TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mendapatkan materi ini, maka peserta mampu :
1. Memahami dan menyadari akan tuntutan da’wah kepadanya bahwa al akh berkewajiban memberikan kontribusinya untuk da’wah sesuai dengan potensi dan kafaahnya.
2. Termotivasi untuk memberikan pemikiran, ide, gagasan, saran serta karya nyatanya demi kemajuan da’wah dan jama’ah.
3. Menyumbangkan tenaga dan pemikirannya yang terbaik untuk kepentingan da’wah dan jama’ah.
PEMBAHASAN
A. PENDAHULUAN
Da’wah adalah upaya manusia untuk mengubah diri dan lingkungannya melalui berbagai sarana yang ada. Da’wah tidak mengandalkan kekuatan di luar upaya manusia sebagai dasar kerjanya. Hanya saja seorang yang beriman meyakini bahwa ada kekuatan-kekuatan di luar kemanusiaannya yang mampu mempengaruhi kekuatan dirinya.
Pertolongan Allah SWT akan datang seiring dengan upaya-upaya manusiawi yang dilakukan oleh orang yang beriman. Oleh karena itu ketika hijrah, Rasulullah SAW meminta bantuan seorang pemandu jalan seraya mengharapkan kemudahan perjalanan dari Rabb-nya. Beliau melakukan perjalanan yang berputar dan berliku seraya mengharapkan Allah SWT menyesatkan pengejaran orang-orang kafir. Beliau bersembunyi di dalam goa sebelum Allah menutupinya dengan sarang laba-laba. Ketika berperang, Muhammad SAW dan kaumnya mempersiapkan pedang dan perbekalan seraya mengharapkan bantuan malaikat dan hujan.
Sesuatu harus diberikan oleh orang-orang beriman dalam perjuangan da’wahnya agar kemudahan-kemudahan da’wah datang kepadanya. Pertolongan Allah SWT tidak boleh diartikan sebagai sebuah “keajaiban dari langit” yang datang dengan tiba-tiba dan begitu saja, meskipun hal itu bisa saja terjadi menurut kehendak Allah SWT jua. Tetapi pertolongan Allah SWT harus diartikan sebagai respon-Nya terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh para hamba-Nya. Firman Allah SWT : “Jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Allah akan menolong kamu dan meneguhkan langkah-langkah kamu.” QS(47:7)
B. AL ATHOO DAN AL YUSRO
Kaum yang beriman, khususnya para pengemban dakwah, tidak boleh bakhil terhadap apa saja yang dimilikinya karena pada hakekatnya kebergunaan/mamfaat itu hanya ada pada saat kehidupan di dunia ini. Setelah mati tidak ada sesuatu pun yang bisa diberikan oleh manusia untuk menambah timbangan kebaikannya di alam barzah kelak. Firman Allah SWT : “Adapun orang-orang yang memberi (apa saja yang dimilikinya di jalan Allah) dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (husna) maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (Al Lail ayat 5 – 11). Jadi, sebesar apa pun pemberian (al athoo) dalam da’wah maka sebesar itu pula kemudahan (al yusroo) yang akan diperoleh dari Allah dalam upaya meraih cita-cita dan tujuan-tujuan da’wah.
Ekuivalensi (keseimbangan) antara al athoo dan al yusroo adalah sunnatullah yang tidak bisa dibantah lagi dan hal ini merupakan sebuah fenomena sejarah yang terang benderang bagi mereka yang mempelajari dan memahami Al Qur-an. Perhatikanlah nasib perjuangan Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang di antara mereka saling berlomba-lomba memberikan kontribusinya dalam bentuk apapun di jalan da’wah yang mereka arungi. Perhatikan pula nasib kaum Nabi Musa AS yang hanya ingin duduk-duduk saja sementara pemimpin mereka menggadaikan badan dan nyawanya demi cita-cita da’wahnya.
Firman Allah SWT : “Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling (dari Al Qur-an) serta memberi sedikit dan tidak mau memberi lagi ? Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang yang ghaib sehingga dia mengetahui (apa yang dikatakan) ? Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa ? dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji ? (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberikan kepadanya balasan yang paling sempurna dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu) ?” (An Najm ayat 33 – 42).
Pada hakekatnya seseorang harus memberikan kontribusinya dalam dakwah sekuat kemampuannya, karena semuanya itu akan memberi dampak positif bagi kehidupan diri dan masyarakatnya. “Barangsiapa yang berbuat sebesar zarrah dari kebaikan maka ia pasti akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang berbuat sebesar zarrah dari kejahatan maka ia pasti akan melihat (balasan)nya pula.” (Al Zalzalah ayat 7 dan 8). Pemberian yang ikhlas, hanya semata-mata mengharap rahmat serta balasan dari Allah SWT semata, menjadi syarat yang mutlak bagi pemberian dalam dakwah. Terjadinya fenomena seseorang yang hanya dengan pemberian /kontribusi yang sedikit tetapi mengharap hasil duniawi yang besar menunjukkan pemahamannya yang rendah tentang nilai-nilai ajaran agama Ilahi ini. Allah SWT telah melarang Rasulullah SAW berdakwah untuk memperoleh balasan-balasan duniawi yang nilainya sangat sempit. Firman-Nya : “Dan janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak,” (Al Muddatsir ayat 6).
Hendaknya seseorang hanya mengharap balasan dari sisi Allah sebesar-besarnya berupa kemudahan (al yusro) hidup di dunia dan akhirat nanti. Balasan atas kontribusi dakwah yang berbentuk material duniawi (isteri, anak, harta, kedudukan, kekuasaan, pengikut, dan sebagainya) tetap saja akan menjadi cobaan yang harus kita hadapi. Balasan Allah SWT kepada kaum muslimin dalam perang Badar, berupa harta rampasan perang yang begitu banyak, akhirnya tidak dapat disikapi dengan baik oleh sebagian kaum muslimin sehingga menjadi sumber fitnah pada Perang Uhud.
C. AL ATHOO : AT TADHHIYAH DAN AL MAS’ULIYAH
Seseorang lahir ke dunia tanpa ada peranan sedikit pun dari dirinya sendiri. Ia bukanlah apa-apa sebelum kedua orang tuanya dengan izin Allah mempertemukan sperma dan sel telurnya. Ia bukanlah apa-apa sebelum Allah SWT meniupkan roh kepadanya dan memproses secara sempurna bentuk-bentuk fisiknya sehingga ia mempunyai kemampuan penghayatan, intelektual dan inderawi.
Allah SWT juga telah membentangkan alam semesta baginya sehingga kreativitasnya mampu memberikan berbagai rizki kepadanya. Sesungguhnya kontribusi Allah SWT kepada manusia adalah sesuatu yang tiada terhitung (al Kautsar, QS 108 : 1). Tetapi pada jiwa manusia memang terdapat unsur nafs (syahwat, QS 3 : 13) yang melahirkan “sense of belonging”/rasa kepemilikan dan kecintaan atas segala sesuatu yang melekat pada dirinya, yang masih berada dalam genggamannya atau bahkan yang berada dalam angan-angannya.
Oleh karena itu, al athoo adalah bentuk al mas-uliyah (tanggung jawab) apabila dipandang dari sisi bahwa yang diberikan oleh seseorang adalah sesuatu yang sesungguhnya pemberian Allah SWT jua. Al athoo adalah bentuk at tadhiyah (pengorbanan) jika dilihat dari sisi bahwa seseorang memang mempunyai rasa kepemilikan dan kecintaan atas apa-apa yang ada di dalam genggamannya. Semakin tinggi rasa tanggungjawab dan pengorbanan seseorang akan semakin besar pula kontribusinya terhadap da’wah Islam.
D. MACAM-MACAM AL ATHOO AD DA’WIY
Terdapat bermacam-macam bentuk pemberian yang dapat dilakukan oleh seseorang, di antaranya adalah al athoo al fikriy (kontribusi pemikiran), al athoo al maaliy (kontribusi materi), al athoo an nafsiy (kontribusi jiwa).
1. Al Athoo Al Fikry (Kontribusi Pemikiran)
Kontribusi pemikiran merupakan jiwa dari perjuangan da’wah karena nilai-nilai Islam hidup bersama hidupnya pemikiran Islam di kalangan ummat. Ajaran Islam mampu menembus segala ruang dan waktu yang berubah-ubah dan mampu berhadapan dengan zaman dan peradaban yang dikembangkan manusia. Ajaran Islam akan senantiasa siap menyediakan berbagai perangkat sistem yang dibutuhkan dalam kehidupan : ekonomi, politik, sosial dan budaya. Ummat Islam akan mampu menjawab semua tantangan itu dengan satu senjata yang telah ditunjukkan oleh Allah SWT yakni ijtihad. Karenanya Rasulullah SAW sangat menghargai proses ijtihad yang dilakukan para pemikir ummat Islam sebagaimana pesan yang disampaikannya kepada Mu’adz bin Jabbal ketika akan membuka wilayah Yaman.
Dr. Yusuf Qardlawi menyatakan dalam buku Fiqhul Aulawiyat : “Yang tampak oleh saya bahwa krisis kita yang utama adalah “krisis pemikiran” (azmah fikriyah). Di sana terdapat kerancuan pemahaman banyak orang tentang Islam. Kedangkalan yang nyata dalam menyadari ajaran-ajarannya serta urutan-urutannya. Mana yang paling penting, mana yang penting dan mana yang kurang penting. Ada pula yang lemah memahami keadaan masa kini dan kenyataan sekarang (fiqh al waqi’). Ada yang tidak mengetahui tentang “orang lain” sehingga kita jatuh pada penilaian yang terlalu “berlebihan” (over estimasi) atau sebaliknya “menggampangkan” (under estimasi). Sementara orang lain mengerti benar siapa kita bahkan mereka dapat menyingkap kita sampai ke “tulang sumsum” kita. Sampai hari ini kita belum mengetahui faktor-faktor kekuatan yang kita miliki dan titik-titik lemah yang ada pada kita. Kita sering membesar-besarkan sesuatu yang sepele dan menyepelekan sesuatu yang besar, baik dalam kemampuan maupun dalam aib-aib kita.”
Kontribusi kaum muslimin dalam bidang pemikiran akan melahirkan sebuah tsaqah (intelektualitas) dan hadlarah (peradaban) Islam, sebagaimana yang pernah ditunjukkan dalam sejarah peradaban manusia sejak masa Rasulullah SAW sampai dengan khilafah-khilafah Islamiyah sesudahnya. Oleh karenanya kontribusi dalam bidang pemikiran ini akan memiliki buah kontribusi dalam bidang keilmuan (al atho al ‘ilmy) dengan berkembangnya berbagai cabang ilmu dan kontribusi dalam bidang keterampilan (al atho al fanny) dengan berkembangnya berbagai keahlian budaya yang menunjang peradaban kaum muslimin.
2. Al Athoo Al Maaliy (Kontribusi Materi)
Kontribusi materi merupakan kekuatan fisik dari da’wah karena ia akan menggerakkan jalannya perjuangan ini. Berbagai sarana perjuangan diperlukan dan harus diperoleh melalui penyediaan material dan finansial. Oleh karena itu berbagai persiapan dalam hal ini diperintahkan Allah SWT sebagaimana firman-Nya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukuop kepadamu dan kamu tidak akan dianaiaya (dirugikan).” (Al Anfal ayat 60)
Para sahabat telah menunjukkan betapa perjuangan dakwah harus diikuti oleh perjuangan mengorbankan harta, bahkan kadangkala dalam jumlah yang tiada taranya. Abu Bakar Shiddiq RA adalah sahabat yang rela mengorbankan seluruh harta miliknya di jalan Allah, sedangkan Utsman bin Affan yang kaya raya itu juga sangat luar biasa tanggung jawabnya dalam persoalan kontribusi material ini. Ketika pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA terjadi musim paceklik beliau menyumbangkan gandum yang dibawa oleh seribu ekor unta. Sebagian sahabat ada yang masih hidup dalam zaman kekhalifahan yang memiliki harta kekayaan Negara yang sangat banyak sehingga mereka sempat hidup berkemakmuran sebagai hasil perjuangan mereka. Tetapi tidak sedikit yang sudah lebih dulu mati dalam keadaan berkekurangan, tiada harta benda lagi yang dimilikinya, sebagaimana yang dialami oleh Rasulullah SAW.
Perjuangan yang dihidupkan tidak hanya dengan semangat dan pemikiran, tetapi juga dengan dukungan materi yang kuat, akan mampu mengimbangi dengan musuh-musuh yang seringkali memiliki sarana yang lengkap dan hebat. Perhatian dalam hal ini adalah sebuah kewajiban yang asasi karena ini merupakan tuntutan sunatullah. Inilah yang ditunaikan Rasulullah SAW ketika memproduksi senjata-senjata perang, yang ditunaikan Umar bin Khattab RA ketika menciptakan “panser-panser” (dababah) atau Utsman bin Affan RA ketika membangun angkatan laut yang kuat di bawah pimpinan Muawiyah.
3. Al Athoo An Nafsiy (Kontribusi Jiwa)
Kontribusi jiwa (nafs) dapat berbentuk pengorbanan untuk menundukkan dorongan-dorongan nafs-nya yang memerintahkan kepada fujur dan menyerahkannya kepada ketaqwaan. Sesungguhnya ini adalah kontribusi yang mendasari seluruh kontribusi lainnya. Seorang harus mengatasi keinginan-keinginan untuk membesarkan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum mau berkorban bagi pihak lain. Ia harus membebaskan dirinya dari sifat bakhil yang mengungkung jiwanya baik dalam aspek material maupun non material.
Kontribusi terbesar diberikan seseorang kepada dakwah apabila ia rela tidak saja menundukkan jiwa kebakhilannya, tetapi bahkan melepas jiwanya itu sendiri dari badannya demi perjuangan dakwah. Inilah cita-cita terbesar dari seorang pejuang dakwah yang diikrarkannya tatkala ia mulai melangkahkan kakinya di jalan dakwah : “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan AL Qur-an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) dari pada Allah ? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At Taubah ayat 111).
Termasuk dalam kontribusi jiwa ini adalah kontribusi waktu (al waqt) dan kesempatan (al furshokh) yang dimiliki seseorang dalam perjalanan kehidupannya. Waktunya tidak akan dibelanjakan kepada hal-hal yang tidak memiliki aspek kedakwahan. Ia juga tidak akan menciptakan atau mengambil kesempatan-kesempatan dalam kehidupannya kecuali yang bernilai akhirat. Sebab hanya dengan cara itu ia mampu mengisi perjalanan jiwanya dengan tenang sampai nanti Allah SWT memanggil jiwanya dan menyatakan selamat tinggal kepada raganya yang fana dan akan menjadi tanah.
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Al Fajr ayat 27 – 30).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar