Apakah Melakukan Koalisi Politik Merupakan Bid’ah? (bagian ke-2)
8/1/2006 | 7 Dhul-Hijjah 1426 H | 3,615 views
Oleh: Aba AbduLLAAH AlhamduliLLAH wash Shalatu was Salamu ‘ala rasuliLLAH wa ‘ala ‘alihi,
Amma Ba’du,
Ada ikhwah yang menanyakan tentang bagaimana ISTIDLAL (pengambilan dalil) secara lengkap dari peristiwa perjanjian FUDHUL dan MUTHTHAYYIBIN yang saya postingkan dalam tulisan saya dalam rubrik BAHTSUL-KUTUB (bedah buku) yang lalu tentang KOALISI POLITIK DALAM SIRAH NABI SAW…
Maka saya ingin menjawabnya sebagai berikut:
1. Bahwa pertama, dalam hadits Anas ra (HR Bukhari bab Laka al Adab, hal 78 dan bab al-Ikha wa Halaf juz 8/26, cet Dar asy-Syatibi), Anas ra menafikan perkataan sahabat Ashim ra yang menyatakan bahwa nabi SAW menolak adanya KOALISI/KOMPROMI dalam Islam, dengan argumennya : “Bahkan nabi SAW telah mengambil sumpah suku Quraisy dan Anshar dirumahku.”
2. Bahwa dalam hadits kedua tentang tanggapan nabi SAW terhadap perjanjian AL-MUTHTHAYYIBIN (yang notabene dilakukan oleh kaum musyrikin Quraisy/bukan oleh Islam), nabi SAW mengomentarinya dengan sabdanya : “Aku menyaksikan berlangsungnya perjanjian al-Muthayyibin, aku tidak ingin membatalkannya walaupun aku hanya diberikan kekuasaan atas binatang ternak.” (HR Ahmad dalam al-Musnad, juz-I hal 190 dan 193). Hal ini dengan jelas menjadi dalil bahwa perjanjian yang dilakukan oleh kelompok sekular atau non muslim sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam maka boleh didukung oleh kaum muslimin, karena prinsipnya adalah BERTENTANGAN ATAU TIDAK DENGAN SYARIAT dan bukan siapa yang melakukan perjanjian tersebut.
3. Pada peristiwa perjanjian FUDHUL, nabi SAW juga mendukungnya, walau perjanjian tersebut dilakukan oleh kaum musyrikin, karena tidak bertentangan dengan syariat dan ada maslahatnya untuk Islam dan kaum muslimin, dengan sabdanya : “Aku telah menyaksikan perjanjian Fudhul di kediaman AbduLLAH bin Jad’an, perjanjian yang tidak akan aku batalkan walaupun aku hanya diberi kekuasaan atas binatang ternak. Dan sekiranya perjanjian itu dilaksanakan pada masa Islam, maka aku akan menyetujuinya.” (Lihat lagi bahasa yang lengkap terhadap hadits ini dalam postingan saya yang lalu)
Hal yang sama juga menjadi dalil bagi gerakan Islam untuk melakukan lobi-lobi untuk berkoalisi dan melakukan kompromi politik dengan kelompok di luar gerakan Islam (baik kelompok sekular maupun non muslim), sepanjang hal tersebut dilakukan oleh para aktifis dakwah yang ikhlas dan dikontrol oleh sebuah struktur yang terorganisir dan dipimpin oleh orang-orang yang alim dan bukan perorangan, dan juga hal tersebut dilakukan setelah mempertimbangkan FIQH AWLAWIYYAT (prioritas dalam bermu’amalah: Dimulai dengan usaha koalisi dengan kelompok Islam dulu, jika tidak berhasil dengan yang sekular tapi masih memiliki nilai-nilai kebaikan, dst) serta FIQH MUWAZANAH (dilakukan kajian yang mendalam tentang manfaat dan mafsadatnya bagi gerakan Islam, dan bukan hanya sekedar penilaian sepintas yang snap-shot dan serampangan).
Demikian dulu secara singkat jawaban saya, dan akan lebih jelasnya saya persilakan agar membaca secara lengkap dulu kajian dari kitab tersebut sampai tuntas, tafadhal antum simak bagian keduanya di bawah ini…
WalhamduliLLAHi RABBil ‘alamin,
Wassalamu ‘alaykum,
Abu AbduLLAH
BAHTSUL-KUTUB: KOMPROMI / KOALISI POLITIK DALAM SIRAH NABI SAW (Syaikh Munir Muhammad Al-Ghadhban, Bagian-2)
KOMPROMI POLITIK PADA MASA AWAL KENABIAN YANG DILAKUKAN NABI SAW DENGAN KAUM MUSYRIKIN BAIK PERORANGAN MAUPUN KELOMPOK
1. Perlindungan Abu Thalib pada nabi SAW.
Ketika turun Al Qur’an surat Ash-Shu’araa (26) ayat 214, maka nabi SAW memanggil Bani Hasyim, Bani Muthalib bin Abdi Manaf, dan berkata:
“Segala puji bagi ALLAH, aku memuji dan dan memohon pertolongan kepada-NYA, beriman dan bertawakkal kepada-NYA, aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain ALLAH Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-NYA. Sesungguhnya pemandu jalan tidak akan menyesatkan orang yang dipandu. Demi ALLAH yang tiada Ilah kecuali DIA, DIA Maha Esa dan tiada sekutu bagi-NYA, bahwa aku adalah utusan ALLAH bagi kalian secara khusus serta untuk semua manusia secara umum. Demi ALLAH bahwa kalian akan meninggal dunia sebagaimana kalian tidur dan akan dihidupkan kembali sebagaimana kalian bangun, lalu kalian akan diminta pertanggungjawaban dari apa yang telah kalian lakukan. Sesungguhnya surga dan neraka adalah abadi.”
Maka Abu Thalib berkata: “Alangkah senangnya aku dapat menolongmu, menerima segala nasihatmu, dan menjadi orang yang paling percaya akan tutur katamu, mereka yang berkumpul ini adalah keturunan nenek moyangmu, dan aku adalah salah satu dari mereka, hanya saja aku adalah orang yang paling dulu senang dengan apa yang kau senangi, maka laksanakan apa yang telah diperintahkan Tuhan kepadamu. Demi ALLAH aku akan selalu bersamamu dan menjagamu, akan tetapi aku tidak mampu meninggalkan agama Abdul Muthalib.”
Maka Abu Lahab berkata: “Demi ALLAH ini adalah malapetaka! Cegah dia sebelum mempengaruhi yang lain!”
Maka jawab Abu Thalib: “Demi ALLAH! Aku akan selalu menjaganya selama aku masih hidup!” (Sirah Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-I, hal 265).
2. Perlindungan Syi’ib Bani Hasyim
Diriwayatkan oleh Musa bin Uqbah dari Ibnu Syihab az-Zuhri: “Orang-orang kafir berkumpul untuk merencanakan pembunuhan pada nabi SAW, yang akan dilakukan secara terang-terangan, ketika kabar itu didengar oleh abu Thalib, maka ia mengumpulkan bani Hasyim dan bani Muthalib untuk melindungi nabi SAW, diantara mereka ada yang melakukannya berdasarkan keyakinan pada kebenaran Islam dan adapula yang ingin melindunginya karena hubungan kekeluargaan (ta’ashub kesukuan) saja.” (Sirah Nabawiyyah, AbduLLAH bin Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 93, Dar al-Arabiyyah).
3. Perlindungan Muth’im bin ‘Adi
Ketika nabi SAW pulang dari Tha’if untuk kembali ke Makkah, maka beliau SAW mengutus seseorang dari suku Khuza’ah untuk menemui Muth’im bin Adi dan berkata:
“Apakah engkau bersedia menjadi pelindung Muhammad?”
Muth’im menjawab: “Ya.”
Lalu ia menyiapkan pedangnya dan berkata pada kaumnya: “Hunuskan senjata kalian dan berdirilah di setiap pojok Ka’bah, sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad!”
Muth’im lalu mengutus orang untuk mempersilakan Muhammad SAW masuk ke Makkah, maka nabi SAW dan Zaid bin Haritsah ra pun memasuki Makkah. Sesampainya di Ka’bah maka Muth’im bin Adi duduk di atas ontanya sambil berkata:
“Hai orang-orang Quraisy! Sesungguhnya aku telah melindungi Muhammad, maka jangan ada yang berani mengganggunya!”
Maka nabi SAW pun menyelesaikan thawaf, mencium hajar aswad, melakukan shalat 2 raka’at dan kembali ke rumahnya. Sedangkan Muth’im dan anak-anaknya terus menjaga nabi SAW, sampai ia masuk ke rumahnya. (ar-Rahiq al-Makhtum, al-Mubarakfuri, riwayat Zuhr dari Musa bin Uqbah; al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir juz-III, hal. 150)
4. Tawaran nabi SAW terhadap qabilah-qabilah Arab.
Al-Maqrizi berkata dalam kitab al-Imta’ al-Asma’:
“Nabi SAW langsung menawarkan dan menyerukan Islam sendiri kepada kabilah-kabilah pada setiap musim haji, diantaranya adalah pada bani Amir, Ghassan, Fazarah, Murrah, Hanifah, Sulaim, Abbas, Nashr, Tsa’labah, Kindah, Kalb, Harits, Udzrah, Qais. Dari seruan itu dipahami bahwa keislaman seluruh kabilah tersebut bukanlah yang terpenting, namun kepercayaan kabilah-kabilah tersebut untuk memberikan perlindungan kepada nabi SAW untuk melaksanakan dakwahnya, sebagaimana perlindungan bani Hasyim sebelumnya pada nabi SAW juga tdk seluruhnya muslim, bahkan abu Thalib sendiri sampai wafatnya tidak masuk Islam.” (Sirah Nabawiyyah, Ibnu Hisyam I/422-425)
KETERANGAN :
Semua peristiwa tersebut (sebagaimana telah saya terangkan di atas) menunjukkan bagaimana nabi SAW jelas-jelas menjalin KOALISI dengan orang-orang yang non muslim (di luar Islam) dengan tiada satupun dari ayat ALLAH SWT dalam al-Qur’an yang melarangnya…
Hukum fiqh yang bisa diambil dalam hal ini adalah: Bahwa pada fase dakwah tertentu dimana ketika kondisi gerakan Islam masih kecil dan bargaining-positionnya pun masih lemah, maka Islam mentolerir untuk melakukan KOALISI baik terhada personal (kasus perlindungan Abu Thalib, Muth’im bin ‘Adiy), maupun terhadap kelompok (kasus perlindungan Syi’ib Bani Hasyim dan tawaran nabi SAW terhadap kabilah-kabilah Arab)…
Pembolehan ini merupakan bukti muro’at (perhatian) Islam yang demikian besar terhadap maslahat dan kebutuhan dakwah dan anshar serta junudnya, serta kesesuaian Islam dengan hukum-hukum-NYA yang bersifat baku tentang persiapan dalam pertarungan antara al-Haqq dan al-Bathil (sunnatuLLAH) yang telah ALLAH SWT tegaskan tidak akan ada perubahan dalam sunnah-NYA tersebut…
(Bersambung insya ALLAH…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar