Minggu, 26 Februari 2012

Kritik Terbuka kepada Jama'ah




Oleh Muhammad Ahmad ar-Rasyid*
(Tokoh Senior IM)

Abu Ma'bad Abdullah bin 'Ukaim al-Juhani, seorang senior tabi'in mukhadhram (seorang yang hidup di masa Nabi Muhammad saw namun ia tidak pernah bertemu dengan beliau saw) mengungkapkan rasa kecewa, sesal dan sedih yang sangat mendalam setiap kali mengingat ucapan-ucapannya yang terlontar kepada 'Utsman bin 'Affan r.a.

Dia menasehati utsman dengan terang-terangan, ia mengira bahwa Utsman mempunyai keburukan-keburukan, -semoga Allah menjauhkan Utsman dari keburukan-keburukan itu- kemudian perkataan nasehat (kritik) Abdullah bin 'Ukaim ini disalahgunakan oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan diri atau kelompok mereka (ashhab al-ahwa'), lalu menghalalkan darah Utsman dengan memperalat kata-kata yang dilontarkannya atau sejenis kata tersebut.

Mereka menumpahkan darah Islam,
bukan karena jahil dan bukan pula karena tersalah,
tapi mereka telah mengusahakannya dengan sengaja


Pada sebuah halaqah studi yang diadakan di Kota Medinah dalam rangka melatih dan memahamkan segala kesilapan dan kekhilafan yang terjadi setelah masa fitnah perang saudara tempo dulu, Abdullah bin 'Ukaim meyampaikan kuliahnya kepada para pejabat negara Islam dengan meringkas semua pengalaman para mukhlisin (mereka yang ikhlash), ia berkata:

لا اُعِيْنُ عَلَى دَمِ خَلِيْفَة اَبَدًا بَعْدَ عُثْمَانَ

"Saya tidak akan ikut membantu penumpahan darah seorang khalifahpun setelah masa Utsman selamanya".

Perkataan ini, jelas merupakan sesuatu yang mengejutkan dan menarik perhatian masyarakat terhadap lbnu 'Ukaim, karena semua orang tahu bahwa ia sama sekali tidak pernah ikut dalam peristiwa pembunuhan Khalifah 'Utsman.

Semua hadirin heran dan merenungkan pengakuan ini. Mereka saling pandang karena ucapan yang keluar dari lelaki saleh ini, apakah gerangan yang terjadi pada diri syaikh Mukmin yang tak bersalah ini, ia sama sekali tidak pernah mengangkat pedang di depan Utsman, tetapi ia menuduh dan menyesali dirinya atas suatu kejahatan yang tidak pernah ia lakukan.

Lalu seorang laki-laki memberanikan diri bertanya kepada Ibnu 'Ukaim: "Wahai Abu Ma'bad, apakah benar Anda telah ikut membantu penumpahan darah Utsman?", Ibnu 'Ukaim menjawab:

اِنِّيْ لأرَى ذِكْرَ مَسَاوِئِ الرَّجُلِ عَوْناً عَلَى دَمِهِ

"Sesungguhnya aku meyakini bahwa menyebut keburukan seseorang sama dengan membantu menumpahkan darahnya".

Di sini, Abdullah bin 'Ukaim menuduh dirinya sendiri telah menumpahkan sebagian darah Utsman, karena ia dapat menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa apa yang disangkanya kebenaran itu telah dieksploitasi oleh masyarakat awam ketika ia mengucapkan hal itu, dia juga menyaksikan betapa besar pengaruh perkataannya dan bagaimana mereka mengembangkan dan memelintir perkataan tersebut sehingga mereka membunuh Khalifah 'Utsman bin 'Affan r.a.

Ungkapan seperti itu adalah sebuah ungkapan dari perasaan jiwa yang lurus dan ungkapan taubat yang keluar dari lidah Ibnu 'Ukaim, sedangkan ia tidak pernah membenci Utsman ketika mengucapkan ungkapan kritikan tersebut, tidak terbayang dalam pikirannya untuk berbuat sewenang-wenang terhadap Utsman karena anaknya pernah berkata: “Ayahku, semasa hidupnya mencintai Utsman”.

Hal ini berarti bahwa kritik yang diucapkan oleh Ibnu 'Ukaim tersebut diungkapkan dengan bahasa seorang pecinta dengan segala kelembutan dan kesopanannya, namun demikian hal itu mengakibatkan kerusakan yang tidak terduga.

Kejadian di atas adalah sebuah contoh kerusakan akibat kritik terbuka dengan bahasa yang baik. Bagaimanakah jadinya sekiranya kritik tersebut disampaikan dengan bahasa yang buruk dan kasar?

Sesungguhnya generasi baru da'wah Islam kontemporer -dalam masa mengkaji sebab akibat fitnah masa lalu- dituntut untuk memperhatikan dengan seksama hikmah dan pelajaran berharga lagi penting dari peristiwa Abdullah bin 'Ukaim dan ungkapan pengalamannya yang jujur di atas.

Janganlah bersikap sembrono wahai para da'i, sesungnya hal-hal semacam ini adalah hasutan finah di sekelilingmu untuk menumpahkan darah da’wah .

Awaslah dan perhatikanlah keburukan dirimu sendiri. Jagalah pendengaranmu. Sampaikanlah nasehat dan kritikanmu itu secara tertutup ... Janganlah kamu membantu penumpahan darah da’wah ini dengan lidahmu.



*)dikutip dari Kitab AL-'AWAA'IQ (Seri Fiqh Dakwah-Robbani Press)

*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Subhanallah ini harus menjadi pegangan ibrah yang harus benar-benar diingat, karena hal kejujuran dalam bentuk kritikan terbuka dapat menjadi bumerang bagi diri kita jika tidak hati-hati, segala kritikan yg bersifat konstruktif dan memperbaiki lebih ahsan disampaikan secara personal dan tertutup,dalam diri seorang da'i bisa terjadinya kekhilafan dan salah paham sbgai hamba yang dhaif..wallahu'alam bisshowab....habib

Muharrir mengatakan...

aslm. ust mksd kritik secara tertutup itu gmn ya?
klo kt mlihat kburukan seorang ikhwah, dan kt tdk menasehatinya krn khwtr dia marah dn mnjaga hbgn baik dgnnya, trs kt memendamnya dlm hati,apkh itu msk dlm su'uzon??

Anonim mengatakan...

Postingan yg sangat menggugah, kaya inspirasi dan ilmu. Menariknya, jika saya bawa ke masa kekinian, kejadian seperti diatas (sepanjang yg saya ketahui) merupakan hal yg tidak bisa kita pungkiri pernah (bahkan sering) terjadi di kalangan aktifis dakwah. Berniat mengamalkan ayat ALLOH untuk saling mengingatkan namun kurang cerdas pada pemilihan proses “eksekusi” nya. Telah terjadinya (mungkin) kekeliruan dan kesalahan pada kader/ qiyadah mayoritas merupakan alasan yg sering dijadikan sebagai alat pen-sugesti seorang kader untuk menerapkannya. Tidak salah memang tohh kita semua adalah manusia yg tak terlepas dari kesalahan. Tapi terkadang kita tidak menyadari dampak yg kita timbulkan jauh lebih besar jika salah dalam memilih cara ingat-mengingatkan yg tidak tepat, tentu saja bahwa org2 yang tidak senang dengan jamaah dakwah ini senan g sekali untuk mem”pelintir” segala hal, sehingga apapun yg terbaik untuk dakwah bisa menjadi buruk dimata masyarakat akibat pelintiran tsb. Dari kutipan diatas kita menjadi semakin cerdas bahwa tidak cukup dengan niat ikhlas dan kecintaan saja yg diperlukan dalam saling ingat-mengingatkan di jalan dakwah ini, sikap serta pemilihan situasi dan kondisi juga hal yg penting untuk dipenuhi. Karena sebagaimana kisah Abdullah bin 'Ukaim diatas kita dapat memetik pelajaran bahwa pemilihan kondisi yg tidak tepat ketika mengingatkan akan mengakibatkan keburukan2 yg lebih luas lagi dan tentu saja sangat merugikan bagi jamaah dakwah ini khususnya.

Adapun yg dapat saya simpulkan:
- Niat yg ikhlas akan kecintaan kepada dakwah ini serta mekanisme yg baik merupakan unsur2 yg penting untuk dijaga dalam saling ingat-mengingatkan akan kebenaran, jika salah satunya tidak dipenuhi maka keburukan yg jauh lebih besar bisa saja datang dan merugikan.
"Summa kaana minalladziina amanuu watawaa shoubisshobri watawaa shoubilmarhamah"
(Al Balad:17)