Jumat, 10 Desember 2010

Imtidad ad-Da`wah امتداد الدعوة


Imtidad ad-Da`wah (امتداد الدعوة).

Oleh: KH. Hilmi Aminuddin, Lc.
Agar al-imtidadud da’awi (penyebaran pertumbuhan da’wah) semakin berpengaruh
dalam perubahan, pembinaan, dan siyaghatu al-binaai al-ijtima’i (penataan
struktur kemasyarakatan), tidak cukup hanya kita respon dengan al-imtidadu
tanzhimi(penyebaran pertumbuhan struktur dakwah). Begitu pula agar struktur
kemasyarakatan ini semakin dekat dengan siyaghatu al-binaai al-Islamiy (tatanan
struktur masyarakat islami), tidak cukup hanya kita respon dengan al-imtidadud
tanzhimi, memperluas dan memperlebar struktur kita.

Respon-respon structural itu harus ditindaklanjuti dengan al-imtidad
at-tarbawi(pengembangan pembinaan). Hajman wa waznan, baik kapasitas ataupun
bobotnya. Pengembangan tarbiyah yang sudah merupakan pekerjaan kita sehari-hari
dan merupakan basis operasional, harus kita kembangkan kapasitas daya
tampungnya. Sudah banyak yang menunggu untuk ditarbiyah. Sekarang tidak
terbatas pada level mahasiswa, pemuda, atau akademisi. Para professional,
pengusaha, praktisi bisnis, banyak yang menunggu untuk ditangani secara
tarbawi. Sehingga kapasitas tarbiyah kita harus meningkat. Efeknya, tuntutan
kepada pengembangan manhaj tarbiyah pun harus meningkat.

Pendekatan tarbiyah untuk pemuda dan mahasiswa berbeda dengan pendekatan
tarbiyah kepada alim ulama dan mubaligh. Berbeda pula dengan para professional,
praktisi bisnis, dan lain-lain. Oleh karena itu, fann at-tarbawi, penguasaan
teknis operasional tarbiyah harus semakin meningkat. Agar kapasitas tarbiyah
daya tampungnya semakin luas.
Untuk menjaga kapasitas, daya dan bobot tarbiyah, jangan sampai tarbiyah kita
berkembang nuansanya menjadi ta’lim, apalagi tabligh. Karena ta’lim itu
tazwidul ‘ilm (pembekalan ilmu), dan tabligh itu tazwidul ma’lumat (pembekalan
informasi). Sedangkan tarbiyah merupakan tashihul aqidah, tashihul fikrah,
tashihul akhlaq, dan tashihul ‘ibadah. Sehingga bobot taujihnya harus sangat
menyentuh mafatihul uqul, mafatihul qulub, wa mafatihun nufus. Harus membuka
kunci-kunci jiwa, hati, dan akal manusia. Tarbiyah harus lebih menggugah, lebih
berkesan, dan lebih membangkitkan. Sebab tarbiyah bukan talqinul ulum.

Lapisan pendukung dan simpatisan dakwah menunggu penanganan kita. Kalau mereka
merasakannya sama dengan majelis ta’lim umum, bahkan naudzubillah dirasakan sama
dengan dakwahtainment, maka itu tidak akan menghasilkan potensi dakwah. Ini
harus ditata. Karena tarbiyah itu merupakan kerja pertama dan utama jama’ah
dakwah kita untuk membangun potensi SDMnya.
Walaupun begitu, tarbiyah, sebagai upaya manusia, bisa saja—naudzubillah—terjadi
infilath tarbawi/falatan tarbawi. Artinya hasil tarbiyah yang tidak terkontrol.
Hasil kerja keras dan pengorbanan kita, bisa saja natijahnya jelek. Tidak
saesuai dengan yang kita inginkan. Infilat tarbawi biasanya berbentuk:
1. Munculnya tasyaddud, sikap eksklusif, ekstrim, dan merasa benar sendiri. Ini
harus dipantau. Padahal kita memiliki pandangan ijabiyah ru’yah (memandang sisi
positif). Pada hakekatnya kebaikan itu ada di mana-mana. Cuma ada yang
terkonsolidasi oleh kita dan ada yang belum.
2. Bersikap kamaliyat (perfeksionis). Seolah-olah tarbiyah itu targetnya
menciptakan insan malaki, manusia berkualitas malaikat. Ini juga bentuk infilat
tarbawi, bentuk penyimpangan.
3. Bentuk infilath tarbawi yang lain adalah juz’iyyah. Hanya menukik di sector
tertentu saja. Misalnya ruhiyah saja, sementara fikriyah kurang berkembang.
Sehingga pertumbuhan cara berfikirnya ketinggalan. Tidak mampu menghadapi
komunikasi fikriyah seperti yang kita jumpai di lapangan setelah musyarokah
ini. Atau hanya menukik di bidang fikriyah atau siyasah saja. Padahal yang kita
harapkan adalah tarbiyah yang integral dan terpadu.
Selain imtidad tarbawi, pertumbuhan dakwah kita juga menuntut imtidad tsaqofy.
Kita harus belajar dan belajar, terus menerus. Kita harus mau membaca dan
membaca. Baik bacaan yang tertulis di buku-buku, majalah-majalah, surat kabar,
radio atau TV. Juga membaca kehidupan masyarakat. Ini semua penting. Sehingga
tsaqofah kita berkembang, tidak ketinggalan di segala sector.

Kita bergaul dengan mereka yang beraneka ragam keyakinan, beraneka ragam latar
belakang ideology, pendidikan, budaya, dan bahkan kepentingannya. Supaya kita
tidak gagap, kekurangan modal ketika menghadapi mereka, maka tsaqofah kita
harus ditingkatkan. Bagi yang masih mempunyai kesempatan belajar formal,
silahkan tingkatkan. Apakah S1, S2, S3, kalau ada S4 kita masuki. Bagi yang
pendidikan formalnya sudah tertib, maka informalnya harus iqro’, terus membaca.
Memang kalau kita tidak pandai memenej waktu, tazwidul tsaqafah (pembekalan
wawasan) ini akan merosot.

Imtidad tsaqofiy—hazman waznan—harus ditingkatkan. Apalagi ajaran Islam
mengajarkan bahwa thalabul ‘ilmi itu minal mahdi ilal lahdi. Menuntut ilmu itu
dari bauaian hingga liang kubur. Uthlubul ‘ilma walau bi shin. Walaupun di Cina.
Padahal waktu itu dakwah Islam belum sampai ke Cina. Tapi kata Rasul carilah
ilmu itu sampai ke negeri Cina.
Jama’ah kita ini, di mana pun, terkenal sebagai madrasah, di mana di dalamnya
selalu belajar dan meningkatkan diri, sudah menjadi shibghoh yaumiyah, warna
keseharian kita.

Imtidad fanni, penguasaan teknik operasional sesuai bidang dan tugas kerja
kita, baik kerja tanzhimiyah atau kerja professional. Penguasaan teknis secara
lebih mengerucut sesuai dengan latar belakang tugas kita semakin penting.
Berikutnya adalah imtidad idari. Organisasi kita semakin besar, memerlukan
manajerial yang tangguh. Sesuai dengan karakter organisasi jama’ah kita, adalah
bukan karakter birokrasi, tapi karakter mutathowwi’in (sukarela). Oleh karena
itu kita harus membagi pendelegasian wewenang, tugas-tugas secara lebih merata
dan lebih meluas. Mungkin kalau dilihat dari sudut pandang
birokrasi—perusahaan atau pemerintahan—organisasi kita amat bengkak. Karena
kita ini tidak ada keterkaitan antara penugasan dengan standar gaji. Kalau pun
ada, itu sifatnya hanya ta’awun. Itu pun jauh dari standar untuk ma’isyah.
Karena kaitannya bukan ma’isyah, tapi lebih kepada muwasholah (penyambung) saja.

Karakter organisasi yang mutathowwi’in, sukarelawan ini, tugasnya harus
terbagi. Kewenangan didelegasikan d I dalam bidang-bidang. Kalau ada pos-pos
yang kurang berjalan, kita tingkatkan agar lebih mampu berjalan dan memikul
tugas secara lebih baik. Bukan dengan cara ditekel/diambil. Kita berusaha untuk
meningkatkan para penjaga pos agar bertugas secara bertahap. Agar terbagi
secara baik, terlaksana melalui proses ta’awanu ‘alal birri wat taqwa. Ini
karena tanzhim kita adalah tanzhim mutatowwi’in, bukan birokrasi.

Karakter organisasi lain, yang terkenal sibuk dan bekerja adalah ketua dan
sekretaris. Di organisasi kemasyarakatan itu hal biasa. Mudah-mudahan, insya
Allah, itu tidak akan merembes kepada kita. Kita sudah terbagi, semua bekerja,
yang penting adalah tanasuq dzaatii. Singkronisasi antar komponen organisasi
dalam bidang tertentu, dan singkronisasi antara bidang dengan bidang yang lain.
Setiap potensi kader harus termanfaatkan. Dengan begitu semakin meningkat
kapasitas, bobot, dan kompetensinya.

Selanjutnya al-imtidad al-iqtishodiy(perkembangan ekonomi). Sampai sekarang
pembiayaan dakwah kita masih dalam level konvensional melalui tadhiyyah dari
ikhwan dan akhwat, dari ta’awun ikhowi yang luar biasa. Tentu berkahnya tidak
diragukan. Tapi kalau diakaitkan dengan tugas berat ke depan, pengembangan
ekonomi dakwah harus semakin professional. Basis ta’awun dan tadhiyyah harus
selalu terpelihara, karena itu adalah modal awal. Tapi kalau modal awal itu
tidak berkembang menjadi professional, maka akan banyak pembiayaan-pembiayaan
dakwah yang tidak tertangani secara konvensional.
Sudah barang tentu, Allahu Ghaniyyun Karim. Semua sumber kekuatan, termasuk
sumber ekonomi adalah dari Allah SWT. Tapi Allah memerintahkan kita bekerja.
Rasulullah SAW pernah melihat seseorang yang setiap hari nongkrong terus di
masjid. Beliau bertanya, “Siapa yang member nafkah dia?”. Sahabat menjawab,
“Saudaranya”. Kata Rasulullah: “Saudaranya itu lebih baik dari dia”.

Umar bin Khattab juga melihat fenomena serupa. Ada orang terus menerus berdo’a
di masjid. Kata beliau, “Alaa ta’khudzu fa’san, litahtathibu?” Mengapa kamu
tidak ambil kampak, agar kamu mencari kayu. “Fa innas samaa la tumthiru dzahaban
wa la fidhdhoh”, sesungguhnya langit tidak akan pernah hujan emas atau perak.
Allah akan menurunkan rizki—apalagi rizki untuk dakwah, yang penting kita
tampil di hadapan Allah dengan kerja keras.

Sudah tentu ini untuk para ikhwan dan akhwat yang mempunyai bakat di bidangnya.
Kalau tidak mempunyai bakat jangan di dorong-dorong. Karena ada dua
kerugiannya: bisnis rusak, dakwah rusak.

Disinilah kemudian peran takaful-ta’awun. Kita bakatnya berbeda-beda. Ada yang
tumbuh dengan bakat ekonomi, bakat politik, bakat budaya, bakat kerja di
charity. Dari semua bakat yang tumbuh ini terjadi ta’awun dan takaful, saling
menopang.
Rasa berbagi dari ikhwah yang sukses ekonominya kepada ikhwan yang menekuni
bidang lain harus ditumbuh suburkan.

Supoaya tidak aka nada komentar dari masyarakat, “Kasihan itu ustadz, dibiarin
sama ikhwannya” Walaupun ikhwan akhwat itu ikhlas, tekun menekuni bidangnya
walaupun tidak berefek secara ekonomi. Tapi masyarakat yang akan berkomentar.
Banyakl komentar itu dating kepada saya. Biasanya selagi masih dapat saya
tangani, saya akan tangani sendiri. Kalau tidak, biasanya saya transfer ke
ikhwan lain. Tapi kita tentu tidak harus menunggu komentar dari masyarakat.
Maka, ikhwah harus mempunyai semangat berbagi. Alhamdulillah, beberapa ikhwah
yang ekonominya baik, mempunyai daftar kafalah untuk ikhwah lain. Kalau
kebiasaan ini ditumbuh suburkan, Insya Allah semakin berkah dakwah kita.

Perkembangan ekonomi ini, baik kapasitas atau bobotnya harus meningkat. Dari
dulu sering saya komentari, Alhamdulillah pertumbuhan ekonomi di
liqo’at/halaqoh itu berkah. Tapi pasar itu lebih luas dari halaqoh. Ketika
dating ke halaqoh ada yang bawa jilbab, yang ini bawa barang lainnya, insya
Allah berkah. Tapi untuk ekonomi dakwah itu kurang. Salah satu yang dibangun
Rasulullah SAW setelah hijrah itu adalah pasar. Maka semuanya harus seimbang
anatara pertumbuhan tanzhimi, tarbawi, tsaqofi, fanni, idari, dan iqtishady.

Berikutnya adalah factor ijtima’i. Komunikasi social kita harus diperluas. Dalam
hal komunikasi social, tidak perlu memakai taqwim nukhbawi (ukuran kader). Kita
perluas komunikasi social kita, lintas partai, jama’ah, agama, dan etnis. Kita
lakukan komunikasi secara luas. Karena keragaman atau pluralitas itu adalah
fitrah. Rasulullah SAW juga mengembangkan hubungan secara luas. Bahkan ada
komunikasi social yang jarang terungkap dari sirah nabawiyah, yang disampaikan
Abu Bakar Shiddiq. Ketika menjadi khalifah pertama, beliau sangat memperhatikan
kebijakan dan kebiasaan Rasulullah SAW.

Salah satunya, ternyata Rasulullah SAW melakukan komunikasi yang sangat baik
dan akrab dengan seorang Yahudi yang buta matanya. Setiap pagi Rasulullah SAW
datang mengantar roti dan susu. Orang Yahudi ini sudah tua dan giginya ompong.
Kalau diberi roti yang kering dan ada air, roti itu dicelupkan. Kalau tidak
ada, dikunyahkan Rasulullah, setelah itu disuapkan kepada orang Yahudi itu.
Peristiwa itu hanya diketahui Abu Bakar.

Begitu Rasulullah wafat, Abu Bakar menggantikannya. Karena Yahudi ini buta, ia
tidak tahu pada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar menyuapkan roti, Yahudi itu
berkata, “Siapa kamu?” Abu Bakar menjawab, “Saya biasa datang setiap
pagi”—maksudnya menemani Rasulullah. Orang Yahudi berkata, “Tapi rasanya tidak
begini, dia lebih halus dan lebih hangat”. Abu Bakar pun menangis.Ini adalah
komunikasi lintas agama, dan itu merupakan bentuk riil dari rahmatan lil
alamin. Sampai orang Yahudi pun menikmati Islam dalam keyahudiannya. Orang
Kristen menikmati Islam dalam kekristenannya.

Walaupun entitas non muslim minoritas di Indonesia, tetap harus terjangkau oleh
komunikasi social. Di lingkungan umat Islam diperkokoh. Jangan terhambat oleh
beda yayasan, beda organisasi, beda partai. Kita harus terbuka. Kalau mereka
mulutnya usil kepada kita, kita maafkan. Karena kita kader dakwah.
Kadang-kadang ada organisasi yang terkontaminasi oleh kepentingan partai
tertentu, lalu usil kepada kita. Maka kita harus lebih dewasa meresponnya.
Tidak perlu terprovokasi oleh sifat-sifat yang kita yakini bukan sifat asli
dari organisasi itu. Sekedar terkontaminasi, terkotori oleh kepentingan partai
tertentu. Kita jangan mudah terpancing untuk kemudian ketus atau menjadi cuek
kepda organisasi itu. Mereka tetap ikhwan kita, saudara kita seiman.
Alaqoh ijtima’i diperluas. Agar kehadiran kita diterima secara baik oleh
seluruh komponen masyarakat, lintas partai, agama, dan organisasi. Kalaupun
masih ada resistensi, itu bagian kecil dan biasanya berwarna ideologis politik.

Dalam berkomunikasi, prinsipnya, “sayyidul qaumi khadimuhum”, selalu berkhidmat.
Dalam Islam, khidmat itu sampai ke tingkat “tabassumuka fi wajhika li akhika
laka shadaqah”. Murah senyum, ramah, santun, itu merupakan modal dasar bagi
komunikasi social kita.

Ini bagian dari tanhidiyah kita menuju mihwar daulah. Agar tingkat resistensi
kehadiran kita di tengah-tengah pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara
semakin kecil. Karena masyarakat melihat realitas fenomena kesantunan,
keramahan, dan keterbukaan kita dalam komunikasi, insya Allah resistensi itu
semakin mengecil, ia akan selalu ada, tapi akan bisa kita kurangi.
Berikutnya. Imtidad siyasi. Ruang lingkup komunikasi politik harus diperluas.
Kemampuan berkomunikasi politik sangat besar pengaruhnya. Komunikasi politik
itu mencari kemungkinan-kemungkinan di tengah ketidakmungkinan. Mencari titik
temu bersama. Kita kelola dengan baik, supaya tidak ada benturan yang tidak
perlu. Kita memerlukan peluang dan ruang pertumbuhan. Untuk menjamin keamanan,
ruang dan peluang pertumbuhan, kita harus mengurangi komplikasi-komplikasi
politik dengan pihak manapun agar kita mencapai posisi yang aman, bahkan sampai
ke posisi dominan. Peluang-peluang kita terbuka banyak. Itu harus kita
manfaatkan untuk lebih mengokohkan dakwah dan memperbesar dakwah.

Terakhir, imtidad i’lami. Pertumbuhan di sektor media massa. Memang beberapa
factor yang mencuat dan dianggap kendala adalah pembiayaan. Tapi ‘ala kulli hal,
masalah i’lam (media) ini perlu dikemas secara baik. i’lam yang paling mendasar
dalam gerakan dakwah ini adalah performance dari setiap diri kita. Setiap kita
harus memancarkan sum’ah thayyibah (aroma yang baik) bagi jama’ahnya. Itulah
modal dasar i’lam.

Di tahun 50-an Sayyid Qutb pernah didatangi banyak aktivis Islam. Mereka
mengeluh tentang i’lam. Ada yang berbicara kurang modal, ada yang berbicara
masalah keamanan. Ada yang mengeluh majalah-majalahnya sering dibredel,
diberangus, dicabut izinnya, atau kantornya digerebek. Sayyid Qutb berkata,
“I’lam asasi adalah anfusuhum”. Media utama adalah diri kader itu sendiri.

Mrengelola i’lam ini terkadang gamang. Apakah ini tidak termasuk riya, apa tidak
merusak zuhud kita, merusak tawadhu kita?
Kalau kita mengumumkan hal-hal yang terkait dengan pribadi, milik kita atau
orang lain secara pribadi, itu baru bermasalah. Tapi kalau terkait dengan
kepentingan public, yang kita kerjakan, itu justru diperlukan. Untuk merangsang
orang lain mengikuti, membantu, dan mendukungnya. Sikap-sikap kita yang membela
umat harus ditampilkan. Bahkan itu bisa wajib, karena mendukung eksisistensi
dakwah kita, pertumbuhan dakwah kita.

Faktor-faktor tadi secara simultan bergerak, tumbuh, mutawazin, berkembang.
Insya Allah dakwah ini bukan hanya berkembang, tapi pengaruhnya, suaranya mudah
didengar. Komentarnya mudah diikuti. Kritiknya mudah diterima. Karena kapasitas
dan bobot tanzhimi, tarbawi, tsaqofy, fanni, idari, iqtishady, ijtima’i, siyasi,
dan i’lami terkelola, terkemas secara baik, simultan dan seimbang.

Insya Allah ini akan menjadi modal agar dakwah dan jama’ah kita berpengaruh.
Jika berbicara didengar, Jika bertindak terasa.
Insya Allah jama’ah dakwah kita semakin berbobot. Mudah-mudahan Allah SWT
memberikan taufiq, ri’ayah, inayah. Memberikan tamkin kepada kita. Sehingga
semakin mendekatkan diri kita kepada ridha Allah sampai pada li i’lai
kalimatillahi hiyal ‘ulya.

Tidak ada komentar: