Senin, 31 Januari 2011

Sebuah Nilai

1/31/2011 02:18:00 AM | Posted by islamedia



Sebenarnya kehadirannya biasa saja, layaknya karyawan baru yang datang dan pergi. Tak ada yang istimewa, kecuali penampilannya yang super aneh. Namun keanehan itulah yang membuatnya berbeda, diantara gadis-gadis cantik dengan pakaian serba minim. Ia laksana oase di tengah padang pasir… jilbabnya yang tampak kebesaran, baju-bajunya yang longgar dan kaos kaki yang selalu menyelimuti kakinya. Penampilan yang sangat tidak biasa di lingkungan kantor sebuah televisi swasta, yang penuh hedonisme. Tidak sedikit yang rela menanggalkan jilbab-jilbab modisnya untuk bisa diterima di kantor ini dengan gaji dan prestige yang menggiurkan. Namun ia hadir, bekerja professional dengan prinsipnya yang teguh : penampilannya adalah bukti dari keteguhannya. Meski tidak sedikit yang meremehkan dan memandang sebelah mata ketika melihatnya, ia tetaplah Adisa Malika yang professional dan low profile, tempat bertanya dan curhat rekan wanita di kantornya.

Wanita hebat itu kini tengah mengganggu benak seorang pria perfectionis bernama Galang Prasetya. Wanita yang cenderung pendiam, namun menyimpan banyak ide-ide briliant di balik keterdiamannya. Ia terlalu pandai menyembunyikan pemikiran-pemikiran cemerlangnya.

“Berhentilah memuji saya, Lang. Mungkin saya jauh dari apa yang kamu pikirkan...” jawaban bijaknya ketika Galang menyampaikan perihal kelebihannya itu. Lalu ia dengan kesadaran penuh meninggalkan Galang yang terpaku dengan pikirannya sendiri, tanpa mempedulikan seorang rekan kerjanya yang terdiam itu. Adisa memang selalu seperti itu, ia begitu pandai menyembunyikan sorot mata tajamnya, terlalu pandai mengindari pembicaraan yang tidak perlu. Adisa Malika.

“Beda tipis antara bodoh dengan tidak bisa mengutarakan sesuatu yang ada dalam pikirannya.” Ucapnya lugas saat di lain kesempatan Galang memuji keterdiamannya. Lagi-lagi ia mematahkan argumennya.

“Tidak bisakah Anda duduk di tempat lain? Saya sedang ingin sendiri.” Usiran halus khas Adisa Malika saat rekan kerja prianya mencoba duduk satu meja dengannya, meski hanya sekedar minum teh bersama. Galang termasuk salah satu yang tidak pernah jera mencobanya.

“Maaf Pak, saya izin keluar sebentar.” Ujarnya saat rapat sangat alot dan memakan waktu lama di ruang rapat, saat seperti ini tidak ada yang dapat melarangnya. Penasaran, Galang pun membuntutinya, dan dilihatnya Adisa masuk ke sebuah mushola kecil di sebelah ruang pantry yang hampir tidak pernah dijamahnya.

“Saya bisa pulang sendiri. Anda jangan khawatir, saya sudah biasa menggunakan kendaraan umum.” Tolaknya saat ada rekan prianya menawarkan untuk mengantarnya pulang.

Ia duduk sendirian di meja kantin sambil menikmati makan siangnya. Terkadang rekan wanitanya menghampiri untuk sekedar tersenyum menyapa, duduk sebentar menemaninya makan. Berbicara sedikit, lalu pergi. Hanya pemandangan itu yang diperhatikan Galang sejak tadi, ditemani secangkir kopi yang kini sudah dingin. Adisa tidak cantik seperti Marsha, mantannya yang sudah putus sebulan lalu. Manisnya pun masih kalah jauh jika dibandingkan dengan Nina, co produser di studio 4 yang terkenal hitam manis itu. Suaranya ketus, tidak pernah terdengar lembut apalagi mendayu-dayu seperti Sinta, presenter yang sedang giat mendekatinya saat ini. Entahlah apa alasannya untuk tergila-gila kepada wanita berbaju longgar dan jilbab ekstra large-nya itu. Apa itu yang namanya inner beauty? Ah... kurasa bukan. Ini lebih dari sekedar itu.
###
“Apa yang membuat kamu tertarik? Bukankah Sinta atau Nina jauh lebih cantik jika dibandingkan dengan seorang Adisa? Ya.. hidayah untuk mengenakan jilbab memang belum diperolehnya mungkin, tapi itu kan bisa pelan-pelan. Kita bisa menjadi perantara hidayah itu, pahalanya besar. Atau Mila yang baru berjilbab itu juga lumayan, menyejukkan jika dipandang. Untuk menyempurnakan jilbabnya bisa kita tuntun nanti. Ah, bayangkan pahala yang menggiurkan dari Allah ketika kita menjadi perantara hidayah seseorang. Apalagi dengan bonus istri cantik dan cedas, solihah pula. Perfect bukan?!” Tanya Arda mengebu-gebu, sangat penasaran dengan alasan yang akan dikemukakan oleh rekan kerjanya itu. Hal apa yang membawa seorang Galang mampir ke kontrakan sempitnya kalau bukan karena hal yang istimewa? Apalagi ini akhir pekan, waktu yang biasa digunakan oleh pria seperti Galang untuk bersenang-senang menghabisakan malam.
“Kenapa jadi ngelantur gitu sih, Da! Saya ke kamu itu minta bantuan untuk berubah menjadi lebih baik, seperti ayat yang kamu sampaikan waktu itu. Tentang yang baik akan dapat yang baik itu. Bukan membahas alasan kekaguman saya terhadap Adisa. Lagipula, bukankah kecantikan itu hanya kamuflase ya? Ia akan hilang seiring berjalannya waktu, saya juga pernah mendengar dari seorang ustadz bahwa jika kita mengharapkan kecantikan saja maka hanya itu yang kita dapatkan. Bener gak? Masalah hidayah, bukankah hanya Allah yang tahu? Kita mungkin saja menjadi perantaranya, tapi apa kamu bisa jamin hidayah itu akan datang sesuai kepada orang-orang yang kita inginkan. Kenapa sih kita harus repot membeli laptop yang kosong kalau ada yang sudah komplit softwarenya. Apalagi ini bukan hanya masalah laptop, ini masalah pendamping , Arda. Bukan hanya untuk satu atau dua tahun.”
Arda tersentak kaget, tiba-tiba saja ingatannya melayang pada puluhan proposal yang dikembalikannya. Dengan melegalkan alasan “kurang sreg” atau mencari akhwat yang menyenangkan hati jika dipandang, mencari alasan seperti kisah sahabat di zaman Rasulullah. Ia tanpa sadar telah memberhalakan penampilan fisik semata. Padahal disana ada akhwat berprestasi, ada beberapa yang sebenarnya telah masuk kriteria idamannya sebelum ia melihat fotonya. Tapi ia batalkan beberapa detik setelah foto itu terpampang. Dan salah satunya... ada Adisa, wanita yang membuat Galang berubah sedemikian cepat. Benarkah apa yang dilakukannya selama ini?
###
Arda termenung sendiri, menatap hamparan gedung-gedung bertingkat dari tempatnya berdiri. Langit agak mendung ketika ia sedang ingin bercengkrama dengan awan. Kata-kata Galang malam tadi mengusik pikirannya, membangunkan hatinya yang mungkin telah lama tertidur. Apa bedanya ia dengan Rei, pria flamboyan yang banyak menggoda gadis-gadis cantik untuk sekedar dijadikan pacar lalu dibuang ketika ia mulai bosan. Bukankah yang dilihat Rei sama dengan apa yang dilihatnya selama ini? Semata kesempurnaan fisik. Mungkin untuk dikatakan sama, Arda mengelak. Ia tidak mencari gadis cantik untuk sekedar dijadikan kekasih lantas setelah bosan ia akan cari penggantinya, ia mencari untuk pendampingnya seumur hidup. Lagipula caranya pun cara yang dibenarkan, ia tidak mengenal pacaran. Ia tahu batasan-batasan yang dilarang, dan sampai sekarang ia masih memegang teguh prinsip itu. Bukankah ia juga lelaki normal, yang juga bisa terpikat oleh paras jelita dan akhlak mulia?
Lantas apakah pengamalan dari ilmu yang ia ketahui hanya sebatas itu? Hanya sebatas pemahaman tentang arti sebuah pemakluman dari sifat-sifat manusiawinya. Hanya sebatas mengerti bahwa Tuhan telah menciptakan hal-hal yang mampu membuat hambanya terkecoh. Hanya sebatas mengerti bahwa Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, yang akan mengampuni segala khilaf termasuk kelemahan hambanya yang seringkali salah dalam memandang sesuatu.
###
Galang gelisah, rencananya untuk mendapat pencerahan dari Arda ternyata gagal. Lantas bagaimana cara ia mengelola perasaan yang tengah gamang ini? Hatinya telah mantap memilih Adisa, tapi bagaimana cara mempersunting gadis sepertinya? Apa ia pantas? Apa Adisa akan menerima dirinya yang masih sangat awam ini? Rasanya ia ingin melahap semua buku agama, privat mengaji dan mengejar ketertinggalannya. Tidak ada yang terlambat bukan? Maka ia segera menghubungi Arda, meminta dikenalkan dengan seseorang yang bisa membimbingnya dalam waktu dekat dan cepat. Mana mungkin ia bisa membimbing pendampingnya kelak, jika ia saja belum memiliki ilmunya.
Galang benar-benar menjalankan tekadnya, Arda mengenalkannya pada Ramadhan, teman satu pengajiannya. Berbeda dengan Arda, lelaki yang biasa dipanggil Rama itu mendukungnya untuk memilih Adisa. Berjanji akan membimbing Galang semampunya, ia pun jadi semakin bersemangat mengkaji ilmuNya-setidaknya untuk sejajar dengan gadis pujaannya. Rama, seorang yang sederhana… tinggal di rumah sederhana miliknya hasil jerih payahnya sebagai pengusaha bakso di pinggiran kota. Usahanya tidak besar, namun hal itu menjadi bukti kalau ia seorang pekerja keras lagi mandiri. Dibalik kesederhanaannya itu, ia menyimpan ilmu yang luar biasa bagi Galang. Semakin digali, semakin Galang merasa kecil sebagai manusia. Ia merasa tampak bodoh, maka ia semakin giat untuk belajar.
Malam itu, Galang tengah menginap di rumah kecil milik Rama. Hal ini sudah menjadi agenda rutinnya setiap minggu selain mengaji, ia habiskan malam minggunya di rumah Rama dengan diskusi panjang. “Rama, apa yang saya lakukan ini diridhoi oleh Allah?” ujarnya sambil menatap langit dari teras rumah.
“Kenapa Allah sampai tidak meridhoi?”
“Karena saya berubah, belajar, bukan semata karena-Nya. Saya hanya mengikuti hawa nafsu, ingin menikahi seorang gadis sholehah yang entah jodoh saya atau bukan.” Galang tertunduk dalam.
Rama tersenyum sangat menyejukkan, sayang Galang tidak melihatnya karena terlampau khusyuk dengan perenungannya. Rama menepuk-nepuk punggung sahabat di sampingnya itu, “Allah Sang Penggenggam Hati, yang berkuasa membolak-balikkan hati manusia... mungkin awalnya niatmu tidak murni karenaNya, namun sekarang tampaknya sudah berubah bukan?”
“Entahlah, tapi yang pasti saya menyesal.. sangat merasa bersalah..”
“Lalu,,”
“Saya akan menyerahkan urusan jodoh ini padaNya, Ram. Tidak lagi mematok harus Adisa, mungkin ia akan menemukan yang lebih baik dari saya, dan insya Allah saya pun begitu.””
“Alhamdulillah… amin…”
Suara jangkrik yang sudah langka di kota besar ini masih terdengar lingkungan rumah Rama, malam semakin larut, angin bertasbih semakin dingin. Galang menatap wajah teduh Rama yang sedang terpejam, mungkin engkau lebih cocok untuknya Rama…insya Allah saya ridho…
###
“Adisa...” tanpa pikir panjang Arda menghampirinya ketika akhwat itu memasuki lobi untuk menuju lift yang akan membawanya ke lantai 9. Adisa menoleh, lantas terdiam menanti apa yang akan dikatakan oleh teman seprofesinya itu. Tapi Arda juga terdiam, tiba-tiba saja kalimat yang ingin diucapkannya kacau berantakan.
“Saya pikir kamu akan menyampaikan sesuatu yang penting, Arda?”
“Awalnya begitu, tapi mungkin tidak terlalu penting, lain kali saja. Selamat pagi Adisa, semoga pekerjaan hari ini lancar.”
“Mungkin sebaiknya ucapkan saja salam.” Adisa melenggang pergi.
Arda melupakan hal itu tadi.
“Assalammu’alaikum, Arda. Bagaimana kabarnya hari ini?” ujar Galang. Saat itu juga, Arda ingin menampar dirinya sendiri. Tanpa sadar nilai-nilai itu telah hilang.

diBawahLangit, 5 September 2010

Tidak ada komentar: