Minggu, 20 Februari 2011

Farid Nu'man: Siapkan Sabab Qauni Untuk Menyambut Khilafah Islamiyah!

Posted by Ghiroh Tsaqofy



Islamedia - Setelah melewati proses demonstrasi yang cukup melelahkan, sejak 25 Januari 2011 hingga 11 Februari 2011, akhirnya rakyat Mesir merasakan kegembiraan yang besar saat Wakil Presiden Mesir Omar Suleiman menyatakan pengunduran diri Hosni Mubarak. Rakyat Mesir yang tumpah di Midan Tahrir larut dalam rasa gembira. Seorang diktator yang telah menjabat selama 30 tahun mengakhiri kediktatorannya. Kebebasan rakyat Mesir dalam memutuskan pilihan hidupnya terbuka lebar.

Kemenangan rakyat Mesir ini melanjutkan kemenangan rakyat Tunisia yang telah sukses menjatuhkan rezim Ben Ali. Setelah Tunisia dan Mesir, negara timur tengah lain perlahan bergejolak. Yaman dan Aljazair mulai merasakan peningkatan suhu politik. Umat muslim di timur tengah yang bertahun-tahun hidup di bawah penindasan kediktatoran mulai bangkit melawan.

Islamedia berkesempatan melakukan sedikit perbincangan dengan Ustadz Farid Nu'man tentang fenomena yang terjadi belakangan ini. Dalam beberapa tulisan di blog beliau, Ustadz Farid Nu'man terasa memiliki perhatian yang besar terhadap kondisi umat Islam. Tak salah kalau redaksi menemuinya. Dan jawaban-jawaban beliau pun sangat memuaskan redaksi Islamedia. Berikut ini dialognya, eksklusif untuk anda pembaca Islamedia.

Rasulullah pernah bercerita tentang periodeisasi kepemimpinan umat Islam. Salah satu periode yang diramalkan adalah Mulkan Jabbariyan. Melihat kenyataan bahwa umat Islam 'dijajah' oleh pemimpin diktator saat ini, banyak pihak yang bilang bahwa sekarang adalah periode Mulkan Jabbariyan. Bagaimana menurut ustadz?

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ba’d. Ya, hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Al Bazaar, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth, dengan lafazh Mulkan Jabbariyyatan, bukan mulkan jabbariyyan. Namun maknanya sama, raja-raja diktator. Mereka adalah para pemimpin yang titah dan perintahnya selalu harus dituruti dan dipaksakan kepada rakyatnya, salah benar tidak penting, sebab kebenaran itu menurut standar mereka sendiri. Kepada mereka, rakyat tidak bisa berkata “mengapa” apalagi “tidak”, sebab bagi mereka rakyat wajib melaksanakan semua kemauan mereka. Betapa pun itu menyusahkan rakyatnya.

Ciri-ciri pemimpin model begini, kapan dan di mana pun sama, mereka akan memperkaya diri dan keluarganya, bertangan besi dalam menyingkirkan musuh-musuhnya dengan tidak segan memenjarakan, menculik, membunuh, bagi siapa saja yang melelawan kebijakan mereka. Biasanya pula kekuasaan mereka akan berakhir dengan tragis, bad ending, baik itu fir’aun, abrahah, maupun fir’aun dan abrahah abad modern.

Ya, bisa jadi jika kita lihat kenyataan zaman ini, memang ini zaman mulkan jabbariyatan. Wallahu A’lam

Bertahap, umat Islam sekarang melawan kediktatoran. Mulai dari Indonesia, Tunisia, dan sekarang Mesir. Kita berharap juga diikuti oleh Yaman, Aljazair, dan negara lain. Apakah terbebasnya umat Islam dari kediktatoran itu menjanjikan kehidupan yang lebih baik?

Mestinya begitu dan kita berharap demikian. Tetapi, jika yang dimaksud lebih baik adalah sebagaimana baiknya masa-masa awal dan keemasan Islam, saya rasa masih jauh, paling tidak umat Islam dan para ulama, dan du’aat, masih bisa bernafas lega dan bebas dalam menyiarkan da’wah Islam. Mereka tidak lagi diintimidasi dan dimata-matai. Jelas sekali ini keadaan yang lebih baik bagi dakwah Islam. Tentunya kita menginginkan kebaikan ini dirasakan oleh semua lapisan masyarakat dan profesi.

Tapi mesti diingat, mentalitas diktator biasanya masih tersisa pada pejabat yang berada pada lingkaran pemimpin sebelumnya. Sebab tidak mudah menghilangkan kebiasaan korupsi, kolusi, dan nepostisme, yang berlangsung selama puluhan tahun. Atau bisa juga pemimpin terguling masih punya “murid” yang bisa dia tanamkan untuk merawat kepentingannya. Nah, jika mereka masih diberikan ruang untuk menjabat, tentu kita masih meragukan keadaan lebih baik. Sebab “lagu lama” akan masih dinyanyikan mereka. Namun Allah selalu punya rahasia dari apa yang dikehendakiNya terhadap makhluk-makhlukNya. Kita lihat nanti .

Ada yang mencibir perjuangan umat Islam membebaskan diri dari kediktatoran karena solusi yang ditawarkan adalah demokrasi. Bagaimana menurut ustadz, kehidupan di bawah alam demokrasi lebih buruk untuk umat Islam, atau sama buruknya, atau lebih baik daripada dijajah oleh pemimpin tiran?

Kita mesti melihat masalah ini secara holistik (menyeluruh). Solusi apa pun yang ditawarkan jika umat Islam masih jahil terhadap agamanya dan berpecah, saling serang dan mengkafirkan, maka keadaan tidak akan berubah.

Kita harus meyakini bahwa Islam adalah solusi, tetapi solusi ini mesti mengalami fondasi dan contioning yang matang agar ketika Islam sudah menjadi pedoman hidup negara, benar-benar bisa dipahami dan dijalankan dengan utuh. Apa jadinya jika rakyat masih bodoh terhadap agamanya, lalu mereka asing terhadap hukum-hukumNya dan juga adab-adab agamanya, sehingga mereka buta, bisu, dan tuli, dan lagi-lagi menjadikan agama sebagai aksesoris semata dalam kehidupan mereka di berbagai lini. Akhirnya, justru Islam menjadi fitnah di mata musuh-musuhnya, karena tidak mampu memberikan apa-apa buat kehidupan yang lebih baik. Oleh karenanya, tarbiyah Islamiyah harus terus bergulir tidak boleh berhenti.

Jika Islam sudah tegak, maka tidak ada tawaran-tawaran lain untuk menggantikannya. Tetapi, saat ini Islam belum menjadi pijakan kehidupan negara dan sistemnya. Keadaan ini mesti diubah, untuk mengubahnya mesti dikuasai dahulu. Utsman bin ‘Affan mengatakan: Innallaha la yazi’ bi shulthan ma laa yazi’ bi kitabillah – sesungguhnya Allah akan menghapuskan kemungkaran yang tidak bisa hilang dengan Al Quran, dengan menggunakan tangan para penguasa. Ucapan Utsman Radhiallahu ‘Anhu menunjukkan betapa pentingnya kekuasaan untuk iqamutud din. Oleh karenanya, jika seorang menawarkan dirinya menjadi pemimpin karena memiliki kelayakan, tujuan dan agenda yang mulia, maka itu tidak dibenci. Imam Abul Hasan Al Mawardi mengatakan dalam Al Ahkam As Sulthaniyah bukan hal makruh seseorang mengajukan diri menjadi pemimpin jika memang punya kelayakan, sebagaimana kasus Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam. Ada pun kasus penolakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu ketika beliau meminta jabatan, karena disebabkan Nabi melihat Abu Dzar lemah dan tidak mampu.

Begitu pula kasus penolakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau ditawarkan kedudukan tinggi oleh tokoh-tokoh kafir Quraisy, karena dibalik pemberian itu Beliau diminta untuk berhenti berdakwah. Jelas saja beliau menolak. Banyak orang berdalil dengan kasus Abu Dzar dan kisah ini untuk memalingkan aktifis Islam dari hiruk pikuk perebutan kekuasaan, dan itu adalah pendalilan yang lemah tanpa melihat alasan-alasan dibalik penolakannya.

Oleh karenanya, dibutuhkan calon pemimpin yang kuat aqidahnya, benar visi misinya, berani dan berpihak kepada umat dan mau menjaga kedaulatan negara ini sebagai bagian dari bumi Allah dan bumi kaum muslimin, bukan semata-mata bumi milik jawa, sunda, batak, dan lain-lain. Untuk itu, di negeri ini –dan juga di negeri-negeri muslm lainnya- aktifis Islam bisa memperjuangkan pemimpin yang seperti itu melalui aturan main yang sudah terlanjur ada, yakni pemilu atau pilkada. Para ulama seperti Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Al Albani, Syaikh Shalih Fauzan, Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, Syaikh Ali Al Khafif, Syaikh Abu Zahrah, Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Syaikh Ali Jum’ah, Syaikh Al Qaradhawi, Syaikh Abdul Karim Zaidan, Syaikh Abdul Majid Az Zindani, Syaikh Salman Al ‘Audah, Syaikh Aidh Al Qarni, dan banyak lagi dari para ulama Islam membolehkan proses ini. Bahkan kalangan yang tadinya menentang sudah mulai mengikuti proses ini seperti Syaikh Ali Hasan Al Halabi dan Syaikh Masyhur Alu Salman di Jordania, paling tidak itu yang sampai saat ini saya ketahui. Karena ini memang hanyalah alat, yang jika kita tinggalkan sama sekali musuh-musuh Islamlah yang memanfaatkannya tanpa ada yang merintangi mereka. Dari, sudut pandang ini, maka demokrasi sebagai proses yang bisa diintifa’ (diambil manfaatnya) tidaklah mengapa, selama tidak dijadikan sebagai tujuan. Tujuan tidak boleh berubah, yakni meng-golkan target-target Islami pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ini merupakan salah satu persiapan aktifis Islam untuk belajar menjadi pemimpin dan pelayan di tengah masyakaratnya, apalagi masyarakat majemuk seperti Indonesia. Tidak bisa kita menjadi pemimpin dengan ilmu dan pengalaman yang seadanya, istilahnya ujug-ujug langung jadi. Semoga nantinya ini menjadi sarana memperpendek kegalauan produk-produk “anak pengajian” ketika mereka sudah menjadi pemimpin di masyarakatnya. Supaya tidak gagaplah. Wallahu A’lam

Setelah Mulkan Jabbariyatan, periode selanjutnya adalah kehidupan umat Islam dibawah kepemimpinan "khilafah 'alaa minhajin nubuwwah", begitu Rasulullah ramalkan. Apakah keterbebasan umat dari kediktatoran ada hubungannya dengan proses terwujudnya periode selanjutnya?

Kita meyakini bahwa Rasulullah adalah shaadiqul mashduuq (yang benar dan dibenarkan) seperti yang diistilahkan oleh Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, maka apa yang beliau katakan adalah haq. Termasuk dalam hal ini.

Tetapi apakah sebegitu sederhana dan taktisnya bahwa jika pemimpin diktator sudah runtuh maka langsung berdiri khilafah ‘ala minhajin nubuwwah? Tidak, selain sabab syar’i kita juga harus menyiapkan sabab kauni-nya. Di antaranya, mencegah kembalinya individu-individu diktator untuk naik tahta, dan kita tidak bisa menjamin pengganti pemimpin zalim itu lebih baik darinya.

Ini adalah sebuah undakan (anak tangga), masih ada undakan lain yang masih ditempuh untuk menuju khilafatan ‘ala manhajin nubuwwah. Oleh karenanya, sudah saatnya aktifis pergerakan Islam bersatu sebab ini momennya, paling tidak berkoordinasi dan saling membantu dalam dakwah dan kebajikan. Jangan mereka cakar-cakaran sendiri yang membuat mereka tergelincir lagi ke bagian yang lebih bawah dan dalam, akhirnya semakin jauh dari harapan kekhilafahan tadi. Bukan janji nabi yang salah, tapi kitanya yang masih bergurau dengan masa depannya sendiri.

Mungkinkah skenario Pan Islamisme yang digagas Jamaluddin Al-Afghani bisa mewujudkan kekhilafahan, dengan catatan umat Islam telah merdeka dari keterjajahan tiran dan punya kebebasan memilih?

Gagasan Pan Islamisme itu sudah ada ketika kekhilafahan Islam belum hilang, artinya bisa jadi secara esensi saat itu kekhilafahan telah kehilangan fungsinya sebagai pemersatu dan pelindung umat Islam, dan menjaga kehidupan agama dan dunia kaum muslimin, sampai-sampai harus diidekan untuk pan islamisme itu.

Gagasan ini, secara nilai adalah syar’i dan bisa menjadi spirit kembalinya khilafah Islamiyah, paling tidak walau negeri-negeri muslim masih pada nation state-nya, mereka masih dapat melakukan upaya tansiq (koordinasi), melepaskan baju qaumiyyah dhayyiqah (nasionalisme sempit) yang memecahkan umat Islam, dan segera melupakan permasalahan pribadi di antara mereka. Anggap saja ini upaya untuk masuk pada proses transisi menuju khilafah islamiyah, kerja-kerja nyata ini harus ada. Berbagai gerakan Islam harus mencontohkan ini lebih dahulu. Keislaman kita jauh lebih mulia dan tinggi dibanding berasal dari mana afiliasi kita. Jika anda seorang Ikhwani maka ingat anda adalah seorang muslim sebelum itu, jika anda seorang Tahriri maka anda adalah seorang muslim sebelum itu, jika anda seorang Salafi maka anda adalah seorang muslim sebelum itu, dan jika anda seorang Tablighi maka anda adalah seorang muslim sebelumnya. Tidak cukupkah keislaman itu membuat kita bangga dan kita berdiri bersama di atasnya? Karena Allah Ta’ala berfirman: Inna haadzihi ummatukum ummatan waahidah wa ana rabbukum fa’budun (sesungguhnya umat ini, umat kalian adalah umat yang satu, dan Aku adalah Rabb kalian maka beribadahlah kepadaKu).

Beralih ke dalam negeri, keterbebasan dari tiran rupanya tidak membuat umat Islam Indonesia makmur. Apa yang kurang?

Yang kurang adalah asas dari perubahannya. Asasnya apa waktu kita meruntuhkan rezim orde baru yang lalu? Apakah berasas kebencian kepada Presiden Suharto dan kroninya, ataukah berasas pada kemurnian kalimat tauhid?

Jika asasnya sudah menjauh dari aqidah Islam, maka tinggal tunggu aja, yang lain sifatnya taba’iyah (efek domino). Jadi, karena Islam bukan asas dan spirit yang menjiwai, maka Reformasi banyak penumpang gelap yang membelokan arahnya, dan mencari untuk di udara kebebasan saat ini. Berbagai keburukan hidup subur di negeri ini, di antaranya adalah kita lihat para pengusung aliran sesat mendapatkan angin segar kebebasan pasca tumbangnya rezim orde baru. Dengan dalih HAM dan demokrasi, mereka boleh hidup. Mereka katanya mencaci maki kekerasan, sayangnya mereka bungkam dengan perilaku kekerasan aliran sesat itu terhadap aqidah Islam. Apakah ada kekerasan yang lebih mematikan dibanding kekerasan terhadap kemurnian aqidah?


Apakah ustadz punya keyakinan bahwa Islam akan bangkit dari negara Indonesia ini?

Ya, bahkan bukan akan, tapi memang geliat kebangkitan Islam sudah nampak dan kita rasakan dampaknya.

Saya bandingkan dengan tahun 90an. Saat itu masih jarang wanita menutup aurat secara sempurna, tahun 2000an kemari sudah banyak bahkan sangat banyak, termasuk yang becadar. Ini terjadi baik di sekolah-sekolah, kampus, dan perkantoran. Pengajian-pengajian jika dahulu hanya ada di mushalla perkampungan, saat ini sudah masuk ke kalangan eksekutif dan perkantoran, baik pemerintah dan swasta. Bahkan sebuah penerbitan buku, walau dimiliki oleh non muslim, mereka akui hingga enam puluh persen buku yang laku terjual adalah buku-buku Islam. Berbagai event book fair, baik yang Islamic atau Indonesian, mayoritas dipenuhi oleh stand-stand muslim dan disesaki oleh pengunjung kaum muslimin. Sekolah-sekolah Islam saat ini menjadi sekolah yang mampu bersaing dengan sekolah negeri bahkan melebihinya, dan tidak lagi menjadi sekolah ampas (sisa) yang dilirik jika anak sudah tidak ada peluang sekolah di tempat lain. Saya rasa masih banyak indikator lainnya.

Berbagai kelemahan dan hambatan juga masih banyak, tapi bagi seorang mukmin yang optimis akan meyakini bahwa semua keadaan pasti memiliki maslahat bagi perjuangan.

Apa harapan ustadz kepada pembaca Islamedia untuk mewujudkan kebangkitan Islam?

Harapan saya adalah agar kita sama-sama meningkatkan taqwa kepada Allah, istiqamah dan tsabat. Sabarlah dalam menuntut ilmu, dan bergaul-lah dengan masyarakat untuk menjadi agen perubahan. Jika kita tidak melihat hasilnya hari ini, semoga Allah memberikannya dihari tua kita, kalau pun tidak, semoga generasi yang akan datang bisa menikmatinya, dan mendoakan kita sebagai sabaquuna bil iman wal jihad (orang-orang yang mendahului kami dalam iman dan jihad) dan cukuplah Allah sebagai pemberi balasan yang paling baik.

Tidak ada komentar: