Selasa, 18 Oktober 2011

Mengekspresikan Nilai Islam

Taujih Tarbawi
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Ashshalatu was salamu ala rusulillah shallahu ‘alaihi wa sallam. 
Ikhwati Fillah… 
Dakwah yang sedang kita lakoni sekarang bukanlah dakwah yang baru. Gerakan dakwah yang mempunyai akar sejarah panjang. Karenanya, kita tidak kekurangan referensi dan pengalaman. Referensi dan pengalaman yang ada pun bukan hanya pada keberhasilan dan kesuksesannya saja, tetapi juga disisipi dengan kasus-kasus kegagalan dan ketergelinciran pelakunya di sepanjang zaman. Memang, kegagalan dan ketergelinciran pelakunya tidaklah harus menjadi kebanggaan generasi penerusnya. Tetapi semua itu merupakan kekayaan dakwah yang menjadi modal untuk bekerja lebih baik dan lebih berhasil di masa-masa mendatang. Sejak dulu hingga sekarang, izzatud du’at (kebanggaan para pelaku dakwah) akan kebenaran dakwah selalu menjadi sumber kekuatannya dalam berdakwah dan berjuang. Kekuatan karena yakin dan tsiqah dengan janji Allah, kemenangan di dunia atau gugur syahid di jalan-Nya. Menang dengan tegaknya syariat dan nilai Islam atau gugur syahid di tengah jalan mulia menuju cita-cita. 
Ikhwati Fillah… 
 Tarbiyah yang kita lakukan selama ini harus mampu meningkatkan kualitas iman dan amal kita. Izzah (kebanggaan) kita akan Islam juga harus semakin besar. Dengan keizzahan tersebut, seseorang diharapkan tidak terbuai dengan kesenangan dunia, meskipun halal. Dan dengan keizzahan pula seseorang terus bekerja dan berjuang untuk cita-cita, tidak tergoda untuk istirahat atau izin beberapa saat untuk mengejar target duniawi tertentu atau sedih memikirkan kondisi keluarga, istri dan anak. Ikhwati Fillah… Sekali lagi kita harus mengaca dengan keteguhan dan ketsabatan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, seorang ahli hadits, ahli fiqih (Imam Mazhab Hambali) dan seorang dai. Dalam kitab Thabaqat Al-Hanabilah disebutkan bahwa ketika Ahmad bin Daud, Abu Sa’id Al-Wasithi menemui Imam Ahmad di penjara sebelum dicambuk ia berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdullah (Imam Ahmad), Anda punya tanggungan keluarga yang harus Anda urus, Anda juga punya anak serta Anda sudah beruzur (karena usia).” Dengan mantap dan izzah imaniyah, beliau menjawab, “Jika demikian cara berpikir Anda wahai Abu Sa’id, maka sebenarnya Anda sudah istirahat dari perjuangan.” Pemikiran dan perkataan semacam ini sudah banyak terlontar dari para dai. Dai yang ingin pensiun, ingin menghabiskan sisa usianya untuk karir, untuk keluarga, untuk penghidupan, untuk cita-citanya pribadi. Mereka sibuk dengan usaha mereka, dengan perusahaan mereka, dengan keluarga mereka dan dengan ambisi-ambisi mereka. Mereka beranggapan, mereka sudah selesai melaksanakan kewajibannya ketika mereka masih muda dulu dan ketika mereka masih sangat dibutuhkan dakwah. Dalam pandangan mereka, sekarang dakwah sudah mempunyai kader-kader baru yang segar dan siap untuk menghabiskan waktunya di dakwah sama sepertinya dulu. Pada hakikatnya ucapan-ucapan mereka itu adalah ucapan peristirahatan dari segala tugas dakwah. Ucapan orang yang tertipu dengan pemahaman keislamannya yang sempit. Pemahaman yang tidak membuat mereka merasa sedih dan pilu dengan nasib dan kondisi umat Islam saat ini. Perjuangan Islam tidak mengenal kata istirahat sampai ketentuan Allah datang kepada kita, menang atau gugur syahid. 
Ikhwati Fillah… 
Buat apa sukses di karir kalau hanya di dunia, buat apa keluarga mapan materi jika hanya di dunia, buat apa usaha maju pesat jika tidak menambah ketsabatan dan pengorbanan di jalan dakwah. Buat apa menjadi konglomerat jika tidak bisa mencontoh Utsman bin Affan r.a. atau Abdurrahman bin Auf r.a. atau Abu Bakar Siddiq r.a. atau sahabat lainnya yang berhasil dalam usaha tapi tidak meninggalkan dakwah, bahkan menjadi pilar utama dakwah di masa Rasulullah saw. Ikhwati Fillah… Keletihan dan kecapekan kita dalam dakwah dan tarbiyah tidaklah membuat ajal kita menjadi cepat atau memendekkan usia atau membuat tubuh kita menjadi aus. Tetapi semua itu justru akan meninggikan derajat para dai dan membuat usianya menjadi lebih bermanfaat dan penuh dengan keberkahan. Coba kita lihat apa yang dirasakan Abu Nashr Bisyr bin Al-Harits Al-Hafi (151-227 H), seorang zahid dan ahli hadits yang tepercaya pada masa Imam Ahmad yang lepas dari incaran penguasa karena ketenarannya dalam zuhud dan kecintaan masyarakat kepadanya. Ia terkenal dengan kecintaannya kepada Imam Ahmad dan di hari Imam Ahmad disiksa oleh algojo pemerintahan Al-Mu’tashim Billah, ia berkata, “Sampai saat ini Imam Ahmad telah disiksa cambuk sebanyak 17 cambukan (dari 30 cambukan).” Kemudian Bisyr menjulurkan kakinya, sambil melihat betis kakinya ia berkata, “Alangkah buruknya betis (kaki) ini yang tidak terbelenggu apapun, tapi tidak dapat membela lelaki ini (Imam Ahmad).” Ia menyayangkan tubuhnya yang tidak dapat menambah pengorbanannya untuk Islam sebagaimana Imam Ahmad. Dengan izzah imaniyah, Imam Ahmad tegar menghadapi fitnah dan cobaan atas dirinya. Kalaulah bukan karena keimanan dan tsiqah kepada Allah, niscaya beliau tidak akan tsabat dan istiqamah di jalan kebenaran, mengakui dan mengimani bahwa Al-Qur'an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai petunjuk manusia. Buah izzah imaniyah yang dapat dirasakan seorang dai adalah kesadaran bahwa dalam Islam terdapat kekuatan yang hakiki yang terefleksi dalam diri seseorang untuk mengekspresikan Islam yang utuh. Kepalsuan yang terdapat dalam teori, prinsip, gaya hidup dan pandangan jahiliyah senantiasa mengajak orang banyak untuk mengekspresikannya. Dengan izzah imaniyah, meskipun kebanyakan orang tertipu dan terbawa fitnah dunia atau godaan dunia, ia mampu bertahan dan dapat mengekspresikan Islam dalam dirinya agar umat dan generasi penerusnya tidak ikut terjebak dengan doktrin dan godaan yang ada. Sebelum Imam Ahmad memerankan pribadinya sebagai umat, jauh sebelum itu nabi Ibrahim a.s. pernah mengekspresikan dirinya sebagai imam (umat). Penegasan Allah dalam Al-Qur'an tentang hal itu merupakan catatan yang harus dipahami agar tidak muncul pesimistis dalam diri dai ketika ia hanya seorang diri harus memerankan dan mengekspresikan nilai-nilai Islam. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam (umat) yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan). (Q.S. An-Nahl: 120) Ibnu Taimiyah mengomentari bahwa saat itu Nabi Ibrahim a.s. hanya seorang diri saja yang beriman, sementara masyarakat masih dalam kekafiran dan kejahiliyahan. Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi Ibrahim berkata kepada istrinya, Sarah, “Wahai Sarah, tidak ada seorang pun di muka bumi saat ini yang beriman kecuali aku dan engkau.” Dari kejadian ini dapat disimpulkan bahwa rasa keterasingan pada diri seorang mukmin bukanlah katerasingan yang hakiki. Justru masyarakat yang sesat dan kafir itulah sebenarnya yang asing dan tersesat di dunia yang luas ini. Sehingga ketika sebagian orang menyangka bahwa Abdul Wahab ‘Azzam berada dalam katerasingan dengan cepat ia meluruskan pandangan tersebut dengan mengatakan, “Salah seorang temanku berkata bahwa ia melihatku sebagai orang asing di tengah manusia, tanpa kawan seorang pun. Aku katakan kepadanya, “Penilaian Anda tidak benar, justru merekalah yang asing (dalam dunia masing-masing yang sempit dan gelap). Saya berada di duniaku yang luas dan inilah jalanku (yang jelas dan terang).” Adapun keterasingan ghuraba yang disebutkan dalam hadits Nabi (thuuba lil ghurabaa’) adalah keterasingan dalam realita. Artinya asing karena jarangnya dan sedikitnya jumlah mereka dibandingkan dengan masyarakat banyak. Sedangkan di alam hati dan perasaan, sesungguhnya seorang mukmin dekat dan akrab dengan nilai-nilai keimanan, jauh dari katerasingan nilai rabbani. Kalaulah para dai selalu yaqzhah (sadar) bahwa dirinya memang memiliki perbedaan dibandingkan dengan orang lain, maka seharusnya ia harus siap berbeda dengan orang lain ketika menghadapi masalah dan problem, rayuan dan godaan dunia. Jangan sampai ketika dunia belum didatangkan kepada kita, kita dapat istiqamah dan tsabat di jalan dakwah dengan kerja dan pengorbanan. Tetapi kemudian ketika dunia berada di hadapan kita, ternyata kita tak ubahnya seperti kebanyakan masyarakat. Kerja dan pengorbanan dakwah kita berkurang. Akhlaq dan gaya hidup kita berubah seperti kebanyakan orang. Atau mungkin kita justru memerankan seorang pribadi yang seolah tidak pernah tersentuh oleh tarbiyah. Kita menjadi apriori dengan orang yang dulu dekat dengan kita, ketika ia datang ke kita atau menghubungi kita, kita curiga bahwa ia akan meminta bantuan atau minta dana untuk dakwah atau keperluan saudara kita yang memerlukan bantuan. Atau kita takut ia akan mengingatkan kita akan nilai-nilai ilahi dan ukhuwah. Kita takut diingatkan bahwa kejayaan dan kemapanan dunia yang kita dapat adalah hasil dari dakwah. Sekali lagi, jangan sampai kita takut akan nasihat dan teguran yang baik. Jangan sampai kita takut kepada kebenaran yang datang kepada kita. Kita takut untuk diluruskan, takut dikoreksi. Atau ikhwati fillah…., Allah yang akan menegur dan memberi pelajaran kepada kita. Sesuatu yang tidak kita inginkan. Karena itulah marilah kita kembali kepada nilai ilahi yang senantiasa membuat hati dan langkah kita menjadi tenang. Semoga gejala yang ada tidak sampai menjadi fenomena dan mudah-mudahan kita ditsabatkan oleh Allah Taala untuk menjadi penerus risalah ilahi, menebar nilai rabbani di tengah masyarakat. Amien. (SMN)

Tidak ada komentar: