Kamis, 03 Maret 2011

17 Kelemahan & Kerapuhan Fondasi Paham Inkar Sunnah (3-6)

Oleh: Abduh Zulfidar Akaha


3. Tidak Mau Percaya Kepada Siapa pun Kecuali Al-Qur`an

Orang-orang inkar Sunnah sering mengatakan demikian. Akan tetapi, mereka juga sering mengatakan bahwa hadits-hadits baru dibukukan 200-an tahun setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam wafat. Mereka pun sering menjadikan (masa) Imam Al-Bukhari sebagai referensi utama dalam masalah tahun atau waktu pembukuan hadits. Bahkan, setiap kali mereka melontarkan pendapat sesatnya, mereka enggan mengatakan dari mana sumbernya. Mereka tidak mau dikatakan mengutip atau mengambil pendapat seseorang. Mereka selalu keukeuh mengatakan bahwa mereka hanya mau percaya dan mengikuti Al-Qur`an saja. Mereka hanya mengakui bahwa pendapatnya itu hanya berdasarkan Al-Qur`an.

Pemikiran mereka ini jelas kontradiktif dari beberapa segi:

Pertama; Dari mana mereka tahu kalau Imam Al-Bukhari[1] hidup pada tahun 200-an Hijriyah dan kitab Shahihnya disusun pada masa itu? Bukankah itu berarti mereka membaca dan mempercayai sejarah? Bukankah itu artinya mereka sama saja dengan percaya kepada selain Al-Qur`an? Jika mau fair, semestinya mereka tidak usah mencari tahu kapan Imam Al-Bukhari lahir dan kapan kitab Shahihnya disusun. Karena itu adalah sumber lain selain Al-Qur`an. Dan, jika mereka mau percaya kepada sejarah, mereka pun seharusnya juga percaya kepada sejarah Nabi dan kisah para sahabat serta perjuangan mereka dalam membela Islam, termasuk kesungguhan para sahabat dan ulama salafush-shalih dalam menjaga dan menyampaikan Sunnah.

Kedua; Jika mereka tidak mau percaya kepada siapa pun (selain Al-Qur`an), maka perkataan mereka ini bertentangan dengan firman Allah,

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ .

“Maka bertanyalah kalian kepada ahlu dzikir (orang yang mengetahui) jika kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)[2]

Ayat ini dengan tegas menyuruh orang yang tidak tahu untuk bertanya kepada orang lain yang lebih tahu; orang yang lebih tahu tentang Al-Qur`an ataupun dalam suatu permasalahan tertentu. Dan, ayat ini tidak menyuruh orang agar bertanya kepada Al-Qur`an, karena kata “ahlu dzikir” di sini adalah kata ganti orang, bukan benda atau barang.

Ketiga; Perkataan mereka juga tidak sinkron dengan firman Allah berikut,

وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ .

“Dan yang memberitahukan kepadamu tidak sama seperti orang yang ahli.” (Fathir: 14)

Maksudnya, informasi atau ilmu yang disampaikan oleh orang biasa jelas berbeda dengan yang disampaikan oleh orang yang memang pakar di bidangnya. Penafsiran mereka yang menuruti hawa nafsu terhadap ayat-ayat Al-Qur`an jelas berbeda dengan penafsiran para ulama tafsir yang memang betul-betul menguasai Al-Qur`an dan ilmu tafsir. Begitu pula pemahaman dangkal dan sesat mereka tentang Sunnah pun pasti berbeda dengan pemahaman para imam hadits yang memang ahli di bidang hadits dan diakui kredibilitasnya.

4. Mengaku Ahlul Qur`an Namun Tidak Paham Al-Qur`an

Ini juga tidak kalah aneh. Mereka mengklaim sebagai ahlul qur`an atau qur`aniyyun namun tidak paham dan tidak menguasai ilmu-ilmu Al-Qur`an. Bagaimana mungkin seorang yang mengaku mencintai Al-Qur`an tetapi tidak mau tahu tentang Al-Qur`an? Lihatlah, betapa mereka tidak mau tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat Al-Qur`an, kepada siapa suatu ayat diturunkan, dalam masalah apa suatu ayat turun, apakah ayat tersebut Makkiyah atau Madaniyah, tatacara turunnya wahyu, dan sebagainya. Bahkan, sangat bisa jadi mereka juga tidak bisa membaca Al-Qur`an dengan baik sesuai ilmu tajwid yang benar.[3]

Bagaimana mungkin seseorang bisa memahami Al-Qur`an dengan baik sementara dirinya menganggap tidak perlu Bahasa Arab untuk memahami Al-Qur`an? Padahal, para sahabat saja masih bertanya kepada Nabi dan kepada sesama sahabat tentang makna suatu ayat. Dan, bagaimana mungkin seseorang bisa memahami Al-Qur`an dengan baik sementara dirinya tidak tahu adab membaca Al-Qur`an? Pun, bagaimana mereka mau serius membaca Al-Qur`an jika mereka tidak tahu keutamaan membaca dan menghafal Al-Qur`an? Lagi pula, untuk apa mereka membaca Al-Qur`an jika mereka mengatakan tidak ada bacaan dan gerakan tertentu dalam shalat? Artinya, dalam shalat pun mereka belum tentu membaca Al-Qur`an. Lalu, kapan mereka meluangkan waktu untuk membaca dan memahami Al-Qur`an?

Ketidakpahaman mereka terhadap Al-Qur`an ini bisa dilihat dari penafsiran mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur`an, yang tidak lain merupakan penafsiran yang memperturutkan hawa nafsu setan semata. Tidak ada yang mereka jadikan rujukan dalam menafsirkan Al-Qur`an selain hanya permainan bahasa dan bersilat lidah. Allah berfirman tentang orang-orang semacam inkar Sunnah ini,

وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ أَعْمَالَكُمْ .

“Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan
perkataannya, dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kalian.” (Muhammad: 30)

Dalam ayat lain disebutkan,

أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا .

“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar
atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat jalannya daripada binatang ternak.” (Al-
Furqan: 44)

Mereka persis seperti yang dikatakan seorang penyair, “Betapa banyak pemuda yang mengaku sebagai kekasih Laila, padahal Laila tidak mengakui mereka sebagai kekasihnya.” Ya, orang inkar Sunnah mengaku mencintai Al-Qur`an, padahal Al-Qur`an tidak mencintai mereka.



5. Mengaku Mencintai Nabi Tetapi Tidak (Mau) tahu Siapa Saja Istri Nabi dan Para Sahabat

Lebih aneh lagi, ketika mereka dengan berbagai alasan mengatakan tidak mengetahui siapa sahabat yang dimaksud menemani Nabi di dalam gua,[4] hanya karena mereka tidak bisa mengonfirmasi kepada yang bersangkutan! Mereka tidak (mau) tahu siapa orang yang bernama Zaid yang disebutkan Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 37. Mereka tidak (mau) tahu siapa tokoh yang terlibat dalam haditsul ifki yang disebutkan Allah dalam surat An-Nur. Mereka tidak (mau) tahu siapa yang dimaksud dengan istri Nabi dalam surat Al-Ahzab dan At-Tahrim. Dan, Mereka juga tidak (mau) tahu siapa orang-orang yang turut berperang bersama Nabi sebagaimana dikisahkan Allah dalam surat Ali Imran, Al-Anfal, At-Taubah, Al-Ahzab, Muhammad, dan Al-Fath.

Bahkan, mereka pun tidak (mau) tahu siapa yang dimaksud dengan as-sabiqun al-awwalun dari kaum Muhajirin dan Anshar dalam surat At-Taubah ayat 100! Bagaimana mungkin seorang yang mengaku cinta kepada Al-Qur`an tetapi tidak mengenal orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasulnya? Ya, orang-orang inkar Sunnah hanya mencintai Al-Qur`an di mulutnya saja, tetapi Allah Mahatahu bahwa yang tersimpan dalam hati mereka adalah permusuhan yang sangat sengit kepada Islam. Mahabenar Allah dengan firman-Nya,

يَقُولُونَ بِأَفْواهِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ .

“Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Dan Allah Mahatahu apa yang mereka sembunyikan.” (Ali Imran: 167)

Dalam ayat lain disebutkan,

“Sungguh telah nyata permusuhan dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi dalam dada mereka jauh lebih keji lagi.” (Ali Imran: 118)

6. Mengaku Mengamalkan Al-Qur`an Namun Caranya Kacau Sekali

Al-Qur`an diturunkan adalah untuk dibaca, dipahami, direnungkan, dan diamalkan. Akan tetapi, jika tidak ada petunjuk pelaksanaannya (baca; Sunnah), tentu akan sulit mengamalkannya, terutama untuk hal-hal yang memang membutuhkan penjelasan lebih lanjut dan rinci. Barangkali demikianlah yang terjadi pada orang-orang inkar Sunnah. Mereka mengaku membaca dan mengamalkan Al-Qur`an, tetapi sesungguhnya mereka hanya mengikuti hawa nafsunya dan tidak mendapatkan petunjuk dari Allah sedikit pun dalam mengamalkan Al-Qur`an.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ .

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al-Qashash: 50)

Lihatlah bagaimana cara mereka mempraktikkan shalat; tanpa ada aturan bacaan, gerakan, dan jumlah rakaat tertentu. Jika demikian halnya, apa yang terjadi kalau mereka shalat jama’ah? Masing-masing shalat menurut seleranya sendiri; Bacaannya berbeda, gerakannya berbeda, dan jumlah rakaatnya juga berbeda. Lagi pula mereka juga akan kesulitan mencari dalil tentang aturan shalat berjama’ah dalam Al-Qur`an; Siapa yang paling berhak menjadi imam, imam berdiri di mana dan makmum berdiri di mana, apa yang harus dilakukan imam dan apa yang mesti dilakukan makmum?

Kalau ada orang yang berbicara, atau buang angin, atau sambil makan dan minum, atau sambil baca koran ketika shalat; siapa yang melarang jika tidak ada aturannya? Bahkan, apabila mereka mengenal istilah masjid pun juga percuma. Ngapain mereka ke masjid? Siapa yang menyuruh melaksanakan shalat (jama’ah) di masjid? Apa keutamaan shalat di masjid, dan apa bedanya shalat di masjid dan di rumah? Memangnya, siapa yang tahu bahwa sudah masuk waktu shalat jika tidak ada adzan? Apa semua orang disuruh melihat alam bebas untuk mengetahui tanda masuk waktu shalat? Apakah ketika orang-orang datang ke masjid, mereka harus shalat tahiyatul masjid[5] atau qabliyah dulu atau langsung duduk sambil menunggu shalat jama’ah? Atau, apakah mereka datang ke masjid lalu langsung shalat sendiri-sendiri tanpa imam? Wah, kacau sekali!

Ini baru soal shalat. Soal yang lain pun kurang lebih sama saja. Membayar zakat, misalnya. Dalam Al-Qur`an tidak disebutkan ada berapa macam zakat, harta jenis apa saja yang wajib dizakati, dan berapa kadar zakat yang harus dikeluarkan. Puasa pun begitu; apa saja adab puasa, hal-hal yang membatalkan puasa, keutamaan puasa, siapa yang wajib puasa dan siapa yang boleh tidak berpuasa, dan seterusnya.

Di tangan inkar Sunnah, agama ini menjadi semacam permainan dan kacau balau. Itu pun masih ditambah lagi, bahwa banyak di antara praktik ritual mereka yang mencontek Sunnah Nabi, baik secara langsung maupun tidak, diakui ataupun tidak. Hal ini tak lain dikarenakan mereka mengambil referensi tatacara beribadahnya hanya berdasarkan pemahaman manusia semata tanpa mau merujuk kepada sumber yang lebih bisa diterima oleh akal sehat. Dengan kata lain, sebenarnya fondasi pemahaman mereka ini sangat rapuh. Ibarat rumah, rumah mereka ini laksana sarang laba-laba. Allah berfirman,
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ .

“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling rapuh ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (Al-Ankabut: 41)

[bersambung...]



[1] Imam Al-Bukhari lahir tahun 194 H dan wafat tahun 256 H, dalam usia 62 tahun.

[2] Ayat seperti ini juga terdapat dalam surat Al-Anbiyaa`: 7.

[3] Bagaimana mereka mau membaca Al-Qur`an dengan memakai tajwid secara benar, sementara ilmu tajwid adalah suatu disiplin ilmu tersendiri? Bukankah jika mereka belajar tajwid, artinya mereka mempelajari ilmu yang disusun oleh seseorang? Atau, kalaupun toh mereka membaca Al-Qur`an langsung kepada seorang syaikh yang mempunyai sanad bersambung, berarti mereka juga mengambil ilmu kepada selain Al-Qur`an? Kalaupun mereka mau belajar tajwid, kenapa mereka tidak sadar bahwa para ulama tajwid adalah orang-orang yang mengusung Sunnah Nabi?

[4] Bahkan, apa nama gua yang dipakai Nabi dan Abu Bakar bersembunyi pada saat hijrah pun mereka tidak mau tahu. Sebab, jika mereka mengaku mengetahuinya, sama saja dengan mereka mengakui eksistensi sahabat.

[5] Inkar Sunnah tidak mengenal istilah shalat sunnah, sebagaimana mereka juga tidak mengenal adanya puasa sunnah

Tidak ada komentar: