Apakah Melakukan Koalisi Politik Merupakan Bid’ah? (bagian ke-4, habis)
8/1/2006 | 7 Dhul-Hijjah 1426 H | 3,568 views
Oleh: Aba AbduLLAAH Assalamu ‘alaykum. BismiLLAHi alhamduliLLAHi wash Shalatu was Salamu ‘ala rasuliLLAH wa ‘ala ‘alihi, Amma Ba’d.
Ikhwah wa akhwat fiLLAH rahimakumuLLAH,
Ini adalah bagian terakhir dari kitab Syaikh Al-Ghadhaban. Pada bagian ini syaikh menjelaskan kepada kita secara rinci dan sistematis tentang berbagai KOALISI yang dilakukan oleh nabi SAW dengan kelompok non-muslim setelah kaum muslimin berkuasa di muka bumi/memiliki negara sendiri (sebagaimana dalam tulisan yang lalu beliau menjelaskan berbagai KOALISI yang dilakukan ketika kaum muslimin masih lemah)…
Lebih lanjut, syaikh juga menjelaskan secara ilmiah dan argumentatif konteks berbagai ayat yang nampak sepintas seolah-olah melarang KOALISI POLITIK seperti QS al-Maidah ayat 51, beliau menjelaskan sabab-nuzul ayat tersebut, konteks ayat tersebut dengan ayat yang berikutnya, bagaimana kondisi nabi SAW sendiri dan para sahabat ra saat turun ayat tersebut, dan lain-lain, lengkap dengan referensi yang shahih dan mu’tamad.
Setelah kaum muslimin memiliki kekuatan yang sepadan (yaitu pasca peristiwa Fathul Makkah), barulah ALLAH SWT menurunkan QS at-Taubah yang memerintahkan kaum muslimin untuk memerangi kaum kafir dimanapun mereka berada, sehingga pada saat itu kaum kafir dan musyrikin hanya terbagi ke dalam 3 kelompok (yaitu: ahludz Dzimmah / yang takluk pada pemerintahan Islam; mu’ahid / yang ada perjanjian dengan Islam; dan muharrib / yang memerangi Islam).
Demikianlah fase-fase dakwah yang hendaknya dilalui oleh kaum muslimin agar mereka benar2 sesuai dengan sunnah rasuliLLAH SAW dan atsar Salafus Shalih, menjauhi bid’ah dan mendapat ridha ALLAH SWT. Tanpa mengikuti sunnah beliau SAW, maka kaum muslimin hanya akan menemukan kehancuran… ALLAHu a’lam bish Shawab…
WaliLLAHil hamdu wal minah,
Wassalamu ‘alaykum,
Akhukum fiLLAH,
Abu AbduLLAH
BAHTSUL KUTUB: KOALISI POLITIK DALAM SIRAH NABI SAW / Syaikh Munir Muhammad al-Ghadhaban (bagian ke-3)
KOALISI POLITIK DENGAN KAUM MUSYRIKIN SETELAH PEMBENTUKAN NEGARA MADINAH
1. Kompromi Politik Nabi SAW dengan qabilah-qabilah Musyrikin di luar Madinah untuk melawan Quraisy, seperti dengan bani Mudallij dan bani Dhamrah di sepanjang laut Merah pada jalur yang menuju ke Syam, ketika pemimpin musyrik bani Juhainah, Majdi bin Amru al-Juhanilah bertemu nabi SAW di Madinah, maka ia disambut oleh nabi SAW sehingga ia berkata:
“Sungguh aku tidak tahu bahwa Maimun itu seorang pemimpin yang baik dalam urusan ini.” [1]Dan ditetapkanlah perdamaian antara keduanya dengan kesepakatan Nabi SAW tidak memerangi bani Dhamrah dan bani Dhamrah tidak memerangi nabi SAW serta memprovokasi kelompok lain untuk memusuhi nabi SAW serta tidak memberi bantuan kepada musuh nabi SAW [2].
2. Bahwa pasca kompromi-kompromi politik yang dilakukan oleh nabi SAW tersebut (terutama pasca perang Badar dan perjanjian Hudhaibiyyah) maka nabi SAW pun seringkali dikhianati dan disabot isi perjanjiannya terutama oleh kaum Yahudi (persis yang dilakukan oleh kelompok sekular terhadap kemenangan-kemenangan partai Islam saat ini), tapi beliau SAW berusaha mengatasi semua bahaya dan bertahan agar tidak menghadapi 2 musuh sekaligus (Quraisy dan Yahudi), kecuali setelah kaum muslimin bisa mengalahkan musuh terbesarnya kafir Quraisy yaitu pasca perang Ahzab.
3. Bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang turun berkenaan tentang larangan mengangkat pemimpin dari golongan non muslim turun berkenaan dengan tema ini (jadi bukan sebagaimana dituduhkan oleh orang-orang yang tidak mengerti asbab an nuzul, bahwa ayat tersebut melarang partai Islam berkompromi politik dengan orang kafir di parlemen). Contohnya QS Al Maidah ayat 51 yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu. Karena sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain…”Sabab an nuzul ayat ini adalah turun berkenaan tentang sikap AbduLLAH bin Ubay bin Salul yang melarang nabi SAW memerangi Yahudi bani Qainuqa karena mereka telah membelanya selama ini [3]… Lalu bagaimana mungkin ayat ini ditafsirkan sebagai ayat yang melarang semua jenis kompromi politik dengan non muslim, sementara nabi SAW sendiri berkompromi dan meminta perlindungan kepada pamannya Abu Thalib, Muth’im bin Adi, dan lain-lain yang semuanya adalah non muslim!!! Jadi jelaslah bagi kita bahwa duduk perkaranya adalah bahwa masalah ini tergantung pada fase pertumbuhan dan kekuatan dari harakah Islam itu sendiri.
4. Coba bandingkan dengan ayat ke-52nya yang memuji sikap Ubadah bin Shamit ra yang juga memiliki perjanjian dengan Yahudi tersebut tapi memutuskannya setelah pengkhianatan mereka pada nabi SAW tersebut sebagai berikut:
“Dan barangsiapa mengambil ALLAH, Rasul-NYA dan orang-orang beriman sebagai penolong maka partai ALLAH itulah yang akan menang.”Jadi permasalahannya bahwa konteks ayat itu adalah keharusan mentaati kebijakan pemimpin (yang saat itu dipegang oleh nabi SAW), serta ketaatan pada syura yang telah diputuskan oleh harakah Islam. Hal lain yang dapat ditambahkan sebagai argumen adalah bahwa ALLAH SWT tidak pernah membatalkan kompromi politik dengan bani Nadhir dan bani Quraizhah, maka bagaimana mungkin ayat tersebut melarang berkompromi politik dengan non muslim, sementara perjanjian nabi SAW telah berjalan selama 4 tahun!!!
5. Latar-belakang peristiwa Fathu (penaklukan) Makkah. Pada saat terjadi perjanjian Hudhaibiyyah dulu, maka bani Bakr memilih bersekutu dengan Quraisy, sementara bani Khuza’ah memilih bersekutu dengan nabi SAW (keduanya adalah qabilah musyrik). Lalu 22 bulan setelah Hudhaibiyyah di bulan Sya’ban bani Bakr menyerang dan membunuh 23 orang bani Khuza’ah di dekat mata air al-Watir dekat Makkah. Maka Amru bin Salim dari Khuza’ah bersama 40 orang kaumnya datang dan melantunkan sya’ir tentang kepedihan kaumnya dan mengadukan pada nabi SAW. Maka nabi SAW berdiri sambil menyeret bajunya bersabda:
“Aku tidak akan ditolong ALLAH SWT, jika aku tidak menolong bani Ka’ab sebagaimana aku menolong diriku sendiri!” [4]Dalam lafz Ibnu Ishaq disebutkan:
“Aku tidak akan mendapat pertolongan jika tidak menolong bani Ka’ab seperti aku menolong diriku sendiri. Sesungguhnya awan ini menjerit memintakan pertolongan untuk bani Ka’ab.” [5]Maka lihatlah bagaimana nabi SAW memegang perjanjian politiknya dengan kabilah musyrikin dan bahkan menggerakkan pasukannya untuk memerangi Makkah karena membela kabilah musyrikin yang telah berkompromi politik dengan kaum muslimin!
6. Turunnya surat Bara’ah (at-Taubah). Setahun setelah penaklukan Makkah dan kaum muslimin telah memiliki kekuatan yang besar, dan ketika semua kekuatan yang menentang Islam di wilayah jazirah Arab telah jatuh ke tangan kaum muslimin, maka barulah ALLAH SWT menurunkan QS at-Taubah yang memerintahkan memutuskan semua hubungan perjanjian pada kaum musyrikin:
“Inilah pernyataan pemutusan hubungan ALLAH dan Rasul-NYA dari orang-orang musyrik yang kalian (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian dengannya…” (QS At Taubah, 9/1).Maka ketika ayat ini turun, nabi SAW mengutus Ali ra untuk menyusul Abubakar ra yang sedang memimpin hajji dengan kaum muslimin yang lain untuk membacakan dan mengumumkan ayat ini, maka Ali ra mengumumkan 4 hal:
- Setelah tahun ini tidak boleh lagi orang musyrik mendekati Ka’bah,
- Tidak boleh lagi thawaf dalam keadaan telanjang,
- Tidak akan masuk syurga kecuali orang mu’min,
- Barangsiapa yang masih ada perjanjian dengan rasuluLLAH maka akan ditepati sampai akhir masanya.
KESIMPULAN: TINJAUAN FIQH TENTANG KOALISI POLITIK YANG DIBOLEHKAN DALAM ISLAM
1. Hukum meminta bantuan pada orang musyrik di luar urusan perang, adalah dibolehkan berdasarkan perilaku nabi SAW di atas, ada pula hadits Bukhari yang mempertegas sebagai berikut:
“Nabi SAW dan Abubakar menyewa seorang bani Dalil yang masih mengikuti agama Quraisy sebagai penunjuk jalan ke Madinah.”2. Hukum meminta bantuan kepada orang musyrik dalam peperangan saat kaum muslimin lemah baik jumlah maupun kemampuannya, maka ini dibolehkan berdasarkan perilaku nabi SAW di atas. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya [7] menyatakan:
Jika kaum muslimin dalam keadaan darurat dan tidak bisa menang maka dibolehkan meminta bantuan pada kafir Harbi tersebut, sepanjang ia yakin bahwa kemenaangan tersebut tidak membahayakan jiwa, harta dan kehormatan kaum muslimin, sebagaimana istitsna (pengecualian) ALLAH SWT terhadap kebolehan memakan bangkai saat kondisi terpaksa (…kecuali apa yang kamu terpaksa memakannya…). dalam hal ini ada yang mendebat kami dengan menyebutkan firman ALLAH SWT : “..Dan tidakah aku mengambil orang-orang yang menyesatkan itu sebagai penolong.” (QS Al Kahfi, 18/51). Maka jawaban kami adalah, ayat ini tidak tepat untuk kasus ini karena kita sama sekali tidak menjadikan mereka sebagai penolong melainkan mengadu mereka sebagian dengan sebagian yang lain, karena mereka adalah sama jahatnya satu dengan lainnya maka ayat yang benar adalah “..dan demikianlah KAMI jadikan sebagian orang yang zhalim sebagai teman bagi sebagian yang lain karena apa yang mereka perbuat.” (QS Al An’am, 6/129), juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh AbduLLAH bin Rabi’ dari Muhammad bin Mu’awiyah dari Ahmad bin Syu’aib dari Imran bin Bakr bin Rasyid dari abu Yaman dari Syu’aib bin abi Hamzah dari az-Zuhri dari Sa’id bin Musayyib dari abu Hurairah berkata: “Rasul SAW bersabda : ALLAH SWT akan menegakkan agama ini dengan bantuan orang yang fajir.” Maka Imam abu Muhammad berkata: Meminta bantuan pada ahlul harb (kafir harbi) dalam melawan kafir harbi yang lain dibolehkan, sebagaimana juga dibolehkan meminta bantuan pada muslim yang fajir untuk menghentikan kezaliman muslim yang zalim. (Selesai kutipan dari Ibnu Hazm)Man yuridiLLAHa bihi khairan yufaqqihhu fid diin…
REFERENSI:
[1] Imta’ al-Asma’, al-Maqrizi, hal 1/52
[2] Al-Watsaiq an-Nabawiyyah, hal.267; Ibnu Sayyidin Nas, 2/3; Ansab al-Baladziri 1/287.
[3] Sirah Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, 2/49
[4] Imta’ al-Asma’, al-Maqrizi 1/357-358
[5] Thabaqat al-Kubra, Ibnu Ishaq 2/98
[6] Zaadul Ma’ad, 2/90-91
[7] al-Muhalla, 12/523-525
Tidak ada komentar:
Posting Komentar