Sabtu, 29 Januari 2011

Sekutu Amerika Siap Hengkang di Timteng

[ 28/01/2011 - 11:54 ]

Abdul Bari Athwan

Dua negara yang paling memantau situasi Timteng dengan penuh waswas dan ketakutan adalah Amerika dan Israel. Aksi protes di Timteng mulai menarik “ujung pakaian” negara-negara “poros moderat” satu persatu dengan cara yang mengancam rezim diktator yang selama ini berputar di sumbu Kementerian Luar Negeri Amerika dan loyal mutlak menyukseskan semua proyek hegemoni mereka di kawasan.

Tiga negara Timteng kini mulai menggulirkan proses perubahan mendasar yang bisa saja menyingkirkan rezim-rezim yang menjadi representasi penting dalam stabilitas di kawasan yakni Mesir, Yaman dan Libanon. Masing-masing memiliki urgensi khusus, bahkan membutuhkan strategi penting bagi Amerika.

Mesir adalah kompas keamanan asasi dalam hal menjaga keamanan dan kelangsungan Israel, pemimpin proyek normalisasi Arab dengan Israel, pemerang setiap jenis ekstrimis politik Islam. Yaman merupakan “batu pondasi pertama” perang Amerika atas Tandzim Al-Qaidah dan dimensi sumber minyak. Sementara Libanon adalah ujung tombak poros “perlawanan” dan obsesi geopolitik militer Iran di kawasan.

Segitiga “pokok Amerika” ini sekarang sedang dihadapkan kepada unjuk rasa dan aksi protes besar yang meminta perubahan dan menggeser rezim-rezim penguasa dengan cara yang sama seperti ditempuh rakyat Tunisia terhadap rezim diktator polisinya. Banyak orang di barat meyakini bahwa ketiga rezim Tunis cukup kuat mengakar dan sulit dirobohkan hanya dengan revolusi rakyat.

Amerika, pimpinan dunia barat yang bebas kini sedang dilematis. Klaim kredibilitasnya mendukung demokrasi dan kebebasan sedang teruji. Kini Amerika dihadapkan dua pilihan mendukung rezim yang dianggapnya sebagai tiang stabilitas baginya atau tidak menolak revolusi rakyat yang menginginkan perubahan, mengakhri era korup, represif, membungkam mulit dan pelanggaran dalam HAM.

Mesir adalah batu pertama bagi politik Amerika di kawasan, kejatuhan rezim ini berarti kejatuhan politik Amerika di kawasan Timteng sudah berlangsung selama 30 tahun sesuai dengan rencana Gedung Putih. Berubahnya wajah Mesir berarti berubahnya wajah kawasan Timteng dan kembalinya Washington ke titik nol atau era sebelum penyimpangan politik mendiang Anwar Sadat dari politik pendahulunya Jamal Abdul Nasher yang memindahkan senapan dari bahu Rusia kepada Amrika dan mengadopsi perdamaian dengan Israel sebagai pilihan strategi.

Respon Amerika dan Eropa terhadap apa yang terjadi di Mesir tanpak gugup dan tidak jelas. Sebab pemegang keputusan dikagetkan dengan Intifadhah dan aksi protes rakyat serta eskalasinya yang begitu cepat. Jubir Gedung Putih mengatakan, Mesir adalah koalisi penting bagi Amerika, ketika ditanya apakah masih mendukung rezim Mubarak?? Sementara Eropa hanya ‘memegang tongkat di tengah’ atau mendukung malu-malu terhadap tuntutan pemrotes untuk berlaku demokrasi, menegakkan HAM dan memberikan kebebasan. Pada saat yang sama, Eropa minta tenang dan menahan diri. Barat tidak ingin penguasa baru merugi ketika mereka berhasil di istana presiden atau melepaskan diri penuh dari pendahulunya.

Rezim ‘Amerika’ di Libanon jatuh dengan menunjuk Sayid Najeb Miqati, kandidat opisisi untuk membentuk pemerintah Libanon yang baru. Amerika kehilangan Liberalnya ketika melepaskan para pendukung (kacung-kacung Amerika) di jalan-jalan untuk melakukan tindakan kekerasan, memblokade jalan-jalan, membakar ban memprotes penunjukan ini dan mendukung mantan PM Sa’d Hariri. Tindakan kekerasan ini direspon oleh Washington, Eropa dan media-media negara poros moderat Arab media dengan diam saja. Kalau saja yang melakukan kekerasan itu adalah pendukung oposisi, tentu mereka membangkitkan kiamat.

Meski rezim Mesir mengerahkan sekitar 1 juta personelnya untuk menjaga, namun roda perubahan bila sudah mulai berputar akan sulit dihentikan, masalahnya hanya waktu.

Kepala rezim ini sakit dan tua renta. Kroni-kroninya korup berat dan terbiasa merampas harta publik padahal mayoritas rakyatnya berada di bawah garis kemiskinan.

Tindakan pemanfaatan rezim Mesir dengan menuding Ikhwanul Muslimin sebagai biang keladi untuk mencari simpati barat dengan cara memicu kekhawatiran kehilangan esensinya. Tindakan rezim mengekang kebebasan dan melarang sarana komunikasi, pemblokiran sejumlah situs hanya tindakan sia-sia. Rezim Tunisia sudah mencoba cara yang sama namun gagal menyelamatkan diri.

Bangsa Mesir sangat penyabar dan sangat toleran. Namun mereka bangsa yang sangat menjaga harga diri dan kehormatan. Jika harga diri mereka dilanggar, maka revolusi tak terkendali adalah respon langsung seperti yang terjadi sekarang. Spontanitas bukan berarti rakyat Mesir melakukan revolusi, atau turun ke jalan dalam aksi protes marah, namun itu semua tertunda hingga bertahun-tahun dalam menghadapi rezim yang telah menghinakan negeri mereka dan mengubahnya menjadi negara peminta-minta yang kehilangan peran dan pengaruh, menjadi penjaga keamanan Israel serta wakil dari perdamaian tipuan, bahkan sangat terhina di kawasan Timteng.

Tangan besi rezim Turki tidak menghalanginya untuk jatuh. Kemunafikan media tidak mampu menenangkan kaum revolusioner, pengakuan akan korupsi para kroni rezim serta manipulasi dan penyesatan publik tidak meyakinkan bangsa Tunisia akan kejujuran pemimpin mereka.

Situasi di Tunis masih lebih baik dari Mesir. Tingkat pengangguran masih lebih rendah dibanding Mesir dan income penduduk Tunisia masih mencapai 3 ribu dolar, ini masih lebih baik dibanding income penduduk Libia yang dipenuhi dengan danau minyak. Hanya satu bedanya, rezim Mesir memberi nafas bagi media yang berhasil menunda ledakan protes selama bertahun-tahun. Ini yang tidak dilakukan rezim Tunis.

Revolusi Mesir bisa jadi akan menyebar ke seluruh pelosok negeri.

Bisa jadi Amerika menerima kondisi ini dan bisa menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan besar di kawasan. Namun situasi ini sulit diterima Israel. Israel tidak akan bisa jika tidak terhentak dan risau. Situasi stabilitas keamanan dan kemajuan Israel selama 30 tahun belakangan adalah ditentukan oleh antek-anteknya di Mesir. Tahun-tahun “gemuk” bagi Israel akan berakhir dan akan memulai tahun “kurus”. Kini Israel dikepung dengan Intifadhah demokrasi yang membawa 40 ribu rudal dan pimpinan yang menginginkan mati syahid. Revolusi rakyat memiliki warisan peradaban selama 7000 tahun. Otoritas Palestina sudah kehlangan kredibilitasnya. Pemerintah Jordania dalam proses kehancuran jika mau disebut kini benar-benar hancur.

Pilihan presiden Husni Mubarak sangat terbatas. Secara riil dia hanya memiliki satu pilihan saja yakni menyerahkan negerinya kepada militer dan hengkang dengan tenang seperti yang dilakukan Raja Faruq untuk menghindari tumpahnya darah dan mengurangi kerugian rakyat Mesir. Kerajaan Arab Saudi tidak akan menutup pintu bagi Mubarak dan tidak akan diserahkan kepada pemerintah Mesir mendatang. Alasannya sederhanya, karena ia bukan negara hukum. Apalagi usia Mubarak tinggal sebentar. Kita berharap dia berumur panjang di pengasingan yang dia pilih dengan aman.

Kenapa Saudi? Karena situasinya lebih baik dari Inggris. Saudi bisa memberinya resort pilihan serupa dengan resortnya sendiri di Syarm Syekh, bahkan bisa berjemur di Laut Merah pula. (bsyr)

Tidak ada komentar: