Senin, 27 Desember 2010

Sampai Sejauh Manakah Perbedaan Ditolerir dalam Islam? (bagian ke-3)

1/2/2006 | 1 Muharram 1427 H | 3,372 views
Oleh: Aba AbduLLAAH
Kirim Print
Assalamu ‘alaykum, AlhamduliLLAHi wash Shalatu was Salamu ‘ala RasuliLLAH wa ‘ala ‘alihi, Wa Ba’du. Ikhwah wa akhwat fiLLAH pada bagian ketiga Bahtsul-Kutub (Bedah-Buku) kita dari tulisannya DR Muhammad Immarah beliau menjelaskan point penting dari Perbedaan Pendapat dalam Islam, yaitu dimana kita boleh berbeda pendapat dan dimana yang tidak boleh berbeda pendapat. Nafa’ani waiyyakum… AlhamduliLLAH wash Shalatu was Salamu ‘ala RasuliLLAH wa ‘ala ‘alihi.
PLURALITAS ANTARA YANG DIBENARKAN DAN YANG DILARANG
Pluralitas dalam ijtihad furu’ bukan berarti perbedaan dalam pokok agama, dan pluralitas dalam masalah ini tidak termasuk perpecahan ummat dan perbedaan yang dilarang. Berkata Imam Syafi’i: “Aku mendapati ahli ilmu pada masa lalu dan kini berbeda pendapat dalam sebagian masalah, apakah itu dibolehkan?” Lalu ia menjawabnya sendiri: “Perbedaan pendapat ada 2 macam: Ada yang diharamkan dan ada yang tidak, yang diharamkan adalah segala hal telah ALLAH SWT berikan hujjah-NYA baik dalam kitab-NYA atau melalui lisan nabi-NYA secara jelas dan tegas maka hal ini tidak boleh berbeda pendapat bagi yang mengetahuinya. Maka ALLAH melarang perbedaan pendapat pada masalah yang telah dijelaskan secara tegas dalam nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah.” [1]
Imam asy Syatibi menjelaskan lebih rinci, sebagai berikut: “Perpecahan yang dilarang adalah perpecahan dalam agama (QS 6/159 dan QS 3/7) dan bukan perbedaan dalam hukum agama. Perbedaan yang kedua ini kita dapatkan para sahabat ra setelah wafatnya nabi SAW berbeda pendapat dalam berbagai hukum agama. Pendapat mereka berbeda-beda tetapi mereka menjadi terpuji karena mereka telah berijtihad dalam masalah yang memang diperintahkan untuk itu. Bersamaan dengan itu mereka adalah orang-orang yang saling mencintai satu sama lain serta saling menasihati dalam persaudaraan Islam.” [2]
Hikmah yang tinggi ini hanya dapat difahami oleh orang-orang yang mendalam ilmunya tentang syari’at, lihatlah bagaimana jawaban khalifah Ali ra ketika ditanyakan padanya: “Bagaimana hukum orang-orang yang memerangi beliau apakah mereka kafir?” Maka jawab Imam Ali ra: “Justru mereka itu adalah orang-orang yang lari dari kekafiran!” Lalu ditanya lagi: “Apakah mereka itu orang-orang munafiq?” Maka jawab Imam yang mendalam ilmunya ini: “Orang munafiq adalah orang yang tidak menyebut nama ALLAH kecuali sedikit, tidak mendirikan shalat kecuali merasa malas dan tidak berinfaq kecuali merasa berat.” Lalu ditanya lagi: “Lalu apa hukum mereka itu?” Maka jawab khalifah: “Mereka adalah saudara-saudara kita yang sedang memberontak terhadap kita, maka sebab itulah kita memeranginya.
Lalu khalifah yang adil ini berkhutbah: “Wahai sekalian manusia! Kita telah berhadapan dengan mereka, Tuhan kita satu, nabi kita satu, dan dakwah kita satu. Kita tidak pernah menganggap keimanan kita kepada ALLAH lebih baik dari mereka, serta pembenaran kita kepada rasuluLLAH SAW lebih baik dari mereka, dan mereka pun tidak beranggapan lebih baik dari kita. Yang menjadi masalah kita adalah satu, yaitu perbedan pendapat kita tentang darah Utsman, sedang kita bebas dari hal tersebut.” [3]
Demikianlah bahwa perselisihan dan perbedaan pendapat tidak selalu berarti perpecahan dalam agama yang diharamkan, selama hal tersebut dalam masalah-masalah cabang syariat (furu’) dan bukan pada masalah-masalah pokok (ushul), serta masih berada dalam koridor Islam dan dilakukan demi terwujudnya hukum-hukum syariat, demi hikmah penciptaan yang sudah difitrahkan bagi manusia.
(Bersambung insya ALLAH…)
REFERENSI:
[1] Ar-Risalah lisy Syafi’i, hal 560, Maktabah Ilmiyyah, Kairo (tahqiq Ahmad Muhammad Syakir).
[2] Al-Muwafaqaat lisy Syatibi, juz 4, hal 121, 124.
[3] Syarh Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid, juz 17, hal 141

Tidak ada komentar: