Jumat, 10 Oktober 2014

Agenda Tarbiyah di Era Jahriyah-Jamahiriyah: Perbesar Kualitas, Perbanyak Kuantitas ! (2)

Perluasan Da’wah Berdampak Penurunan Kualitas?

Ketika tuntutan da’wah mengarahkan kerja kita pada perluasan wilayah da’wah dengan peningkatan rekrutmen kader, muncul penilaian di sementara kalangan bahwa kualitas kader-kader baru semakin menurun. Benarkah ini? Bagaimana kita memandang persoalannya?
Bila dilihat secara permukaan, sangat mungkin penilaian itu benar. Tetapi dengan cara pandang yang utuh, kita bisa menguji kembali keabsahan penilaian itu. Ada hal-hal prinsip yang harus dipahami.
Pertama, perluasan da’wah berarti memperluas wilayah interaksi da’wah ke berbagai unsur dan segmen masyarakat yang sangat beragam. Keberagaman sosio-demografis, tentu saja berpengaruh kepada keberagaman standar kualitas penerimaan da’wah. Dalam sunnah da’wah, as-sabiqunal awwalun selalu memiliki standar kualitas lebih tinggi dari generasi berikutnya.
Sampai kemudian terjadi upaya tajdid (pembaharuan) atas kualitas generasi berikutnya. "Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam surga keni’matan. Segolongan besar dari orang-orang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang kemudian." (QS. 56:11-14).
Generasi awal da’wah ini direkrut dari unsur pemuda terdidik yang memiliki kesiapan optimal untuk menjadi anashir da’wah yang muntij (produktif). "Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk. Dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka berkata: "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran." (QS. 18:13-14).
Sekarang ini, perluasan da’wah menghasilkan rekrutmen dari beragam segmen (misalnya: kaum pekerja, ibu rumah-tangga, buruh, dan lain sebagainya) dengan keberagaman tingkat penerimaan Islam dan keberagaman tingkat interaksi da’wahnya. Sehingga sangat mungkin di antara mereka ada orang-orang seperti digambarkan dalam ayat: "Orang-orang Arab Badwi itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah "Kami telah tunduk". Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. 49:14).
Kedua, perluasan wilayah da’wah juga menuntut pengembangan pada uslub (metode), wasilah (sarana) dan ijro’at (mekanisme) rekrutmen dan pembinaan. Pada generasi awal da’wah, ada kebutuhan percepatan proses pembinaan ke arah takwin. Sehingga dalam waktu relatif singkat, terbangun komitmen Islam dan komitmen da’wah yang kuat. Lalu semakin dimatangkan dengan interaksi da’wah secara langsung. "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. 3:104).
Ketika terjadi perluasan da’wah, proses pengkondisian dan seleksi da’wah berjalan lebih panjang. Ini penting, untuk mengukur tingkat kesiapan penerimaan da’wah sehingga kita tidak memberikan beban melampaui kadar kemampuan obyek da’wah. Metode, sarana dan mekanisme rekrutmen serta pembinaan pun dikembangkan sedemikian rupa, sehingga bisa menjangkau dan menampung obyek da’wah secara lebih masal. "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan." (QS. 5:35).
Bila kita amati perkembangan da’wah ‘ammah dalam 5 sampai 10 tahun terakhir, ada banyak ijtihad dalam pola rekrutmen dan pembinaan da’wah. Ini hal yang baik dan dimungkinkan, karena ada dalam wilayah mutaghayyirat (hal-hal yang dinamis).
Ketiga, da’wah Islam sesungguhnya membutuhkan sangat banyak anashir dengan beragam kondisi dan kemampuannya. Di antara mereka ada yang dijadikan qaidah siyasiyah (basis kepemimpinan), qaidah fikriyah (basis pemikiran), qaidah harakiyah (basis gerak) dan juga qaidah ijtima’iyah (basis sosial). Bahkan dalam sunnah da’wah, qaidah ijtima’iyah harus jauh lebih besar dari basis-basis da’wah lainnya. Perbedaan setiap qaidah tentu saja mengarah kepada perbedaan standar kualitas yang dimiliki. Sehingga yang dibutuhkan dalam melihat keberagaman standar kualitas adalah pada siasat untuk menempatkan dan mendayagunakan anashir tersebut dalam bangunan amal jama’i da’wah. Perhatikan firman Allah SWT:
"Katakanlah: Hai kaumku, bekerjalah kamu sesuai dengan keadaanmu. Sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui..." (QS. 39:39).
Terakhir, tentu saja Allah SWT telah meletakkan miqyar ‘aam (standar umum) dalam menilai keimanan dan keshalehan seseorang. Parameternya disebutkan dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga bingkai besar kita dalam menilai dan menimbang kualitas kader adalah pada timbangan Islam itu sendiri. Tidak lebih dan tidak kurang. Firman Allah SWT: "Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kami mengurangi neraca itu." (QS. 55:7-9). Jadi selama aspek-aspek kualitas kader da’wah tidak keluar dari bingkai umum ajaran Islam, maka mereka adalah kader yang berkualitas.
Bersambung......

Tidak ada komentar: