Sabtu, 02 April 2011

Hukum Merutinkan Membaca Doa Rabithah


oleh ust. Farid Nu'man

Assalammu'alaykum ...

Ustadz, bagaimana hukum doa rabithah yang dibuat oleh Syaikh Hasan Al Banna? bagaimana hukumnya kalau rutin dibaca? jzk (dari Anp_34)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum salam wa Rahmatullah wa barakatuh

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa man waalah wa ba’d:
Ada dua hal yang akan kita bahas dari pertanyaan ini:
1. Membaca Doa susunan manusia, bukan dari Al Quran dan As Sunnah.
Sebagaimana diketahui, doa Rabithah adalah doa yang disusun pertama kali oleh Al Ustadz Syahidul Islam, Hasan Al Banna Rahimahullah, yang isinya sangat bagus, dan termaktub dalam rangkaian wirid Al Ma’tsurat. Karena doa ini ada dalam Al Ma’tsurat, banyak yang menyangka bahwa itu adalah doa yang ma’tsur, padahal bukan. Itu adalah susunan dari Syaikh Al Banna sendiri.
Lalu, bolehkah membaca doa ghairul ma’tsur yakni doa yang disusun oleh manusia, ulama, atau kita sendiri sesuai hajat kita? Dan doa tersebut sama sekali tidak ada dalam Al Quran dan As Sunnah. Semisal: “Ya Allah, tolonglah para mujahidin di setiap waktu dan tempat.” Atau: “ Ya Allah, kuatkanlah anak kami dalam menempuh ujian akhir nasional,” dan lainnya.
Jumhur (mayoritas) ulama membolehkan kita berdoa menggunakan doa sendiri sesuai hajat, dan ini juga dilakukan para sahabat ridhwanullah ‘alaihim, namun menggunakan doa yang ma’tsur adalah lebih utama. Sebagaimana tersebut dalam beberapa kitab:
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى جَوَازِ كُل دُعَاءٍ دُنْيَوِيٍّ وَأُخْرَوِيٍّ ، وَلَكِنَّ الدُّعَاءَ بِالْمَأْثُورِ أَفْضَل مِنْ غَيْرِهِ
Mayoritas fuqaha berpendapat bolehnya setiap doa duniawi dan ukhrawi, tetapi doa yang ma’tsur lebih utama daripada selainnya. (Raudhatuth Thalibin, 1/265, Asnal Mathalib, 1/16)
Sebagai contoh, berikut ini adalah doa-doa yang pernah dilantunkan para sahabat nabi dan salafus shalih lainnya:
Manshur berkata:
سألت مجاهدًا فقلت: أرأيت دعاءَ أحدنا يقول:"اللهم إن كان اسمي في السعداء فأثبته فيهم، وإن كان في الأشقياء فامحه واجعله في السعداء"، فقال: حَسنٌ .
Aku bertanya kepada Mujahid: “Apa pendapat anda tentang doa dari salah seorang kami yang berkata: “Ya Allah jika namaku ada pada deretan orang-orang bahagia maka tetapkanlah bersama mereka, dan jika berada pada deretan orang-orang sulit maka hapuslah dan jadikanlah bersama orang-orang bahagia.” Mujahid menjawab: “Bagus.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, Juz. 16, Hal. 480. Cet. 1. 1420H-2000M. Tahqiq: Syaikh Ahmad Syakir. Muasasah Ar Risalah)
Kaum salaf –seperti Syaqiq dan Abu Wa-il- juga berdoa:
اللهم إن كنت كتبتنا أشقياء، فامحنَا واكتبنا سعداء، وإن كنت كتبتنا سعداء فأثبتنا، فإنك تمحو ما تشاءُ وتثبت وعندَك أمّ الكتاب
“Ya Allah, jika Engkau menetapkan kami bersama orang-orang yang sengsara, maka hapuskanlah kami, dan tulislah kami bersama orang-orang yang bahagia. Jika Engkau tetapkan kami bersama orang-orang yang bahagia, maka tetapkanlah, sesungguhnya Engkau menghapus apa-apa yang Kau kehendaki, dan menetapkannya, dan pada sisiMu terdapat Ummul Kitab.” (Ibid)
Diriwayatkan dari Abu Utsman Al Hindi, bahwa Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu berdoa –dan dia sedang thawaf di baitullah sambil menangis:
اللهم إن كنت كتبت علي شِقْوة أو ذنبًا فامحه، فإنك تمحو ما تشاء وتثبت . وعندك أم الكتاب، فاجعله سعادةً ومغفرةً
“Ya Allah, jika Engkau menetakan atasku kesulitan atau dosa maka hapuslah, sesungguhnya Engkau menghapuskan apa-apa yang Engkau kehendaki dan menetakannya. Dan pada sisiMu ada Ummul Kitab, maka jadikanlah dia menjadi bahagia dan ampunan.” (Ibid)
Sementara Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berdoa:
اللهم إن كنت كتبتني في [أهل] الشقاء فامحني وأثبتني في أهل السعادة
“Ya Allah, jika Engkau tetapkan aku pada kelompok orang yang malang, maka hapuskanlah aku, dan tetapkanlah aku pada golongan orang yang bahagia.” (Ibid, Juz. 16, Hal. 483)
Demikian. Namun, bolehnya berdoa dengan doa ghairul ma’tsur adalah dengan syarat doa tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam secara umum. Doa-doa yang diucapkan kaum salaf ini tidak bertentangan syariat, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri menegaskan:
لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ
“Tidaklah ketetapan Allah dapat ditolak kecuali dengan doa, dan tidaklah menambahkan usia kecuali dengan berbuat kebaikan.” (HR. At Tirmidzi no. 2139, katanya: hasan gharib. Syaikh Al Albani mengatakan hasan, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2139. Lihat Juga Shahihul Jami’ No. 7687. Lihat juga Shahih At Targhib wat Tarhib No.1639, 2489. Lihat juga As Silsilah Ash Shahihah No. 154)

2. Bolehkah Membaca Doa Rabithah Secara rutin?
Merutinkan doa dan dzikir yang memang memiliki sandaran dalam syariat tentunya adalah sunah. Seperti merutinkan membaca: istighfar sebanyak 3 kali, lalu membaca laailaha illallahu wahdahu laa syarikalah lahul mulku wa lahul hamdu ...dst, lalu tasbih, tahmid, dan takbir sebanyak 33 kali setiap habis shalat, lalu membaca allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik, membaca ayat kursi .... , semua dibaca setiap sesudah shalat wajib, maka ini sunah dirutinkan, karena begitulah petunjuknya.
Atau membaca doa yang muqayyad (terikat) oleh aktifitas tertentu, seperti doa hendak makan membaca: bismillah ..., doa hendak naik kendaraan: subhanalladzi sakhara lana hadza ... dst, dan selain itu, maka sunah pula merutinkannya, karena demikianlah petunjuk dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Tetapi merutinkan, doa-doa yang tidak ma’tsur, bukan dari Allah dan RasulNya, maka untuk menghindari jatuh kepada kultus kepada si penyusunnya, dan jatuh pula kepada bid’ah, sebaiknya tidak dilakukan rutinitas itu. Bacalah, tetapi tidak dijadikan rutinitas yang melahirkan “pakem” baru dalam bermajelis. Seolah-olah jika tidak dibaca, ada yang kurang afdhal. Sebab, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah meninggalkan shalat sunah tarawih berjamaah ketika malam ketiga atau keempat, karena Beliau khawatir para sahabat mengira itu adalah wajib.
Jika yang jelas-jelas sunahnya saja –seperti tarawih berjamaah- Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkannya, dalam rangka dzari’ah (tindakan preventif) agar tidak dikira sebuah kewajiban, apalagi perbuatan yang jelas-jelas pula bukan berasal dari Allah dan RasulNya. Faktanya, memang ada di antara aktifis muda Islam, menyangka itu adalah hal yang mesti dirutinkan, dan “bersalah” jika tidak dirutinkan. Jelas ini perlu diluruskan.

Demikian. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar: