Minggu, 25 Desember 2011

Ma’iyatullah


Pengantar

Malam telah larut ke peraduannya. Penduduk Madinah telah berangkat istirahat untuk melepas lelah. Namun di sebuah rumah, seorang ibu tengah berbincang dengan anak perempuannya. Esok pagi, mereka akan berjualan susu ke pasar. Dengarkan isi pembicaraan mereka.
"Nak, campur saja susu itu dengan air!" perintah sang ibu.
"Tidak boleh, Bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu yang akan dijual dengan air," jawab anak gadisnya.
"Tetapi semua orang melakukan hal itu, Nak. Campur sajalah! Toh, Amirul Mukminin tidak melihat kita melakukan hal itu."
"Bu, sekalipun Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun Tuhannya Amirul Mukminin pasti mengetahui!" jawab putrinya itu.

Amirul Mukminin Umar bin Khathab yang terbiasa mengawasi masyarakat negerinya, malam itu tengah berada di dekat rumah tersebut dan mengetahui isi pembicaraan mereka berdua. Berlinang air mata sang Khalifah, demi menyaksikan ada seorang wanita yang demikian tinggi keimanannya kepada Allah.
Di zaman Khalifah Umar bin Khathab ra, tersebut pula kisah seorang wanita yang ditinggal suaminya bertugas dalam waktu lama untuk mengemban perintah negara. Dalam kesendiriannya tersebut, dorongan libido syahwat tidak bisa dimatikan begitu saja. Keinginan dirinya yang menggebu, mampu ditahan dengan daya keimanan yang tinggi kepada Allah Ta'ala.
 

Malam semakin larut, ketika wanita tersebut mencoba menahan gejolak libidonya. Khalifah Umar yang tengah berkeliling tiba di dekat rumah wanita tersebut, dan mendengar suara syair tengah dilantunkan dari dalam:
Betapa malam terasa panjang
Tepian kian kelam
Tiada teman yang kudapat bersenang
Membuat mataku tak terpejam
Demi Allah,
Jika tidak karena takut siksa Allah
Pastilah seluruh sudut ranjang ini
‘kan bergoyang
 

Bergegas Umar ra mendatangi putrinya, Hafshah, untuk bertanya, "Berapa lama seorang wanita tahan menunggu suaminya?" Hafshah menjawab, "Empat bulan." Setelah peristiwa itu, Khalifah Umar mengirimkan perintah kepada para panglima perang yang berada di medan pertempuran, agar tidak membiarkan seorang pun dari tentaranya meninggalkan keluarganya lebih dari empat bulan.

Ma’iyatullah
Kisah-kisah di atas dan masih banyak lagi kejadian serupa, menunjukkan sebuah kondisi keterjagaan diri karena kedalaman pengetahuan dan keimanan kepada Allah. Kisah anak wanita penjual susu di atas menandakan betapa ia sangat mengerti tentang pengawasan Allah atas seluruh makhlukNya. Tiada satupun makhluk yang bisa melepaskan diri dari pengawasan Allah. Demikian pula wanita yang ditinggal pergi suaminya merasakan pengawasan yang sangat kuat dari Allah.
 

Sesungguhnyalah Allah senantiasa membersamai makhlukNya. Kebersamaan Allah (ma’iyatullah) terhadap manusia bisa dirasakan oleh siapapun yang memiliki fitrah yang bersih. Hanya saja, dalam memahami sejauh mana Allah memberikan kebersamaan kepada makhlukNya, terdapat cara pandang yang tidak sama di kalangan kaum muslimin. Pada sekelompok masyarakat Islam yang cenderung kepada jalan kesufian, ada yang beranggapan bahwa kebersamaan Allah itu berbentuk menyatunya manusia dengan Allah yang sering disebut sebagai prinsip wihdatul wujud.
 

Mereka beranggapan bahwa seorang yang beriman akan senantiasa mendapatkan kebersamaan secara langsung oleh Allah dalam bentuk bersatunya diri manusia ke dalam Dzat Ketuhanan. Dalam batas ekstrim, muncullah istilah “Ana Al Haq, sayalah Tuhan yang Maha Benar”, karena ia tidak mampu memisahkan dirinya dengan eksitensi Allah. Gerakan dirinya adalah gerakan diri Allah, dan ucapannya adalah ucapan Allah. Pemahaman seperti ini dikenal juga pada sebagian masyarakat Jawa dengan istilah manunggaling kawula Gusti.
 

Apabila kita lacak dari prinsip keimanan yang diajarkan oleh Nabi Saw, tidak dikenal adanya penyatuan wujud seperti keyakinan sebagian sufi tersebut. Yang diajarkan oleh rasul saw adalah prinsip kebersamaan Allah dalam setiap aktivitas hamba, bahwa Allah Maha Mendengar, Allah Maha Melihat, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Rasul saw juga memngajarkan bahwa Allah memiliki malaikat yang bertugas mengawasi dan mencatat amal perbuatan manusia. Dengan demikian, kebersamaan (ma’iyah) yang ada, bukan menyatunya hamba sdengan Tuhan, akan tetapi kebersamaan Allah dalam bentuk pengawasan dan kebaikan diriNya kepada setiap makhluk.
 

Kata ma’iyah berasal dari kata ma’a yang artiunya bersama. Ma’iyatullah berarti kebersamaan Allah. Jika kita perhatikan dalam Al Qur’an, ada dua bentuk kebersamaan Allah (ma’iyatullah) dalam kehidupan maniusia, yang pertama bersifat umum, dan kedua bersifat khusus.

1. Kebersamaan Allah secara Umum (Al Ma’iyah Al Ammah)
Kebersamaan (Ma’iyah) yang bersifat umum dari Allah ini bersifat mutlak, bahwa tidak ada satupun makhluk baik di langit maupun di bumi yang lepas darei kebersamaan Allah. Seluruh manusia, baik yang muslim maupun kafir, shalih maupun durjana, ahli ibadah maupun ahli maksiat, semua merasakan dan mendapatkan kebersamaan Allah terhadap mereka. Di sinilah kekuasaan Allah atas ciptaanNya, bahwa Allah senantiasa membersamai mereka.
 

Ada dua jenis kebersamaan Allah yang diberikan kepada seluruh makhlukNya secara umum:
a. Pengawasan dari Allah (muraqabatullah)
Seluruh ucapan, gerakan, tindakan perbuatan manusia senantiasa berada dalam kontrol dan pengawasan Allah. Perhatikan ayat-ayat berikut:
“Dia Mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Al-Hadid: 4).
 

Ayat di atas menggambarkan bahwa ilmu dan pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu, juga menunjukkan kebersamaan Allah (wa huwa ma’akum ainama kuntum) bahwa dimanapun manusia berada pasti Allah membersamai. Tidak ada tempat yang tersembunyi dari pengawasan Allah, semua dalam jangkauan pengetahuanNya. Perhatikan juga ayatb berikut:
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah Mengetahui apa yang ada di langit\dan apa yang ada di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang melainkan Dialah keenamnya, dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak melainkan Dia ada bersama mereka dimanapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kaiamt apa yang telah mereka kerjakan. Esungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sessuaatu” (Al-Mujadilah : 7).
 

Dalam ayat yang lain bahkan Allah menunjukkan kebersamaan terhadap manusia tersebut berada pada suatu kondisi yang amat erat:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (Qaf:16).
Maka kemanakah manusia akan bersembunyi, agar tidak terlihat oleh Allah, agar manusia aman dari jangkauan pengetahuanNya? Adakah tempat yang tidak diketahui oleh Allah? Sungguh Ia benar-benar Maha Mengawasi:
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi” (Al-Fajr: 14).
 

b. Perbuatan baik Allah (ihsanullah)
Seluruh manusia, tanpa pandang bulu, mendapatkan perbuatan baik dari Allah kepada mereka. Bumi diciptakan Allah untuk dimanfaatkan bagii seluruh manusia, baik mukmin maupun kafir. Udara yang Allah sediakan di muka bumi, dihirup bukan saja oleh orang yang bertaqwa, tetapi juga oleh mereka yang durhaka. Air yang Allah berikan dimanfaatkan oleh semua kehidupan, bukan hanya hak bagi hamba yang berjiwa mulia.
Alam semesta dengan segenap fasilitas yang ada telah disediakan dan ditundukkan oleh Allah bagi semua makhluk tanpa terkecuali. Allah Ta’ala telah berfirman:
“Tidakkah kamu perhatikan., bahwa Allah menundukkan untukmu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmatNya lahir dan batin” (Luqman: 20).
Bahkan, nilai kemanusiaan telah Allah tinggikan di atas makhluk selainnya, sebagaoi sebuah kebaikan Allah dan pemuliaan terhadap manusia, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya telah Kami muliakan Bani Adam dan Kami angkut mereka dengan kendaraan di darat dan di laut, serta Kami beri rizki mereka dengan yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang Kami jadikan, dengan kelebihan (yang sempurna)” (Al-Isra: 70).
 

Inilah perbuatan baik (ihsan) dari Allah untuk semua manusia. Rizki Allah tidak dikhususkan bagi orang yang bertaqwa. Fasilitas kehidupan telah disediakan dengan sedemikian engkap, untuk semua manusia. Oleh karena itu wajarlah jika kemudian Allah menuntut kepada manusia agar berlaku baik (ihsan) karena Allah telah berlkaku baik kepada mereka:
“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu” (Al-Qashash: 77)
 

Dalam kenyataan keseharian, manusia yang telah diberikan nikmat dan karunia tak terhingga bahkan posisi mulia dibandiungkan seluruh makhluk, ada yang mampu mensyukuri karunia tersebut sehingga mereka menjadi hamba yang bersyukur (Asy Syakir). Mereka mengerti dan merasakan bahwa Allah telah berlaku baik kepada manusia dengan menyediakan beraneka ragam fasilitas kehidupan di muka bumi. Untuk itulah mereka menjadi hamba yang mensyukuri kebaikan Allah tersebut dengan jalan melakukan kebaikan pula.
 

Pada contoh kehidupan Nabi Sulaiman As. Kita menyaksikan betapa beliau sangat pandai menjadi hamba yang bersyukur atas nikmat yang Allah berikan:
“Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmatNya). Dan barangsiapa yang bersyukur sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang kufur maka maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha mulia” (An-Naml: 40).
 

Akan tetapi, kita jumpai sebagian besar manusia tidak bisa mensyukuri perbuatan baik Allah, bahkan mengingkarinya (Al Kafir). Mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi me,mang tercipta oleh alam sendiri. Segala kekayaan dan kemewahan adalah hasil usaha mereka sendiri. Lihatlah betapa Qarun dengan sedemikian sombong menganggap semua yang dimiliki adalah hasil dari kepandaiannya semata.
“Qarun berkata: Sesumngguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku” (Al-Qashash: 78).
Betapa harta yang ada pada Qarun sedemikian melimpah sehingga menimbulkan kecemburuan dan keinginan pada banyak kalangan masyarakat, nsebagaimana informasi Allah:
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberintungan yang besar” (Al-Qashash: 79).
 

Akan tetapi justru kekayaan melimpah dari Allah tersebut menyebabkannya sombong dan tidak bersyukur. Ia menganggap segala yang ada padanya benar-benar menjadi milik yang amat berharaga karena dihasilkan dari jerih payah sendiri. Qarun adalah salah satu representasi masyarakat yang berpikiran picik dan materialistik, tidak mampu mengungkap rahasia ketuhanan di balik semua sukses yang ia dapatkan di dunia. Betapa banyak masyarakat dunia yang berpikiran seperti Qarun, dalam berbagai watak dan karakternya.

2. Kebersamaan Allah secara Khusus (Al Ma’iyah Al Khashah)
Selain memberikan kebersamaan secara umum kepada seluruh manusia, Allah Ta’ala juga memberikan kebersamaan secara khusus kepoada orang-orang yang beriman dengan benar kepadaNya. Mereka adalah orang-orang yang mampu mensyukuri seluruh nikmat dan karunia Allah secara benar. Mereka mampu merespon kebersamaan Allah secara umum (Al Ma’iyah Al Ammah) dengan positif, oleh karena itu mereka layak mendapat kebersamaanNya secara khusus.
Orang-orang yang kufur nikmat, tidak berhasil merespon kebersamaan Allah secara umum dengan positif, tidak akan mendapatkan kebersamaan khusus ini. Paling tidak ada dua jenis kebersamaan Allah secara khusus kepada orang-orang mukmin:
a. Dukungan dari Allah (Ta’yidullah)
Allah Ta’ala akan memberikan pembelaan, dukungan dan penguatan kepada orang-orang yang beriman dengan sebenarnya. Perhatikanlah bagaimana Nabi Musa tatkala harus menghadapi Fir’aun dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Nabi Musa dan Harun mengetahui bahwa Fir’aun memiliki banyak tentara yang bisa melkukan tindakan apapun untuk menghalangi aktivitas mereka berdua. Untuk itulah mereka berdua berdoa kepada Allah:
“Berkatalah mereka berdua: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia akan segera menyiksa kami atau akan bertambah melampauai batas” (Thaha: 45).
 

Secara hukum kemanusiaan, kekuatan tentu tidak sebanding. Akan tetapi Allah memberikan kebersamaanNya secara khusus kepada mereka berdua:
“Allah berfirman: Jangan kamu berdua khawatir sesungguhnya Aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan Aku melihat” (Thaha: 46).
 

Ta’yidullah juga tampak pada peristiwa Rasulullah saw dan Abu Bakar saat mereka berdua berada di gua Tsur menyembunyikan diri dari kejaran musuh. Sedemikian khawatir Abu Bakar akan diketahui oleh musuh, mengingat orang-orang Kafir Quraesy telah sampai di depan mulut gua.
“Jika kamu tiada mau menolong Nabi, sesungguhnya Allah telah menolongnya, (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada di dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: Jangan kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita” (At-Taubah: 40).
 

Allah Ta’ala telah memberikan dukungan dan pembelaan yang nyata, ketika akhirnya orang-orang kafir yang mengejarnya kemudian meninggalkan gua tersebut karena mengira tidak ada orang yang di dalam. Inilah bentuk pembelaan Allah kepada hamba-hamba yang beriman dengan benar. Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang berjuang membela kebenaran berada dalam kesulitan.
Banyak sekali kita jumpai bentuk-bentuk pembelaan Allah kepada hamba-hambaNya. Nabiyullah Ibrahim As. dilindungi Allah dari panasnya api yang dinyalakan oleh Namrud dan pengikutnya. Musa As. semasa bayi diselamatkan Allah dari pembunuhan Fir’aun. Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat dibela oleh Allah dalam berbagai peristiwa peperangan sepanjang sejarah.


b. Kemenangan dari Allah (Nashrun minallah)
Bentuk dukungan Allah dalam kisah harun dan Musa di atas sangatlah jelas. Atas kehendak-Nya, kemenanganpun didapatkan. Tatkala Fir’aun dan tentaranya mengejar Musa dan umat yang beriman, hingga akhirnya pasukan Musa terdesak di pantai, secara kalkulasi kemanusiaan sulit untuk melepaskan diri. Wajar jika para pengikut Musa mengatakan:
“Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul” (Asy Syu’ara: 61).
Akan tetapi dengan segenap keyakinan akan pertolongan Allah, Nabi Musa mengatakan kepada pengikutnya:
“Sekali-kali tidak akan tersusul, sesungguhnya Tuhan bersmaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku” (Asy-Syu’ara: 62).
 

Maka dengan kuasa dan kebersamaan-Nya, laut bisa terbelah tatkala Musa memukulkan tongkat ke atas permukaannya, hingga membentuk jalan yang bisa dilalui oleh umat yang beriman. Tatkala Fir’aun menyusul, Allah menenggelamkan mereka di lautan. Demikian mudah Allah memenangkan nabi-Nya di atas musuh-musuh, sebagai bentuk kebersmaan yang bersifat khusus.
Nabi-nabi terdahulu diselamatkan oleh Allah setelah kaum mereka yang mendustakan kebenaran dibinasakan dengan berbagai adzab, merupakan bentuk kebersamaan Allah secara kjhusus kepada para Nabi-Nya. Mereka berhak mendapatkan pertoilongan dan kemenangan dari Allah karena kesetiaan mereka kepada aturan Allah.
 

Demikian juga fenomena kemenangan kaum muslimin dalam berbagai peperangan melawan musuh di zaman Nabi saw, merupakan contoh adanya al ma’iyah al khashah. Pada perang Badar misalnya, Allah mengirimkan bala bantuan berupa malaikat membantu kaum muslimin menghalau musuh:
“(Ingatlah) ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankanNya bagimu: Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut” (Al Anfal: 9).
 

Kemenangan kaum muslimin di Badar, pada kondisi jumlah mereka hanya sepertiga jumlah musuh, merupakan contoh kongkrit pertolongan dariNya. Secara logika kemanusiaan, rasanya sulit untuk mengalahkan lawan yang berlipat tiga. Akan tetapi di sisi Allah tiada sesuatu yang mustahil untuk terjadi.
 

Ada dua syarat pokok datangnya al ma’iyah al khashah dari Allah. 
Yang pertama adalah kesetiaan menghamba kepada Allah (Al Abid). Hanya orang-orang yang tekun beribadah dan menyembah Allah sajalah yang layak mendapatkan pembelaan dan kemenangan dari-Nya. Bagaimana mungkin seseorang atau sekelompok orang mengharapkan pertolongan Allah, sementara mereka menyalahi syariat-Nya?
Yang kedua, adalah kesungguhan memperjuangkan agama-Nya (al Mujahid). Tidak setiap hamba yang rajin beribadah akan mendapat pembelaan-Nya, akan tetapi mereka yang menunjukkan pula kesungguhan memperjuangkan kebenaran Islam, berhak meraih kemenangan yang dijanjikan-Nya. Contoh bdari para Nabi terdahulu hingga Nabi terakhir muhammad saw, menunjukkan pertolongan dan kemenangan dari Allah turun berkaitan dengan kesetiaan mereka mengabdi kepada Allah, dan kesungguhan mereka berjuang di jalan Allah.
Jika anda ingin mendapatkan kemenangan dari Allah, jadikan diri anda ahli ibadah (al abid) dan senantiasa berjuang menegakkan kalimat Allah (al mujahid). Tanpa keduanya, kita tidak akan mendapatkan kebersamaan Allah secara khusus.

Tidak ada komentar: