hal yang berkaitan dengannya
Tatkala seorang mu’min membayangkan peristiwa-peristiwa yang dihadapi oleh ahli surga atau juga ahli neraka… Tatkala mengenal lebih dekat keadaan mereka di padang mahsyar, ketika dimulainya timbangan dibagikannya kitab-kitab amal dan dimualinya penitian jembatan…Ketika menghayati keadaan orang-orang yang masuk surga dengan berbagai kenikmatan yang dijanjikan oleh Allah dan berbagai macam kesengsaraan dan siksaan yang sudah disediakan…Seorang da’i ketika membayangkan semua itu pasti akan bersungguh-sungguh dalam beribadah dan berusaha lebih dekat kepada Allah.

Bagian III : Faktor-faktor amaliyah yang menumbuhsuburkan ruhiyah
1. Memperbanyak Tilawah Al-Qur’an dan Tadabbur
Bacaan yang disertai tadabbur yang khusyu’ mampu mempertajam pandangan yang sudah tumbul, merupakan pemusnah pandangan-pandangan yang sempit dan obat bagi hati yang sedang sakit. Apabila seorang mu’min sudah konsisten membaca Al-Qur’an dengan tenang, tadabbur dan khusyu’, maka akan terbukalah belenggu-belenggu yang memborgol hatinya dan akan terpancar pula cahaya Al-Qur’an di dalam hatinya.
Rasulullah selalu membaca Al-Qur’an secara dawam (rutin). Beliau memohon kepada Allah agar menjadikan Al-Qur’an sebagai taman dalam hatinya, cahaya bagi pandangannya, penghapus duka dan pemusnah kebingungan.
Cukuplah bagi pembaca Al-Qur’an kemuliaan dan kebanggaan bahwa Al-Qur’an sebagai pemberi syafa’at di hari kiamat nanti.
Dan cukuplah bagi pembaca Al-Qur’an kejayaan dan keagungan karena mereka akan bersama-sama dengan para malaikat.
Cukuplah pahala bagi orang yang membaca Al-Qur’an karena baginya dari setiap huruf sepuluh kebaikan.
2. Hidup Bersama Rasulullah Melalui Sirahnya yang Harum Semerbak
Hal ini karena Nabi sebagai uswah hasanah, qudwah sholihah dan figure yang sempurna bagi semua ummat manusia di sepanjang masa.
“Sesungguhnya telah ada dalam (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.” (al-Ahzab:21)
Da’i adalah orang yang mempelopori mencontoh Nabi di semua sisi kehidupannya. (Ibadah, kezuhudan, atau dalam sifat tawadlu’ dan kebijaksanaan. Baik mengenai kekuatan fisik dan keberanian, atau tentang hal-hal yang berkaitan dengan politik dan keteguhan mempertahankan kebenaran(Islam).
Diantara fenomena yang paling nampak untuk dicontoh dari Nabi adalah bagaimana beliau menyatukan agama dan dunia, ibadah dan kehidupan, tazkiyah (mensucikan jiwa) dan jihad. Semua itu beliau lakukan tanpa menimbulkan ketimpangan dalam segi apa pun.





Mencontoh Ibadah Nabi
Hendaklah selalu terbayang dibenaknya bahwa sesungguhnya Nabi selalu beribadah sepanjang malam, hanya sedikit beliau sisakan untuk istirahat. Bahkan bertahajjud malam hari sampai tumitnya bengkak. Hendaklah seorang da’i selalu siap dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah-ibadah sunnah selama masih sanggup.
Mencontoh Kezuhudan Nabi
Nabi tak pernah makan roti sampai kenyang dalam tempo tiga hari berturut-turut, sejak beliau datang di Madinah sampai ajal menjemputnya. Padahal kalau mau, beliau bisa melakukannya. Hendaklah setiap da’i selalu waspada dan mengekang diri dari kesenangan-kesenangan duniawi semampu mungkin.
Mencontoh Ketaqwaan Rasulullah
Nabi duduk tanpa alas, beliau makan bersama pembantu, menjahit sendiri pakaiannya, memperbaiki sandalnya, membantu pekerjaan istrinya, menanggapi panggilan orang yang merdeka, pembantu dan budak belian. Duduk di mana saja dalam pertemuan… Hendaklah seorang da’i selalu waspada dan merendahkan hati di hadapan orang-orang mu’min lainnya sebisa mungkin.
Mencontoh Kesabaran dan Kelembutan Nabi
Hendaklah terbayang dibenak apa yang disabdakan Rasulullah setelah penaklukan Makkah kepada orang-orang yang dulu bersikeras menentangnya, mengeluarkannya dari negerinya dan bersekongkol untuk menghabisi nyawanya. Beliau bersabda; “Wahai sekalian orang Quraisy, apa kira-kira yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Mereka menjawab; “Engkau adalah saudara yang mulia dan anak saudara yang mulia” Kemudian beliau melanjutkan; “Pergilah, kalian semua bebar”. Hendaklah seorang da’i selalu memberi ma’af dengan sebaik-baiknya sebisa mungkin.
Mencontoh Keteguhan Nabi dalam Mempertahankan Prinsip
Keteguhan Nabi yang langka dan keberanian beliau yang mengagumkan terhadap orang-orang musyrik Quraisy. Yaitu disaat beliau berkata kepada pamannya; “Paman, demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tanganku dan bulan di tangan kiriku supaya aku meninggalkan urusan ini (da’wah), aku tidak akan meninggalkannya sehingga Allah memenangkan da’wah atau aku binasa karenanya”. Hendaklah seorang da’i menyatakan kebenaran sebisa mungkin.
Mencontoh Kekuatan Fisiknya
Rasulullah sanggup mengalahkan ‘Rokanah’ tiga kali dalam adu gulat, bagaimana beliau mampu meladeni tantangan Ubai bin Kholaf di perang Uhud. Bagaimana para shahabat meminta bantuan kepada beliau untuk memecahkan sebuah batu dalam parit (perang Khondak). Hendaklah seorang da’i memelihara kekuatan fisiknya sesuai kemampuan.
Mencontoh Keberanian Rasulullah
Bagaimana sikap Rasulullah yang tegas dalam perang Hunain, yaitu ketika tantangan dunia menuntut keberanian yang tegar. Ketika itu beliau bersabda; “Aku Nabi, aku tidak dusta. Aku Putra Abdul Mutholib” Hendaklah seorang da’i sanggup memasuki kancah peperangan sebisa mungkin.
3. Selalu Menyertai Orang-orang Pilihan, Yakni Mereka Yang Berhati Bersih
Da’i lebih patut untuk menyertai orang-orang yang bertaqwa dan bergaul dengan orang-orang yang berhati bersih dan ma’rifat kepada Allah.
Pertama: Karena Islam memerintahkan agar selalu menyertai mereka
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu beserta orang-orang yang benar.” (at-Taubah 9:119)
Ulama salaf berkata “Bershahabatlah dengan orang-orang yang keadaannya bisa menunjukkan kamu ke jalan Allah”.
Orang-orang pilihan yang mengenal Allah memiliki ciri-ciri diantaranya :
- Komitmen terhadap syariat Islam dengan niat yang ikhlas, jujur dalam keta’atan dan kontinyu dalam beramal
- Dalam diri mereka tidak nampak adanya kemaksiatan, bid’ah atau apa pun yang menyalahi syariat. Sebab mereka adalah orang-orang yang bersih, memiliki komitmen dan menjadi teladan.
- Mereka menyibukkan diri dengan kelemahan dan aib yang ada pada dirinya. Mereka tidak pernah sibuk dengan aib-aib orang lain
- Mereka melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi munkar dengan kekuatan iman dan keberanian jiwa
- Di wajah mereka nampak adanya cahaya keimanan dan taqwa
- Mereka memperhatikan ummat Islam dan bersemangat menghadapi segala permasalahan yang dihadapi ummat
- Bergerak secara jujur demi tanggung jawab da’wah dan punya semangat yang ikhlas dalam perbaikan ummat dan jihad
Jika seorang da’i menemukan penyeru kebenaran dengan ciri-ciri tersebut, maka hendaklah berusaha untuk menemani mereka, selalu hadir dalam majlis mereka, tanpa bosan atau merasa tidak perlu.
Hendaklah seorang da’i bersikap hati-hati terhadap da’i yang buruk.
Kedua : Untuk mendapatkan ketaqwaan, spritualitas dan nasehat dari mereka.
Jika seorang da’i sudah menyertai orang-orang pilihan seperti mereka, niscaya ia akan mendapatkan ketaqwaan dari mereka, mereguk kekuatan rohani dari ucapan dan perilaku mereka. Ia akan mendapatkan dari mereka hal-hal yang bermanfa’at bagi agama, dunia dan akhiratnya. Bahkan secara otomatis ia akan naik bertahap menuju kematangan, kesempurnaan dan ma’rifat kepada Allah.
4. Dzikir Kepada Allah Disetiap Waktu dan Keadaan
“Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu. Dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (Al-Baqarah:152)
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (Al-Ahzab 33:103)
“Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Allah dibandingkan dengan yang tidak berdzikir adalah bagaikan orang yang hidup dengan orang yang mati”. (HR. Bukhari)
“Di hari kiamat nanti Allah akan mendatangkan satu kaum, wajah mereka bercahaya, mereka berdiri di atas mimbar terbuat dari mutiara, semua orang merasa iri kepada mereka. Mereka bukan Nabi dan bukan pula syuhada”. Seorang Arab badui bangkit dari duduknya sampai setengah berdiri, kemudian bertanya, “Ya Rasulullah sebutkan ciri-ciri mereka agar kami tahu. Rasulullah menjawab; “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai di jalan Allah, mereka terdiri dari suku dan negeri yang berbeda, mereka berkumpul untuk berdzikir kepada Allah”. (HR. Thabrani)
Dzikir adalah Merasakan keagungan Allah dalam semua kondisi. Bisa berupa dzikir fikiran, hati, lisan atau perbuatan. Dzikir perbuatan mencakup tilawah, ibadah dan keilmuan. Ma’na dzikir seperti inilah yang banyak dijelaskan oleh Al-Qur’an dan hadits. (QS. 24:37; QS. 13:28)
Jika seorang mu’min ingin selalu menemukan kenikmatan dan ketentraman dzikrullah di relung hatinya, hendaklah ia merasakan adanya keagungan Allah tertancap dalam hati, merasuk dalam jiwa.
Termasuk dzikir lisan adalah semua do’a dan Ma’tsurat. Termasuk dzikir juga, semua permohonan bantuan dari Allah dan semua istighfar yang tercantum dalam Al-Qur’an atau diriwayatkan dari Nabi.
Berkaitan dengan ma’na dzikir dengan perbuatan yang mencakup ibadah :
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (AlJumu’ah:9)
Berkaitan dengan dzikrullah dengan perbuatan yang mencakup ilmu pengetahuan
“… maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya 21:7)
Bersungguh-sungguhlah dalam berdzikir kepada Allah secara kontinyu.
5. Menangis Karena Takut Kepada Allah Disaat Berkhalwat
Manakala seorang da’i berkholwat dengan Robbnya, dia akan mengingat kembali dosa-dosanya yang telah lalu dan mungkin terjadi. Membayangkan neraka jahannam dan semua kejadian yang mengerikan. Membayangkan hari akhirat dan semua peristiwa-peristiwanya. Terbayang di benaknya kematian dan apa-apa yang terjadi sesudahnya. Dia bandingkan antara amal-amalnya dengan amal-amal assabiqiin al awwaliin (generasi shahabat). Dengan itu semua, niscaya hatinya akan terenyuh, jiwanya tergetar, dan air matanya meleleh. Setelah peringatan seperti ini ia akan kembali menghadap Robbnya dengan bertobat, beristighfar, berdzikir, menjaga batasan-batasan-Nya. Bahkan ia akan termasuk mereka yang berlomba dalam melaksanakan amal kebaikan, bersegera dalam manta’ati-Nya, dan tunduk patuh kepada Robbul’alamin.
Menangis adalah karena adanya rasa takut. Takut mati sebelum bertobat, takut dari istidtoj (pemberian tanpa rodha-Nya) dengan berbagai nikmat yang menyebabkan suul khotimah, takut dari neraka dan berbagai siksa di dalamnya, takut diharamkannya surga dan berbagai kenikmatan yang ada di dalamnya. Lebih dari itu semua ada rasa takut dari sifat riya’ tatkala beribadah, sifat ujub disaat berkecukupan, sifat nifaq ketika bergaul, sifat ghurur (lupa diri) ketika mendapatkan dunia serta sifat-sifat lainnya yang tergolong dalam penyakit hati dan kelemahan jiwa.
Orang yang paling takut adalah orang yang paling mengetahui dirinya dan Robbnya.
Beberapa Keutamaan Menangis Karena Takut Kepada Allah
A. Mereka berada di Bawah Naungan Allah di Hari Kiamat
“Tujuh golongan yang dinaungi oleh Allah disaat tidak ada naungan selain naungan-Nya … (diantaranya) seseorang yang berdzikir kepada Allah menyendiri, dan menangis karenanya”.
B. Mereka terbebas dari Adzab Allah
“Dua jenis mata yang tidak tersentuh oleh api neraka, mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang piket malam fi sabilillah” (HR. Turmudzi)
C. Mereka Berada Dalam Limpahan Cinta Kasih Ilahi
“Tidak ada yang lebih dicintai Allah dari dua tetes dan du bekas; tetes-tetes air mata karena takut kepada Allah dan tetes-tetes darah yang tertumpah fi sabilillah. Dua bekas tersebut adalah bekas berjihad di jalan Allah dan bekas dalam kewajiban yang Allah wajibkan (shalat berjama’ah) (HR Turmudzi)
D. Mereka Berada Dalam Ampunan dan Maghfirah-Nya.
“Apabila seorang hamba merinding karena takut kepada Allah maka dosa-dosanya berguguran bagai bergugurannya dedaunan dari pohon yang kering”. (HR Ibnu Hibban dan al-Baihaqi)
6. Bersungguh-sungguh Membekali Diri Dengan Ibadah-ibadah Nafilah
“Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu Mengangkat kamu ke Tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’ 17:79)
“Barangsiapa mendekat kepadaKu satu jengkal, maka Aku mendekat kepadanya satu siku, barangsiapa mendekat kepadaKu satu siku, maka Aku mendekat kepadanya satu depa dan barangsiapa mendekat kepadaKu dengan berjalan maka Aku mendekat kepadanya dengan berlari kecil …” (HR. Bukhari dan Muslim)



Yang dimaksud dengan nafilah adalah ibadah-ibadah sunnat selain ibadah fardhu, baik berupa shalat, shaum, shadaqah, dll.
a. Shalat Nafilah
i. Shalat Dhuha
“Setiap pagi ada kewajiban bershadawah bagi tiap-tiap persendian, dan bisa memadai semua dengan dua raka’at shalat Dhuha”. (HR. Muslim)
Shalat Dhuha sedikitnya dua raka’at, dan paling banyak delapan raka’at. Waktunya dimulai setengah jam setelah matahari terbit sampai satu jam menjelang dzuhur.
ii. Shalat Sunat Tahiyatul Masjid
“Jika salah seorang diantara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sehingga melaksanakan shalat dua raka’at.”(HR. Muslim)
iii. Shalat Sunnat Wudlu’
“Rasulullah berkata kepada Bilal, “Ceritakanlah kepadaku amal apa yang amat engkau harapkan dalam Islam, sebab aku mendengar suara kedua sandalmu di surga?” Bilal menjawab; “Tidak ada amal ibadah yang paling kuharapkan selain setiap aku berwudhu baik siang atau malam aku selalu shalat setelahnya sebanyak yang aku suka” (HR. Bukhari)
iv. Shalat Malam
“Shalat yang paling afdhol setelah shalat fardhu adalah shalat lail”.(Imam Turmudzi)
“Kalian harus shalat lail, sebab itulah jalan para sholihin, itulah pendekatan diri pada Robb kalian, penghapus kesusahan dan pemusnah dosa-dosa”. (HR. Turmudzi)
Shalat lail dilakukan minimal dua raka’at, afdholnya delapan rakaat, dan tidak ada batasan maksimalnya. Shalat lail adalah shalat nafilah yang paling afdhol secara keseluruhan, karena lebih memungkinkan untuk ikhlash dan jauh dari sifat riya’.
v. Shalat Tarawih
Yaitu shalat 11 raka’at atau 21 raka’at yang dilakukan di bulan Ramadhan.. Setiap dua raka’at salam. Dilaksanakan dengan berjama’ah setelah shalat Isya.
vi. Shalat sunnat rowatib
Yaitu shalat sunnat yang menyertai shalat fardhu.
Ibnu Umar berkata “Saya melaksanakan shalat bersama Nabi SAW dua raka’at sebelum dzuhur, dua rakaat sesudahnya, dua rakaa’at setelah jum’ah dan dua raka’at sesudah isya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
“Diantara dua adzan ada shalat. Diantara dua adzan ada shalat. Diantara dua adzan ada shalat”. (HR. Bukhari, Muslim)
Dua adzan maksudnya adzan dan iqomah.
b. Shaum Nafilah
“Tidaklah seorang hamba berpuasa satu hari fi sabilillah, melainkan Allah menjauhkan dia dari api neraka sejauh tujuh puluh tahun perjalanan” (HR. Muslim)
i. Puasa ‘Arafah
ii. Puasa ‘Aryuro dan Tasu’a
Yaitu puasa hari ke sembilan dan kesepuluh bulan Muharram.
iii. Shaum Enam Hari Pada Bulan Syawal
iv. Shaum Tiga Hari Bidh (Putih)
Penanggalan disini tentu menurut penanggalan Qomariyah (Hijriyah), sebab pada hari-hari tersebut bulan lebih jelas dan lebih terang.
v. Shaum Hari Senin dan Kamis
vi. Shaum Sehari dan Buka Sehari
Shaum adalah ibadah yang melatih seseorang agar mampu ikhlas dan meninggalkan sifat riya’, sebab tidak ada yang mengetahui orang yang berpuasa sunnat selain Allah. Dialah yang akan memberi pahala terhadap orang-orang yang berpuasa dengan balasan yang pantas.
c. Shadaqah Nafilah
Shadaqah nafilah termasuk amal ibadah yang memberikan masukkan besar bagi pelakunya, bahkan batasan jumlah pahala tersebut tidak terhingga dan hanya Allah-lah yang mengetahuinya.
Allah akan menggantikan harta yang dishadaqahkan, memberkahinya dan menambahkan karunia-Nya.
Keutamaan bershadaqah nafilah bahwa ia mampu melepaskan seorang mu’min dari sifat kikir dan melatih tumbuhnya sifat berkorban, suka berinfaq dan itsar (mementingkan orang lain)

Maraji’
Sa’id bin Muhammad Daib Hawwa, Mensucikan Jiwa : Konsep Tazkiyatun nafs Terpadu
Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah Ruhiyah : Petunjuk Praktis Mencapai Derajat Taqwa

dikutip dari sebuah tulisan tanpa pengenal
Readmore »»

Rabu, 14 Desember 2011

Kematian Hati


K.H. Rahmat 'Abdullah Rahimahullah

Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya.Banyak orang cepat datang ke shaf shalat laiknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi.Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya.

Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama.
Dingin, kering dan hampa,tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri. Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu.Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu.

Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.

Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa.Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.
Asshiddiq Abu Bakar Ra. Selalu gemetar saat dipuji orang. "Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidak tahuan mereka", ucapnya lirih.

Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana,lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim malnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal,lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidak-sesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang.

Mereka telah menukar kerja dengan kata. Dimana kau letakkan dirimu?
Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut. Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.

Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma'siat menggodamu dan engkau meni'matinya? Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia?

Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara erbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu : 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan.

Mungkin engkau mulai berfikir "Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh" Betapa jamaknya 'dosa kecil' itu dalam hatimu. Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat "TV Thaghut" menyiarkan segala "kesombongan jahiliyah dan maksiat"? Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci)berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan "

Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat?" Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang "Ini tidak islami" berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana?

Sekarang kau telah jadi kader hebat. Tidak lagi malu-malu tampil. Justeru engkau akan dihadang tantangan : sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa. Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki.

Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu.

Siapa yang mau menghormati ummat yang "kiayi"nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng mengatakan "Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku" dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah?
Siapa yang akan memandang ummat yang da'inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan "Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua?"

Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai 'alimullisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?

Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da'wahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka. Tengoklah langkah mereka di mal. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa "westernnya". Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan "lihatlah, betapa Amerikanya aku". Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri.
Readmore »»

Jumat, 25 November 2011

Bermuhasabah, Sebelum Hari Penghisaban



oleh: Ali Akbar Bin Agil

ALKISAH, suatu hari Atha As-Salami, seorang Tabi`in bermaksud menjual kain yang telah ditenunnya. Setelah diamati dan diteliti secara seksama oleh sang penjual kain, sang penjual kain mengatakan, “Ya, Atha sesungguhnya kain yang kau tenun ini cukup bagus, tetapi sayang ada cacatnya sehingga saya tidak dapat membelinya.”

Begitu mendengar bahwa kain yang telah ditenunnya ada cacat, Atha termenung lalu menangis. Melihat Atha menangis, sang penjual kain berkata, “Atha sahabatku, aku mengatakan dengan sebenarnya bahwa memang kainmu ada cacatnya sehingga aku tidak dapat membelinya, kalaulah karena sebab itu engkau menangis, maka biarkanlah aku tetap membeli kainmu dan membayarnya dengan harga yang pas.”

Tawaran itu dijawabnya, “Wahai sahabatku, engkau menyangka aku menangis disebabkan karena kainku ada cacatnya, ketahuilah sesungguhnya yang menyebabkan aku menangis bukan karena kain itu. Aku menangis disebabkan karena aku menyangka bahwa kain yang telah kubuat selama berbulan-bulan ini tidak ada cacatnya, tetapi di mata engkau sebagai ahlinya ternyata ada cacatnya.

“Begitulah aku menangis kepada Allah dikarenakan aku menyangka bahwa ibadah yang telah aku lakukan selama bertahun-tahun ini tidak ada cacatnya, tetapi mungkin di mata Allah sebagai ahli-Nya ada cacatnya, itulah yang menyebabkan aku menangis.”

Pelajaran penting dari kisah di atas adalah usaha seorang Atha` yang jeli melakukan introspeksi diri, menyadari kelemahan, dan kekurangannya. Seiring akan datangnya Tahun Baru Islam 1433 H, kita pun perlu melakukan evaluasi: sudah sejauh mana amal, ilmu, dan akhlak kita selama ini. Perasaan puas dengan apa yang telah kita kerjakan harus kita kubur dalam-dalam, sebab masih masih banyak ‘PR’ yang perlu dituntaskan.

Perputaran roda waktu meniscayakan bagi setiap manusia, lebih-lebih seorang mukmin untuk melakukan Muhasabah. Muhasabah bisa berarti melakukan introspeksi diri, evaluasi, atau koreksi atas kinerja selama ini.

Muhasabah merupakan solusi tepat untuk menyadari dan merenungi segala kebajikan maupun kebijakan bahkan kefasikan yang mungkin menyelimuti semasa hidup di tahun sebelumnya sehingga kita dapat mengukur sejauh mana keberhasilan dan kegagalan yang kita tunai.

Dalam al-Quran Allah telah memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk bertakwa yang dirangkai dengan persiapan menyongsong hari akhir: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Hasyr: 18)

Secara jelas, ayat ini menyuruh setiap mukmin untuk memperhatikan nasibnya di akhirat kelak. Bekal apa yang telah kita siapkan agar selamat di alam yang baru itu?

Imam Turmudzi meriwayatkan hadits yang berbunyi: “Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt.” (HR. Imam Turmudzi)

Hadits di atas menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Tuhan-nya.

Imam Turmudzi meriwayatkan ucapan Sayidina Umar bin Khaththab yaitu: “Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari `aradh akbar (yaumul hisab). Hisab itu hanya akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.”

Sahabat Umar memahami benar urgensi dari muhasabah ini. Pada kalimat terakhir dari ungkapan di atas, beliau mengatakan bahwa orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di hari akhir kelak. Beliau paham betul bahwa setiap insan akan dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab dari Allah swt.

Oleh karena itu, ketika kita menyinggung muhasabah, maka di dalamnya ada tiga bentuk atau tiga fase muhasabah.

Pertama, muhasabah sebelum berbuat. Muhasabah pada keadaan pertama ini penting untuk dilakukan guna mengetahui apakah perbuatan yang hendak kita lakukan bermanfaat, baik untuk diri kita sendiri maupun diri orang lain. Berpikir jernih dan cerdas sebelum berbuat merupakan langkah seorang besar yang memiliki visi yang jauh ke depan. Ia bisa menimbang baik-buruk, positif-negatifnya suatu pekerjaan yang hendak ia lakoni.

Kedua, muhasabah saat melaksanakan sesuatu. Fase kedua yang perlu didaki oleh kita setelah bermuhasabah sebelum berbuat adalah melakukan introspeksi ulang di tengah perbuatan yang sedang kita jalani. Tujuannya tidak lain adalah mengontrol dan mengendalikan diri agar tidak menyimpang. Layaknya kita sebagai manusia, mungkin kita baik di awal, namun tak menjamin kita tetap berada di jalan yang semestinya manakala kita tengah dalam proses mengerjakan sesuatu. Hal ini dapat mencegah kemungkinan terjadinya penyimpangan pada saat melaksanakan sesuatu atau menghentikannya sama sekali.

Ketiga, muhasabah setelah melakukan suatu perbuatan. Pada fase ini, muhasabah berfungsi sebagai alat penemu kesalahan, kekurangan, dan kekhilafan yang terselip di dalam melakukan sesuatu. Tujuannya jelas, kesalahan yang terjadi tidak boleh terjadi pada masa mendatang.

Ketika kita selalu memperhatikan modal, memperhitungkan keuntungan dan kerugian, bertobat dikala melakukan kesalahan dan bersungguh-sungguh dalam melakukan kebaikan, Insya Allah kita termasuk orang yang menghisab diri sebelum hari penghisaban, yaitu hari kiamat.*

Red: Cholis Akbar
http://www.hidayatullah.com/read/19913/25/11/2011/bermuhasabah,-sebelum-hari-penghisaban.html
Readmore »»

Selasa, 22 November 2011

Menolak Hawa Nafsu

Hawa Nafsu (1)

ِإَياكُمْ وَكُلُّ هَوَى يُسَمَّى بِغَيْرِ الإِسْلاَمِ
“Hindarilah setiap hawa nafsu (keinginan) yang bukan atas nama Islam.”
Sebuah seruan yang diteriakkan oleh seorang ulama salaf, Maimun bin Muhran, ketika ia khawatir akan tipuan nafsu yang dikemas dengan nama-nama yang indah. Gaung seruan itu terus terdengar hingga sepanjang sejarah Islam.

Dengan seruan itu beliau ingin mengingatkan kita bahwa segala perkara yang bukan bersumber dari Islam tidak lain dan tidak bukan adalah hawa nafsu belaka, dalam segala bentuknya dan di zaman manapun ia muncul.
Pemahaman ini ma'tsur (resmi bersumber) dari para imam kaum muslimin, bagi mereka hanya ada satu kebenaran, yaitu wahyu. Segala sesuatu yang berbeda dan bertentangan dengan wahyu adalah hawa nafsu yang tercela. Tidak ada sedikit pun dari hawa nafsu yang patut dipuji atau berdampingan dengan kebenaran. Jangan sampai seorang muslim memutuskan sesuatu dengan hawa nafsu atau hatinya merasa tenang dengan mengikuti hawa nafsu.
Dengan ringkas Imam Syathibi menegaskan perkara ini dalam kitabnya, Al-Muwaafaqaat:
Sesungguhnya Allah telah menjadikan pengikut hawa nafsu sebagai penentang kebenaran sebagaimana firman Allah Taala:
يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shaad: 26)
Allah juga berfirman:
فَأَمَّا مَنْ طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى
“Maka barang siapa yang melampaui batas. Dan mengutamakan hidup di dunia, maka sesungguhnya, nerakalah tempat tinggalnya.” (An-Nazi’at: 37-39)
Kemudian Allah berfirman tentang sifat yang berlawanan dengan hawa nafsu:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya).” (An-Nazi’at: 40-41)
Firman Allah Taala:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (An-Najm:3-4)
Ayat di atas menunjukkan bahwa bagi kita hanya ada dua pilihan, wahyu (syariat) atau hawa nafsu. Tidak ada pilihan ketiga. Jelaslah bahwa keduanya adalah dua hal yang berlawanan. Apabila wahyu mengatakan sesuatu itu hak, maka lawannya adalah hawa nafsu dan apapun yang mengikuti hawa nafsu bertentangan dengan yang hak.
Firman Allah lagi:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلاَ تَذَكَّرُونَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”(Al-Jatsiyah: 23)
Firman Allah Taala:
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ
“Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya.” (Al-Mu’minun: 71)
Firman Allah Taala:
أُولَئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ
“Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.” (Muhammad: 16)
Firman Allah Taala:
أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ كَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ
“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang (setan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?” (Muhammad: 14)
Perhatikan bahwa setiap ayat yang menyebut tentang keinginan hawa nafsu, maka selalu berisi celaan terhadap hawa nafsu dan pelakunya. Maksud kenyataan ini sama sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. Beliau berkata:
“Tidaklah Allah menyebut keinginan hawa nafsu di dalam Alquran, kecuali Dia mencelanya.”
Semua itu jelas mengisyaratkan bahwa maksud Allah sebagai pembuat syariat adalah untuk mengeluarkan kita dari golongan yang mengikuti hawa nafsu.
***
Allah memerintahkan Rasulullah saw. untuk mengambil satu syariat dan manhaj:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)
Sayid Quthub berkata dalam tafsirnya, Fii Zhilaalil Qur'an:
“Pilihan itu hanya ada dua, syariat Allah atau mengikuti keinginan orang-orang jahil. Tidak ada pilihan ketiga, jalan tengah antara syariat yang lurus dan keinginan hawa nafsu yang berubah. Seseorang yang meninggalkan syariat Allah berarti telah berhukum kepada keinginan nafsunya. Segala sesuatu selain syariat Allah adalah keinginan hawa nafsu yang disukai oleh orang yang jahil.”
Syariat hanyalah satu, yaitu syariat Allah dan selain itu hanyalah keinginan hawa nafsu yang bersumber dari kejahilan. Penerus dakwah wajib mengikuti syariat Allah semata dan meninggalkan segala keinginan hawa nafsu. Mereka tidak boleh menyeleweng sedikit pun dari syariat untuk kemudian mengikuti keinginan hawa nafsu.
Demikianlah juga perintah Allah kepada orang-orang beriman dengan firman-Nya kepada mereka:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 208)
“Pilihlah! Petunjuk Allah atau tipu daya setan.”
Dengan demikian, seorang muslim perlu mengetahui dasar sikapnya, tidak plin-plan, bimbang dan ragu-ragu dalam memilih satu jalan dari berbagai jalan dan bermacam orientasi hidup. Tidak ada manhaj alternatif bagi orang beriman atau pilihan untuk meramu manhaj Islam dengan manhaj lain. Tidak akan ada. Barang siapa yang tidak masuk Islam secara keseluruhan, berarti ia tidak menyerahkan dirinya secara ikhlas kepada pimpinan Allah dan syariatnya. Selain itu ia juga tidak membebaskan diri dari tashawwur, konsep, manhaj dan syariat yang lain. Maka sesungguhnya ia berada di jalan setan dan mengikuti jejak langkah setan.
***
Readmore »»

Rabu, 16 November 2011

22 Tanda Iman Anda Sedang Lemah

Oleh: Mochamad Bugi

Dakwatuna.com - Ada beberapa tanda-tanda yang menunjukkan iman sedang lemah. Setidaknya ada 22 tanda yang dijabarkan dalam artikel ini. Tanda-tanda tersebut adalah:
1. Ketika Anda sedang melakukan kedurhakaan atau dosa. Hati-hatilah! Sebab, perbuatan dosa jika dilakukan berkali-kali akan menjadi kebiasaan. Jika sudah menjadi kebiasaan, maka segala keburukan dosa akan hilang dari penglihatan Anda. Akibatnya, Anda akan berani melakukan perbuatan durhaka dan dosa secara terang-terangan.

Ketahuilah, Rasululllah saw. pernah berkata, “Setiap umatku mendapatkan perindungan afiat kecuali orang-orang yang terang-terangan. Dan, sesungguhnya termasuk perbuatan terang-terangan jika seseirang melakukan suatu perbuatan pada malam hari, kemudian dia berada pada pagi hari padahal Allah telah menutupinya, namun dia berkata, ‘Hai fulan, tadi malam aku telah berbuat begini dan begini,’ padahal sebelum itu Rabb-nya telah menutupi, namun kemudian dia menyibak sendiri apa yang telah ditutupi Allah dari dirinya.” (Bukhari, 10/486)
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada pezina yang di saat berzina dalam keadaan beriman. Tidak ada pencuri yang si saat mencuri dalam keadaan beriman. Begitu pula tidak ada peminum arak di saat meminum dalam keadaan beriman.” (Bukhari, hadits nomor 2295 dan Muslim, hadits nomor 86)
2. Ketika hati Anda terasa begitu keras dan kaku. Sampai-sampai menyaksikan orang mati terkujur kaku pun tidak bisa menasihati dan memperlunak hati Anda. Bahkan, ketika ikut mengangkat si mayit dan menguruknya dengan tanah. Hati-hatilah! Jangan sampai Anda masuk ke dalam ayat ini, “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi.” (Al-Baqarah:74)
3. Ketika Anda tidak tekun dalam beribadah. Tidak khusyuk dalam shalat. Tidak menyimak dalam membaca Al-Qur’an. Melamun dalam doa. Semua dilakukan sebagai rutinitas dan refleksi hafal karena kebiasaan saja. Tidak berkonsentrasi sama sekali. Beribadah tanpa ruh. Ketahuilah! Rasulullah saw. berkata, “Tidak akan diterima doa dari hati yang lalai dan main-main.” (Tirmidzi, hadits nomor 3479)
4. Ketika Anda terasas malas untuk melakukan ketaatan dan ibadah. Bahkan, meremehkannya. Tidak memperhatikan shalat di awal waktu. Mengerjakan shalat ketika injury time, waktu shalat sudah mau habis. Menunda-nunda pergi haji padahal kesehatan, waktu, dan biaya ada. Menunda-nunda pergi shalat Jum’at dan lebih suka barisan shalat yang paling belakang. Waspadalah jika Anda berprinsip, datang paling belakangan, pulang paling duluan. Ketahuilah, Rasulullah saw. bersabda, “Masih ada saja segolongan orang yang menunda-nunda mengikuti shaff pertama, sehingga Allah pun menunda keberadaan mereka di dalam neraka.” (Abu Daud, hadits nomor 679)
Allah swt. menyebut sifat malas seperti itu sebagai sifat orang-orang munafik. “Dan, apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas.”
Jadi, hati-hatilah jika Anda merasa malas melakukan ibadah-ibadah rawatib, tidak antusias melakukan shalat malam, tidak bersegera ke masjid ketika mendengar panggilan azan, enggan mengerjakan shalat dhuha dan shalat nafilah lainnya, atau mengentar-entarkan utang puasa Ramadhan.
5. Ketika hati Anda tidak merasa lapang. Dada terasa sesak, perangai berubah, merasa sumpek dengan tingkah laku orang di sekitar Anda. Suka memperkarakan hal-hal kecil lagi remeh-temeh. Ketahuilah, Rasulullah saw. berkata, “Iman itu adalah kesabaran dan kelapangan hati.” (As-Silsilah Ash-Shahihah, nomor 554)
6. Ketika Anda tidak tersentuh oleh kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Tidak bergembira ayat-ayat yang berisi janji-janji Allah. Tidak takut dengan ayat-ayat ancaman. Tidak sigap kala mendengar ayat-ayat perintah. Biasa saja saat membaca ayat-ayat pensifatan kiamat dan neraka. Hati-hatilah, jika Anda merasa bosan dan malas untuk mendengarkan atau membaca Al-Qur’an. Jangan sampai Anda membuka mushhaf, tapi di saat yang sama melalaikan isinya.
Ketahuilah, Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (Al-Anfal:2)
7. Ketika Anda melalaikan Allah dalam hal berdzikir dan berdoa kepada-Nya. Sehingga Anda merasa berdzikir adalah pekerjaan yang paling berat. Jika mengangkat tangan untuk berdoa, secepat itu pula Anda menangkupkan tangan dan menyudahinya. Hati-hatilah! Jika hal ini telah menjadi karakter Anda. Sebab, Allah telah mensifati orang-orang munafik dengan firman-Nya, “Dan, mereka tidak menyebut Allah kecuali hanya sedikit sekali.” (An-Nisa:142)
8. Ketika Anda tidak merasa marah ketika menyaksikan dengan mata kepala sendiri pelanggaran terhadap hal-hal yang diharamkan Allah. Ghirah Anda padam. Anggota tubuh Anda tidak tergerak untuk melakukan nahyi munkar. Bahkan, raut muka Anda pun tidak berubah sama sekali.
Ketahuilah, Rasulullah saw. bersabda, “Apabila dosa dikerjakan di bumi, maka orang yang menyaksikannya dan dia membencinya –dan kadang beliau mengucapkan: mengingkarinya–, maka dia seperti orang yang tidak menyaksikannya. Dan, siapa yang tidak menyaksikannya dan dia ridha terhadap dosa itu dan dia pun ridha kepadanya, maka dia seperti orang yang menyaksikannya.” (Abu Daud, hadits nomor 4345).
Ingatlah, pesan Rasulullah saw. ini, “Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Kalau tidak sanggup, maka dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemahnya iman.” (Bukhari, hadits nomor 903 dan Muslim, hadits nomor 70)
9. Ketika Anda gila hormat dan suka publikasi. Gila kedudukan, ngebet tampil sebagai pemimpin tanpa dibarengi kemampuan dan tanggung jawab. Suka menyuruh orang lain berdiri ketika dia datang, hanya untuk mengenyangkan jiwa yang sakit karena begitu gandrung diagung-agungkan orang. Narsis banget!
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Luqman:18)
Nabi saw. pernah mendengar ada seseorang yang berlebihan dalam memuji orang lain. Beliau pun lalu bersabda kepada si pemuji, “Sungguh engkau telah membinasakan dia atau memenggal punggungnya.” (Bukhari, hadits nomor 2469, dan Muslim hadits nomor 5321)
Hati-hatilah. Ingat pesan Rasulullah ini, “Sesungguhnya kamu sekalian akan berhasrat mendapatkan kepemimpinan, dan hal itu akan menjadikan penyesalan pada hari kiamat. Maka alangkah baiknya yang pertama dan alangkah buruknya yang terakhir.” (Bukhari, nomor 6729)
“Jika kamu sekalian menghendaki, akan kukabarkan kepadamu tentang kepemimpinan dan apa kepemimpinan itu. Pada awalnya ia adalah cela, keduanya ia adalah penyesalan, dan ketiganya ia adalah azab hati kiamat, kecuali orang yang adil.” (Shahihul Jami, 1420).
Untuk orang yang tidak tahu malu seperti ini, perlu diingatkan sabda Rasulullah saw. yang berbunyi, “Iman mempunyai tujuh puluh lebih, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan ‘Laa ilaaha illallah’, dan yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu dari jalanan. Dan malu adalah salah satu cabang dari keimanan.” (Bukhari, hadits nomor 8, dan Muslim, hadits nomor 50)
“Maukah kalian kuberitahu siapa penghuni neraka?” tanya Rasulullah saw. Para sahabat menjawab, “Ya.” Rasulullah saw. bersabda, “Yaitu setiap orang yang kasar, angkuh, dan sombong.” (Bukhari, hadits 4537, dan Muslim, hadits nomor 5092)
10. Ketika Anda bakhil dan kikir. Ingatlah perkataan Rasulullah saw. ini, “Sifat kikir dan iman tidak akan bersatu dalam hati seorang hamba selama-lamanya.” (Shahihul Jami’, 2678)
11. Ketika Anda mengatakan sesuatu yang tidak Anda perbuat. Ingat, Allah swt. benci dengan perbuatan seperti itu. “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tiada kamu perbuat.” (Ash-Shaff:2-3)
Apakah Anda lupa dengan definisi iman? Iman itu adalah membenarkan dengan hati, diikrarkan dengan lisan, dan diamalkan dengan perbuatan. Jadi, harus konsisten.
12. Ketika Anda merasa gembira dan senang jika ada saudara sesama muslim mengalami kesusahan. Anda merasa sedih jika ada orang yang lebih unggul dari Anda dalam beberapa hal.
Ingatlah! Kata Rasulullah saw, “Tidak ada iri yang dibenarkan kecuali terhadap dua orang, yaitu terhadap orang yang Allah berikan harga, ia menghabiskannya dalam kebaikan; dan terhadap orang yang Allah berikan ilmu, ia memutuskan dengan ilmu itu dan mengajarkannya kepada orang lain.” (Bukhari, hadits nomor 71 dan Muslim, hadits nomor 1352)
Seseorang bertanya kepada Rasulullah saw., “Orang Islam yang manakah yang paling baik?” Rasulullah saw. menjawab, “Orang yang muslimin lain selamat dari lisan dan tangannya.” (Bukhari, hadits nomor 9 dan Muslim, hadits nomor 57)
13. Ketika Anda menilai sesuatu dari dosa apa tidak, dan tidak mau melihat dari sisi makruh apa tidak. Akibatnya, Anda akan enteng melakukan hal-hal yang syubhat dan dimakruhkan agama. Hati-hatilah! Sebab, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Barangsiapa yang berada dalam syubhat, berarti dia berada dalam yang haram, seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanaman yang dilindungi yang dapat begitu mudah untuk merumput di dalamnya.” (Muslim, hadits nomor 1599)
Iman Anda pasti dalam keadaan lemah, jika Anda mengatakan, “Gak apa. Ini kan cuma dosa kecil. Gak seperti dia yang melakukan dosa besar. Istighfar tiga kali juga hapus tuh dosa!” Jika sudah seperti ini, suatu ketika Anda pasti tidak akan ragu untuk benar-benar melakukan kemungkaran yang besar. Sebab, rem imannya sudah tidak pakem lagi.
14. Ketika Anda mencela hal yang makruf dan punya perhatian dengan kebaikan-kebaikan kecil. Ini pesan Rasulullah saw., “Jangan sekali-kali kamu mencela yang makruf sedikitpun, meski engkau menuangkan air di embermu ke dalam bejana seseorang yang hendak menimba air, dan meski engkau berbicara dengan saudarmu sedangkan wajahmu tampak berseri-seri kepadanya.” (Silsilah Shahihah, nomor 1352)
Ingatlah, surga bisa Anda dapat dengan amal yang kelihatan sepele! Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menyingkirkan gangguan dari jalan orang-orang muslim, maka ditetapkan satu kebaikan baginya, dan barangsiapa yang diterima satu kebaikan baginya, maka ia akan masuk surga.” (Bukhari, hadits nomor 593)
15. Ketika Anda tidak mau memperhatikan urusan kaum muslimin dan tidak mau melibatkan diri dalam urusan-urusan mereka. Bahkan, untuk berdoa bagi keselamatan mereka pun tidak mau. Padahal seharusnya seorang mukmin seperti hadits Rasulullah ini, “Sesungguhnya orang mukmin dari sebagian orang-orang yang memiliki iman adalah laksana kedudukan kepala dari bagian badan. Orang mukmin itu akan menderita karena keadaan orang-orang yang mempunyai iman sebagaimana jasad yang ikut menderita karena keadaan di kepala.” (Silsilah Shahihah, nomor 1137)
16. Ketika Anda memutuskan tali persaudaraan dengan saudara Anda. “Tidak selayaknya dua orang yang saling kasih mengasihi karean Allah Azza wa Jalla atau karena Islam, lalu keduanya dipisahkan oleh permulaan dosa yang dilakukan salah seorang di antara keduanya,” begitu sabda Rasulullah saw. (Bukhari, hadits nomor 401)
17. Ketika Anda tidak tergugah rasa tanggung jawabnya untuk beramal demi kepentingan Islam. Tidak mau menyebarkan dan menolong agama Allah ini. Merasa cukup bahwa urusan dakwah itu adalah kewajiban para ulama. Padahal, Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penolong-penolong (agama) Allah.” (Ash-Shaff:14)
18. Ketika Anda merasa resah dan takut tertimpa musibah; atau mendapat problem yang berat. Lalu Anda tidak bisa bersikap sabar dan berhati tegar. Anda kalut. Tubuh Anda gemetar. Wajah pucat. Ada rasa ingin lari dari kenyataan. Ketahuilah, iman Anda sedang diuji Allah. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka belum diuji.” (Al-Ankabut:2)
Seharusnya seorang mukmin itu pribadi yang ajaib. Jiwanya stabil. “Alangkah menakjubkannya kondisi orang yang beriman. Karena seluruh perkaranya adalah baik. Dan hal itu hanya terjadi bagi orang yang beriman, yaitu jika ia mendapatkan kesenangan maka ia bersyukur dan itu menjadi kebaikan baginya; dan jika ia tertimpa kesulitan dia pun bersabar, maka hal itu menjadi kebaikan baginya.” (Muslim)
19. Ketika Anda senang berbantah-bantahan dan berdebat. Padahal, perbuatan itu bisa membuat hati Anda keras dan kaku. “Tidaklah segolongan orang menjadi tersesat sesudah ada petunjuk yang mereka berada pada petunjuk itu, kecuali jika mereka suka berbantah-bantahan.” (Shahihul Jami’, nomor 5633)
20. Ketika Anda bergantung pada keduniaan, menyibukkan diri dengan urusan dunia, dan merasa tenang dengan dunia. Orientasi Anda tidak lagi kepada kampung akhirat, tapi pada tahta, harta, dan wanita. Ingatlah, “Dunia itu penjara bagi orang yang beriman, dan dunia adalah surga bagi orang kafir.” (Muslim)
21. Ketika Anda senang mengucapkan dan menggunakan bahasa yang digunakan orang-orang yang tidak mencirikan keimanan ada dalam hatinya. Sehingga, tidak ada kutipan nash atau ucapan bermakna semisal itu dalam ucapan Anda.
Bukankah Allah swt. telah berfirman, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia’.” (Al-Israa’:53)
Seperti inilah seharusnya sikap seorang yang beriman. “Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: ‘Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.’” (Al-Qashash:55)
Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.” (Bukhari dan Muslim)
22. Ketika Anda berlebih-lebihan dalam masalah makan-minum, berpakaian, bertempat tinggal, dan berkendaraan. Gandrung pada kemewahan yang tidak perlu. Sementara, begitu banyak orang di sekeliling Anda sangat membutuhkan sedikit harta untuk menyambung hidup.
Ingat, Allah swt. telah mengingatkan hal ini, ”Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf:31). Bahkan, Allah swt. menyebut orang-orang yang berlebihan sebagai saudaranya setan. Karena itu Allah memerintahkan kita untuk, “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang terdekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (Al-Isra’:26)
Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah hidup mewah, karena hamba-hamba Allah itu bukanlah orang-orang yang hidup mewah.” (Al-Silsilah Al-Shahihah, nomor 353).
Readmore »»

Minggu, 22 Mei 2011

Karakteristik Orang-orang yang Berobsesi kepada akhirat


Dalam masalah ini, manusia terbagi ke dalam tiga kelompok.

Kelompok Pertama
Yaitu orang-orang yang obsesi kepada akhirat mendominasi diri mereka. Alu, mereka bekerja di dunia dengan kacamata akhirat dan tahu dunia itu jembatan menuju akhirat. Mereka tahu apa saja yang ada di dunia adalah sarana yang diciptakan Allah Ta’ala untuk membantu manusia merealisir tujuan penciptaan mereka, yaitu beribadah kepada-Nya. Mereka memperlakuka dunia sebagai sarana dan meletakkannya di genggaman tangan mereka. Mereka yang mengelolanya dan tidak membiakannya mengelola diri mereka atau mengarahkan mereka semaunya. Mereka tidak menjauhkan diri dari dunia beserta isinya dan tidak menjauhkan dari manusia, karen tahu tugas mereka dengan jelas, yaitu memperbaiki diri dan orang lain, serta memanfaatkan seluruh saana dunia untuk tiba di akhirat denan aman.

Kelompok Kedua
Yaitu orang-orang yang cinta dunia begitu menguasai mereka, hingga membuat mereka lupa total kepada akhirat dan tidak tahu dunia itu jembatan menuju akhia mereka kia dunia itu segala-galanya. Mereka tidak tahu dengan jelas alau semua sarana di dunia sebenanya untuk membantu manusia merealisir tujuan penciptaan meeka, yaitu eribadah kepada Allah Ta’ala. Naifnya, mereka meyakini semua sarana dunia itu tujuan final penciptan mereka, lalu mereka menyembahnya selan Allah Ta’ala, meletakkannya di hati mereka yang kemudian mengarahkan mereka semaunya, dan mereka menghabiskan seluruh usia mereka untuknya. Harta tujuan mereka. Wanita tujuan mereka. Aak uuan mereka. Jabaatn tujuan mereka. Status sosial tujuan mereka. Makanan tujuan mereka. Pakaian tujuan mereka. Dan, syahwat-syahwat lain tujuan mereka, bukannya tujuan tertinggi yang merupakan tujuan penciptakan mereka.

Kelompok Ketiga
Yaitu orang-orang yang tidak jelas statusnya. Mereka tidak ingin masuk kelompok pertama atau kelompok kedua. Namun, ingin mendapatkan sebagian karakteristik kelompok petama dan sebagian karakteristik kelompok kedua. Sekali waktu mereka menyembah syahwat selain Allah Ta’ala dan beperang untuknya. Dan, sekali waktu, mereka menyembah Allah Ta’ala dan mendapatkan secuil obsesi kepada akhirat. Mereka seperti orang yang berputar-putar di sekitar cagar alam dan ada kemungkinan besar menggembalakan hewan gembalanya di cagar alam itu. mereka berada dalam situasi kritis dan tidak aman mereka tidak kokoh di jalan yang lurus dan meninggalkan statusnya yang tidak jelas itu.
Tentang ketiga kelompok di atas, orang zuhud, Yahya bin Muadz, berkata, “Manusia terbagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, orang yang lebih sibuk dengan akhirat daripada dengan dunia. Kedua, orang yang lebih sibuk dengan dunia daripada dengan akhirat. Ketiga, orang yang sibuk dengan keduanya sekaligus. Kelompok pertama merupakan orang-orang sukses, kelompok kedua orang-orang celaka, dan kelompok ketiga orang-orang yang dalam kondisi kritis.”
Orang-orang yang berobsesi kepada akhirat merupakan kelompok pertama dan orang-orang yan beruntung di antara kelompok yang ada. Karena itu, perlu ada studi khusus tentang karakteristik mereka, aga kita bisa meneladani mereka. Di antara karakteristik mereka yang paling menonjol adalah sebagai berikut:

1. Sedih karena Akhirat
Kendati mereka mengharapkan rahmat Allah Ta’ala dan ampunan-Nya, mereka tidak pasrah begitu saja. Mereka sedih atas kelalaian dan dosa yang telah mereka lakukan, kendati dosa kecil dan remeh. Mereka sedih atas penderitaan, kedzaliman, dan musibah yang dialami kaum Muslimin. Mereka punya jiwa yang sart dengan kasih sayang dan kepekaan, karena obsesi kepada akhirat mendominasi mereka.
Hati yang tidak sedih itu seperti rumah rusak. Demikian perumpamaan yang dibuat murid Al-Hasan Al-Bashri, Malik bin Dinar. Lebih lengkapnya, ia bekata, “Jika hati tidak sedih, maka rusak, seperti halnya rumah yang jika tidak ditempati maka rusak.”
Sedih itu menghirupkan hati dan menggerakkan perasaan yang tersembunyi di dalamnya. sedang tidak sedih mematikan perasaan, lalu hati membeku, mati, dan menjadi seperti rumah rusak seperti dikatakan Malik bin Dinar. “Rumah” tersebut lengang, menjadi kandang hewan, belalang, dan jin. Juga menjadi tempat buang kotoran, lalu bau busuk menebar dari sana-sini, dan dibenci semua orang yang berhati sehat.
Sedih itu bertingkat-tingkat. Kadar hilangnya obsesi kepada dunia ditentukan oleh sejauhmana kesedihan Anda karena akhirat. Sedih karena akhirat merupakan sarana “pembersihan” permanen dan selalu terjadi saat hati hidup. Imam Malik bin Dinar berkata, “Kadar hilangnya obsesi kepada akhirat dari hati Anda sangat ditentukan oleh kadar obsesi Anda kepada dunia. Dan, kadar hilangnya obsesi kepada dunia dari hati Anda ditentukan oleh sejauhmana kadar obsesi Anda kepada akhirat.”
Sedih karena akhiat membuat orang punya perasaan takut Allah Ta’ala meng-hisap dirinya pada Hari Kiamat, lalu ia meng-hisap dirinya sebelum ia dihisap kelak di akhirat.

2. Selalu Mengadakan Muhasabah (Evaluasi Diri)
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu berkata, “Hisap-lah diri kalian sebelum kalian di-hisap. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan, bersiap-siaplah menghadapi Hari Kiamat.”
Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu rutin mengadakan muhasabah pada dirinya atas seluruh perkataan dan perbuatannya.
Tentang An-Nafsu Al-Lawwamah, yang dijadikan bahan sumpah oleh Allah Ta’ala ketika befirman,

“Aku bersumpah dengan Hari Kiamat. Dan, aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali.” (Al-Qiyamah: 1-2).

Dijelaskan di Tafsir Al-Qurthubi, “Al-Hasan Al-Bashri berkata, ‘Demi Allah, jiwa seperti itu jiwa orang Mukmin. Ia selalu mengecam jiwanya dengan mengatakan, apa yang aku inginkan dengan perkataanku? Apa yang aku inginkan dengan apa yang aku makan? Apa yang aku inginkan dengan pembicaraanku kepada diriku? Sedang orang jahat, ia tidak pernah meng-hisap dirinya’.”
Salah seorang tabi’in, Bilal bin Sa’ad, meng-hisap dirinya atas hilangnya rasa sedih dirinya karena akhirat. Ia berkata, “Ah sedihnya aku, sebab aku tidak sedih.”

3. Selalu Beramal untuk Akhirat
Sedih yang terjadi pada generasi salaf karena obsesi kepada akhirat tidak membuat mereka mengucilkan diri di sudut-sudut masjid dan rumah-rumah mereka, guna menangisi diri mereka dan membiarkan orang-orang sesat berkubang dalam kesesatan, tanpa memperbaiki orang-orang sesat itu. justru, sedih motivator terbesar yang mengerakkan mereka peduli pada diri sendiri, dengan mengadakan perbaikan, penyucian, dan segera beramal sebelum kesempatan hilang. Juga peduli pada orang lain, dengan memperbaiki mereka, mendakwahi mereka, bersabar atas gangguan dan ujian di jalan dakwah. Malik bin Dinar bekata, “Setiap sesuatu punya serbuk bersabar dalam mengerjakan amal shalih, kecuali dengan sedih.”
Amal shalih tidak hanya shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, dan dzikir saja. Amal shalih ialah apa saja yang dicintai Allah Ta’ala dan amal paling Dia cintai adalah jihad di jalan-Nya. Tingkatan ihad paling tinggi ialah menumpahkan darah (perang) di jalan Alah dan tingkatan terendahnya ialah menolak kemungkaran dengan hati. Di antara kedua tingkatan tersebut terdapat beberapa tingkatan jihad.

4. Trenyuh Melihat Pemandangan Kematian
Karena hati generasi salaf hidup, mer3eka mengaitkan apa saja yang mereka lihat di dunia dengan akhirat. Sesuatu yang paling menakutkan mereka ialah pemandangan kematian.
Ya, pemandangan kematian membekas kuat di hati seorang dari mereka hingga berhari-hari dan menambah semangatnya menuju akhirat, sebab khawatir ajal datang menjemputnya, sementara dia belum mengerjakan amal yang menaikkannya ke tingkat paling tinggi. Seorang tabi’in, Ibrahim An-Nakhai, berkata, “Jika kami datang ke rumah orang yang meninggal dunia atau mendengar ada orang meninggal dunia, hal itu membekas pada kami hingga berhari-hari, karena kami tahu ada sesuatu (ajal datang pada orang tersebut, lalu membawanya ke surga atau neraka.”
*(diambil dari buku terjemahan dengan judul Taujih-taujih ruhiyah oleh Syaikh Abdul Hamid Al Bilali)
Readmore »»

Mozaik Indah Bersama Sang Murabbiyah (part 1)

5/22/2011 08:09:00 AM | Posted by islamedia


Islamedia - Masih kuingat rumah sederhana yang tepat berada di depan Ma’had Al-Hikmah Jln Bangka IV Jakarta Selatan itu. Rumah tempatku bercengkerama saat jam istirahat kuliah dirosah sepekan 3 kali, atau sekedar numpang wudhu karena antrian wudhu di Ma’had cukup panjang. Sering kulihat Umar dan adik-adiknya keluar rumah lalu pergi diajak naik Toyoya Kijang kotak coklat bersama abi mereka, Ust Budi Dharma. Kadang, di hadapanku melintas Umar, atau Asma yang waktu itu masih kecil-kecil. Umar pernah kuledek, “Eh ada Umar bin Khattab”

Dia menjawab spontan, “Bukan, aku Umar bin Budi”

Jawaban spontan yang sangat cerdas dari seorang anak balita J

Ustadzah sering mengisi kajian di Masjid Al-Hikmah, kurun waktu 1991-1997 itu. Salah satu yang kuingat betul adalah saat beliau memberikan trik praktis saat ada peserta kajian yang bertanya, “Ummi, gimana kalau punya bayi ya? Kok saya sholat lail-nya jadi banyak bolongnya? Baru aja ditinggal sebentar, bayi saya sudah nangis”

Waktu itu, tahun 1994-an mungkin, aku belum menikah, jadi belum terlalu paham juga dengan kerepotan si ibu muda tadi.

Ummu Umar menjawab, “Insya Allah masih bisa ukhti…Yang namanya bayi, ya tugasnya memang nangis. Malah kuatir kita kan, kalau dia gak bisa nangis tapi anteng terus? Nah, anti bisa siapkan bayi dulu dengan memmbersihkan dari najis, terus dipasang pampers, lalu menyempatkan diri wudhu sebentar. Saatnya sholat, gelarlah kasur kecil di samping sajadah kita dan taruh bayi di situ. Kalau dia menangis, jangan panik dulu, tetap teruskan sholat. Tapi kalau terlihat tanda-tanda nangisnya tak mau berhenti, gendonglah dia sambil sholat. Insya Allah dalam dekapan si ibu, dia akan tenang kembali. Sekaligus ini memberikan tarbiyah ruhaniyah padanya, sejak kecil sudah merasakan dan menyaksikan ibunya selalu bangun untuk sholat lail di sepertiga malam”

Mendengar penjelasan beliau, haru sekali rasanya. Benar-benar aplikatif. Oh, ini rahasianya mungkin ya? Hinga meski putra beliau buanyak, tetap tampak kompak, teduh wajahnya dengan seringnya berwudhu.

Saat lain, Oktober 2002, aku dan teman-teman berkunjung ke rumah beliau (sudah pindah) di Depok, menjelang Ramadhan. Ummu Umar sempat bertanya tentang penyerapan dan pemahaman kami terhadap muwashofat tarbawiyah yang sudah ada. Tentu rata-rata kami menjawab dengan malu, banyakan belum tercapainya dari pada sudah tercapai. Dengan senyum bijak, Ummu Umar bercanda, “Akhowatiii….padahal muwassofat itu sudah menghabiskan berkilo-kilo jeruk dan begadang hampir tiap malam lho untuk bisa jadi seperti itu”

Duuh jadi makin malu.

Kalau jenjang pendidikan formal bisa sampai gelar S2, ini tarbiyah sudah berbilang tahun tapi kok kompetensinya (baca: pencapaian muwashofatnya) setara anak SD juga belum. Hiks hiks….

Waktu itu, beliau juga menyitir ucapan Bunda Zainab Al-Ghazali, mujahidah tangguh dengan pengorbanannya yang luar biasa, yang buku kisahnya di penjara waktu itu , kubaca saat aku SMA dan membuatku merinding berhari-hari. Bunda Zainab membandingkan kiprah beliau dengan kiprah Asy syahid Ust Sayyid Qutb,“Ibarat membangun rumah, rumahku ini baru pondasi dan kerangka. Tapi rumah Sayyid Qutb sudah berlantai enam”

Huhuhu, kalau bunda Zainab saja merasa baru pondasi, terus macam aku ini apa? Tanah rawa-rawa yang masih penuh akar bakau dan belum diurug kali ya? Atau comberan di pinggir tanah yang akan dibangun rumah? Hiks hiks

Ustadzah juga memberikan kiat-kiat untuk berinteraksi dengan Al-Quran dengan lebih baik, saat beliau membahas tentang hadist bahwa posisi seseorang di akherat sesuai dengan ayat terakhir yang dia baca.

“Jadi, seolah-olah, setiap kali kita membaca Al-Qur’an, kita sedang membuat tangga ke surga. Kalau bacanya cuma sedikit-sedikit ya gak bakal nyampek ke surga. Umar bin Khattab itu meninggal saat mengimami sholat subuh dan membaca surat Al-Anfaal. Utsman dan Ali juga dibunuh saat membaca Al-Quran. Kematian seseorang itu, tergantung pada kebiasaannya saat dia hidup”

“ Jadi akhowatii, upayakan untuk terus berinteraksi dengan Al-Qur’an. Jika fisik lelah, akal masih bisa beraktifitas. Tidak kuat lagi bersuara untuk tilawah, bisa beralih dengan membaca tafsir. Jika akal kita lelah juga, ruh masih bisa beraktifitas. Membaca tafsir pun mata dan otak sudah berat, bisa beralih dengan mendengarkan tasmi’ Al-Qur’an. Intinya, jangan keterusan tidur hanya sekedar memenuhi rasa kantuk”

Huwaa, jadi malu sangat. Sering kebablasan tidur padahal belum memenuhi target tilawah 1 juz per hari L

(Tausiyah beliau tentang interaksi dengan Al-Qur’an inilah yang menjadi ilham bagiku untuk menulis note ‘Bukan Belum Mampu, Tapi Belum Mau’, beberapa waktu yang lalu).

Beliau saat itu juga mengajarkan sebuah doa yang sangat indah bagi kami, para ibu muda. Begini doanya:

Allahumma baarik fii awlaadinaa wa laa tadzurrohum wa waffiqhum litho ‘atika war zuqnaa birrohum

Ya Allah, berkahilah anak-anak kami. Jangan susahkan mereka. Berikanlah mereka taufiq untuk taat kepada-Mu dan berikanlah rizki pada kami berupa kebaikan2 mereka.

Pertemuan sore itu di tutup dengan secangkir teh jahe hangat dan semangkok bakso panas yang rupanya sudah dipersiapkan Ummu Umar mengingat suasana hari itu yang mendung dan hujan. Kehangatan yang tidak hanya memenuhi kerongkongan dan perut kami yang telah berada di majlis ilmu itu sejak siang berada di rumah beliau, tapi juga menembus jauh ke dalam lubuk hati kami.

Ummu Umar, sungguh belum puas aku mendapat bimbinganmu yang penuh kasih…

#Catatan mozaik selanjutnya, semoga ada waktu menulisnya, lain waktu. Mesti membongkar-bongkar buku 2 catatan lama J

(bersambung)

Mukti A. Farid
Readmore »»

Kamis, 05 Mei 2011

Keutamaan Menangis


Allah subhanahu wa ta'ala memuji makhluk-Nya yang paling mulia di dalam firman-Nya,
"Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis." (QS Maryam: 58)

Ibnu Sa'di berkata berkenaan dengan ayat di atas, "Firman Allah subhanahu wa ta'ala, "Maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis, maksudnya adalah mereka khudhu' dan khusyu' dengan ayat-ayat tersebut, karena menggoreskan iman, cinta dan takut di hati mereka, sehingga membuat mereka menangis, berserah diri dan sujud kepada Tuhan mereka."

Allah subhanahu wa ta'ala juga berfirman mengenai para ahli kitab yang shalih,
"Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata, 'Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.' Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'." (QS al Israa': 107 – 109)

Menangis, menurut Al-Ghazali, disunahkan saat membaca Al-Qur'an. Cara untuk memaksakan tangisan adalah membayangkan hal-hal yang dapat menyebabkan kita menangis, yaitu dengan merenungi ancaman dan janji yang ada di dalam Al-Qur'an, kemudian merenungi kealpaan sikap kita terhadap berbagai perintah dan larangan Allah subhanahu wa ta'ala.

Rasa sedih dan tangis hanya menghampiri hati seseorang yang bersih. Hilangnya kesedihan dan tangisan hendaknya membuat kita bersedih (dan menangis), karena hal tersebut merupakan tanda musibah terbesar yang telah menimpanya."

BELAJAR DARI GENERASI AWAL

Dalam sejarah kehidupan generasi awal Islam, banyak kita temui kisah-kisah tentang kelembutan hati dimana mereka sering menangis ketika membaca dan mendengarkan Al-Qur'an. Hati mereka begitu mudah tersentuh karena keimanan yang telah begitu kuat mengakar di dalam dada. Berikut ini beberapa kisah tentang figur-figur itu:

1. ABU BAKAR ASH-SHIDIQ RADHIALLAHU ANHU

Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya bahwa ketika sakit Rasulullah shalallahu alaihi wa salam semakin keras, beliau ditanya tentang shalat. Lalu beliau menjawab, "Suruhlah Abu Bakar mengimami orang-orang.".
Aisyah berkata, "Sesungguhnya Abu Bakar adalah orang yang sangat lembut. Bila dia membaca Al-Qur'an maka dia tidak kuasa menahan tangis." Lalu Nabi shalallahu alaihi wa salam berkata, "Suruhlah dia mengimami shalat." Lalu Aisyah mengulangi perkataannya. Nabi Shalallahu Alaihi wa Salam pun berkata, "Suruh dia mengimami shalat. Sesungguhnya kalian (seperti) pengikut Yusuf."

2. UMAR BIN KHATTAB RADHIALLAHU ANHU

Abdullah bin Syidad berkata, "Aku mendengar tangisan sedu sedan Umar saat aku di barisan belakang, yaitu ketika dia membaca, 'Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku'." (HR Bukhari)
Diriwayatkan dari Ubaid bin Umair, ia berkata, "Umar mengimami kami shalat Subuh, lalu dia membaca surat Yusuf pada rakaat pertama. Ketika sampai pada ayat, 'Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya)' (QS Yusuf: 84) beliau menangis hingga berhenti lalu ruku'"

3. ABDURRAHMAN BIN AUF RADHIALLAHU ANHU

Diriwayatkan dari Sa'ad bin Ibrahim, dia berkata, "Abdurrahman bin Auf diberi makan malam saat dia berpuasa. Lalu dia membaca firman Allah subhanahu wa ta'ala,
"Karena sesungguhnya pada sisi Kami ada belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang bernyala-nyala, dan makanan yang menyumbat di kerongkongan dan adzab yang pedih.' (QS Al-Muzammil: 12-13)
Setelah itu dia terus-menerus menangis hingga makan malamnya dibereskan, sedangkan (siang harinya) dia benar-benar puasa."

4. AISYAH RADHIALLAHU ANHA

Diriwayatkan dari Qasim (keponakan Aisyah), ia berkata, "Apabila aku pergi pada pagi hari maka aku selalu memulai keberangkatanku dari rumah Aisyah untuk mengucapkan salam kepadanya. Pada suatu hari aku pergi dan ternyata dia sedang berdiri sambil membaca tasbih dan ayat,
'Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari adzab neraka.' (Qs. Ath-Thuur: 27)
Dia berdoa, menangis, dan mengulang-ulang ayat tersebut. Lalu aku berdiri hingga aku jenuh berdiri. Lalu aku pergi ke pasar untuk mencari kebutuhanku. Ketika aku kembali, ternyata Aisyah Radhiallahu Anha masih berdiri seperti semula sambil melakukan shalat dan menangis."

5. ABU HURAIRAH RADHIALLAHU ANHU

Diriwayatkan dari Sulaiman bin Muslim bin Jammaz, "Aku mendengar Abu Ja'far berkata kepada kami tentang bacaan Abu Hurairah radhiallahu anhu pada ayat,
"Apabila matahari digulung." (Qs At-Takwiir:1)
Beliau sangat tersayat hatinya ketika mendengar ayat tersebut, hingga terkadang menangis dengan ratapan.

6. ABDULLAH BIN RAWAHAH RADHIALLAHU ANHU

Diriwayatkan dari Qais bin Abu Hazim, ia berkata, "Abdullah bin Rawahah menangis, lalu istrinya ikut menangis. Lalu dia bertanya kepada istrinya, 'Apa yang membuatmu menangis?' Istrinya menjawab, 'Aku melihatmu menangis maka aku pun ikut menangis.' Dia kemudian berkata, 'Aku teringat dengan ayat ini,

"Dan tidak ada seorang pun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu." (Qs Maryam: 71).
Aku tahu bahwa aku pasti akan memasuki neraka, tetapi aku tidak tahu apakah aku akan selamat dari neraka.'"

7. ABDULLAH BIN UMAR RADHIALLAHU ANHU

Diriwayatkan dari Qasim bin Abu Bazzah, ia berkata, "Aku diberitahu oleh orang yang mendengar Ibnu Umar radhiallahu anhu membaca ayat,
'Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?' (Qs. Al Muthaffifiin: 1-6)
Ibnu Umar lalu menangis hingga tersungkur, dan setelah itu ia enggan untuk membaca ayat tersebut."

8. IBNU ABBAS RADHIALLAHU ANHU

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Mulaikah, dia berkata, "Aku menemani Ibnu Abbas radhiallahu anhu dari Mekah ke Madinah. Jika singgah di suatu tempat maka dia selalu bangun pada separuh malam." Lalu Ayyub bertanya kepadanya, "Bagaimana bacaannya?" Abdullah menjawab,"Dia membaca,
'Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya.' (Qs. Qaaf: 19)
Dia membacanya dengan tartil dan sering menangis terisak-isak.

9. UMAR BIN ABDUL AZIZ

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Dzaib, ia berkata, "Aku diberitahu oleh seseorang yang sempat menyaksikan Umar bin Abdul Aziz sebagai gubernur Madinah, bahwa seorang laki-laki membacakan ayat ini kepadanya,
'Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka disana mengharapkan kebinasaan. (Qs. Al-Furqaan: 13)
Lalu Umar bin Abdul Aziz menangis hingga tidak dapat mengendalikan tangisnya dan isakannya pun menjadi keras. Lalu dia berdiri dari tempat duduknya dan masuk ke rumah."

10. HASAN AL-BASHRI

Diriwayatkan dari Salam bin Abu Muthi', ia berkata, "Hasan diberi segelas air untuk berbuka puasa. Ketika dia mendekatkan air itu ke mulutnya, dia menangis dan berkata, 'Aku ingat harapan besar dari para penghuni neraka dan ucapan mereka, "Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah direzekikan Allah kepadamu.' Aku pun teringat jawabannya kepada mereka,
'Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir." (QS Al-A'raaf: 50)

11. ABU HANIFAH

Muhammad bin sama'ah meriwayatkan dari Muhammad bin Hasan, dari Qasim bin Ma'an, bahwa Abu Hanifah bangun malam sambil mengulang-ulang firman Allah subhanahu wa ta'ala,
"Sebenarnya hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit." (Qs. Al-Qomar: 46).
Dia menangis dan tadharru' (merendahkan diri) hingga Subuh.
Demikianlah kisah pribadi-pribadi itu, yang mencerminkan kondisi jiwa mereka yang takut akan kebesaran Allah subhanahu wa ta'ala, kisah yang merupakan cerminan dari kejujuran hati yang dipenuhi cahaya keimanan. Semoga kita bisa menjadikannya sebagai teladan.
Readmore »»

Jumat, 22 April 2011

Beginilah PKS Mencetak Kader Militan


Diposkan oleh admin di 08:22
دَقَائِقُ اللٓيْلِ غَالِيَةٌ فَلَا تُرَخِٓصُوْهَا بِالْغَفْلَة

"Detik-detik malam hari itu sangat berharga, maka janganlah kamu menyia-nyiakan dengan kelalaian." (Hasan Al-Banna)

Tidak ada amal yang lebih utama kecuali melembutkan hati, karena hati adalah pangkal segala kebaikan. Upaya dan program untuk menjaga hati, merawat ruhani, menguatkan pohon keimanan dalam manhaj Tarbiyah menjadi prioritas program.

Bulan April ini, DPD PKS Bantul kembali menggelar program MABIT bagi kader-kader pembina (murobbi) se kabupaten Bantul-DIY. Program rutin bulanan ini dilaksanakan hari Kamis 21 April 2011 mulai pukul 17.00 WIB dengan agenda awal Dzikir Ma'tsurat Sore hingga tiba waktu Maghrib dan dilanjutkan dengan Ifthor (buka puasa) bersama.

Ba'da maghrib dilanjutkan dengan menyantap nasi bungkus. Peserta membentuk lingkaran2 kecil menikmati makanan sambil mengeratkan ukhuwah. Sambil menunggu Isya peserta melakukan aktivitas indiviual dengan tilawah Al-Quran yang ditarget oleh Panitia setiap peserta membaca 2 juz sampai sebelum Qiyamullail.

Usai sholat Isya berjamaah dilanjutkan Taushiyah yang disampaikan oleh ustadz Sukamto, Phd, Ketua DPW PKS DI Yogyakarta.

Pukul 02.30 WIB dimulai Qiyamullail 11 rokaat termasuk witir. Untaian ayat-ayat surat Ar-Rahman, Al-Waqi'ah, dan surat2 awal juz 30 meresap mengisi relung-relung jiwa perindu surga.

Seratusan lebih kader-kader ikhwan murobbi mengikuti MABIT dengan tetap menjaga suasana khusyu' sepanjang acara yang ditutup dengan Dzikir Ma'tsurat Pagi usai sholat shubuh berjamaah.

"Siapa ingin diberi kemudahan saat berdiri di depan-Nya pada Hari Kiamat, hendaklah ia dilihat Allah sujud di kegelapan malam dan qiyam sebab takut akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya." (Ibnu Abbas r.a.)


*)reporter: admin pkspiyungan
*posted: pkspiyungan.blogspot.com
Readmore »»

Sabtu, 16 April 2011

Sebuah dialog selepas malam...


Jumat, 15 April 2011
“AKHI, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat temyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh." Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada murabbinya di suatu malam.


Sang murabbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya. "Lalu, apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang murabbi setelah sesaat termenung.

“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri saja..." jawab mad'u itu.

Sang murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.

"Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?", tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.

Sang mad'u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.

"Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?", sang murabbi mencoba memberi opsi.

"Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad'u.

Tak ayal, sang mad'u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.

“Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?" Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad'u. Ia hanya mengangguk.

"Bagaimana bila temyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu temyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?" tanya sang murabbi lagi.

Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.

Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, "Cukup akhi, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan..."

"Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana", sang mad'u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.

Sang murabbi tersenyum. "Akhi, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah."

"Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka."

"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu; maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.

"Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da'i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah."

"Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"

Sang mad'u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.

"Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?" sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.

"Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!", sahut sang murabbi.

"Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya."

Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad'unya yang lain dari asyik tidurnya.

Malam itu, sang mad'u menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang kami harapkan dari Anda, pembaca...

Wallahu a'lam.
sumber: Majalah Al-Izzah, No. 07/Th.4
*posted: pkspiyungan.blogspot.com
Readmore »»