1/21/2011 07:01:00 PM | Posted by islamedia
Perkataan itu muncul dari rasa bangga dan optimisme yang begitu besar dari pasukan Islam kala itu. Jumlah mereka mencapai 12.000 pasukan, 10.000 diantaranya adalah pasukan yang dibawa Rasulullah dalam Fathu Makkah, sedangkan sisanya adalah dari penduduk Makkah yang baru masuk Islam. Jumlah yang sangat besar bagi bangsa Arab kala itu.
Sebagai seorang panglima perang sekaligus nabi, Rasulullah merasa sangat sedih mendengar perkataan itu. Beliau merasa sangat terbebani dengan ungkapan itu, takkan terkalahkan. Perkataan itu menunjukkan bahwa di dalam diri pasukannya masih terdapat kejahiliyahan berupa sifat takabur dan kurangnya berserah diri atas jalan Allah.
Dan seperti kita ketahui, jumlah pasukan yang banyak di dalam Perang Hunain ini tidak memberi manfaat kepada pasukan Islam sedikitpun. Pasukan musuh yang dipimpin Malik bin ‘Auf Ats Tsaqafi menyerang mereka dengan panah dan berusaha mengepungnya. Medan peperangan yang luas pun terasa menyempit bagi pasukan kaum Muslimin. Bahkan hampir seluruh pasukan melarikan diri dan terceraiberai. (At Taubah: 25)
Melihat situasi seperti itu Rasulullah menepi dan berseru, “Kemarilah, wahai manusia! Akulah Rasulullah! Aku Muhammad bin Abdullah!”
Namun, panggilan itu tak diacuhkan pasukan Islam yang sedang goncang itu. Seluruhnya lari kecuali beberapa orang Muhajirin dan Ahli Bait beliau. Maka heroisme Rasulullah kembali terbukti, beliau memacu keledainya ke arah pasukan musuh dan bersajak:
Aku adalah Nabi, bukan kadzib
Aku adalah cucu Abdul Muthalib
Hanya saja saat itu Abu Sufyan bin Harits memegangi kekang keledai itu dan Abbas bin Abdul Muthalib memegangi pedalnya. Mereka berdua menahan agar binatang itu jangan terlalu cepat berlari. Selanjutnya Rasulullah pun turun lalu memohon pertolongan Allah seraya berdoa, “Ya Allah, turunkanlah pertolonganmu…” Allah mengabulkan permohonan Rasulullah dengan menurunkan bala tentara yang mereka tidak dapat melihatnya. (At Taubah: 26)
Maka Rasulullah pun menyuruh Abbas untuk memanggil para shahabatnya. Dan berserulah Abbas memanggilAshhabus Samrah (para pengikrar di bawah pohon, pelaku Bai’atur Ridwan), kaum Anshar, dan Bani Harits bin Khazraj secara khusus berturutturut. Maka kembalilah berkumpul pasukan kaum Muslimin seperti semula. Sejenak kemudian, kemenangan berhasil diraih kaum Muslimin. Dan rampasan perang yang diperoleh pun sangat banyak, 3.000 tawanan, 24.000 ekor unta, 40.000 ekor lebih kambing, dan 4.000 uqiyah uang perak. Dahsyat!
Duh, ketakaburan sebagian pasukan Islam di awal kisah adalah optimisme yang begitu besar. Yang saking besarnya mereka sampai melupakan adanya campur tangan Allah dalam setiap perkara dan kejadian. Dan karena itu mereka pun sampai hampir mengalami kekalahan yang sangat memalukan. Beruntunglah Allah memberikan karunia ketenangan jiwa kepada sang panglima, Rasulullah. Dan tinta sejarah pun kembali melukiskan kemenangan bagi pasukan Islam. Seharusnya, selalulah begitu kita menyikapi optimisme, yakni bahwa kita harus menyediakan ruang bagi pesimisme. Ini tentang kemungkinan. Tentang probabilitas.
Optimisme tanpa tersedianya ruang probabilitas pun pernah dialami Rasulullah. Menurut riwayat, ada beberapa orang Quraisy bertanya kepada Nabi Muhammad tentang tiga hal: ruh, kisah Ashhabul Kahfi (penghuni gua), dan kisah Dzulqarnain. Lalu beliau menjawab, “Datanglah besok pagi kepadaku agar aku ceritakan.”
Rasulullah merasa yakin bahwa Allah akan menurunkan wahyu tentang tiga hal itu, seperti biasanya ketika beliau menghadapi suatu masalah. Ini menjadi kebiasaan dan semacam rutinitas nabawi bahwa masalahmasalah tertentu akan mendapat petunjuk berupa wahyu ilahi. Inilah salah satu bentuk optimisme tanpa pesimisme.
Saat itu beliau tidak mengucapkan ‘Insya Allah’ (jika Allah menghendaki). Padahal kata ini merupakan satu pernyataan ketundukan hamba di hadapan Allah bahwa tidak ada yang bisa mengatur kehendak Allah selain Allah sendiri. “Insya Allah,” kata Ibnu Taimiyah dalam perang Syaqhab melawan Tartar, “Adalah ucapan optimis, bukan pesimis.” Dan ternyata sampai esok harinya wahyu terlambat datang untuk menceritakan halhal tersebut dan Nabi tidak dapat menjawabnya. Hal ini membuat para penanya itu mencela Rasulullah.
Serta merta turunlah teguran pembelajaran langit kepada sang kekasih, “Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi,’ kecuali (dengan menyebut), ‘Insya Allah.’ Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah, ‘Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini.’” (Al Kahfi: 23-24)
Maka, sebesar apapun optimisme terlihat di mata Tuan dan Nyonya, selalulah sediakan ruang probabilitas berupa ketidakwujudan optimisme itu. Bahkan jika sudah tak ada tandatanda yang memungkinkan ketidakwujudan itu, tetaplah sediakan ruang probabilitas itu, meskipun kecil, meskipun sempit. Kita tidak tahu tirai ghaib apa yang ada di masa depan. Ia hanya akan terbuka dan menjernih sebening waktu dhuha jika Allah telah benarbenar telah menghendakinya.
“Apabila Allah memberikan taufikNya kepadanya (manusia yang berencana) dalam mencapai apa yang diinginkannya,” tulis Sayyid Quthb tentang ayat itu dalam Zhilal, “Maka alangkah nikmatnya. Namun, bila kehendak Allah menentukan selain apa yang direncanakannya, ia pun tidak sedih hati dan berputus asa. Karena segala urusan dari awal hingga akhir berada mutlak di tangan Allah dan milikNya.”
Maka, harus tidak harus, jika saat ini Tuan dan Nyonya sedang dalam pesimisme yang demikian besar, sediakan sedikit ruang probabilitas bahwa pesimisme itu tidak akan mawujud. Selalulah menyediakannya hingga hari dimana hanya ada probabilitas nol, hari kiamat. Dan jika Sabrang Mowo Damar Panuluh punya ruang rindu untuk kita bertemu, Tuan dan Nyonya punya ruang probabilitas untuk kita mengadu. Mengadu pada Yang Maha Tahu.
Inspirasi dari Shabra Shatilla
Tidak ada komentar:
Posting Komentar