Senin, 27 Desember 2010

Apakah Melakukan Koalisi Politik Merupakan Bid’ah? (bagian ke-1)

4/1/2006 | 3 Dhul-Hijjah 1426 H | 4,242 views
Oleh: Aba AbduLLAAH
Kirim Print
Ikhwan wa akhwat fiLLAH, ana membaca ada beberapa tulisan dari sebagian saudara-saudara kita kaum muslimin, yang menyatakan bahwa melakukan KOALISI-POLITIK dengan kelompok yang tidak Islami (sekuler) atau bahkan kelompok di luar Islam adalah perbuatan bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh nabi SAW dan merupakan perbuatan yang HARAM karena telah menjual aqidah dan TALBISUL HAQQ BIL BATHIL, apakah benar demikian?
Oleh sebab itu untuk membahas permasalahan ini ana ringkaskan dari tulisan dari salah seorang pakar SIRAH-NABAWIYYAH, Syaikh Munir Muhammad al-Ghadhban dalam kitabnya At-Tahalluf As-Siyasi fil Islam, yang membeberkan bagaimana Nabi SAW dalam hadits-hadits shahih telah melakukan berbagai Kompromi dan Koalisi Politik dengan Non-Muslim sekalipun, sepanjang tujuannya adalah memperkuat kedudukan gerakan Islam yang masih lemah.
Deal-deal serta koalisi politik yang dilakukan oleh Nabi SAW ini jelas-jelas tercatat dalam sejarah, dan dilakukan periode Fathul Makkah (penaklukan kota Makkah). Oleh karenanya sepanjang koalisi tersebut dilakukan dengan niat yang ikhlas dan dengan tujuan yang jelas menguntungkan bagi bargaining-position gerakan islam dan tidak melanggar koridor-koridor syar’i maka tidak dilarang untuk dilakukan. Untuk selanjutnya mari kita simak penuturan Syaikh Al-Ghadhban yang disusun secara runut, ilmiah dan didasarkan pada nash-nash syar’i yang kuat dan shahih serta dengan pembahasan yang mendalam dan tidak asal memvonis, berikut ini…
Al-Faqir Ila Maghfirati RABBihi,
BAHTSUL KUTUB: KOALISI POLITIK DALAM SIRAH NABI SAW (Syaikh Munir Muhammad al-Ghadhaban, bagian ke-1)
DEFINISI
1. Secara bahasa Arab (lughah) at-Tahaluf (kompromi) berasal dari kata al-Hilfu yang artinya perjanjian untuk saling menolong, ia berasal dari kata halafa-yahlifu-hilfan. Dalam bentuk kalimat dikatakan hilfuhu fulan fayakunu halifuhu (Fulan berjanji dengan fulan maka ia menjadi sahabatnya). [1].
2. Secara syara’ maknanya pun sama, dalam hadits nabi SAW disebutkan dari Ashim ra:
“Aku berkata kepada Anas bin Malik : Apakah telah sampai kepadamu bahwa nabi SAW bersabda: “Tidak ada hilfu dalam Islam.” Maka jawab Anas ra: “Bahkan Nabi SAW telah mengambil sumpah suku Quraisy dan Anshar dirumahku.” (HR Bukhari bab Laka al Adab, hal 78 dan bab al-Ikha wa Halaf juz 8/26, cet Dar asy-Syatibi).
PERJANJIAN-PERJANJIAN JAHILIYYAH DIMASA SEBELUM KENABIAN YANG DIDUKUNG OLEH NABI SAW
1. Perjanjian Muthayyibin, yaitu perjanjian antara kabilah Bani Abdud Dar, Bani Jamah, Bani Salim, Bani Makhzum dan Bani Adi, yaitu untuk tidak saling berebut kekuasaan atas Ka’bah yaitu dengan memasukkan masing-masing tangannya ke dalam mangkok berisi minyak wangi dan mengusapkannya ke Ka’bah sehingga dinamakan Muthayyibin (orang-orang yg memakai minyak wangi). Tentang ini nabi SAW bersabda:
“Aku menyaksikan berlangsungnya al-Muthayyibin, aku tidak ingin membatalkannya walaupun aku hanya diberikan kekuasaan atas binatang ternak.” (HR Ahmad dalam al-Musnad, juz-I hal 190 dan 193).
Dan ketika nabi SAW menaklukkan Makkah (fathul Makkah) dan sedang duduk di Masjidil Haram, Ali ra berkata:
“Wahai RasuluLLAH, kita telah menguasai kunci Ka’bah dan air zam-zam.” Lalu nabi SAW berkata: “Dimana Usman bin Thalhah? Ini kuncimu, ambil kunci ini selamanya dan tidak akan merebutnya kecuali orang yang aniaya.” (Sirah an-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-II, hal. 412)
2. Perjanjian Fudhul, yaitu perjanjian antara Bani Hasyim, bani Muthalib, bani Asad bin Abdul ‘Uzza, bani Zuhrah bin Kilab dan bani Taim bin Murrah untuk tidak membiarkan kezaliman di kota Makkah baik terhadap penduduk pribumi maupun terhadap pendatang (Sirah an-Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, juz-I, hal 133-134). Tentang ini nabi SAW bersabda:
“Aku telah menyaksikan perjanjian Fudhul di kediaman AbduLLAH bin Jad’an, perjanjian yang tidak akan aku batalkan walaupun aku hanya diberi kekuasaan atas binatang ternak. Dan sekiranya perjanjian itu dilaksanakan pada masa Islam, maka aku akan menyetujuinya.” [2]
Referensi:
[1] Mu’jam Maqayis al-Lughah, Ahmad bin Fariz bin Zakaria, BAB ha, lam, fa; juz-2 hal 97-98.
[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq (seorang tsiqat tapi tadlis) dari Muhammad bin Zaid bin Muhajir (tsiqat) dari Thalhah bin AbduLLAH bin Auf (tsiqat) seorang tabi’in. Hadits ini mursal tapi ketadlisan Ibnu Ishaq tidak melemahkannya, karena Ibnu Ishaq tidak tadlis dalam hadits ini hanya menyebutkan sanadnya. Dan juga telah diriwayatkan melalui jalur lain dari Humaidi dari Sufyan dari AbduLLAH dari Muhammad dan AbduRRAHMAN, keduanya anak dari Abubakar ra.

Tidak ada komentar: