Sabtu, 24 Desember 2011

Fiqih Aqiqah


Oleh: Ust. Farid Nu’man Hasan


I. Mukadimah

Berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:

ولا يجزئ في العقيقة الا ما يقع عليه اسم شاة إما من الضأن واما من الماعز فقط، ولا يجزئ في ذلك من غير ما ذكرنا لا من الابل ولامن البقر الانسية ولامن غير ذلك
“Tidaklah mencukupi dalam aqiqah kecuali dengan jenis yang dinamakan dengan kambing (syatun), baik itu jenis benggala (Adh Dha’n)atau kambing biasa (Al Ma’z), dan tidaklah cukup hal ini dengan selain yang telah kami sebutkan, tidak pula jenis unta, tidak pula sapi, dan tidak pula lainnya.” (Al Muhalla, 7/523. Darul Fikr)

Apa yang dikatakan Imam Ibnu Hazm maksudnya adalah tidak sah dan tidak bisa disebut aqiqah. Ini menunjukkan kelirunya apa yang dikatakan Sang ustadzah tersebut. Pada kesempatan ini akan saya bahas tentang aqiqah selengkap mungkin, termasuk juga catatan saya atas yang kami hormati, Ibu Ustadzah Mamah Dedeh, Hafizhahallah (semoga Allah menjaganya).



Prinsip seorang muslim dalam mengkaji persoalan ritual ibadah, adalah tauqifi (menunggu dalil), termasuk pembahasan aqiqah. Oleh karena itu tidak dibenarkan mengulasnya menurut hawa nafsu dan akal-akalan semata. Koreksian ini, murni kepentingan ilmu pengetahuan, dan tak ada tendensi apa pun kepada siapa pun.



II. Ta’rif (Definisi) Aqiqah



Untuk memahami defini aqiqah, akan saya kutip dari berbagai kitab para ahli bahasa sebagai berikut.



Syaikh Shahib bin ‘Ibad berkata tentang makna Aqiqah:



عَق الرجلُ عن المولود: إذا حلق عقيقَتَه - وهي الشعر الذي يولَد عليه - فَذَبَحَ شاةً عنه. والشاة - أيضاً - : عَقيقَة



“Seseorang mengaqiqahkan bayinya: (yakni) Jika seseorang mencukur aqiqahnya – yaitu rambut yang tumbuh pada bayi itu- lalu menyembelih kambing darinya. Dan kambing juga disebut aqiqah.” (Shahib bin ‘Ibad, Al Muhith fil Lughah, 1/1. Mawqi’ Al Warraq)



Syaikh Al Khalil bin Ahmad mengatakan:



والعقيقة: الشَّعر الذي يُولد الولدْ به. وتسمى الشاة التي تذبح لذلك عقيقة



“Aqiqah adalah rambut yang ada pada bayi ketika lahirnya, dan dinamakan pula kambing yang disembelih untuk itu dengan sebutan aqiqah.” (Khalil bin Ahmad, Al ‘Ain, 1/5. Mawqi’ Al Warraq)



Syaikh Zainuddin Ar Razi mengatakan tentang aqiqah:



الشَّعْر الذي يُولَد عليه كُلُّ مولود من الناس والبهائم. ومنه سُمِّيت الشَّاةُ التي تُذْبَح عن المولود يوم أُسْبُوعِه عَقِيقَةً



“Rambut yang tumbuh pada setiap bayi manusia dan hewan. Diantaranya adalah kambing yang disembelih saat hari ketujuh setelah kelahiran adalah aqiqah.” (Zainuddin Ar Razi, Mukhtar Ash Shihah, Hal. 212. Mawqi’ Al Warraq)



Syaikh Abu ‘Ubaid Al Qasim bin Salam Al Harawi mengatakan:



العقيقة، أصله الشعر الذي يكون على رأس الصبي حين يولد، وإنما سميت الشاة التي تذبح عنه في تلك الحال عقيقة لأنه يحلق عنه ذلك الشعر عند الذبح، ولهذا قيل في الحديث: أميطوا عنه الأذى يعني بالأذى ذلك الشعر الذي يحلق عنه



“Aqiqah, asalnya adalah rambut yang terjadi pada kepala anak-anak ketika lahirnya, dan sesungguhnya dinamakan pula aqiqah bagi kambing yang disembelih untuk anak tersebut pada saat itu, karena dipotongnya rambut tersebut adalah ketika penyembelihan. Oleh karena itu, dikatakan dalam sebuah hadits: “Buanglah dari bayi itu gangguannya,” makna gangguan adalah rambut yang dicukur dari bayi tersebut.” (Abu ‘Ubaid, Gharibul Hadits, 2/284. Dairatul Ma’arif. Lihat pula Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 33-34. Darul Kutub Al ‘ilmiah)



Sementara itu dari Imam Ibnu Hajar Rahimahullah, beliau menulis sebagai berikut dalam Al Fath:



قَالَ الْخَطَّابِيُّ : الْعَقِيقَة اِسْم الشَّاة الْمَذْبُوحَة عَنْ الْوَلَد ، سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّهَا تُعَقّ مَذَابِحهَا أَيْ تُشَقّ وَتَقْطَع . قَالَ : وَقِيلَ هِيَ الشَّعْر الَّذِي يُحْلَق . وَقَالَ اِبْن فَارِس : الشَّاة الَّتِي تُذْبَح وَالشَّعْر كُلّ مِنْهُمَا يُسَمَّى عَقِيقَة



Berkata Al Khaththabi: Aqiqah adalah nama bagi kambing yang disembelih karena kelahiran bayi. Dinamakan seperti itu karena aqiqah adalah merobek sembelihan tersebut yaitu mengoyak dan memotong. Dia berkata: dikatakan aqiqah adalah rambut yang sedang dicukur. Berkata Ibnu Faris: Kambing yang disembelih dan rambut, keduanya dinamakan aqiqah. (Fathul Bari, 9/586. Darul Fikr)



Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengatakan:



الْعَقِيقَةُ هِيَ الذَّبِيحَةُ الَّتِي تُذْبَحُ لِلْمَوْلُودِ .

وَأَصْلُ الْعَقِّ الشَّقُّ وَالْقَطْعُ وَقِيلَ لِلذَّبِيحَةِ عَقِيقَةٌ لِأَنَّهُ يَشُقُّ حَلْقَهَا وَيُقَالُ عَقِيقَةٌ لِلشَّعْرِ الَّذِي يَخْرُجُ عَلَى رَأْسِ الْمَوْلُودِ مِنْ بَطْنِ أُمِّهِ وَجَعَلَهُ الزَّمَخْشَرِيُّ أَصْلًا وَالشَّاةُ الْمَذْبُوحَةُ مُشْتَقَّةٌ مِنْهُ .



“Aqiqah adalah hewan sembelihan yang disembelih untuk bayi. Berasal dari merobek, mengoyak, dan memutus. Dikatakan, sembelihan adalah aqiqah, karena merobek dan mecukurnya. Dikatakan aqiqah pula bagi rambut yang tumbuh di kepala bayi dari perut ibunya. Az Zamakhsyari mengatakan itu adalah kata asal dari aqiqah, dan kambing sembelihan termasuk kata yang berasal dari itu. (Subulus Salam, 6/328. Maktabah Syamilah. Lihat juga Nailul Authar, 5/ 132. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah Syabab Al Azhar. Lihat juga, Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 8/25. Darul Kutub Al ‘Ilmiah )



Jika kita perhatikan definisi para ulama tentang makna aqiqah, maka semuanya sepakat dan bermuara pada dua kunci, yakni aqiqah itu adalah pencukuran rambut bayi dan penyembelihan kambing. Dari definisi saja sudah terlihat bahwa kelirunya aqiqah dengan selain kambing.



III. Dalil-Dalil Pensyariatannya



Dalil-Dalil pensyariatan aqiqah terhadap bayi sangat kuat dalam hukum Islam. Menurut Imam Ibnul Qayyim, bahwa Imam Malik mengatakan tak ada perbedaan pendapat -menurutnya- tentang disyariatkannya aqiqah. Yahya bin Said Al Anshari menyebutkan bahwa beliau menjumpai manusia, mereka tidak menganjurkan ‘aqiqah’ bagi ghulam (anak laki-laki) dan jariyah (anak perempuan). Berkata Ibnul Mundzir: “Ini (aqiqah) diamalkan oleh penduduk Hijaz, dahulu dan sekarang, dan dipraktekkan para ulama.” Malik menyebutkan bahwa mereka tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini (bahwa aqiqah untuk bayi disyariatkan). Diantara yang meriwayatkan aqiqah, adalah riwayat dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, ‘Aisyah, Fathimah, Buraidah Al Aslami, ‘Urwah bin Zubair, ‘Atha bin Rabbah, Az Zuhri, Abuz Zinad, dan demikian juga dari Malik, penduduk Madinah, Syafi’i dan sahabat-sahabatnya, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan jamaah. Serta, banyak jumlah para ulama yang mengikuti sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini, sedangkan ashhabur ra’yi (para pengikut Abu Hanifah) mengingkari kesunahannya. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 26-27. Darul Kutub Al ‘Ilmiah)



Berikut adalah dalil-dalilnya:



1. Dari Salman bin ‘Amir Adh Dhabbi, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:



مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى

“Bersama bayi itu ada aqiqahnya, maka sembelihlah (kambing), dan hilangkanlah gangguan darinya.” (HR. Bukhari No. 5154. At Tirmidzi No. 1551 Ibnu Majah No. 3164. Ahmad No. 17200)



Maksud dari “hilangkanlah gangguan darinya” adalah mencukur rambut kepalanya (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/132. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah). Imam Ibnu Hajar menyebutkan, bahwa Imam Muhammad bin Sirin berkata: “Jikalau makna ‘menghilangkan gangguan’ adalah bukan mencukur rambut, aku tak tahu lagi apa itu.” Al Ashmu’i telah memastikan bahwa maknanya adalah mencukur rambut. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad shahih, bahwa Al Hasan Al Bashri juga mengatakan demikian. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 9/593. Darul Fikr)



2. Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:



كلُّ غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى

“Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya, dan diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377. Hadits ini shahih. Lihat Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr)



Apa maksud kalimat “Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya”? Imam Al Khaththabi mengatakan, telah terjadi perbedaan pendapat tentang makna tersebut. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, maksudnya adalah setiap anak yang lahir dan dia belum diaqiqahkan, lalu dia wafat ketika masih anak-anak, maka dia tidak bisa memberikan syafa’at kepada kedua orang tuanya. Sementara, pengarang Al Masyariq dan An Nihayah mengatakan, maksudnya adalah bahwa tidaklah diberi nama dan dicukur rambutnya kecuali setelah disembelih aqiqahnya. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/133. Maktabah Ad Da’wah Islamiyah. Imam Abu Thayyib Syamsul Haq ‘Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 8/27. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



Seorang tokoh tabi’in, ‘Atha bin Abi Rabbah mengatakan seperti yang dikatakan Imam Ahmad, maksud kalimat tersebut adalah orang tua terhalang mendapatkan syafa’at dari anaknya. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 48. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



IV. Hukumnya



Mayoritas ulama mengatakan hukumnya adalah sunah. Berikut keterangan Imam Ibnul Qayyim:



فأما أهل الحديث قاطبة وفقهاؤهم وجمهور أهل العلم فقالوا هي من سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم



“Ada pun pimpinan Ahli Hadits dan para ahli fiqih mereka dan jumhur (mayoritas) ulama, mereka mengatakan bahwa aqiqah adalah sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Tuhfatul Maudud, Hal. 28. Darul Kutub Al ‘Ilmiah)



Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan:



وذهب الجمهور من العترة وغيرهم إلى انها سنة

“Madzhab jumhur (mayoritas) ulama dan lainnya adalah aqiqah itu sunah.” (Nailul Authar, 5/132. Maktabah Ad da’wah Al Islamiyah Syabab Al Azhar)



Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:



والعقيقة سنة مؤكدة ولو كان الاب معسرا، فعلها الرسول، صلى الله عليه وسلم، وفعلها أصحابه، روى أصحاب السنن أن النبي، صلى الله عليه وسلم، عق عن الحسن والحسين كبشا كبشا، ويرى وجوبها الليث وداود الظاهري.

“Aqiqah adalah sunah mu’akkadah walau keadaan orang tuanya sulit, Rasulullah telah melaksanakannya, begitu pula para sahabat. Para pengarang kitab As Sunan telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah meng-aqiqahkan Hasan dan Husein dengan masing-masing satu kambing kibas. Sedangkan menurut Laits bin Sa’ad dan Daud Azh Zhahiri aqiqah adalah wajib.” (Fiqhus Sunnah, 3/326. Darul Kitab Al ‘Arabi)



Sedangkan, Imam Abu Hanifah justru membid’ahkan Aqiqah! (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/217. Dar ‘Alim Al Kitab)



Pengarang kitab Al Bahr menyebutkan, bahwa Imam Abu Hanifah menilai Aqiqah merupakan kejahiliyahan. Imam Asy Syaukani mengatakan, jika benar itu dari Abu Hanifah, maka hal itu bisa jadi dikarenakan belum sampai kepadanya hadits-hadits tentang aqiqah. Sementara Imam Muhammad bin Hasan mengatakan Aqiqah adalah kebiasaan jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam dengan qurban. Sementara, justru kalangan zhahiriyah (yakni Imam Daud dan Imam Ibnu Hazm, pen) dan Imam Al Hasan Al Bashri mengatakan wajib. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 5/132. Maktabah Ad da’wah Al Islamiyah Syabab Al Azhar. Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 38. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



Imam Ibnu Hazm mengatakan bahwa aqiqah adalah wajib. (Al Muhalla, 7/523. Darul Fikr)



Pendapat yang benar dan lebih kuat, hukum aqiqah adalah sunah. Hal ini didasari oleh hadits berikut:



من ولد له فأحب أن ينسك عن ولده فليفعل

“Barang siapa dilahirkan untuknya seorang bayi, dan dia mau menyembelih (kambing) untuk bayinya, maka lakukanlah.” (HR. Malik No. 1066. Ahmad No. 22053. Al Haitsami mengatakan, dalam sanadnya terdapat seorang yang tidak menjatuhkan hadits ini, dan periwayat lainnya adalah para periwayat hadits shahih. Majma’ Az Zawaid, 4/57. Al Maktabah Asy Syamilah)



Hadits ini dengan jelas menyebutkan bahwa penyembelihan dikaitkan dengan kemauan orangnya. Kalau dia mau, maka lakukanlah. Maka, tidak syak lagi bahwa pendapat jumhur (mayoritas) ulama lebih kuat dan benar, bahwa aqiqah adalah sunah.



Imam Ash Shan’ani Rahimahullah menjadikan hadits ini sebagai pengalih kewajiban aqiqah menjadi sunah. (Subulus Salam, 6/329. Al Maktabah Asy Syamilah)



Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullahi mengomentari hadits tersebut dalam At Tamhid:



في هذا الحديث: قوله صلى الله عليه وسلم:" من ولد له ولد فأحب أن ينسك عن ولده فليفعل دليل على أن العقيقة ليست بواجبة لأن الواجب لا يقال فيه من أحب فليفعله".

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa aqiqah bukanlah kewajiban, karena seandainya wajib tidak akan dikatakan di dalamnya, “Barang siapa yang suka maka lakukanlah.” (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid Lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid, 4/311. Mawqi’ Ruh Al Islam)



Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengutip dari para ulama tentang maksud hadits ini:





وفعله لها لا يدل على الوجوب وإنما يدل على الاستحباب



“Melaksanakan aqiqah (dalam hadits ini), tidaklah menunjukkan kewajiban, itu hanyalah menunjukkan perbuatan yang disukai (sunah).” (Tuhfatul Maudud, Hal. 42. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



Beliau juga mengatakan:



العقيقة سنة عن الجارية كما هي سنة عن الغلام هذا قول جمهور أهل العلم من الصحابة والتابعين ومن بعدهم



“Aqiqah adalah sunah buat anak perempuan sebagaimana juga sunah bagi anak laki-laki, inilah pendapat mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat nabi, tabi’in, dan orang setelah mereka. “ (Ibid, hal. 46)



Imam Abul Walid Sulaiman Al Baji mengomentari hadits di atas, katanya hadits ini menunjukkan bahwa aqiqah tidak wajib karena terkait dengan kerelaan orang tuanya. Lalu dia mengatakan:



قَالَ مَالِكٌ فِي الْمَبْسُوطِ : مَنْ لَمْ يَذْبَحْ وَلَمْ يُطْعِمْ فَلَا إثْمَ عَلَيْهِ وَبِهَذَا قَالَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ



“Berkata Imam Malik dalam Al Mabsuth: Barang siapa yang tidak menyembelih (aqiqah), tidak memberikan makan, maka tidak ada dosa baginya. Demikian inilah pendapat mayoritas ahli fiqih.” (Imam Abul Walid Sulaiman Al Baji, Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, 3/142. Al Maktabah Asy Syamilah)



Berkata Ja’far bin Muhammad, ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang seseorang yang tidak memiliki apa-apa untuk diaqiqahkan. Beliau menjawab: “Tidak ada masalah atasnya.” Al Harits berkata, ditanyakan kepada Imam Ahmad tentang orang yang tidak memiliki apa-apa untuk diaqiqahkan. Beliau menjawab: “Jika dia mau tidak mengapa berhutang, aku harap Allah Ta’ala menggantinya karena dia menghidupkan sunah.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 40. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)



Jika sudah jelas bahwa aqiqah adalah sunah, bukan wajib, maka dia tidak berdosa jika tidak melaksanakannya, maka bagaimana mungkin hal itu dianggap hutang hingga dewasa? Maka, bagaimana mungkin, orang tua tidak boleh mengaqiqahkan anaknya, hanya karena dia belum meng-aqiqahkan dirinya?



Berkata Al ‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahullah:



يجب على الأب وهو المنصوص عن أحمد قال إسماعيل بن سعيد الشالنجي سألت أحمد عن الرجل يخبره والده أنه لم يعق عنه هل يعق عن نفسه قال ذلك على الأب



“(Aqiqah) adalah kewajiban bagi ayah, dan ini ditegaskan oleh nash (dalil) dari Ahmad. Ismail bin Said Asy Syalinji berkata: Aku bertanya kepada Ahmad tentang seorang laki-laki yang mengabarkan bahwa orang tuanya belum mengaqiqahkan dirinya, apakah dia mesti meng-aqiqahkan dirinya? Ahmad menjawab: “itu adalah kewajiban ayahnya.” (Ibid, Hal. 41. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



Jadi, orang yang belum di-aqiqahkan ketika masih kecil, dia tidak dibebani untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri ketika sudah dewasa, sebab itu adalah tugas orang tuanya ketika dia masih kecil. Inilah pendapat yang benar yang didukung oleh dalil yang kuat, bahwa memang syariat aqiqah adalah dilakukan pada hari ke 7 dari kelahiran bayi, bukan ketika sudah dewasa.



Saya mengira, bisa jadi dalam hal ini ada pihak yang menyamakan aqiqah dengan haji, bahwa jika ingin menghajikan orang lain maka dia harus sudah haji untuk dirinya sendiri dahulu.



Sungguh, aqiqah bukanlah haji. Ibadah haji adalah wajib dan rukun Islam ke lima. Orang yang mampu tetapi tidak melaksanakannya, maka itu menjadi hutang baginya.



عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ



Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya berhaji atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari No. 1754)

Maka, tidak benar menyamakan yang sunah (aqiqah) dengan yang wajib (haji). Oleh karena itu keduanya tidak sama pula dalam konsekuensi hukum selanjutnya. Kita mengetahui, bahwa orang yang ingin menggantikan haji orang lain (badal haji), maka syaratnya dia harus sudah berhaji dahulu.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:



شرط الحج عن الغير يشترط فيمن يحج عن غيره، أن يكون قد سبق له الحج عن نفسه.



“Disyaratkan bagi orang yang menghajikan orang lain, bahwa dia harus sudah haji untuk dirinya dulu.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 638. Darul Kitab Al ‘Arabi)



Hal ini berdasarkan pada hadits berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لَا قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ





Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengar seorang laki-laki berkata: “Labbaika dari Syubrumah.” Rasulullah bertanya: :”Siapa Syubrumah?” laki-laki itu menjawab: “Dia adalah saudara bagiku, atau teman dekat saya.” Nabi bersabda: “Engkau sudah berhaji?” Laki-laki itu menjawab: “Belum.” Nabi bersabda: “Berhajilah untuk dirimu dahulu kemudian berhajilah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Daud No. 1811. Ibnu Majah No. 2903 Al Baihaqi mengatakan: sanad hadits ini shahih, dan tidak ada yang lebih shahih dari hadits ini dalam masalah ini. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 5/174. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



Tetapi aturan pada badal haji ini, tentu tidak berlaku bagi aqiqah, karena keduanya adalah hal yang berbeda secara hukum. Maka, tidak ada ketetapan yang menyebutkan bahwa jika ingin mengaqiqahkan anak, maka orang tua harus mengaqiqahkan dirinya, jika belum, maka tidak boleh. Ini adalah ketetapan yang tidak berdasar dan mengada-ngada. Kalau pun ini disebut qiyas, maka ini adalah qiyas ma’al fariq (mengqiyaskan dua hal yang berbeda), yang tidak bisa dijadikan metode istinbath (penyimpulan hukum). Maka, orang tua yang belum mengaqiqahkan dirinya, tetap boleh mengaqiqahkan anaknya. Ada pun dirinya, menurut sebagian besar ulama, sudah tidak lagi kena anjuran aqiqah karena aqiqah hanya dianjurkan atas bayi berumur tujuh hari atau kelipatannya. Ada pun hadits tentang Rasulullah mengaqiqahkan dirinya saat dewasa adalah hadits munkar yang tidak bisa dijadikan dalil. Demikian.



V. Bolehkah Aqiqah dengan selain Kambing?



Pendapat yang mengatakan bolehnya aqiqah dengan selain kambing adalah pendapat lemah dan telah diingkari oleh orang-orang mulia.

Sebagaimana yang diterangkan dalam riwayat berikut:



عن ابن أبى مليكة يقول نفس لعبد الرحمن بن أبى بكر غلام فقيل لعائشة رضى الله عنها يا ام المؤمنين عقى عليه أو قال عنه جزورا فقالت معاذ الله ولكن ما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم شاتان مكافأتان

Dari Ibnu Abi Malikah ia berkata: Telah lahir seorang bayi laki-laki untuk Abdurrahman bin Abi Bakar, maka dikatakan kepada ‘Aisyah: “Wahai Ummul Mu’minin, adakah aqiqah atas bayi itu dengan seekor unta?”. Maka ‘Aisyah menjawab: “Aku berlindung kepada Allah, tetapi seperti yang dikatakan oleh Rasulullah, dua ekor kambing yang sepadan.” (HR. Ath Thahawi, Musykilul Atsar, No. 871)

Ini adalah riwayat pengingkaran yang sangat tegas bagi orang yang menggantikan Kambing dengan yang lainnya, sampai-sampai ‘Aisyah mengucapkan Ma’adzallah! (Aku berlindung kepada Allah). Hadits ini menjadi pembatal bagi siapa saja yang mencoba-coba mengganti hewan aqiqah menjadi Sapi atau Unta.

Oleh karena itu, dengan tegas berkata Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:



ولا يجزئ في العقيقة الا ما يقع عليه اسم شاة إما من الضأن واما من الماعز فقط، ولا يجزئ في ذلك من غير ما ذكرنا لا من الابل ولامن البقر الانسية ولامن غير ذلك



“Tidaklah cukup dalam aqiqah melainkan hanya dengan apa-apa yang dinamakan dengan kambing (syatun), baik itu jenis kambing benggala atau kambing biasa, dan tidaklah cukup hal ini dengan selain yang telah kami sebutkan, tidak pula jenis unta, tidak pula sapi, dan tidak pula lainnya.” (Al Muhalla, 7/523. Darul Fikr)



Telah ada kasus pada masa sahabat, di antara mereka melaksanakan aqiqah dengan Unta, namun hal itu langsung dingkari oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Imam Ibnul Mundzir menceritakan, bahwa Anas bin Malik meng-aqiqahkan anaknya dengan Unta, juga dilakukan oleh Abu Bakrah dia menyembelih Unta untuk anaknya dan memberikan makan penduduk Bashrah dengannya. Kemudian disebutkan dari Al Hasan, dia berkata: bahwa Anas bin Malik meng –aqiqahkan anaknya dengan Unta. Kemudian disebutkan hadits, dari Yahya bin Yahya, mengabarkan kepada kami Husyaim, dari ‘Uyainah bin Abdirrahman, dari ayahnya, bahwa Abu Bakrah telah mendapatkan anak laki-laki, bernama Abdurrahman, dia adalah anaknya yang pertama di Bashrah, disembelihkan untuknya Unta dan diberikan untuk penduduk Bashrah, lalu sebagian mereka mengingkari hal itu, dan berkata: ”Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkan aqiqah dengan dua kambing untuk bayi laki-laki, dan satu kambing untuk bayi perempuan, dan tidak boleh dengan selain itu.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, Hal. 58. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



Imam Ibnul Mundzir membolehkan aqiqah dengan selain kambing, dengan alasan:



مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى



“Bersama bayi itu ada aqiqahnya, maka sembelihlah hewan, dan hilangkanlah gangguan darinya.” (HR. Bukhari No. 5154. At Tirmidzi No. 1551 Ibnu Majah No. 3164. Ahmad No. 17200)



Menurutnya, hadits ini tidak menyebutkan kambing, tetapi hewan secara umum, jadi boleh saja dengan selain kambing. Alasan Imam Ibnu Mundzir ini lemah, sebab hadits ini masih global, dan telah ditafsirkan dan dirinci oleh berbagai hadits lain yang menjelaskan bahwa apa yang dimaksud hewan dalam hadits itu adalah kambing. Menurut kaidah ushul tidak dibenarkan mengamalkan dalil yang masih global, jika sudah ada dalil lain yang memberikan perincian dan penjelasannya. Istilahnya Hamlul Muthlaq ila Al muqayyad (Dalil yang masih muthlaq/umum harus dibatasi oleh dalil yang muqayyad/terbatas).

Hadits-hadits yang memberikan rincian tersebut adalah (saya sebut dua saja)

Dari Ummu Kurzin Radhiallahu ‘Anha, katanya:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, bahwa untuk anak laki-laki adalah dua kambing yang sepadan, dan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing.” (HR. At Tirmidzi No. 1550. Ibnu Majah No. 3162. An Nasa’i No. 4141. Lafaz ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 4215)

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نعق عن الغلام شاتين، وعن الجارية شاة.

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk meng-aqiqahkan anak laki dengan dua ekor kambing, dan anak perempuan seekor kambing.” (HR. Ibnu Majah No. 3163. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil No. 1166)

Demikianlah hadits-hadits yang memberikan perinciannya. Masih banyak hadits lainnya, yang semuanya memerintahkan dengan kambing, tak satu pun menyebut selain kambing, justru yang ada adalah pengingkaran selain kambing. Maka, jelaslah kelemahan pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah boleh diganti dengan Sapi atau Unta. Wallahu A’lam.

Imam Ibnul Qayyim telah membantah kekeliruan Imam Ibnul Mundzir dalam hal ini, menurutnya hadits yang menyebutkan sembelihan dengan hewan adalah masih umum, dan telah dirinci dengan riwayat hadits-hadits yang menyebut penyembelihan itu harus dengan kambing. Beliau mengatakan;



وقول النبي صلى الله عليه وسلم عن الغلام شاتان وعن الجارية شاة مفسر والمفسر أولى من المجمل



“Dan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ‘untuk anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing,’ merupakan perincinya, dan rincian harus diutamakan dibanding yang masih global (umum).” (Tuhfatul Maudud, Hal. 58. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



Imam Abu Thayyib menyebutkan dari Imam Ibnu Hajar, katanya:



وفيه وجهان للشافعية، وأصحهما يشترط وهو بالقياس لا بالخبر

“Dalam hal ini, madzhab syafi’i ada dua pendapat, dan pendapat yang shahih adalah bahwa kambing merupakan syarat sahnya aqiqah, hal ini dikuatkan secara qiyas, bukan karena adanya riwayat. (Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 8/25. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



Namun tertulis dalam kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, sebagai berikut:



يُجْزِئُ فِي الْعَقِيقَةِ الْجِنْسُ الَّذِي يُجْزِئُ فِي الأُْضْحِيَّةِ ، وَهُوَ الأَْنْعَامُ مِنْ إِبِلٍ وَبَقَرٍ وَغَنَمٍ ، وَلاَ يُجْزِئُ غَيْرُهَا ، وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ الْحَنَفِيَّةِ ، وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ ، وَهُوَ أَرْجَحُ الْقَوْلَيْنِ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَمُقَابِل الأَْرْجَحِ أَنَّهَا لاَ تَكُونُ إِلاَّ مِنَ الْغَنَمِ .

وَقَال الشَّافِعِيَّةُ : يُجْزِئُ فِيهَا الْمِقْدَارُ الَّذِي يُجْزِئُ فِي الأُْضْحِيَّةِ وَأَقَلُّهُ شَاةٌ كَامِلَةٌ ، أَوِ السُّبُعُ مِنْ بَدَنَةٍ أَوْ مِنْ بَقَرَةٍ .

وَقَال الْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ : لاَ يُجْزِئُ فِي الْعَقِيقَةِ إِلاَّ بَدَنَةٌ كَامِلَةٌ أَوْ بَقَرَةٌ كَامِلَةٌ



“Aqiqah sudah mencukupi dengan jenis hewan yang sama dengan qurban, yaitu jenis hewan ternak seperti Unta, Kerbau, dan Kambing, dan tidak sah selain itu. Ini telah disepakati oleh kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, dan ini menjadi pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat kalangan Malikiyah, yang diutamakan adalah bahwa tidak sah kecuali dari jenis hewan ternak. Kalangan Syafi’iyah mengatakan: telah sah aqiqah dengan hewan yang seukuran dengan hewan yang telah mencukupi bagi qurban, minimal adalah seekor kambing yang telah sempurna, atau sepertujuh dari Unta atau Sapi. Kalangan Malikiyah dan Hanabilah mengatakan: tidak sah aqiqah kecuali dengan Unta dan Sapi yang telah sempurna.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 30/279)



Demikian pandangan kalangan ulama madzhab dan ini juga yang dipegang Ustadzah kita. Namun pendapat yang lebih kuat adalah sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah, Ibnu Hazm, dan Ibnul Qayyim, bahwa aqiqah hanya sah dengan kambing. Wallahu A’lam





VI. Bayi laki-laki dua ekor kambing, Bayi perempuan satu ekor kambing



Demikianlah ketetapan yang telah ditegaskan dalam berbagai nash hadits. Sebagaimana yang sudah saya tulis sebelumnya. Ini menjadi pendapat mayoritas ulama. Ada pun Imam Malik dan lainnya, menurutnya tidak ada kelebihan bayi laki-laki di atas bayi perempuan, keduanya sama saja.



Dari Ummu Kurzin Radhiallahu ‘Anha, katanya:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, bahwa untuk anak laki-laki adalah dua kambing yang sepadan, dan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing.” (HR. At Tirmidzi No. 1550. Ibnu Majah No. 3162. An Nasa’i No. 4141. Lafaz ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 4215)

Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi mengomentari hadits dari Ummu Kurzin ini:



وفي الحديث دليل على أن المشروع في العقيقة شاتان عن الذكر وشاة واحدة عن الأنثى. وحكاه في فتح الباري عن الجمهور. وقال مالك: إنها شاة عن الذكر والأنثى



“Hadits ini merupakan dalil bahwa dalam aqiqah disyariatkan dua ekor kambing buat anak laki-laki, dan satu ekor kambing buat anak perempuan, diceritakan dalam Al Fath bahwa itu adalah pendapat jumhur (mayoritas). Malik berkata: bahwa anak laki dan perempuan adalah sama satu ekor kambing. (Aunul Ma’bud, 8/25)



Dalil pihak yang mengatakan bahwa bayi laki dan perempuan adalah sama-sama satu ekor, yakni riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma:



أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meng-aqiqahkan Hasan dan Husein masing-masing satu kambing kibas.” (HR. Abu Daud No. 2841. Dishahihkan oleh Abdul Haq dan Ibnu Daqiq Al ‘Id, lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir No. 1983. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Juga dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil No. 1167. Maktab Al Islami)



Imam Abu Thayyib mengatakan:



قال الحافظ شمس الدين بن القيم رحمه الله: احتج بهذا من يقول الذكر والأنثي في العقيقة سواء لا يفضل أحدهما على الآخر وأنها كبش كبش كقول مالك وغيره.

“Berkata Al Hafizh Syamsuddin bin Al Qayyim Rahimahullah: Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa bayi laki dan perempuan adalah sama saja dalam aqiqah, tidak ada kelebihan antara satu atas yang lainnya, yaitu masing-masing satu kibas, sebagaimana pendapat Malik dan lainnya.” (Aunul Ma’bud, 8/30. Lihat juga Imam Ibnul Qayyim, Hasyiyah ‘Ala Sunan Abi Daud, 8/30. Mawqi’ Ruh Al Islam)



Selain Imam Malik, ini juga pendapat kalangan sahabat Nabi seperti Ibnu Umar, Urwah bin Zubeir, dan lainnya.



Bagaimanakah mengkompromikan dua hadits yang nampaknya bertentangan ini? Ada beberapa metode para ahli ushul, yakni:



1. Kaidah: Qaulun Muqaddamun minal Fi’l (Ucapan Nabi harus lebih diutamakan dibanding perbuatannya)



Hadits dari Ummu Kurzin, tentang anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing, merupakan perintah Rasulullah secara lisan/ucapan. Sedangkan hadits dari Ibnu Abbas, tentang aqiqahnya Hasan dan Husein, adalah perbuatan Rasulullah. Maka, hadits Ummu Kurzin lebih diutamakan.



Berkata Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:



بِأَنَّ ذَلِكَ فِعْلٌ وَهَذَا قَوْلٌ وَالْقَوْلُ أَقْوَى

“Karena, hadits tersebut (tentang Hasan dan Husein) adalah perbuatan, sedangkan hadits ini (Ummu Kurzin) adalah ucapan, sedangkan ucapan adalah lebih kuat.” (Subulus Salam, 6/330. Al Maktabah Asy Syamilah)



2. Hadits tentang Hasan dan Husein lebih dahulu ada sebelum hadits Ummu Kurzin. Jadi hadits Ummu Kurzin ini menasakh (menghapus secara hukum) hadits Hasan dan Husein.



Berkata Imam Abu Thayyib:



وقال آخرون مولد الحسن والحسين كان قبل قصة أم كرز فإن الحسن ولد عام أحد والحسين في العام القابل وأما حديث أم كرز فكان سماعها له من النبي صلى الله عليه وسلم عام الحديبية ذكره النسائي فهو متأخر عن قصة الحسن والحسين.



“Berkata yang lainnya, bahwa kelahiran Hasan dan Husein adalah sebelum kisah Ummu Kurzin. Hasan lahir pada tahun perang Uhud, sedangkan Husein lahir tahun selanjutnya. Sedangkan, hadits Ummu Kurzin, dia mendengarkannya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada tahun Hudaibiyah. An Nasa’i menyebutkan bahwa hadits Ummu Kurzin ini datangnya belakangan dibanding kisah Hasan dan Husein.” (Aunul Ma’bud, 8/31. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



3. Kaidah dalam syariah Islam bahwa bagian wanita adalah setengahnya laki-laki.



قالوا وأيضا فإنا قد رأينا الشريعة نصت على أن الأنثى على النصف من الذكر في ميراثها وشهادتها ودينها وعتقها



“Mereka juga mengatakan,’Sesungguhnya kami melihat bahwa nash-nash syariat menunjukkan bahwa bagian wanita adalah setengah dari laki-laki dalam warisan, kesaksian, agama, dan pembebasan budak.” (Ibid)



Imam Ibnul Qayyim mengatakan:

وهذه قاعدة الشريعة فإن الله سبحانه فاضل بين الذكر والأنثى وجعل الأنثى على النصف من الذكر في المواريث والديات والشهادات والعتق و العقيقة

“Ini adalah kaidah syariah, sesungguhnya Allah Ta’ala telah melebihkan antara laki-laki dan wanita, dan menjadikan bagian wanita adalah setengah laki-laki dalam hal waris, diyat (denda), kesaksian, membebaskan budak, dan aqiqah.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 47. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)



Nah, dengan demikian, maka ketetapan bahwa bayi laki-laki adalah dua kambing dan bayi perempuan adalah satu kambing, adalah lebih kuat dan argumentatif. Namun demikian, untuk bayi laki-laki jika diaqiqahkan satu kambing adalah boleh-boleh saja. Sebab, jumlah dua ekor tersebut adalah menunjukkan anjuran, bukan syarat sahnya aqiqah.



Berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi Rahimahullah:



فَإِنَّ الْعَدَد لَيْسَ شَرْطًا بَلْ مُسْتَحَبّ اِنْتَهَى .



“Sesungguhnya jumlah tersebut bukanlah syarat, tetapi anjuran saja. Selesai.” (‘Aunul Ma’bud, 8/31. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah juga mengatakan:



ويجوز ذبح شاة واحدة عن الغلام لفعل الرسول صلى الله عليه وسلم ذلك مع الحسن والحسين - رضي الله عنهما



“Dibolehkan menyembelih satu ekor kambing untuk anak laki-laki, lantaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan hal itu terhadap Hasan dan Husein Radhiallahu ‘Anhuma.” (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al ‘Arabi)



Disebutkan dalam Nailul Authar sebagai berikut:



أَنَّ الشَّاتَيْنِ مُسْتَحَبَّةٌ فَقَطْ وَلَيْسَتْ بِمُتَعَيَّنَةٍ وَالشَّاةُ جَائِزَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ .

“Sesungguhnya dua kambing adalah sunah saja, bukan kewajiban, dan satu kambing adalah boleh, tidak sunah.” (Nailul Authar, 5/134. Maktabah Al Islamiyah Syabab Al Azhar)



Maka, tidak samar lagi, bahwa dua kambing untuk bayi laki-laki adalah afdhal (lebih utama) dan bukan wajib, sedangkan satu kambing adalah boleh. Sedangkan, untuk bayi perempuan, telah ijma’ (sepakat) semua ulama adalah satu kambing.



Berikut penjelasannya:



وأما الأنثى فالمشروع في العقيقة عنها شاة واحدة إجماعا كما في البحر .

“Ada pun bayi perempuan, telah ijma’ disyariatkan aqiqah dengan satu ekor kambing, sebagaimana tertera dalam kitab Al Bahr.” (Ibid)



VII. Waktu Pelaksanaannya



Para ulama sepakat bahwa hari ketujuh dari kelahiran bayi adalah paling utama (afdhal), tetapi mereka berbeda pendapat tentang aqiqah selain hari ketujuh, bolehkah atau tidak. Kebanyakan ulama membolehkannya. Ada yang mengatakan sama sekali tidak boleh dan jika dilakukan, maka itu bukanlah aqiqah. Sebagian lain ada yang membolehkan pada hari ke 14 dan 21, ada pula yang membolehkan sebelum hari ke tujuh, bahkan ada yang membolehkan kapan pun dia memiliki kemampuan, walau sudah dewasa.



Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:



كلُّ غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى



“Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya, dan diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377. Hadits ini shahih. lihat Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr)



Imam Asy Syaukani mengomentari demikian:



فِيهِ مَشْرُوعِيَّةُ التَّسْمِيَةِ فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ وَالرَّدُّ عَلَى مَنْ حَمْلِ التَّسْمِيَةَ فِي حَدِيثِ سَمُرَةَ السَّابِقِ عَلَى التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الذَّبْحِ .

وَفِيهِ أَيْضًا مَشْرُوعِيَّةُ وَضْعِ الْأَذَى وَذَبْحِ الْعَقِيقَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ .



“Dalam hadits ini terdapat pensyariatan penamaan pada hari ketujuh, dan sebagai bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa penamaan itu pada saat penyembelihan, dan disyariatkannya pula menghilangkan gangguan (mencukur rambut), dan menyembelih aqiqah pada hari itu.” (Nailul Authar , 5/135. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)



Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi, memberikan syarah (penjelasan) demikian:



فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ وَقْت الْعَقِيقَة سَابِع الْوِلَادَة ، وَأَنَّهَا لَا تُشْرَع قَبْله وَلَا بَعْده وَقِيلَ تَجْزِي فِي السَّابِع الثَّانِي وَالثَّالِث لِمَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ عَبْد اللَّه بْن بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيّ أَنَّهُ قَالَ " الْعَقِيقَة تُذْبَح لِسَبْع وَلِأَرْبَع عَشْرَة وَلِإِحْدَى وَعِشْرِينَ " ذَكَرَهُ فِي السُّبُل . وَنَقَلَ التِّرْمِذِيّ عَنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ يَسْتَحِبُّونَ أَنْ تُذْبَح الْعَقِيقَة يَوْم السَّابِع فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ فَيَوْم الرَّابِع عَشَر ، فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ عَقَّ عَنْهُ يَوْم إِحْدَى وَعِشْرِينَ .



“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa waktu aqiqah adalah hari ke tujuh kelahiran. Sesungguhnya tidak disyariatkan sebelum dan sesudahnya. Ada yang mengatakan: Sudah mencukupi dilakukan pada hari ke 14 dan 21, sebab telah dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah, dari Ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: ‘Aqiqah disembelih pada hari ke- 7, 14, dan 21.’ Hadits ini disebutkan dalam kitab Subulus Salam. Imam At Tirmidzi mengutip dari para ulama bahwa mereka menyukai menyembelih aqiqah pada hari ke 7, jika dia belum siap maka hari ke 14, jika dia belum siap maka di hari ke 21.” (‘Aunul Ma’bud, 8/28. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



Para Imam Ahlus Sunnah pun membolehkan aqiqah dilakukan setelah hari ketujuh kelahiran. Berikut keterangannya:



قال أبو داود في كتاب المسائل سمعت أبا عبد الله يقول العقيقة تذبح يوم السابع وقال صالح بن أحمد قال أبي في العقيقة تذبح يوم السابع فإن لم يفعل ففي أربع عشرة فإن لم يفعل ففي إحدى وعشرين وقال الميموني قلت لأبي عبد الله متى يعق عنه قال أما عائشة فتقول سبعة أيام وأربعة عشرة ولأحد وعشرين وقال أبو طالب قال أحمد تذبح العقيقة لأحد وعشرين يوما انتهى



“Abu Daud mengatakan dalam kitab Al Masail, aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata: Aqiqah disembelih pada hari ke 7. Berkata Shalih bin Ahmad: “Ayahku (Imam Ahmad) berkata tentang aqiqah, bahwa disembelih pada hari ke 7, jika belum melaksanakannya maka hari ke 14, dan jika belum melaksanakannya aka hari ke 21. Berkata Al Maimuni: Aku bertanya kepada Abu Abdillah, kapankah dilaksanakannya aqiqah? Dia menjawab: ‘Ada pun ‘Aisyah mengatakan pada hari ke 7, 14, dan 21.’ Berkata Abu Thalib: Imam Ahmad berkata aqiqah disembelih pada satu hari, hari ke 21. Selesai.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 43. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



Imam Ibnul Qayyim juga menceritakan bahwa Imam Hasan Al Bashri mewajibkan aqiqah pada hari ketujuh. Imam Laits bin Sa’ad mengatakan bahwa aqiqah dilakukan pada hari ketujuh kelahiran, jika belum siap, boleh saja dilakukan pada hari setelahnya, dan bukan kewajiban aqiqah pada hari ketujuh. Sementara Abu Umar (Ibnu Abdil Bar) mengatakan bahwa Imam Laits bin Sa’ad mewajibkan aqiqah hari ketujuh. Semenara ‘Atha lebih menyukai aqiqah dilakukan hari ketujuh dan mengakhirkannya hingga hari ketujuh selanjutnya (hari ke 14). Ini juga pendapat Ahmad, Ishaq, dan Asy Syafi’i, Malik tidak menambahkan hingga hari ke 14, sementara menurut Ibnu Wahhab tidak mengapa hingga hari ke 21. Ini juga pendapat Aisyah, ‘Atha, Ishaq, dan Ahmad. (Ibid, Hal. 44)



Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:



والذبح يكون يوم السابع بعد الولادة إن تيسر، وإلا ففي اليوم الرابع عشر وإلا ففي اليوم الواحد والعشرين من يوم ولادته، فإن لم يتيسر ففي أي يوم من الايام. ففي حديث البيهقي: تذبح لسبع، ولاربع عشر، ولاحدي وعشرين.



“Penyembelihan dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahiran jika dia lapang, jika tidak maka pada hari ke 14, jika tidak maka hari ke 21 dari hari kelahirannya. Jika masih sulit, maka bisa lakukan di hari apa pun. Dalam Hadits Al Baihaqi: “disembelih pada hari ke 7, 14, dan 21.” (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al ‘Arabi)



Demikian perselisihan ini, bahkan ada pula yang mengklaim bahwa secara ijma’ (aklamasi) tidak boleh aqiqah pada hari sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun klaim ini lemah dan bertentangan dengan realita perselisihan yang ada.



Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:



وَنَقَلَ صَاحِبُ الْبَحْرِ عَنْ الْإِمَامِ يَحْيَى أَنَّهَا لَا تُجْزِئُ قَبْلَ السَّابِعِ وَلَا بَعْدَهُ إجْمَاعًا وَدَعْوَى الْإِجْمَاعِ مُجَازَفَةٌ مَا عَرَفْت مِنْ الْخِلَافِ الْمَذْكُورِ .



“Pengarang Al Bahr mengutip dari Imam Yahya, bahwa menurut ijma’ aqiqah tidaklah sah dilakukan sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun, klaim adanya ijma’ ini hanyalah prasangkaan semata, tidakkah Anda mengetahui perselisihan yang sudah disebutkan.” (Nailul Authar, 5/133. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)



VIII. Shahihkah Hadits-Hadits Aqiqah Setelah Hari ke tujuh?



Di atas sudah dijelaskan pandangan para imam kaum muslimin. DI antara mereka ada yang mewajibkan hari ketujuh, tidak yang lainnya. Ada yang membolehkan setelahnya hingga kelipatan dua dan tiga, ada pula sampai hari apa pun sesuai kelapangan dirinya. Mari sejenak kita mengkaji, apakah dalil para ulama yang membolehkan aqiqah setelah hari ketujuh bisa dijadikan hujjah. Hal ini penting disampaikan, agar kita berpijak pada dasar yang kuat bukan sekedar pendapat-pendapat ulama, walau kita sangat mencintai mereka.



1. Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:



العقيقة تذبح لسبع ولا ربع عشرة ولاحدى وعشرين



“Menyembelih aqiqah adalah pada hari ke 7, 14, dan 21.” (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 9/303. Ath Thabarani, Mu’jam Ash Shaghir, 2/346. Alauddin Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Umal, No. 45291)



Hadits ini dhaif (lemah). Sebab dalam sanadnya terdapat perawi bernama Ismail bin Muslim Al Makki. Para Imam Ahli Hadits telah mendhaifkannya.



Tentang orang ini, Abdullah bin Mubarak mendhaifkannya. Sementara, Yahya Al Qaththan dan Abdurrahman bin Al Mahdi meninggalkan hadits-hadits darinya. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Hal. 120)



Al Hafizh Ibnu Hajar juga menyebutnya sebagai Dhaiful hadits (Orang yang lemah hadisnya).(Imam Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 1/99. Darul Maktabah Al ‘ilmiyah)



Ibnu ‘Uyainah pernah bertanya kepadanya tentang hadits, ternyata dia tidak tahu sama sekali tentang hadits. Abu Thalib mengutip dari Ahmad bin Hambal, katanya: munkarul hadits (haditsnya munkar). (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 1/289. Darul Fikr. Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 3/201. Muasasah Ar Risalah)



Yahya bin Ma’in mengatakan, Ismail bin Muslim Al Makki ini bukan apa-apa. Sementara Ali Al Madini mengatakan, hadits-hadits darinya tidaklah ditulis. Amru bin Ali mengatakan bahwa Ismail bin Muslim Al Makki adalah orang yang lemah haditsnya, dahulu dia orang yang jujur tetapi banyak melakukan kesalahan. Ibrahim bin Ya’qub As Sa’di mengatakan bahwa Ismail adalah orang yang wahi jiddan (lemah sekali). ( Tahdzibul Kamal, 3/201-202. Lihat juga Imam Az Dzahabi, Mizanul I’tidal, 1/249. Darul Ma’rifah)



Abu Zur’ah mengatakan bahwa Ismail bin Muhammad Al Makki adalah dhaiful hadits. (Mizanul I’tidal, 2/199)



Syaikh Al Albani sendiri mengatakan bahwa hadits ini dhaif. (Irwa’ Al Ghalil, No. 1170. Maktab Islami)





2. Dari Anas bin Malik, katanya:

عق رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نفسه بعد ما بعث بالنبوة



“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah beliau diangkat menjadi nabi.” (HR. Abdurrazaq, No. 7960)



Hadits ini sering dijadikan dalil bolehnya aqiqah ketika sudah dewasa. Shahihkah hadits ini?



Hadits ini dhaif. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muharrar. Para Imam Ahli hadits tidaklah menggunakan hadits darinya.



Yahya bin Ma’in mengatakan, Abdullah bin Muharrar bukanlah apa-apa (tidak dipandang). Amru bin Ali Ash Shairafi mengatakan, dia adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). Ibnu Abi Hatim berkata: Aku bertanya kepada ayahku (Abu Hatim Ar Razi) tentang Abdullah bin Muharrar, dia menjawab: matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar), dan dhaiful hadits (haditsnya lemah). Ibnul Mubarak meninggalkan haditsnya.



Abu Zur’ah mengatakan, dia adalah dhaiful hadits. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 5/176. Dar Ihya At Turats)



Sementara Imam Bukhari mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah munkarul hadits. (Imam Bukhari, Adh Dhu’afa Ash Shaghir, Hal. 70, No. 195. Darul Ma’rifah)



Muhammad bin Ali Al Warraq mengatakan, ada seorang bertanya kepada Imam Ahmad tentang Abdullah bin Muharrar, beliau menjawab: manusia meninggalkan haditsnya. Utsman bin Said mengatakan: aku mendengar Yahya berkata: Abdullah bin Muharrar bukan orang yang bisa dipercaya. (Al Hafizh Al Uqaili, Adh Dhu’afa, 2/310. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)



Imam An Nasa’i mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). (Imam An Nasa’i, Adh Dhu’afa wal Matrukin, Hal. 200, No. 332)



Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Abdullah bin Muharrar adalah diantara hamba-hamba pilihan, sayangnya dia suka berbohong, tidak mengetahui, dan banyak memutarbalik-kan hadits, dan tidak faham. (Imam Az Zaila’i, Nashb Ar Rayyah, 1/297. Maktabah Syamilah)



Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Abdullah bin Muharrar adalah seorang yang dhaif jiddan (lemah sekali). (Imam Ibnu Hajar,Talkhish Al Habir, 2/46/530. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



Kami kira, keterangan para Imam Ahli hadits ini sudah cukup membuktikan bahwa hadits tersebut adalah dhaif, dan tidak bisa dijadikan hujjah (argumen), walau banyak ulama yang membolehkan aqiqah dilaksanakan setelah hari ketujuh. Maka, pendapat yang menguatkan bahwa hari ketujuh dari kelahiran merupakan hari disyariatkannya aqiqah, merupakan pendapat yang sangat kuat. Sehingga, amat wajar jika ada sekelompok ulama yang tidak menyetujui aqiqah dilaksanakan diluar hari ketujuh. Wallahu A’lam



Oleh karena itu, ulama kalangan Malikiyah dan sebagain Hambaliyah melarang aqiqah ketika sudah dewasa.



Tetapi, banyak pula imam kaum muslimin yang membolehkan. Dan, menurut Syaikh Al Albani hadits di atas adalah SHAHIH, karena ada dua jalur lain yang menguatkan hadits tersebut. Yakni hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Kitab Musykilul Atsar No. 883, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath Thabarani dalam Mu’jam Al Awsath No. 1006. Sehingga Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkan hadits ini dengan status SHAHIH LI GHAIRIHI. (As Silsilah Ash Shahihah No. 2726)

Ulama yang membolehkan adalah Imam Muhammad bin Sirin, Al Hasan Al Bashri, Atha’, sebagian Hambaliyah dan Syafi’iyah.

Imam Ahmad ditanya tentang bolehkah seseorang mengaqiqahkan dirinya ketika sudah dewasa? Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitabnya sebagai berikut:

وقال أن فعله إنسان لم أكرهه

“Dia (Imam Ahmad) berkata: Aku tidak memakruhkan orang yang melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal 61. Cet. 1. 1983M-1403H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)



IX. Sunah Pembagian Daqing Aqiqah Dalam Keadaan Matang



Pembagian daging aqiqah dianjurkan dalam keadaan matang; baik siap saji atau sudah direbus dengan air saja. Imam Ahmad ditanya tentang aqiqah yang sudah dimasak dengan air putih, dia menjawab: hal itu disukai (mustahab). Jika dicampur dengan yang lain, dia menjawab: tidak apa-apa.



Kondisi ini lebih memudahkan bagi orang faqir miskin dan tetangga, dan merupakan bentuk lebih mensyukuri nikmat, dan bertambahnya kebaikan. (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 53)



X. Mengundang Manusia Ketika Aqiqah



Secara khusus sebenarnya ini tidak ada contohnya. Namun, secara umum, ini merupakan bagian dari menampakkan nikmat Allah Ta’ala atas hambaNya, yang memang dianjurkanNya untuk disiarkan.



Allah Ta’ala berfirman:



وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ



“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Adh Dhuha (93): 11)



Acara ini semakin baik jika di dalamnya di isi dengan ceramah agama oleh seorang ‘alim yang terkait dengan maslahat kehidupan manusia. Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Hafizhahullah berkata tentang hukum berkumpul dalam acara undangan taushiah aqiqah:





وأما التزام إحضار المشايخ والمحاضرين في هذه المناسبات فليس بوارد، لكن لو فُعل في بعض الأحيان انتهازاً لفرصة معينة للتذكير أو للتنبيه على بعض الأمور بمناسبة الاجتماع فلا بأس بذلك."



“Ada pun membiasakan menghadirkan seorang syaikh dan para undangan dalam acara ini maka tidak ada dalilnya, tetapi seandainya dilakukan untuk memanfaatkan keluangan pada waktu tertentu, dalam rangka memberikan peringatan dan nasihat atas sebagian permasalahan yang terkait dengan berkumpulnya mereka, maka hal itu tidak mengapa.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Badr, Syarh Sunan Abi Daud, No. 086. Maktabah Misykah)



Demikian. Wallahu A’lam



* * * * *

Referensi:

- Al Quran Al Karim

- Shahih Bukhari

- Sunan At Tirmidzi

- Sunan Abu Daud

- Sunan Ibnu Majah

- Sunan An Nasa’i

- Sunan Ad Darimi

- Syu’abul Iman, karya Imam Al Baihaqi

- As Sunan Al Kubra, karya Imam Al Baihaqi

- Musnad Ahmad, karya Imam Ahmad

- Mu’jam Al Awsath, karya Imam Ath Thabarani

- Al Mushannaf, karya Imam Abdurrazzaq

- Al Muwaththa’ , karya Imam Malik

- Musykilul Atsar, karya Imam Abu Ja’far Ath Thahawi

- Fathul Bari fi Syarh Shahih Bukhari, karya Imam Al Hafizh bin Hajar Al Asqalani

- ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, karya Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Azhim Abadi

- Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, karya Imam Abul Walid Sulaiman Al Baji

- At Tamhid lima fil Muwaththa’ minal Ma’ani wal Asanid, karya Imam Abu Umar bin Abdil Bar

- Syarh Sunan Abi Daud, karya Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Badr

- Hasyiah ‘Ala Sunan Abi Daud, karya Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah

- At Talkhish Al Habir, karya Imam Al Hafizh bin Hajar Al Asqalani

- Al Adzkar, karya Imam Abu Zakaria An Nawawi

- Irwa’ Al Ghalil, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

- Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

- Nashbur Rayyah fi Takhrij Ahadits Al Hidayah, karya Imam Az Zaila’i

- Taqribut Tahdzib, karya Imam Al Hafizh bin Hajar Al Asqalani

- Tahdzibut Tahdzib, karya Imam Al Hafizh bin Hajar Al Asqalani

- Tahdzibul Kamal, karya Imam Al Hafizh Al Mizzi

- Al Jarh wat Ta’dil, karya Imam Al Hafizh Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi

- Adh Dhu’afa wal Matrukin, karya Imam An Nasa’i

- Adh Dhu’afa Ash Shaghir, karya Imam Al Bukhari

- Mizanul I’tidal fi Naqd Ar Rijal, karya Imam Syamsuddin Adz Dzahabi

- Al Majruhin, karya Imam Ibnu Hibban

- Al Muhalla, karya Imam Abu Muhammad bin Hazm Azh Zhahiri

- Fiqhus Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq

- Nailul Authar, karya Imam Ali Asy Syaukani

- Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, karya Imam Amir Ash Shan’ani

- Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, karya Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah

- Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, karya Imam Abu Zakaria An Nawawi

- Gharibul Hadits, karya Syaikh Abu ‘Ubaid Al Qasim bin Salam Al Harawi

- Mukhtar Ash Shihah, karya Syaikh Zainddin Ar Razi

- Al ‘Ain, karya Syaikh Khalil bin Ahmad

- Al Muhith fil Lughah, karya Syaikh Shahib bin ‘Ibad

Tidak ada komentar: