Senin, 27 Desember 2010

Apakah Melakukan Koalisi Politik Merupakan Bid’ah? (bagian ke-3)

8/1/2006 | 7 Dhul-Hijjah 1426 H | 3,683 views
Oleh: Aba AbduLLAAH
Kirim Print
Assalamu alaykum,
Innal hamda liLLAH, nahmaduHU wa nasta’inuHU wanastaghfiruHU, Wa na’udzubiLLAHi min syururi anfusina wamin sayyi’ati a’malina, man yahdihiLLAH fala mudhillalah, wa man yudhlil hu fala hadiyalah, ALLAHumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ‘alihi wa azwajihi wa dzurriyatih kama shallayta ‘ala ‘ali Ibrahim innaka hamidun majid, Fainna ashdaqal hadits kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad SAW, wa syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar…
Amma Ba’d
Ada seorang al-akh al-fadhil yang menyanggah saya terhadap kajian kitab dari Syaikh Al-Ghadhaban tentang KOMPROMI/KOALISI POLITIK DALAM SIRAH NABI SAW (bagian kedua kemarin) dengan pendapatnya bahwa hal tersebut dilakukan oleh nabi SAW pada saat belum turun ayat dakwah secara terang-terangan, adapun setelah turun ayat dakwah secara terang-terangan maka menurut al-akh tersebut (semoga ALLAH SWT memuliakan kedudukannya) tidak ada lagi KOALISI POLITIK dengan kelompok di luar Islam dalam sirah nabi SAW.
Lebih lanjut al-akh al-kariem tersebut menambahkan bahwa didasarkan pada turunnya surat Bara’ah (pemutusan hubungan) terhadap semua jenis KOALISI dengan kaum musyrikin, serta larangan mengambil orang Yahudi dan Nasrani sebagai penolong (QS al-Maidah, 5:51), juga firman ALLAH SWT di dalam QS al-Kahfi (18:51) yang menyatakan bahwa nabi SAW tidak akan mengambil orang-orang yang sesat sebagai penolong.
Pendapat al-akh al-fadhil tersebut sebenarnya akan disanggah dengan tulisan ini (bagian ke-3) dan yang akan datang (bagian ke-4 dan ke-5). Pada bagian ini saya sampaikan bagaimana KOALISI-KOALISI POLITIK yang dilakukan oleh nabi SAW, PASCA PENDIRIAN NEGARA MADINAH, artinya koalisi tersebut dilakukan oleh nabi SAW SETELAH KAUM MUSLIMIN MEMILIKI NEGARA SENDIRI (bandingkan dengan ummat Islam di negara kita saat ini), ternyata nabi SAW TETAP MELAKUKAN KOALISI POLITIK DENGAN KAUM YAHUDI DAN MUSYRIKIN. Sementara tentang surat Bara’ah (at-Taubah), al-Maidah 51 dan al-Kahfi 51, insya ALLAH akan dibantah oleh syaikh al-Ghadhaban sendiri dalam tulisannya yang akan saya sampaikan pada bagian ke-4 dan ke-5 yang akan datang insya ALLAH…
Ingat!!! Saya perlu menegaskan disini, bahwa koalisi yang dibangun adalah KOALISI KELOMPOK MU’MIN MUTTAQIN dan BUKAN KELOMPOK OPORTUNIS YANG MENGATAS-NAMAKAN ISLAM, dan kelompok yang dimaksud adalah KELOMPOK YANG KOMITMEN SERTA MEYAKINI DAN MELAKSANAKAN SYARIAH ISLAM DENGAN ISTIQAMAH DALAM PERILAKU KESEHARIAN ANGGOTA KELOMPOK TERSEBUT, penggunaan dalil ini untuk membenarkan koalisi kelompok yang MENGATAS-NAMAKAN ISLAM untuk KEPENTINGAN PRIBADI DAN ATAU KEPENTINGAN SESAAT adalah tidak bisa diterima, karena hal tersebut TERTOLAK OLEH DALIL ITU SENDIRI, karena KOALISI POLITIK oleh kelompok yang dipimpin nabi SAW adalah kelompok KAUM MUSLIMIN YANG BERTAQWA DAN KOMITMEN TERHADAP SYARIAT, demikianlah kaidah qiyas yang memenuhi syarat, tanpa itu maka qiyas tersebut bathil dan mardud (tertolak).
Demikian dulu sedikit ulasan ana, yang benar dari ALLAH yang salah dari kebodohan ana sendiri, waliLLAHil hamdu wal minah… Wassalamu ‘alaykum,
Abu AbduLLAH
BAHTSUL KUTUB: KOALISI POLITIK DALAM SIRAH NABI SAW / Syaikh Munir Muhammad al-Ghadhaban (bagian ke-3)
KOMPROMI POLITIK NABI SAW DENGAN KAUM YAHUDI DAN MUSYRIKIN SAAT PEMBENTUKAN NEGARA MADINAH
1. Saat nabi SAW memasuki Madinah maka beliau SAW menghadapi masyarakat yang sangat heterogen dalam suku dan agama, ada Muhajirin, suku Khazraj, suku Aus, Yahudi bani Quraizhah, Yahudi bani Qainuqa, para pimpinan ekonomi seperti AbduLLAH bin Ubay bin Salul, dan sebagainya. Maka dibuatlah perjanjian sebagai berikut : 1) Perjanjian persaudaraan diantara sesama muslim, 2) Perjanjian tolong-menolong kaum muslimin dengan kaum musyrikin, 3) Perjanjian kerjasama antara kaum muslimin dengan kelompok-kelompok besar qabilah Arab non muslim, dan 4) Peraturan-peraturan yang berlaku umum.
2. Perjanjian yang terkenal tersebut kemudian disebut Piagam Madinah yang merupakan teks perjanjian Hak Asasi Manusia antar agama, suku dan golongan pertama di dunia yang tertulis dalam sejarah, yang isinya secara lengkap adalah sebagai berikut [1]:
a. Bab-I (Diantara kaum mu’minin): Dengan nama ALLAH Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, inilah piagam perjanjian yang ditulis oleh Muhammad, nabi bagi orang mu’min dan orang muslim dari Quraisy dan Yatsrib dan siapa saja yang mengikuti ajarannya dan berjuang bersama dengan mereka :
i. Sesungguhnya mereka adalah 1 kelompok, memiliki ikatan persatuan yang kuat.
ii. Kaum Muhajirin dari suku Quraisy berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
iii. Bani Haritsah berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
iv. Bani Jasyim berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
v. Bani Najjar berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
vi. Bani Amr bin Auf berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
vii. Bani Nubait berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
viii. Bani Aus berkewajiban membayar diat (denda), memperlakukan tawanan perang dengan baik dan berlaku adil dengan kaum muslimin.
ix. Kaum mu’minin tidak membiarkan kesenangan hanya pada segelintir orang diantara mereka, tapi membagikannya pada semua orang, dengan membagikan hasil dari barang tebusan dan denda secara adil di antara mereka.
x. Seorang mu’min tidak memberikan kekuasaan di antara mereka kepada di luar golongan mereka.
xi. Sikap mu’min terhadap orang yang membangkang dan mengajak berperang adalah suatu perbuatan zalim, berdosa mengajak permusuhan dan merusak hubungan antar kaum mu’min.
xii. Mereka saling tolong-menolong, walau berbeda keturunan.
xiii. Seorang mu’min tidak boleh membunuh sesama mu’min karena membela orang kafir.
xiv. Tidak memberikan kemenangan atas orang kafir dengan mengesampingkan orang muslim.
xv. Sesungguhnya perlindungan ALLAH selalu berada di pihak orang mu’min yang lemah.
xvi. Sesungguhnya orang mu’min itu pelindung bagi orang-orang mu’min lainnya, terhadap bahaya yang ditimbulkan dari golongan di luar Islam.
xvii. Orang-orang Yahudi yang mematuhi aturan-aturan agama kita, akan mendapatkan pertolongan dan persamaan dalam hukum seperti orang muslim lainnya, mereka tidak teraniaya dan tidak menganiaya.
xviii. Apabila terjadi perdamaian sesama mu’min, tidak sama dengan perdamaian orang mu’min dengan orang kafir di medan perang, kecuali didasari dengan persamaan dan keadilan.
xix. Bahwa setiap prajurit kita yang turut berperang bersama kita, masing-masing saling melindungi.
xx. Sesungguhnya orang mu’min itu bekerjasama, untuk saling melindungi jiwa mereka dalam peperangan (sabiliLLAH).
xxi. Sesungguhnya orang mu’min yang bertakwa adalah orang yang mendapatkan sebaik-baik dan selurus-lurusnya petunjuk.
xxii. Bahwa orang musyrik (madinah) tidak dibolehkan menyewakan pada orang Quraisy (Makkah), baik jiwa ataupun harta, apalagi jika dipergunakan menyerang kaum muslimin.
xxiii. Barangsiapa membunuh seorang mu’min dan terdapat padanya suatu bukti pembunuhan, maka dia akan mendapatkan hukuman qishahs, kecuali wali dari orang-orang yang terbunuh tersebut memaafkannya.
xxiv. Bahwa orang-orang mu’min memiliki hukum yang sama, sehingga tidak dibolehkan atas mereka kecuali melaksanakan hukum tersebut.
xxv. Orang mu’min yang menyetujui seluruh isi perjanjian ini dan beriman pada ALLAH dan hari akhir, tidak dibolehkan bagi mereka untuk menolong dan melindungi orang-orang pembuat bid’ah.
xxvi. Barangsiapa yang menolong dan melindunginya maka bagi mereka laknat dan kemurkaan ALLAH pada hari akhir. Dan mereka tidak akan mendapat jaminan dan keadilan.
xxvii. Sesungguhnya segala apa yang kamu perselisihkan hendaklah dikembalikan pada ALLAH dan rasul-NYA, Muhammad SAW.
b. Bab-II (dengan orang Yahudi):
i. Orang Yahudi bani Auf hidup berdampingan dengan kaum mu’min. Bagi orang Yahudi diperbolehkan menganut agama mereka, dan bagi orang mu’min diperbolehkan menganut agama mereka, begitu pula terhadap harta dan jiwa masing-masing.
ii. Apabila ada salah satu dari mereka (Yahudi) melakukan kezaliman dan kesalahan, mereka tidak dapat dihukum semuanya, kecuali mereka yang melakukan perbuatan tersebut atau keluarganya.
iii. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Nadir mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
iv. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Haritsah mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
v. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Saidah mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
vi. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Jasyim mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
vii. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Aus mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf.
viii. Sesungguhnya orang Yahudi dari bani Tsa’labah mempunyai kesamaan dengan orang Yahudi bani Auf, kecuali bagi yang berbuat kezaliman dan kesalahan. Dan mereka semua tidak dihukum kecuali hanya yang berbuat kesalahan tersebut.
ix. Sesungguhnya keselamatan jiwa orang bani Tsa’labah seperti orang-orang bani Auf.
x. Sesungguhnya orang-orang bani Syathbiyyah seperti orang-orang bani Auf.
xi. Memberi pertolongan pada perbuatan baik dan bukan pada perbuatan buruk.
xii. Bahwa orang-orang yang terikat perjanjian dengan bani Tsa’labah diperlakukan sama dengan kaum mu’minin.
xiii. Bahwa keselamatan jiwa orang-orang Yahudi sama dengan keselamatan jiwa kaum mu’minin.
xiv. Tidak dibolehkan seorang pun dari orang Yahudi keluar dari Madinah kecuali atas izin Rasul SAW.
xv. Tidak dibolehkan seorang pun pergi ke Makkah untuk balas dendam.
xvi. Barangsiapa yang melakukan pembunuhan maka hanya dirinya dan keluarganyalah yang mendapat hukuman dari perbuatannya, kecuali jika ia orang yang dizalimi.
xvii. ALLAH melindungi isi perjanjian ini (ALLAH senantiasa meberikan keridhaan atas segala isi perjanjian).
xviii. Orang Yahudi bekerjasama dengan kaum muslimin dalam mengumpulkan biaya perang, selama terjadi peperangan.
c. Bab-III (antar sesama Yahudi):
i. Orang Yahudi memberi nafkah terhadap orang Yahudi, begitu pula orang mu’min meberikan nafkah pada orang mu’min.
ii. Mereka saling tolong-menolong dalam menghadapi orang-orang yang memerangi isi perjanjian ini.
iii. Mereka saling memberi nasihat dalam kebaikan dan tidak memberi nasihat dalam perbuatan dosa.
d. Bab-IV (Peraturan-peraturan umum):
i. Tidaklah berdosa bagi orang-orang mu’min yang melakukan perjanjian perdamaian dengan mereka.
ii. Hendaknya pertolongan ditujukan pada orang yang dizalimi.
iii. Orang-orang yang terikat dalam perjanjian ini dilarang untuk membunuh penduduk kota Yatsrib.
iv. Seorang tetangga bagaikan sebuah jiwa yang tidak pernah melakukan sesuatu yang membahayakan dan kesalahan terhadap dirinya sendiri.
v. Tidak dibolehkan menikahi seorang wanita, kecuali atas izin keluarganya.
vi. Apabila terjadi suatu permasalahan atau perselisihan yang dikuatirkan akan terjadi perpecahan antara orang-orang yang memegang perjanjian hendaknya hal tersebut dikembalikan pada ALLAH SWT dan nabi Muhammad SAW.
vii. Sesungguhnya ALLAH bersama orang yang paling mematuhi dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya isi perjanjian.
viii. Tidak dibolehkan memberikan perlindungan kepada orang-orang Quraisy dan para penolongnya.
ix. Mereka harus saling menolong atas segala musibah yang menimpa penduduk Yatsrib.
x. Apabila mereka diajak untuk berdamai dan melaksanakan segala usaha untuk menuju perdamaian, mereka harus berdamai dan mewujudkan perdamaian tersebut.
xi. Jika mereka dianjurkan untuk melakukan yang seperti itu, maka orang-orang mu’min juga memiliki beban yang sama.
xii. Kecuali terhadap orang yang memerangi agama mereka.
xiii. Tiap manusia memiliki bagiannya masing-masing dari apa yang ia kerjakan.
xiv. Bagi orang-orang Yahudi bani Aus, baik kolega ataupun diri mereka, memiliki persamaan mengenai isi perjanjian, dengan orang-orang yang memegang perjanjian ini. Dalam hal yang baik, bukan terhadap perbuatan jelek. Dan tidak akan mendapat hukuman kecuali yang melakukannya.
xv. Sesungguhnya ALLAH bersama orang-orang yang paling patuh dan paling baik dalam menjalankan isi perjanjian ini.
xvi. Isi perjanjian ini tidak berlaku atas orang yang melakukan kezaliman dan kesalahan.
xvii. Sesungguhnya ALLAH dan Rasul-NYA akan selalu menolong orang-orang yang baik dan bertakwa.
(Bersambung insya ALLAH…)
REFERENSI:
[1] Sirah Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, jilid-I, hal 501-504

Tidak ada komentar: