Rabu, 18 Januari 2012

“ Risalah Kecil Buat Ruh Jamaah Yang Mulai Lemah”


Oleh ; Rly#Asoesrg

( “ Akhi/ukhti…rasa-rasanya ana sudah tidak kerasan lagi aktif disini, afwan ana… ngundurkan diri aja sekarang” atau “ afwan….nampaknya dari gejala yang ada, ana mesti pensiun dalam da’wah”)

Wahai Ikhwah, Sambutlah salam penuh berkah dan mulia ini
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji bagi Allah yang telah memudahkan kita dalam memahami Islam dengan pemahaman yang komprehensif dan menyeluruh segala aspek kehidupan manusia, sebagaimana yang telah dituntunkan oleh sosok mujahid agung Rasulullah SAW, yang jauh dari pemahaman parsial dan menyimpang, sikap ekstrim ketat dan longgar yang mana sebagian besar manusia telah terperosok dan terhanyut di dalamnya. Dan segala puji dan syukur kita haturkan sekali lagi kepada-Nya yang telah memilih kita untuk mengemban risalah agung ini, memikul beban perjuangan yang berat di jalan-Nya, yang rela menyumbangkan seluruh jiwa dan dirinya untuk meninggikan dinullah ini, sungguh ini merupakan karunia-Nya semata, dari-Nya, berasal dari-Nya dan kita bakal kembali kepada-Nya cepat atau lambat, maka kita memohon agar Rabb melestarikan karunia-Nya dengan memberikan kesabaran dan keteguhan, restu dan bimbingan, sehingga akan dapat bertemu dengan-Nya dalam keadaan keridhaan-Nya semata. Serta salawat dan salam kepangkuan Rasulullah saw, keluarga, sahabat dan pengikut hingga akhir zaman.

Saudara-saudaraku,
Sebagai mukadimmah perkenankanlah ana mengutip sepotong seruan ini :
“ Wahai ikhwan, kalian bukanlah organisasi jasa social, bukan partai politik dan bukan pula lembaga lokal yang memiliki tujuan-tujuan yang sempit. Kalian adalah ruh baru yang merasuk kalbu umat lalu menghidupkannya dengan Al Qur’an. Kalian adalah cahaya baru yang terang benderang, lalu menyibakkan kegelapan semesta dengan ma’rifatullah. Dan kalian adalah suara yang menggema dan melengking melantunkan da’wah Rasulullah SAW “ ( Majmu’ah Rosail, As Syahid Imam Hasan Al Banna )
Saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah,
Ketika muncul sebuah rasa ketidak percayaan, ketidak puasan, ketidak sensifitas, ketersendirian dan ketidak pedulian terhadap dirinya maupun kepada saudaranya yang lain ataupun jamaahnya. Maka coba…. dan coba agar kita bisa langsung tersadar dan kembali mengoreksi dan menanyakan pada diri kita “ Ada apa dengan saya ? Perubahan apa yang mulai terjadi pada diri saya ? dan penyakit apa yang telah menjangkiti diri saya ?. Benar…. tanyakan pada diri kita sendiri dulu, bukan kepada orang lain !!
Wahai Saudaraku tercinta,
Cepat dan bersegeralah kita mendeteksi dan mengenali perasaan – perasaan dan fikiran – fikiran itu semenjak dini, karena ditakutkan nantinya, mulanya hanya masih berupa perasaan atau fikiran semata, pada akhirnya akan mewabah dan berkembang menjadi bakal virus yang akan menyebar keseluruh hati, menggorogoti hati dan jiwa kita sedikit demi sedikit, dan akhirnya akan menutup pintu masuknya hidayah Allah yang mulia itu kedalam hati kita. Nauzubilllah !
Saudara-saudaraku,
Kehidupan berjamaah memang penuh pernak pernik tantangan dan rintangan. Layaknya sebuah kapal laut yang berlayar di lautan luas, disuatu ketika tersebut dapat berlayar dengan tenang dan santai tidak ada gangguan apapun. Disaat yang lain diterpa ombak yang sedang atau agak besar, maka kapal tersebut pun mulai bergoyang sejenak dan kembali kokoh. Akan tetapi ketika ombak yang hadir itu lebih besar dan berupa badai yang kuat, maka tentu kapal itu akan semakin bergoyang, atau oleng atau malah, jika kapal tersebut tidak bisa menahan gencarnya serangan ombak atau badai tersebut, maka kapal akan karam di lautan beserta para penghuni di dalamnya. Laahaulawala quwwata illabillah….
Saudara-saudaraku yang tercinta,
Benar …perumpamaan diatas merupakan sebuah refleksi dari kehidupan berjamaah yang terjadi. Dan sudah menjadi sebuah sunnatud da’wahnya hal tersebut akan terus terjadi. Tinggal bagaimana kita sebagai salah satu dari komponen didalam sebuah jamaah mesti berperan penuh semangat dan keikhlasan menanggung semua resiko dan beban yang berada di pundaknya sampai cita-cita dan misi / ghayah dari dakwah ilallah ini bisa bergema dan mampu menshibghah / mewarnai segala sisi kehidupan ini dengan nilai-nilai Islam yang utuh dan universal, hingga akhirnya jiwa ini hanya kita persembahkan untuk Rabb semata, “ Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin itu diri dan harta mereka dengan balasannya adalah surga’. ( At Taubah : 111). Wahai…….. bukan sembarangan imbalan…..surga !!.


Saudara-saudaraku seperjuangan,
Adapun mengenai kompleksnya masalah dan tantangan yang kita alami, maka sebaiknya kita dapat menyikapinya dengan arif, penuh kepercayaan dan jauh dari sikap berburuk sangka ( Su’udzan) atau meremehkan antar sesama komponen dalam jamaah, seperti yang pernah diungkapkan oleh Abdullah bin Mas’ud Ra, “ Jamaah adalah tali Allah yang kuat yang Dia perintahkan untuk memegangnya. Dan apa yang kalian tidak sukai dalam jamaah dan ketaatan adalah lebih baik dari pada apa yang kamu sukai dalam perpecahan “. Dan ada juga sebuah ungkapan dari sahabat sekaligus menantu Rasulullah Saw yaitu Ali Bin Abi Thalib, dimana beliau mengatakan“ Kekeruhan didalam jamaah lebih baik, daripada kebeningan dalam kesendirian “. Itulah beberapa pendapat para sahabat mulia, yang tentunya sudah sangat terjamin kesalehannya didalam menyikapi kehidupan berjamaah. Bukan sebaliknya !! …. tatkala kita sebagai salah satu dalam komponen dari jamaah, lalu kita mendapati pada suatu waktu di dalam kehidupan berjamaah itu terkesan tidak harmonis dan mungkin tidak tertata dengan rapi/amburadul atau “ kita merasakan dengan keaktifan kita dalam jamaah yang selama ini kita geluti bersama, kita merasa tidak mendapatkan hal-hal yang kita inginkan dan kita butuhkan” atau “ kita merasa kecewa dengan jamaah, karena ada sebuah kebijakan yang menurut pribadinya tidak tepat dilakukan” atau “ merasa tidak puas dengan orang yang selama ini mendidik dan mentarbiyahi dirinya, karena kita menganggap beliau tersebut kurang ilmu, membosankan dan lebih muda dari kita “ atau “ dia merasa tidak cocok dengan metode dakwah yang selama ini digelutinya karena terkesan ekslusif atau terkesan terlalu moderat ( meringan-ringankan )” atau yang lebih lucunya ada yang beralasan “ nampaknya ikhwah kurang perhatian dan dekat dengan saya” . Masya Allah !
Wahai saudaraku yang mulai terpedaya,
Sungguh !!…… sangat dan sangat kita khawatirkan sekali, kalau hal-hal ini tidak secepatnya diberikan terapi yang tepat dan mujarab serta tidak terus berkelanjutan. Karena hal-hal tersebut “ternyata” keluar dari mulutnya sosok-sosok yang “katanya” aktivis da’wah. Kalau hal-hal tersebut dialami oleh orang lain yang non aktivis da’wah sih… mungkin bisa dimengerti dan dipahami. Namun ini…… Wallahu a’lam. !( Walaupun memang inilah pernak pernik hidup berjamaah) Yah….Mudah-mudahan Allah mengampuni, dan kita bisa semakin belajar dan semakin matang dalam menjalaninya. Namun ada beberapa hal yang kalau kita ingin rincikan permasalahan gejala-gejala melemahnya ruh jamaah diatas tersebut, dapat disebabkan oleh beberapa faktor :
Pertama, kurangnya faktor pemahaman yang baik dan utuh tentang karakteristik dari konsekuensi da’wah. Subhanallah…… perlu dan sangat perlu kita menyadari dan memperkuat kenyakinan kita, bahwasanya Islam yang kita perjuangkan adalah Islam yang menyeluruh dan universal. Islam yang dibawakan oleh Rasulullah Saw, mempunyai konsep terlengkap dan sempurna terhadap permasalahan kehidupan didunia dan akhirat. Dia ( baca : Islam ) tidak bisa hanya ditampilkan dalam bentuk sosok aktivis da’wah yang cenderung mengambil salah satu prinsip / bagian saja dalam menjalankan Islamnya atau setengah-setengahnya atau mana yang menurutnya lebih enak dan tidak menyusahkan ( Misalnya : lebih suka ibadah saja, yang lain tidak, ekonomi saja, yang lain tidak atau politik saja yang lain tidak ). Inilah yang perlu kita evaluasi bersama. Sebatas mana aktivitas kita selama ini sudah sesuai dengan konsep Islam yang menyeluruh atau tidak. Kalau belum…mari evaluasi dan perbaiki. Agar fikrah Islam yang selama ini kita yakini kesyumuliahan dan kekomprehensifannya dapat tetap terjaga secara murni di dalam diri kita. Karena biasanya yang terjadi adalah ketika kita sedang menjalankan sesuatu yang lebih besar dan luas ( misalnya da’wah ), maka kita akan menemukan kesulitan, ujian, cobaan di dalam memanifestasikannya secara utuh pula, sehingga terkadang di tengah jalan karena kita merasa kesulitan dan tidak sanggup memikulnya, maka kita akan mulai terpedaya, dengan mulai sedikit demi sedikit meninggalkannya atau melakukan sesuatu yang menurut kita lebih ringan dan tidah menyusahkan kita, serta lebih memfokuskan kesalah satu segi saja yang menurut kita mampu kerjakan. Walaupun hal ini dapat juga bisa dibenarkan dalam satu sisi. Mungkin karena keterbatasan kemampuan atau kelemahan pribadi. Akan tetapi jangan sampai dikarenakan kelemahan dan ketidak mampuan pribadi kita tersebut, akan membuat kita lari dan cenderung memilih yang lebih kecil dan ringan, yang tidak beresiko apa-apa bagi kita, sehingga nantinya kita akan terhanyut, merasa keenakan, merasa jalan inilah yang paling benar ( karena ia sudah merasakan tenang dan sepi dari mihnah/ujian ) sedangkan cara yang lain adalah kita anggap salah dan sesat, tidak sesuai dengan manhaj Rasulullah Saw dan malah dengan tanpa ragu-ragu meremehkan dan menafikkan sesuatu yang sebenarnya benar ( baca : Islam kaffah / da’wah yang syumul ). Sikap-sikap ini yang perlu kita deteksi, sehingga kita tidak salah kaprah dan tidak menilai da’wah dengan pandangan dan keinginan kita, padahal kitalah yang sebenarnya harus menyesuaikan diri dengan da’wah, betapapun sulitnya dan rumitnya manhaj da’wah tersebut. “ Surga itu ditutupi ( diselimuti ) dengan sesuatu yang menyakitkan ( menyusahkan ) dan neraka itu diselimuti dengan sesuatu yang menyenangkan”. Begitu sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Selanjutnya Imam Bukhari Rahimahullah menanggapi hadist tersebut dengan mengatakan “ Surga itu seakan-akan diliputi dengan kain penutup, kain penutup bukan terdiri dari kulit atau sutra tapi terdiri dari jaring-jaring cobaan dan hal-hal yang menyakitkan, begitu juga jaring penutup itu tidak hanya satu macam, tetapi bermacam-macam bentuknya tersendiri dan setiap cobaan ada jaring perangkapnya tersendiri. Oleh karena itu seorang mukmin tidak akan mudah sampai ke surga kecuali setelah dia merobek dan membakar kain dan jaring-jaring perangkap tersebut, Inilah yang dsebut dengan Mukabadatun Nafs ( membebani dan membuat jiwa menderita ), yang mana hal ini sangat tidak disukai oleh jiwa, bahkan akan berusaha untuk membelot dan cepat merasa bosan serta mendorong kepada si empunya jiwa agar bersantai dan tidak akan menyusahkan dirinya, bahkan mendorongnya untuk merasa cukup ridha dengan aib diri yaitu bahwa jiwanya adalah lemah “. Hal inilah yang menandakan bahwa, faktor pemahaman kitalah yang sebenarnya masih belum benar dan utuh dalam mensikapi permasalahan yang ada, sehingga kita serta merta tidak dengan mudah menyalahkan konsep da’wah, jamaah atau pembina kita !!
Kedua, Kurang “ sehatnya “ tarbiyah ( pembinaan ) dalam setiap pribadi. Wahai saudaraku….faktor ini kadang-kadang dilupakan dan disepelekan oleh setiap pribadi kita. Baik yang belum, yang sudah berada didalamnya atau malah yang sudah lama terjun langsung di dalamnya-pun, kadang-kadang masih tampak belum “sehat” ( kehadirannya bolong-bolong, banyak ketidakhadirannya daripada kehadirannya, malas, jenuh sekedar hanya menjalankan rutinitasnya belaka, tidak bergairah dan pinginnya cepat selesai dan pulang pada saat pertemuan, dan “penyakit-penyakit” lainnya). Tentunya dengan beragam alasan dan unek-unek yang dilontarkan ( lihat : diawal tulisan ) seputar dirinya dan jamaahnya. Padahal proses tarbiyah harus dilaksanakan secara serius dan sungguh-sungguh. Karena ia ( Baca : Tarbiyah ) merupakan bekal dan motor penggerak sebuah cita-cita mulia dan jalan yang paling selamat untuk mencapai tujuan agung. Syaikh Mustafa Masyhur mengatakan “ Walaupun dalam kondisi perang dan jihad sekalipun proses tarbiyah harus tetap konsisten sangat diperlukan, karena faktor keimanan ( sebagai hasil dari upaya tarbiyah ) merupakan sebab utama kehadiran dukungan dan pertolongan Allah. Disamping itu kontinuitas tarbiyah yang bertujuan mempersiapkan generasi pelanjut para mujahidin merupakan hal yang mendasar bagi kelanjutan jihad”. Kalau kita mau merunut dan menganalisanya secara baik, penuh pemahaman, tsiqah dan mau terbuka dengan semangat cinta dan persaudaraan, semua permasalahan yang terbentur pada proses tarbiyah tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Walaupun terkadang mungkin masih munculnya keragu-raguan dalam menjalaninya, serius mengikutinya, dan komitmen dengannya. Nah…. Hal Inilah yang perlu dibenahi oleh setiap diri Al akh/ukht agar proses tarbiyah yang dijalaninya itu dapat dilakukan secara baik dan optimal. Dan ini perlu di awali dengan memahami karakter dari tarbiyah yang sebenarnya, agar kita tidak semudah itu mengkambinghitamkan manhaj dan terombang-ambing dalam ketidak pastian diri. Adapun karakter tarbiyah yang sangat perlu diketahui oleh setiap al akh/ukh adalah :
1. Sulit tapi hasilnya Paten ( Sha’bun – Tsabit ),
Sulitnya sebuah proses biasanya membuahkan hasil yang berkualitas, oleh karena itu proses da’wah yang dilakukan oleh Rasulullah, bukanlah perkara yang mudah. Coba kita membayangkan dalam perjalanan pada masa-masa 5 tahun pertama dikota Mekah, baru hanya mampu terkumpul adalah 45 orang kader, 40 orang laki-laki dan 5 orang wanita. Akan tetapi dengan yang 45 orang Inilah yang merupakan kader ujung tombak da’wah yang dibina langsung oleh “masternya para murrabbi” mampu menjadi agent-agent da’wah yang menjadi penentu keberhasilan da’wah Islam selanjutnya. Ketahuilah… berda’wah melalui proses tarbiyah ibarat menanam pohon jati yang harus senantiasa dijaga dan dipelihara sehingga akarnya tetap kuat menghujam kedalam tanah, sehingga tidak mudah goyah diterpa badai dan angin kencang. Hal ini dapat dicontohkan oleh salah satu rijalul da’wah binaan langsung Rasulullah Saw yaitu Ka’ab Bin Malik, dengan kepribadian dan kesadarannya yang paten, mengakui kelalaiannya tidak turut serta dalam perang Tabuk dan ia dengan ikhlas rela untuk diberi sangsi yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw yaitu diboikot berbicara selama 50 hari. Sehingga bujukan suaka politik dan jabatan penting sekalipun yang akan disediakan dan ditawarkan untuknya oleh Raja Ghassan, ia tolak dengan mentah-mentah. Seraya merobek-robek kertas tersebut ia mengatakan “ Ayyu Mushibatin Hadzihi “ ( Musibah apa lagi ini….). Nah…perlu kita pahami, bahwa dengan sikapnya rela menanggung resiko sulit dan iming-iming kemudahan sekalipun tidak menggoyahkan dan mengurangi ketsiqahannya terhadap murabbinya ( Rasulullah Saw ). Ia tidak serta merta berburuk sangka dan menyalahkan da’wahnya. Tapi ia mau mengoreksi dirinya. Tidak … gara-gara karena murrabinya kurang respon terhadap kita, kita suuzhan kepadanya. Atau karena ia lebih muda dari kita, kita meremehkannya, padahal Imam Syafe’i Rahimahullah pada saat muda dulu, pernah menghalaqahkan/memimpin pengajian para ulama- ulama masyhur yang tentu lebih tua darinya dan Imam Syahid Hasan Al Banna juga menghalaqahkan para ulama Al Azhar Kairo Mesir pada saat beliau masih muda dan mendirikan jamaah Ikhwanul Muslimin.
2. Prosesnya Panjang tetapi Terjaga kemurniannya ( Thawil- Ashil )
Da’wah adalah perjalanan panjang, tidak cukup hanya dilalui oleh satu generasi saja, bahkan untuk mencapai target dan sasarannya membutuhkan beberapa generasi. Hal ini tergambarkan ketika dalam perang khandak. Dimana Rasulullah Saw mengayunkan palu memecahkan bebatuan parit Khandak. Ketika itu keluarlah percikan cahaya disela-sela hantaman palu beliau. Lalu beliaupun mengatakan bahwa kelak umatnya akan dapat menaklukkan Romawi ( adapun masa penaklukannya ini baru dapat terealisir pada masa daulah Utsmaniyah sekian abad sesudahnya. Wahai…berapa generasi yang telah terlampaui ? ). Akan tetapi walaupun telah melewati beberapa generasi, kemurnian da’wahnya tetap terjaga. Islam yang dibawa sampai ke Romawi adalah Islam sebagaimana masa Rasulullah Saw dan para sahabat Ra.
3. Lambat tapi hasilnya Terjamin ( Bath’I – Ma’mun )
Da’wah adalah diumpamakan lari estafet bukan sprint. Lari estafet memang tampak kelihatan lambat, akan tetapi potensi dan tenaga dapat terdistribusi secara kolektif dan terjadinya perpaduan kerjasama yang baik untuk memberikan kemenangan kegaris finish. Watak perjalanan da’wah yang lamban harus dilihat dari proses dan tahapannya, bukan dari perangai para pelakunya, karena perangai yang lambat dalam berda’wah adalah sebuah bentuk kelalaian !. Nah… disinilah kebanyakan para aktivis da’wah mulai nampak agak mengendur ruh berjamaahnya, ketika ia melihat perkembangan da’wahnya selama ini terkesan macet atau llambat, menyebabkan ia tidak sabaran menjalani proses dan terburu-buru ingin segera mendapatkan hasil kerjanya !
Ketiga, faktor penyimpangan ghoyah / tujuan dalam berjamaah ( Wahai…..ketahuilah faktor inilah yang paling fudamental dalam berjamaah, yang menjadi penghalang dan kehancuran sebuah misi dan cita-cita mulia ). Mungkin ada terdapat pada sebagian dari kita, yang salah paham dengan niatnya berkecimpung dan beraktivitas da’wah selama ini. Misalnya hanya mencari keuntungan pribadi ( ajang mencari jodoh atau ketenaran pribadi ) atau hanya sekedar mengisi waktu luang kita ( karena kita menganggap da’wah adalah kegiatan ekstrakulikuler ). Disisi yang lain ada yang beranggapan kurang benar terhadap jamaah dengan beragam wasilah da’wah yang tersebar. Sehingga ia beranggapan hal ini telah menyimpang dari tujuan da’wah, padahal dialah yang sebenarnya telah berfikir keliru mengenai da’wah Dan hal ini kalau kita amati, lahir akibat kebingungan diri dan ketidak mampuan diri dalam mencoba menyelaraskan dengan tuntutan realita da’wah yang kian berkembang. Oleh karena itu jangan sampai muncul kemudian ada perasaan yang kurang baik terhadap kebijakan da’wah selanjutnya, karena kita, wahai… Ingin ana ingatkan bahwa kita menyeru manusia kepada “prinsip nilai bukan kepada bentuk nilai”. Ingatlah kita tidak menyerukan manusia kepada sebuah “Organisasi/jamaah”. Wahai ikhwah ini perlu kita luruskan, kita hanya menyeru dan mengajak manusia kepada prinsip nilai yaitu untuk mengabdi secara tulus hanya kepada Allah, dengan agama Islam yang syumul, hanif dan murni, yang dibawakan oleh Baginda Rasulullah Saw dalam segala aspek kehidupan. Inilah yang digambarkan oleh Allah “ Maka karena itu serulah mereka ( kepada Islam ) dan bersikap teguhlah sebagaimana engkau diperintahkan dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka…..” (Asy Syura:15) tidak lebih dari itu. Adapun jamaah itu, hanyalah sebagai wasilah ( wadah ) agar memudahkan kita di dalam berda’wah, mengajak manusia kearah kebajikan dan ketaatan hanya kepada Allah, apapun bentuk wasilah itu dan ini adalah wajib hukumnya. “ Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang dijalan-Nya dengan berbaris bagaikan bangunan yang kokoh “ ( QS . As Shaff : 4 ). Rasulullah SAW bersabda “ Kalian harus berjamaah. Sebab serigala hanya akan memangsa kambing yang menyendiri “ ( HR Ahmad ). Nah… adapun terdapat ketidak sempurnaan dan kemantapan serta nihilnya natijah / hasil dalam menjalaninya dan mengaplikasikannya itu adalah perkara nanti. Karena yang berhak menilainya apakah itu berhasil atau tidak hanyalah Allah SWT. Kita hanyalah berusaha semaksimal mungkin bekerja dengan berpedoman pada Al Qur’an dan As Sunnah serta manhaj yang shahih dari Rasulullah SAW yang telah tersedia secara lengkap dan otentik, tinggal kita mengaplikasikannya dalam kehidupan ini. Itu saja…. “ Maka katakanlah “ Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul dan orang-orang yag beriman akan melihat pekerjaan kamu…. “ ( At Taubah : 105 ). Camkanlah .. wahai akh/ukht, melihat pekerjaan bukan hasil kerja !!
Keempat, Interaksi dan komunikasi internal yang lemah
Faktor ini sering sekali yang merupakan batu sandungan cukup besar yang sangat mempengaruhi kualitas pengembangan amal jamai suatu jamaah dan mampu mengobrak-abrik kerukunan didalam jamaah. Misalnya kurangnya moment –moment pertemuan bersama, silaturahmi antar ikhwah, tidak saling mengenal, memahami, jalinan komunikasi antar komponen aktivis da’wah ( baik antar sesama ikhwan/Akhwat atau ikhwan dan akhwat ), tidak memberikan waktu yang cukup untuk dapat berkumpul walaupun sebentar dengan para ikhwah, malasnya menghadiri forum-forum pengajian/kajian yang dapat menumbuhkan suburkan keimanan Disadari atau tidak, sebenarnya gejala-gejala diatas dapat diatasi kalau kita mampu memamfaatkan peluang / moment pada saat bersama itu ( dapat berupa silaturahmi, kajian, duduk santai bersama, rihlah, mabit, belajar, saat berpapasan/ berjumpa dijalan, dll ) untuk mengisi ulang dan menambah keimanan diri kita. Perlu kita sadari bahwa di moment seperti itulah kadangkala kita tidak mencoba memahami fungsinya ikhwah. Ketika kita bersama, maka mamfaatkanlah kebersamaan kita tersebut untuk meningkatkan keimanan diri kita, mengoreksi dan mengevaluasi diri kita. Layaknya para ulama Tabi’in yang shaleh memamfaatkan sebuah pertemuan yang walaupun singkat dengan rekan aktivis lainnya untuk mengingatkannya pada Allah Swt. “ Ketika aku merasakan hati dan jiwaku kesat, sulit melaksanakan kebaikan, tidak peka terhadap kema’siatan, maka aku mendatangi sahabatku, Muhammad bin Wasi’, seorang ulama salaf saleh dan Tokoh Tabi’in, niscaya diriku akan kembali ingat akan dosa-dosaku “. Jadi pertanyaannya adakah kita pernah merasakan hal yang seperti itu ?. Saudara-saudaraku …Seringkali karena interaksi dan komunikasi diantara kita yang agak lemah dan terjadinya penurunan intensitasnya, dapat mengakibatkan munculnya permasalahan-permasalahan yang terkadang tiada ujung dan pangkalnya. Jadi merupakan suatu keharusan bagi setiap diri ikhwah untuk benar-benar mampu mentarbiyahi dirinya ( Tarbiyah Dzatiyah ) terlebih dahulu secara konsisten dan mantap. Agar ketika ia sedang tidak berada di lingkungan / bi’ah yang tidak mendukung kestabilan keimanan dan ruhiyahnya, maka dengan bekal keimanan diri yang sebelumnya dipupuk dengan rutin inilah yang akan mampu menjadi perisai yang kokoh dalam menolak dan melindungi dirinya dari berbagai mara bahaya yang mengancamnya. Mengapa ?….Karena kita terkadang tidak harus selalu mempunyai kesempatan dan waktu untuk senantiasa bersama setiap harinya. Apatah lagi kita ini adalah seorang mahasiswa, yang mempunyai waktu yang singkat untuk bisa berjumpa dengan rekan ikhwah kita yang lainnya. Dimana kita harus kembali pulang kerumah kita atau kost kita atau kampung kita. Dan nantinya pasti bakal kita temukan sebuah suasana atau bia’h yang kompleks dengan beragam karakter dan sifatnya, dan tentu berbeda dengan bi’ah yang kita geluti kita sebelumnya ( baca: jamaah da’wah ). Karena mau tidak mau saat seperti itu bakal kita temui, rill depan mata kita. Apalagi pasca kita sudah tidak sebagai mahasiswa, diamana kita musti memikirkan masa depan kita selanjutnya. Dan kita mungkin sudah tidak sering berinteraksi dengan para ikhwah lainnya, tentu ini akan sangat menyulitkan. Nah.. disinilah letak parameternya untuk mengukur keimanan kita, sejauh mana ketangguhan dan keutuhan prinsip keIslaman, telah benar-benar berhasil menshibghah / mewarnai diri kita dari segala sisi dan segala kondisi. Siapkah kita berinteraksi dengan teman sekamar kost kita yang berbeda karakternya dengan kita ? atau Siapkah kita untuk terlibat dengan masyarakat tempat tinggal kita ? atau Siapkah kita untuk mempertahankan sekaligus membawa prinsip keIslaman tersebut dalam keluarga kita sendiri ? atau Siapkah kita mepertahankan nilkai-nilai luhur keIslaman kita pada saat kita sudah bekerja ?. Tentu jawabannya terpulang pada diri kita masing-masing. Jika kita semenjak dini sudah mampu menempa diri kita secara baik dan maksimal dengan terus memupuk keimanan diri atau Tarbiyah Dzatiyah seperti berusaha meningkatkan proses kedekatan kita kepada Allah yaitu rutin melaksanakan ibadah-ibadah yang wajib atau sunnah baik dalam kondisi sendiri maupun bersama-sama, akan cukup potensional untuk senantiasa membingkai keimanan dan akhlaq kita dan menyesuaikannya dengan bi’ah manapun.
Jadi saudara-saudaraku,
Mari kita mengoreksi diri kita kembali pada saat hati kita telah terasa beku atau keras, sulit untuk menerima kebenaran dan kebaikan, enggan untuk bertemu dan bersua dengan sesama rekan seperjuangan. Mungkin selama ini kita telah banyak melalailkan mengingat Allah, seperti koreksi, apakah tilawah Qur’an kita telah menjadi rutinitas keseharian kita ? Shalat jamaah kita ? zikrullah / ma’tsurat kita ? silturahmi kita dengan ikhwah lainnya ? Kelapangan dada kita menerima sikap saudara kita ? hingga ..Bagaimana menjaga agar komitmen kita pada prinsip da’wah yang kita perjuangkan selama ini tetap tegar sampai akhir hayat kita? Sehingga nantinya akan dapat mengembalikan semangat dan kesungguhan ruh jamaah dan kebersamaan kita, dalam memperjuangkan Islam nan mulia hingga Allah ridha dengannya dan ilusrtasi klemahan para aktivis diawal judul tadi tidak menjadi hal yang wajar dan biasa kemudian. “ Kita bukanlah partai politik. Akan tetapi politik yang berpijak pada pondasi Islam termasuk dalam kerangka ide kita. Kita bukan organisasi dan perbaikan. Akan tetapi usaha baik dan perbaikan termasuk tujuan-tujuan agung kita. Kita bukan team olahraga. Akan tetapi latihan-latihan jasmani termasuk sarana kita. Kita bukanlah perkumpulan-perkumpulan seperti itu, karena perkumpulan-perkumpulan diatas dibentuk hanya untuk mencapai tujuan local dan sementara dan dalam jangka waktu yang terbatas. Dan ada kalanya pembentukannya diilhami oleh semata-mata ingin membentuk sebuah organisasi atau didorong oleh keinginan menyandang jabatan-jabatan kepemimpinan didalamnya. Gerakan kita adalah fikrah dan aqidah, Undang-Undang sekaligus sistem. Tidak terikat tempat dan ras. Tidak dibatasi ooleh batasan geografis. Dan tidak boleh berhenti pada satu bidang, hingga Allah mewariskan bumi ini dengan seluruh isinya kepada kita. Karena Islam merupakan Undang-undang dari Rabb sekalian alam dan manhaj sistem Rasul yang terpercaya”. ( Imam Syahid Hasan Al Banna Rahimahullah ).
Akhirnya wahai ikhwah yang tetap mengakui dan konsisten dengan pernyataan : Allah Rabbku, Muhammad Rasulku, Islam Agamaku,
Dengarkan, tundukkan dan khusukkanlah hati-hati kita dengan lantunan munajat do’a rabithah ini mudah-mudahan Allah Swt tetap meluruskan dan merapatkan shaff kita dan menjaga hati-hati kita dengan Naungan-Nya yang Agung: “ Yaa Allah… Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul dalam cinta pada-Mu, bersatu dalam taat pada-Mu, berpadu dalam da’wah pada-Mu, bertemu dalam membela syari’atmu. Kokohkanlah Yaa Allah.. iikatannya, kuatkanlah cintanya, tunjukilah jalan-jalannya, lingkupilah diri kami dengan nur cahaya-Mu yang tiada pernah pudar, lapangkanlah dada –dada kami dengan keimanan pada-Mu dan ma’rifat pada- Mu. Matikanlah ia dalam syahid dijalan-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengabulkan do’a bagi hamba-Nya”
Wallahu A’lam
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Tulisan risalah yg terserak, Jum’at, 2 Mei 2002

Tidak ada komentar: