Serial Ri'ayah Maknawiyah
oleh Syaikh Abdul Hamid Al Bilali
Banyak orang menduga zuhud itu sebatas zuhud dalam hal pakaian, makanan, tidak kerja, tidak berobat, dan lain sebagainya. Mereka lebih banyak menimbulkan madzarat daripada manfaat dan memberi gambaran buram tetang hakikat zuhud dalam Islam, dengan mengerjakan ritual-ritual agama sesat, seperti Budha, Hindu, san lain-lain, yang tidak pernah diwajibkan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Dengan perbuatan-perbuatan seperti itu, mereka membuat manusia antipati dengan Islam dan menjadikan banyak orang “ngeri” berkomitmen dengan Islam.
Zuhud tidak Makan Kue Poding
Ruh bin Al-Qasim mengisahkan, ia mendengar salah seorang keluarganya, yang beribadah seperti cara orang-orang yang tidak tahu makna hakiki zuhud, berkata, “Aku tidak makan kue poding, karena tidak dapat menyukurinya.” Lalu, Ruh bin Al-Qasim pergi kepada Al-Hasan Al-Bashri, guna minta fatwa perihal pemahaman tidak benar ini tentang petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihis wa Sallam dan sahabat-sahabat beliau. Al-Hasan Al-Bashri berkata, “oreang itu tolol dan tidak menyukuri air dingin.”
Apa yang dikatakan Al-Hasan Al-Bashri betul. Tepatkah kita tidak minum air, hanya karena mengikuti pemahaman salah tentang zuhud ini? Padahal, air nikmat paling agung yang diberikan Allah Ta’ala kepada manusia, segala sesuatu menjadi hidup dengannya, dan tidak dapat disejajarkan dengan kue poding yang tidak disyukuri!
Perbedaan antara Zuhud Nabi Shallallahu Alaihis wa Sallam dengan Zuhud Semu Para Ahli bid’ah
Orang-orang pencipta model zuhud seperti itu bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihis wa Sallam. Perilaku zuhud menyimpang seperti di atas tidak hanya terjadi pada era tabi’in. tapi, juga terjadi di banyak generasi, selama penguasa sibuk di dunianya sendiri dan meninggalkan rakyatnya tanpa bimbibngan agama. Jika itu yang terjadi, pada tukang bid’ah dan khurafat punya kesempatan emas untuk mengobok-obok akal orang-orang lugu dan memasukan “ajaran-ajaran” palsu kepada mereka. Pada masa stagnant Daulah Abbasyah, para khalifah sibuk hura-hura di dunia mereka, lalu tampillah ulama-ulama pioner yang mengembalikan generasi Islam pada manhaj yang benar. Di antara ulama yang paling mencorong bintangnya ketika itu ialah Abu Al-faraj bin Al-Jauzi. Ia mengingatkan kaum Muslimin tentang hakikat zuhud nabi Shallallahu Alaihis wa Sallam dan pergeseran makna zuhud yang terjadi, “Nabi Shallallahu Alaihis wa Sallam makna apa yang beliau miliki. Jikapunya daging, beliau memakannya. Beliau makan daging ayam dan makanan favorit beliau ialah gula-gula dan madu. Tidak ada bukti beliau menolak makan hal-hal mubah.
Suatu ketika, Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu di beri kue poding, lalu ia memakannya sembari bertanya, ‘Ada apa ini?’ Orang-orang menjawab, ‘Ini makanan tahun baru Persia.’ Ali bin Abu Thalib menjawab, “Hari besar kita setiap hari.’
Hanya saja, Rasulullah Shallallahu Alaihis wa Sallam tidak suka makan hingga kekenyangan dan berpakaian dengan gaya sombong. Beliau pernah mengenakan pakaian yang dibelikan untuk beliau seharga dua puluh tujuh unta.
Tamim ad-Dari punya pakaian seharga seribu dirham dan ia gunakan untuk shalat.
Setelah itu, datanglah generasi-generasi baru. Mereka sok zuhud, menciptakan gaya hidup yang dikemas hawa nafsu mereka, lalu mereka meminta dalil penguatan gaya hidup mereka itu. mestinya, seseorang mengikuti dalil, bukannya mengikuti gaya hidup tertentu, lalu minta dalilnya.’
Zuhud sejati bukan dengan tidak makan, mengisolir diri dari manusia, dan mengenakan pakaian tambalan. Zuhud yang benar ialah memahami hakikat dunia, lalu meletakan dunia di tangan, bukan di hati, agar kita tidak sedih ketika gagal mendapatkan sesuatu di dunia ini.
Setelah kejadian orang zuhud tidak mau makan kue poding, Al-Hasan Al-Bashri melihat farqad As-Subkhi yang mengenakan jubah dari wol –karena orang sufi- lalu Al-Hasan Al-Bashri mengambil jubah Farqad As-Subkhi dan berkata kepadanya, “Hai Farqad, Al-Hasan Al-Bashri berkata seperti ini hingga dua atau tiga kali-takwa itu tidak berpakaian seperti ini. Takwa ialah keyakinan di hati, lalu dibuktikan oleh amal perbuatan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar