Kamis, 03 Maret 2011

Menghadapi Inkar Sunnah Adalah Jihad

Oleh: Abduh Zulfidar Akaha

Di antara berbagai macam bid’ah yang telah diklasifikasikan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka, ada satu macam bid’ah yang paling besar dan terberat, dimana pelakunya bisa dihukumi sebagai kafir karena bid’ah yang yang dilakukannya. Bid’ah ini biasa disebut sebagai bid’ah mukaffirah, yakni bid’ah yang mengafirkan (pelakunya). DR. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili berkata, “Bid’ah mukaffirah yaitu pengingkaran seseorang terhadap ijma’ ulama dalam suatu masalah yang sudah dikenal secara luas oleh kaum muslimin. Misalnya; menolak untuk mewajibkan sesuatu yang wajib, atau menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal, atau menisbatkan sesuatu yang tidak selayaknya kepada Allah… dst.”[1]

Dalam kalimat yang senada, Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami (w. 1377 H) berkata, “Bid’ah yang mengafirkan banyak jumlahnya. Dan, yang paling utama adalah bid’ahnya orang yang mengingkari suatu perkara dalam syariat yang sudah disepakati kaum muslimin secara mutawatir dan diketahui hukumnya secara luas. Sebab, hal ini sama saja dengan mendustakan Al-Qur`an dan para rasul yang diutus Allah. Contohnya, yaitu bid’ahnya kelompok Jahmiyah dalam pengingkarannya terhadap sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bid’ahnya orang yang mengatakan Al-Qur`an adalah makhluk, bid’ahnya orang yang mengingkari bahwa Allah menjadikan Nabi Ibrahim sebagai kekasih-Nya… dst.”[2]

Jika ditengok dari definisinya, baik yang dikatakan oleh sebagian ulama yang kami nukil pendapatnya atau dari ulama lain yang tentunya tidak jauh berbeda, maka dapat dipahami dengan jelas bahwa inkar Sunnah termasuk bid’ah mukaffirah. Sebab, apa yang dilakukan orang-orang inkar Sunnah dengan pengingkarannya terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam merupakan perbuatan maksiat kelas berat dan paling besar konsekuensinya, yaitu KAFIR bagi si pelaku. Mereka adalah ahlul bida’ wal ahwa` yang tidak kalah bahayanya dibanding Khawarij, Jahmiyah, Syiah Rafidhah, Muktazilah, dan sebagainya. Apalagi, bid’ah yang dilakukan oleh inkar Sunnah ini tidak tanggung-tanggung, yakni menolak Sunnah! Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya bahwa orang yang menolak Sunnah adalah kafir, murtad, munafik, zindiq, dan sebagainya. Terhadap orang-orang semacam inkar Sunnah yang sudah dicap kafir oleh para ulama ini, Allah memerintahkan kita kaum muslimin untuk memerangi mereka.

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ .

“Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang berada di sekitar kamu, dan hendaknya mereka mendapat kekerasan pada diri kamu. Dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 123)

Dalam Majmu’ Fatawa-nya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah meriwayatkan dari Yahya bin Yahya yang mengatakan, “Membela Sunnah adalah lebih baik daripada jihad.”[3] Kemudian, Ibnu Taimiyah sendiri berkata, “Orang yang melawan ahlu bid’ah adalah seorang mujahid.”[4] Dengan demikian, sesungguhnya menghadapi inkar Sunnah ini adalah jihad atau bagian dari jihad yang disyariatkan, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah. Dalam Al-Qur`an, Allah menyuruh Nabi-Nya (dan umat Islam) untuk memerangi orang-orang kafir dan munafik. Selain itu, kita juga diperintahkan agar bersikap keras dan tegas terhadap mereka, jangan sampai seorang muslim berakrab-akrab dan berlemah lembut dengan para kekasih setan.[5]

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ .

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (At-Tahrim: 9)

Jihad itu sendiri bisa dengan cara berperang langsung di medan perang, dan bisa juga dengan lisan atau tulisan. Dan, jihad dengan lisan dan tulisan inilah yang telah dilakukan para ulama dari sejak masa lampau hingga masa sekarang, dimana mereka menulis berbagai kitab dan risalah yang menentang dan membantah kesesatan para ahli bid’ah. Mereka juga menyampaikan dan menjelaskan kebenaran di mimbar-mimbar masjid dan di berbagai kesempatan. Imam Ibnul Qayyim berkata, “Jihad dengan hujjah dan lisan lebih didahulukan daripada jihad dengan pedang dan anak panah.”[6]

Imam Abu Ishaq Ibrahim Asy-Syathibi (w. 790 H) berkata, “Kamu tidak akan mendapati ahli bid’ah yang menisbatkan dirinya pada agama ini melainkan dia memakai dalil-dalil syar’i atas bid’ah yang dilakukannya dan menyelewengkannya menurut hawa nafsunya.”[7]

* * *

[1] Mauqif Ahli As-Sunnah wa Al-Jama’ah Min Ahli Al-Ahwa` wa Al-Bida’/DR. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili/jilid 1/hlm 54/Penerbit Maktabah Al-Ghuraba`/1995 M – 1415 H.

[2] A’lam As-Sunnah Al-Mansyurah/Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami/hlm 219/Penerbit Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh/Cetakan kedua/1994 M – 1414 H.

[3] Perkataan ini sering dipahami secara letterledge oleh sebagian kaum muslimin tanpa melihat konteksnya. Bagaimana pun juga ini adalah perkataan manusia yang tidak makshum. Adapun Nabi yang makshum bersabda, “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang haq di hadapan penguasa yang sewenang-wenang.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Abu Dawud, dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu Anhu). Ibnu Taimiyah mengomentari secara bijak perkataan Yahya bin Yahya ini, “Jihad adalah amal yang sangat mulia bagi orang yang melakukannya, tanpa diragukan lagi. Dan, apabila jihad ini disertai dengan niat yang tulus, maka tentu ia sangat mulia lahir batin. Adapun letak kemuliaannya yaitu karena orang tersebut telah menolong Sunnah dan agama Islam. Demikian pula halnya dengan orang yang membela Sunnah dan Islam, dia pun menjadi mulia dari sisi ini.” (Majmu’ Al-Fatawa/jilid 4/hlm 13-14). Yang sering dilupakan oleh mereka yang mengacu pada pendapat Ibnu Taimiyah dalam hal ini, yaitu; bahwasanya Ibnu Taimiyah sendiri turut berjihad langsung di medan perang melawan pasukan Tartar dan tidak takut mengatakan kalimat kebenaran (haq) di hadapan penguasa zhalim.

[4] Ibid. Lihat juga artikel DR. Muslim Muhammad Yusuf tentang bid’ah di http://saaid.net/Doat/moslem/11.htm.

[5] Dalam Al-Qur`an disebutkan, “Sesungguhnya setan adalah musuh kalian, maka jadikanlah ia sebagai musuh.” (Fathir: 6)

[6] Da’wah li Muqawamati Al-Bida’ wa Al-Mubtadi’ah/DR. Muslim Muhammad Yusuf, lihat di http://saaid.net/Doat/moslem/11.htm, Perkataan Ibnul Qayyim ini harus dipahami dengan tepat, bahwasanya lebih didahulukan itu berbeda dengan lebih utama. Bagaimanapun juga, urutan dakwah sebagaimana sabda Nabi adalah dengan tangan (action) terlebih dahulu, setelah itu –jika tidak sanggup– baru dengan lisan atau tulisan. Kemudian, jika masih tidak sanggup dengan tangan dan tulisan, baru dengan hati, dan ini adalah level terendah. Selain itu, mesti juga dipahami, bahwa sebelum berjihad secara fisik atau angkat senjata, dakwah dengan lisan atau tulisan harus didahulukan. Di sinilah makna sesungguhnya dari perkataan Ibnul Qayyim di atas, bahwa didahulukannya jihad dengan lisan atau tulisan daripada jihad fisik bukan berarti itu lebih utama. Ada saatnya dimana jihad dengan lisan atau tulisan lebih utama dan pula ada saatnya dimana jihad di medan perang lebih utama, terutama jika musuh sudah masuk ke dalam batas wilayah kaum muslimin.

[7] Al-I’tisham/Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi/jilid 1/hlm 37/Penerbit Al-Maktabah At-Tijariyah A-Kubra, Kairo/Tanpa tahun.

Tidak ada komentar: