Senin, 24 Oktober 2011

ETIKA INTERAKSI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN


Masyarakat sejak zaman dahulu terdiri dari dua bagian, laki-laki dan perempuan. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lainnya untuk menunaikan kegiatan kehidupan keseharian, baik yang menyangkut ladang-ladang ibadah khusus ataupun dalam kegiatan kemasyarakatan pada umumnya. Mereka bukanlah dua bagian yang saling asing dan saling terpisah, akan tetapi saling memerlukan satu dengan yang lainnya.
Al Qur’an ,maupun As Sunnah mendcatat peristiwa adanya interaksi antara laki-laki dan perempuan sejak zaman-zaman terdahulu. Hal ini menjadi bukti sejarah bahwa interaksi antara laki-laki dan perempuan bukanlah hal baru di zaman yang sudah banyak kerusakan saat ini. Akan tetapi di zaman Nabi-nabi terdahulku, sampai zaman Nabi terakhir Muhammad saw, dijumpai adanya inteeraksi kedua jenis makhluk Allah tersebut yang menandakan kebolehannya.

Interaksi Laki-laki dan Perempuan dalam Al Qur’an
Dalam Al Qur’an kita mendapatkan kisah Musa di waktu muda berdialog dengan dua akhwat, yaitu dua putri seorang bapak tua, Nabi Syu'aib. Musa bertanya kepada keduanya, dan mereka pun menjawab secara wajar. Musa bahkan akhirnya membantu mereka dengan sopan. Kisah ini dapat kita baca dalam Al Qur’an :
"Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang perempuan yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata, "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu) ?”
“Kedua perempuan itu menjawab, "Kami tidak dapat meminumkan (ternaknya), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) mereka, kemudian dia kembali ke tempat teduh lalu berdo'a, "Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”.
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan rasa malu, ia berkata, "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi alasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya).”
Syu'aib berkata, "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zhalim itu. Salah seorang dari kedua perempuan itu berkata, "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya ia orang yang paling baik yang bisa kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ia juga orang yang kuat lagi dapat dipercaya" (Al Qashash: 23-26).
Demikian pula kisah Maryam, Al Qur’an menggambarkan bahwa nabi Zakaria masuk ke dalam mihrab yang dihuni oleh Maryam. Kemudian, Zakaria berinteraksi dengannya:
"Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya, Zakaria berkata, "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini ? Maryam menjawab, "Makanan itu dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendakiNya tanpa terduga" (QS. Ali Imran: 37).
Al Qur’an juga menceritakan kisah tentang Ratu Saba', bahwa dia berusaha mengumpulkan rakyatnya untuk dimintai pendapat mengenai Sulaiman:
"Berkata dia (Balqis), "Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini). Karena aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis (ku)". Mereka menjawab, "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang tinggi (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang kamu perintahkan".
Dia berkata, "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka mimbanasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina dina, dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat" (An Naml: 32-34).
Ratu Balqis berbincang-bincang dengan nabi Sulaiman -alaihissalam- dan nabi Sulaiman pun berdialog dengannya:
“Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya, "Serupa inikah singgasanamu ? Dia menjawab, "Seakan-akan singgasana ini singgasanamu, kami telah diberi pengetahuan sebelum dan kami adalah orang-orang yang berserah diri, Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulu termasuk orang-orang yang kafir.”
Dikatakannya kepadanya, "Masuklah ke dalam istana. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkaplah kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman, "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca. Berkatalah Balqis, "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah berbuat zhalim terhadap diriku dan aku berserah diri kepada Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam" (An Naml: 42-44).
Dr Yusuf Al Qardhawi mengomentari kisah-kisah dalam Al Qyr’an yang menggambarkan adanya interaksi antara laki=-laki dan perempuan sebagai berikut, “Tidak bisa dikatakan, bahwa ini merupakan syari'at untuk umat sebelum kita, sehingga ia tidak mengikat kita. Sebab Al Qur’an tidak mengemukakan kisah itu kepada kita, melainkan di dalamnya mengandung petunjuk, peringatan dan pelajaran bagi orang-orang yang berakal. Karena itu, pendapat yang benar, ialah bahwa syari'at orang sebelum kita selama belum dihapus oleh syari'at kita juga berlaku bagi kita”.

Interaksi Laki-laki dan Permpuan dalam Hadits Nabi
Dari Abu Nadhar dikatakan bahwa Abu Murrah, budak dari Ummu Hani binti Abu Thalib, bercerita kepadanya bahwa sesungguhnya dia mendengar Ummu hani binti abu Thalib berkata, “Pada tahun penaklukan kota Mekah aku pergi menemui Rasulullah saw/. Aku dapati beliau sedang mandi, sementara Fatimah, putri beliau berusaha meneutupi beliau. Lalu aku mengiucapkan salam kepqda beliau. Beliau bertanya: Siapa itu? Aku menjawab: Ummu Hani binti Abu Thalib. Beliau berkata: Selamat datang ummu Hani....”
“Selesai mandi beliau berdiri melakukan shalat delapan rakaat dengan hanya mengenakan sehelai kain. Usai shalat aku berkata: Ya Rasulallah, saudaraku Ali bin Abi Thalib mengaku bahwa ialah pembunuh seseorang yang telah aku upah, yaitu Fulan bin Hubairah. Rasulullah saw bersabda: Aku telah memberi upah orang yang kamu berin upah, hai ummu Hani” (riwayat Bukhari dan Muslim).
Kisah di atas menunnukkan iyang terjadi antara Nabi saw dengan seorang wanita bernama ummu Hani binti Abu Thalib. Demikian pula Jabir bin Abdullah ra menceritakan bahwa seorang wanita Anshar berkata kepada rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, maukah kamu aku buatkan sesuatu yang kamu bisa duduk di atasnya, sebab aku punya tukang kayu”. Nabi saw menjawab, “Jika kamu mau” Jabir mengatakan, “lalu wanita itu membuatkan mimbart untuk beliau. Apabila tiba hari Jumat, Nabi saw dudiuk di atas mimbar yang dibuat untuk beliau tersebut” (riwayat Bukhari).
Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Salas seorang budak perempuan warga kota Madinah pernah membimbing tangan rasulullah saw dan mengajak beliau pergi kemana yang beliau inginkan” (riwayat Bukhari). An Nasa’i meriwayatkan dari Abdullah bin Abu aufa, “Rasulullah saw tidak pernah menolak berjalan bersma para janda dan fakir miskin untuk memenuhi hajat mereka” (riwayat An Nasa’i).
Dari Anas ra dikatakan bahwa ada seorang wanita memiliki persoalan yang mengganjal pikirannya. Wanita itu berkata, “Ya rasulallah, sesungguhnya aku ada perlu denganmu”. Nabi saw menjawab, “Wahai ibu Fulan, pilihlah, gang mana yang kamu inginkan sehingga aku bisa memenuhi keperluanmu”. Kemudian beliau pergi bersama wanita itu melewati suatu gang sampai keperluannya selesai (riwayat Muslim).
Riwayat di atas dan masih banyak lagi riwayat lainnya menunjukkan betapa interaksi antara laki-laki dan perempuan di zaman Nabi serta sahabat terjadi dengan sangat wajar dan manusiawi. Tidak seperti yang digambarkan oleh beberapa kalangan yang beranggapan bahwa di zaman Nabi, tidak ada interaksi antara laki-plaki dan perempuan. Seakan-akan ada batas yang sangat ketat antara laki-laki dan perempuan sehingga mereka tidak bisa saling berinteraksi.

Etika Interaksi
Dengan demikian bisa dipahami bahwa syariat Islam tidaklah melarang adanya interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai kegiatan yang makruf. Akan tetapi syariat memberikan batasan dan rambu-rambu agardalam berinteraksi bisa tetap menjaga kebaikan dan tidak keluar dari koridor syariat.
Di antara etika yang ditetapkan syariat dalam kaitan dengan interaksi antara laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut:
1. Menutup Aurat
Kaum laki-laki dan wanita beriman hendaknya senantiasa menutup aurat mereka tatkala melakukan isnteraksi. Islam tidak menghalangi adanya interaksi antara laki-laki dan wanita selama ada kepentingan dan kepatutan yang tidak bertentangan dengan syariat, akan tetapi menuntunkan kepada mereka agar ,enjaga diri daqri fitnah dengan menutup aurat mereka masing-masing.
Allah Ta’ala telah berfirman:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak padanya dan hendaklah mereka menutupkan kain jilbabnya ke dadanya” (An Nur: 31).
Hendaknya kaum perempuan ketika keluar rumah menunaikan tugas sosial dan politik senantiasa menggunakan pakaian yang menutup aurat, tidak transparan, tidak ketat, tidak menampakkan bagian-bagian tubuh yang dilarang untuk dilihat laki-laki nonmahram.
Aurat perempuan adalah seluruh bagian tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, sebagian ualama memasukkan pula tumit dalam pengecualian ini.. Hal ini telah dengan gamblang diuraikan pada bagian Pakaian Wnita Muslimah dan Perhiasan Islami.
2. Menjaga Pandangan
Kendatipun telah menutup aurat, Islam menuntutnkan kepada laki-laki dan wnaita beriman agar mereka bisa menjaga dan menahan pandangan mereka. Allah Ta’ala berfirman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka” (An Nur: 31).
Yang dimaksud dengan menahan pandangan bukanlah sama sekali tidak boleh saling melihat, sebab hal itu tidak mungkin bisa terjadi. Ibnu Daqiq al Id berpendapat bahwa lafazh min dalam ayat tersebut menunjukkan tab’idh atau sebagian. “Tidak ada pertikaian bahwa perempuan –ketika khawatir akan terjadi fitnah- haram baginya melihat. Ini satu kondisi. Akan tetapi, ayat tersebut tidak mewajibkan menahan pandangan secara mutlak, atau pada kondisi lain yang berbeda dari yang baru disebutkan”, demikian tulis Ibnu Daqiq al Id.
Dengan demikian, pandangan yang tidak dibolehkan adalah memandang aurat, atau memandang yang menimbulkan fitnah berupa rangsangan syahwat dan sebagainya. Iyadh berkata, “Menahan pandangan wajib hukumnya dalam semua kondisi yang menyangkut aurat dan yang semisalnya. Tetapi kadang-kadang wajib untuk suatu kondisi dan tidak pada kondisi yang lain kalau tidak menyangkut aurat”.
Dalam kitab Fathul Bari, mengenai perempuan dari kabilah Khats’am, disebutkan, “Fadhal bin Abbas –seorang anak muda yang tampan- melihat perempuan tersebut dan ia mengagumi kecantikannya. Lalu Nabi menoleh kepada Fadhal, sedangkan Fadhal masih melihat perempuan tersebut. Nabi mengulurkan tangannya untuk meraih dagu Fadhal dan memalingkan mukanya dari melihat perempuan itu”.
Ibnu Bathal –salah seorang pensyarah kitab Shahih Bukhary- berkata, “Dalam riwayat tersebut terdapat perintah untuk menahan pandangan karena takut terjadi fitnah. Konsekuensinya, apabila aman dari fitnah, melihat saja tidaklah dilarang”. Sedangkan Al Hafizh Ibnu Hajar menambahkan, “Hal ini dipertegas dengan kemungkinan bahwa Nabi saw tidak akan memalingkan muka Fadhal seandainya dia tidak terus menerus melihat perempuan karena kagumnya sehingga dikhawatirkan dia terjebak ke dalam fitnah”.
3. Tidak Mendayu-dayukan Suara
Teramat banyak hal yang menarik dari para wanita bagi laki-laki, di antaranya adalah suara wanita. Al Qur’an maupun Sunnah Nabi tidak pernah melarang wanita berbicara, termasuk kepada kaum laki-laki, akan tetapi memberikan batasan agar berbicara dengan suara apa adanya, tidak dibuat-buat menjadi merdu atau sayu dan mesra, sehingga menimbulkan penyakit di hati orang-orang yang tidak kiat imannya.
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik” (Al Ahzab: 32).
Yang dimaksud dengan “janganlah kamu tunduk dalam berbicara” adalah sikap membuat-buat suara menjadi tidak seperti biasanya, atau mendayu-dayukan suara, yang akan menimbulkan persepsi atau khayalan bagi pendengarnya. Wanita yang sengaja mendayu-dayukan suaranya ketika berbicara dengan laki-laki akan bisa menimbulkan semacam “harapan” kepada laki-laki tersebut, sehingga laki-laki bisa bertambah berani dan agresif terhadap wanita tersebut.
Akan tetapi apabila suara wanita tersebut dasarnya memang lembut dan merdu, maka juga tidak perlu dibuat-buat dengan dikasarkan atau dikeraskan supaya laki-laki menjadi takut. Yang dikehendaki hanyalah sikap yang wajar dalam berbicara, tidak menyengaja menimbulkan gangguan atau fitnah kepada lawan jenisnya dengan suara.
4. Keseriusan Agenda Interaksi
Islam tidak menghendaki adanya interaksi yang hanya sekedar iseng atau berada dalam kesia-siaan, tanpa kejelasan agenda. Hendaknya ada suatu agenda yang serius sehingga kaum laki-laki berinteraksi dan berbincang dengan kaum perempuan. Jika tidak ada suatu agenda yang berarti, dikhawatirkan interaksi akan menjadi sebuah pointu munculnya fitnah lawan jenis. Firman Allah Ta’ala:
“Dan ucapkanlah olehmu perkataan yang baik” (Al Ahzab: 32).
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa topik pembicaraan dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan haruslah dalam batas-batas kebaikan dan tidak mengandung kemungkaran. Jika pembicaraan sudah menyangkut hal-phal yang mungkar, maka interaksi harus dihentikan dan dihindari.
Jika pertemuan itu sendiri dimaksudkan untuk sesuatu kemungkaran, tentu saja terlarang secara syar’i, bukan karena adanya interaksi laki-laki dan perempuan tetapi karena maksud interaksi itu sendiri yang memang telah tertolak syar’i. Tak dibenarkan interaksi laki-laki dan perempuan yang berkonotasi iseng, tanpa ada keseriusan agenda di dalamnya. Tidak ada maksud lain dari larangan ini kedcuali menjaha kebaikan kaum muslimin dan muslimah, serta seluruh masyarakat pada umumnya agar tidak tergelincir ke dalam fitnah.
Khuwait bin Zubair berkata, “Kami singgah bersama Rasulullah saw di Marrazh Zhahran. Ketika keluar dari tenda aku melihat kaum perempuan sedang berbincang-bincang. Aku tertarik kepada mereka lalu aku kembali lagi ke tenda. Sampai dalam tenda aku membuka peti pakaian dan aku keluarkan pakaian dan perhiasan yang bagus-bagus. Kemudian aku pergi kembali untuk ikut duduk dan ngobrol bersama kaum perempuan tersebut”.
Rasulullah saw datang dan berkata kepadaku, “Hai Abu Abdullah!” Ketika melihat Rasulullah saw aku terperanjat dan tidak tahu apa yang harus aku katakan. Akhirnya aku berkata, “Wahai Rasulullah, untaku liar dan melawan. Karena itu aku ingin mencari pengikatnya”.
Kemudian Rasulullah saw berjalan, dan aku mengikutinya. Lalu Rasulullah saw melemparkan selendangnya padaku dan masuk ke sela-sela pohon arak. Seolah-olah aku dapat melihat putih punggung Rasul dari balik kehijauan pohon arak tersebut. Beliau buang hajat, berwudhu, lalu kembali lagi. Kulihat air mengalir dari jenggot ke dada beliau. Kemudian beliau berkata kepadaku, “Hai Abu Abdullah, apa kabar untamu yang liar itu?”
Kemudian kami berangkat. Setelah itu, setiap kali bertemu, tidak ada yang beliau ucapkan kepadaku kecuali, “Assalamu ‘alaikum, wahai Abu Abdullah, apa kabar untamu yang liar itu?” (Riwayat Thabrani).
Hadits tersebut memberikan gambaran arahan Rasul saw agar kaum laki-laki tidak terlibat dalam interaksi dengan kaum perempuan yang berkonotasi iseng, tanpa keseriusan agenda interaksi.
5. Menghindari Jabat Tangan pada Situasi Umum
Jabat tangan antara laki-laki dan perempuan tidak pernah dilakukan atau dicontohkan oleh Nabi dan para sahabat. Beberapa nash dari sunnah Rasul saw bahkan menunjukkan diharamkannya menyentuh kulit jika disertai dengan syahwat. Seperti hadits dari Ma’qil bin Yassar, bahwa Rasul saw bersabda:
“Ditusuk di kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum besi besar lebih baik daripada memegang-megang perempuan yang tidak halal baginya” (Riwayat Thabrani).
Ungkapan min an yamassa imra’atan dalam hadits tersebut bermakna menyentuh dengan tangan untuk mendapatkan kenikmatan, atau menyentuh dengan syahwat. Sebagaimana kondisi masyarakat di zaman sekarang, dimana mereka berinteraksi tanpa batas. Laki-laki memegang-megang tubuh perempuan, dan sebaliknya, untuk mendapatkan kenikmatan-kenikmatan dalam berhubungan tersebut. Inilah yang diharamkan.
Sementara sebagian nash menunjukkan kebolehan menyentuh secara langsung atau tidak langsung ketika ada kebutuhan dan aman dari fitnah. Seperti kisah Anas ra bahwa Rasulullah saw masuk kepada Ummu Haram binti Milhan, lalu ia menjamu makan Rasul saw. Ketika itu Ummu Haram di bawah (isteri) Ubadah bin Shamit. Rasulullah saw masuk kepada perempuan tersebut. Perempuan itu menjamu makan Rasul saw dan menyisir rambut beliau” (Riwayat Bukhary dan Muslim).
Menyisir rambut berarti menyentuh kepala dan rambut Nabi saw dengan alat sisir yang dipegang oleh akhwat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi saw tidak melarang sahabiyat wanita menyisir dan menyentuh rambut beliau dengan alat sisir, karena diyakini aman dari fitnah.
Berjabat tangan secara umum tidak disenangi oleh Rasulullah saw sebagai saddudz dzara’i. Beliau juga tidak pernah berjabat tangan dengan kaum perempuan tatkala melakukan pembaitan kepada mereka. A’isiyah ra berkata:
“Tidak, demi Allah, tangan Rasul tidak pernah menyentuh tangan perempuan sama sekali dalam berbaiat” (Riwayat Bukhary dan Muslim).
Berjabat tangan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dalam membai’at sahabiyat, namun ada riwayat bahwa beliau saw bersentuhan kulit dengan perempuan, yang kemudian dimaknai sebagai “peluang kebolehan” selama ada jaminan aman dari fitnah dan ada alasan yang patut. Di antara argumen yang bisa digunakan menjelaskan masalah ini adalah, pertama, bahwa larangan bersentuhan kulit berlaku apabila disertai dengan syahwat dan menimbulkan fitnah.
Kedua, Anas ra menceritakan bahwa ada seorang hamba perempuan warga Madinah yang membimbing tangan Rasulullah saw dan berangkat bersama Rasulullah kemana yang ia kehendaki (Riwayat Bukhary).
Al Hafizh Ibnu Hajar menambahkan, “Dalam riwayat Ahmad melalui Ali bin Zaid dari Anas ra bahwa budak perempuan itu adalah salah seorang budak perempuan warga Madinah. Ia datang dan memegang tangan Rasulullah. Beliau saw tidak melepaskan tangan budak perempuan itu sehingga budak perempuan itu pergi bersama Rasulullah saw kemana yang ia kehendaki”.
Untuk itulah sikap yang utama adalah menguindari jabat tangan. Apabila terdapat kondisi yang khusus atau sulit dihindari, maka jabat tangan dilakukan seperlunya dengan menjaga agar tidak sampai menimbulkan kesenangan syahwat akibat sentuhan kulit tersebut.
6. Memisahkan Laki-laki dari Perempuan dan Tidak Berdesakan
Sebagaimana dalam shalat, kaum laki-laki terpisahkan dari kaum perempuan, maka demikian pula etika yang semestinya diterapkan dalam interaksi sosial. Kaum perempuan ditempatkan pada suatu bagian tertentu agar tidak berdesak-desakan dengan kaum laki-laki.
Satu riwayat menyebutkan Rasulullah saw keluar dari masjid, lalu bercampur baur dengan perempuan di jalan. Rasul saw bersabda kepada kaum perempuan, “Perlahanlah atau mundurlah (perempuan) sedikit. Kalian tidak berhak menguasai jalan, kalian harus berjalan di pinggir-pinggirnya”. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya pemilahan laki-laki dan perempuan agar tidak bercampur baur dan berdesak-desakan.
Etika ini dimaksudkan agar tidak memunculkan peluang fitnah yang terjadi dari ikhtilath atau berdesak-desakannya laki-laki dan perempuan dalam sebuah majelis atau suasana. Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat, “Yang penting di sini kita tegaskan, bahwa tidak semua ikhtilat itu dilarang sebagaimana dipahami oleh para da’i ekstrem dan sempit pemikirannya; dan tidak pula setiap ikhtilat itu diperbolehkan sebagaimana diikuti para da’i sekular yang suka mengekor Barat… “
“Kesimpulannya, bahwa pertemuan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya diperbolehkan dan tidak dilarang, bahkan kadang-kadang diperlukan jika tujuannya adalah kerja sama dalam mencapai tujuan yang mulia. Seperti dalam majelis ilmu yang bermanfaat, dan amal shalih, atau proyek kebajikan, atau jihad yang diharuskan, dan lain sebagainya yang menuntut potensi prima dari dua jenis manusia, serta kerja sama antara keduanya di dalam merencanakan, mengarahkan dan melaksanakan”.
7. Menghindari Khalwat
Yang dimaksud dengan khalwat adalah berdua-duaan antara seroang wanita dengan seorang laki-laki di tempat yang sepi. Kegiatan khalwat seperti itu bisa mendatangkan kemudharatan, walaupun tujuannya adalah untuk melakukan kebaikan. Nabi saw bersabda:
“Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali disertai mahramnya” (Riwayat Bukhary).
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat larangan berkhalwat dengan perempuan nonmahram. Pendapat tersebut diterima secara bulat oleh para ulama’. Akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai apakah orang yang bukan mahram dapat menggantikan posisi mahram dalam masalah ini, seperti perempuan-perempuan yang dipercaya misalnya. Dalam hal ini boleh saja, sebab orang-orang seperti mereka itu tipis kemungkinan akan dituduh atau dicurigai”.
Khalwat yang dimaksud di sini tidak mencakup hal-hal berikut: Pertama, khalwat di depan orang banyak. Anas ra menceritakan bahwa ada seorang perempuan dari kalangan Anshar datang kepada nabi saw. Lalu Nabi saw berduaan dengannya dan berkata, “Sesungguhnya kalian (kaum Anshar) adalah orang yang paling saya cintai” (Bukhary dan Muslim).
Al Hafizh Ibnu Hajar berkomentar, “Rasul saw tidak berkhalwat dengan perempuan itu sehingga diri mereka tertutup dari pandangan orang lain, bahkan tidak berkhalwat sehingga pembicaraan mereka tidak didengar orang lain”. Al Hafizh juga menambahkan, “Hadits itu juga menunjukkan bahwa pembicaraan perempuan nonmahram yang bersifat rahasia tidaklah tercela dalam agama jika aman dari fitnah”.
Kedua, dua atau tiga laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan. Abdullah bin Amr bin Ash menceritakan bahwa Rasul saw bersabda, “Setelah hari ini, seorang laki-laki tidak diperbolehkan masuk menemui perempuan yang suaminya tak ada, kecuali dia bersama seorang atau dua orang laki-laki lain” (Riwayat Muslim).
Imam Nawawi berkata, “Secara zhahir hadits ini membolehkan dua atau tiga orang lelaki berkhalwat dengan seorang perempuan nonmahram. Akan tetapi, pendapat yang masyhur di kalangan sahabat kami adalah mengharamkannya. Lalu hadits itu ditakwilkan untuk sekelompok orang yang tak mungkin melakukan perbuatan keji karena keshalihan dan kealiman mereka atau karena lainnya. Al Qadhi telah mengisyaratkan kepada pentakwilan seperti itu”.
Ketiga, seorang laki-laki berkhalwat dengan sejumlah perempuan. Imam Nawawi berkata, “Seorang laki-laki mengimami seorang perempuan nonmahram di tempat yang sepi diharamkan. Tetapi jika ia mengimami beberapa orang perempuan nonmahram di tempat yang sepi maka ada dua pendapat. Namun jumhur ulama’ memperbolehkan”.
8. Meminta Izin Suami jika Menemui Perempuan yang Suaminya Tidak Bepergian
Jika seorang laki-laki hendak bertemu atau berbicara dengan seorang wanita, hendaknya meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya apabila suaminya tidak bepergian. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari rasa kecemburuan suami yang mengetahui isterinya berbincang dengan laki-laki sementara ia ada di rumah dan tidak dimintai izoin terlebijh dahulu.
Rasul saw bersabda, “…dan dia (isteri) tidak boleh mengizinkan orang lain masuk ke dalam rumahnya kecuali dengan izin (suami)nya”. Menurut riwayat Muslim, “Dia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumahnya sedangkan si suami ada, kecuali dengan izin suaminya”.
Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menutup pintu-pintu fitnah yang mungkin muncul dalam berinteraksi dengan perempuan yang telah bersuami. Kewajiban meminta izin kepada suami jika ia berada di rumah dipertegas dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Amr bin Ash datang ke rumah Ali bin Abi Thalib untuk suatu keperluan, tetapi Ali tidak di rumah. Ia bolak-balik dua sampai tiga kali, namun Ali tetap tidak di rumah.
Setelah itu Ali datang dan berkata kepadanya, “Jika kamu memiliki keperluan kepadanya (isteri Ali) apakah kamu tidak bisa masuk menemuinya?” Amr menjawab, “Kami dilarang menemui para isteri kecuali seizin suaminya” (Riwayat Muslim). Adapun dalil yang menegaskan tidak wajibnya meminta izin dalam kondisi suaminya tidak berada di rumah, sedangkan ada keperluan mendesak untuk menemui isterinya adalah sabda Rasul saw:
“Setelah hari ini, seorang laki-laki tidak diperbolehkan masuk menemui perempuan yang suaminya tidak ada kecuali dia bersama seorang atau dua orang lelaki” (Riwayat Muslim).
9. Menjauhi Perbuatan Dosa
Hnedaklah kaum laki-laki dan perempuan beriman senantiasa menjauhi perbuatan dosa dalam berinteraksi. Perbiuatan dosa ini bisa terjadi dalam tujuan pembicaraan, materi permbicaraan, cara dan gaya berbicara, dan lain sebagainya. Firman Allah Ta’ala:
“Dan tinggalkanlah dosa yang tampak dan yang tersembunyi” (Al An’am: 120).
Di antara dosa yang tampak adalah meninggalkan etika syar’i dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Sedangkan dosa yang tak tampak adalah berkembangnya perasaan senang terhadap sesuatu yang haram dan berharap bisa mendapatkan yang lebih banyak lagi. Hendaknya laki-laki dan perempuan beriman senantiasa menjaga diri mereka agar dalam berinteraksi terjauhkan dari dosa-dosa yang tampak maupun tersembunyi.
Demikianlah beberapa etika syar’i berkaitan dengan keterlibatan kaum perempuan dalam bidang sosial dan politik. Keseluruhannya bertujuan untuk menjaga akhlaq dan kebaikan umjat beriman dan juga masyarakat vsecara keseluruhan, agar tidak terjatuh ke dalam keburukan. Tidak didapatkan gambaran tentang larangan interaksi wanita dalam kancah publik secara umum. Yang kita dapatkan dari sirah sahabiyah justru potret jati diri muslimah yang utuh, lengkap dengan segala peran yang mereka lakukan di bidang sosial, profesi maupun politik.
Sebagai penguat, kita nukilkan pernyataan Dr. Abdul Halim Muhammad Abu Syuqah, “Perempuan bukanlah aurat yang seharusnya ditutupi dari orang lain sampai tertutup seluruh tubuhnya, mukanya, suaranya, dan bahkan namanya. Bila perempuan memiliki aurat yang harus ditutup dari orang lain, maka laki-laki pun demikian juga. Perempuan memiliki jati diri yang utuh, tidak seperti yang digambarkan oleh sebagian orang”.
“Ada yang menggambarkan bahwa perempuan adalah manusia yang polos, lemah akalnya dan mudah ditipu dengan kata-kata manis. Ada lagi yang menggambarkan bahwa perempuan adalah makhluk yang jahat, sumber mala petaka dan tidak memiliki keahlian selain tipu daya. Bila kadang-kadang pada diri perempuan tampak beberapa kelemahan, maka sesungguhnya demikian pula pada diri laki-laki”.
Wallahu a’lam bish shawab.

Tidak ada komentar: