Senin, 18 Januari 2010

Ghibah (bagian ke-2)

Oleh: Aba AbduLLAAH

BEBERAPA PENGECUALIAN DIBOLEHKANNYA GHIBBAH

1. Orang yang dizhalimi. Dibolehkan bagi orang yang dizhalimi untuk mengadukan orang yang menzhaliminya kepada penguasa/hakim berdasarkan firman ALLAH SWT:

“ALLAH tidak menyukai perkataan yang buruk kecuali bagi orang yang dizhalimi.” (QS 4/148)

2. Meminta tolong untuk menghentikan kemunkaran. Menghentikan orang yang bermaksiat dengan mengadukannya kepada orang yang mampu menghentikannya, berdasarkan hadits:

“Barangsiapa melihat kemunkaran maka hendaklah diubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lidahnya dan jika ia tidak mampu maka dengan hatinya, tetapi itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim 49, Abu Daud 1140, Tirmidzi 2173, an-Nasai 8/111, Ibnu Majah 4013)

3. Meminta fatwa.

Dibolehkan seseorang bertanya kepada mufti misalnya: Ayahku/saudaraku/temanku telah menzhalimi aku, apakah benar demikian? Bagaimana cara mengatasaniya? Berkata istri abu Sufyan pada nabi SAW:

Wahai rasuluLLAH, sesungguhnya abu Sufyan itu lelaki yang pelit, sehingga ia tidak pernah memberiku sesuai kebutuhanku dan anak-anakku, kecuali jika aku mengambil darinya tanpa sepengetahuannya, apakah dibolehkan yang demikian? Jawab nabi SAW: “Boleh engkau ambil sesuai kebutuhanmu dan anak-anakmu secara ma’ruf (tidak berlebihan).” (HR Bukhari 9/444-445, Muslim 1714)

4. Meng-ghibbah Pendosa Terang-terangan. Seperti peminum minuman keras di depan orang banyak, pelaku korupsi yang sudah ketahuan/diketahui banyak orang, dan lain-lain. Berdasarkan hadits:

“Sesungguhnya dosa-dosa ummatku itu termaafkan, kecuali bagi pelaku dosa terang-terangan. Seperti orang yang melakukan sesuatu di waktu malam yang sudah ditutupi oleh ALLAH SWT, maka paginya ia berkata : Hei Fulan, semalam aku melakukan ini dan itu. Padahal ALLAH SWT sudah menutupinya lalu dibukanya perlindungan ALLAH itu.”

5. Mengenal. Seperti menyebut gelarnya yang dikenal luas oleh semua orang (walaupun gelar itu artinya buruk), seperti gelar-gelar sahabat dan tabi’in Mush’ab (yang menyulitkan) Hanzhalah (pahit), al-A’masy (si Rabun), dan sebagainya.

6. Memperingatkan kaum Muslimin:

a. Mengungkapkan cela seorang perawi dalam hadits, diwajibkan demi terjaganya hadits nabi SAW. Dalilnya di masa nabi SAW pernah ada seorang yang menyampaikan tentang seseorang yang minta izin (untuk tidak ikut peperangan) pada nabi SAW, maka kata nabi SAW:

“Izinkanlah ia, ia adalah sejelek-jelek saudara bagi keluarganya.” (HR Bukhari 10/393, Muslim 2591)

b. Jika orang meminta pendapat kita tentang seseorang untuk bergaul dengannya atau berdagang dengannya, dan sebagainya, maka wajib bagi kita untuk menyampaikan supaya orang itu dapat bergaul dengan benar dan tidak tertipu. Dalilnya bahwa Fathimah binti Qais ra pernah menemui nabi SAW untuk meminta pendapatnya tentang lamaran yang diterimanya dari Mu’awiyah dan abu Jahm, maka kata nabi SAW:

“Adapun Mu’awiyah maka orangnya miskin sama sekali tidak punya harta, adapun abu Jahm tidak pernah melepaskan pecut dari tengkuknya (suka memukul).” (HR Muslim 1480, Thabrani 2/580, Syafi’i dalam ar-Risalah/856)

c. Seorang yang diketahui alim atau faqih dan diragukan bahwa ia adalah ahli bid’ah atau fasiq, sehingga orang mengambil ilmu darinya dan belajar kepadanya, maka wajib kita menasihatinya dan jika ia tidak mau meninggalkan bid’ahnya maka wajib diberitahukan pada orang-orang.

d. Seorang yang memegang kekuasaan dan menyimpang, maka wajib disampaikan penyimpangannya kepada orang yang mengangkatnya, agar mengetahui perihalnya.

e. Kesemua hal ini untuk hal-hal yang jelas-jelas disepakati sebagai penyimpangan, bid’ah dan kejahatan, dan sama sekali bukan pada hal-hal yang merupakan bagian ikhtilaf (yang masih diperselisihkan) oleh para ulama dalam Islam. Adapun mencaci-maki hal-hal yang merupakan ikhtilaf, atau mencari-cari kesalahan orang lain, atau memberikan penafsiran yang buruk atas para ulama, mujahid Islam dan orang-orang yang dikenal tsiqah dan jasa-jasa serta perjuangannya dalam Islam, maka yang demikian itu merupakan perbuatan fasik dan sama sekali bukan dari akhlaq Islam. Kita berlindung pada ALLAH SWT dari yang demikian…

SEBAB-SEBAB TERJATUH KE DALAM GHIBBAH

1. Tidak melakukan tatsabbut dan tabayyun (check and re-check), firman ALLAH SWT:

“Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu seorang yang fasik membawa sebuah berita, maka tabayyun-lah kalian terhadap kebenaran berita tersebut, agar jangan sampai kalian menimpakan kerugian pada suatu kaum karena kebodohan kalian, sehingga kelak kamu akan menyesal.” (QS 49/6)

2. Dikuasai oleh amarah dan hawa nafsu, maka seorang muslim adalah orang yang kuat menahan hawa nafsu dan kemarahan tersebut, karena keduanya adalah sifat syaithan dan tidak pantas seorang mu’min memilikinya, firman ALLAH SWT:

“Dan orang yang menahan marahnya, dan orang yang memaafkan manusia, dan sesungguhnya ALLAH mencintai orang-orang suka berbuat baik.” (QS 3/134)

3. Lingkungan dan pergaulan yang jahat, suka mencaci dan berburuk-sangka, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

“Setiap manusia terlahir dalam fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.”

4. Dengki dan Iri-hati, ketika kedengkian telah bersarang di dalam hati maka matahari yang terang bersinar akan terlihat gelap-gulita, tanaman yang indah merona akan nampak buruk dan sumpek. Ambillah pelajaran dari kisah putra Adam as, walaupun ia hidup di bawah asuhan seorang nabi, tetapi ketika kedengkian menguasai hatinya maka ia tega membunuh saudaranya sendiri, walaupun saudaranya itu telah menasihatinya dan tidak melawannya sama sekali, perhatikanlah ucapan Habil ketika akan dibunuh oleh saudaranya Qabil:

“Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, maka aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada ALLAH RABB sekalian alam.” (QS 5/28).

Lalu ia menasihati saudaranya dengan halus tentang dosa dari perbuatan membunuh tersebut, dengan harapan saudaranya akan sadar:

“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan membawa dosa membunuhku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka dan yang demikian itulah pembalasan orang-orang yang zhalim.” (QS 5/29),

tetapi kedengkian yang besar membuat Qabil tidak perduli lagi dengan agama dan aturan syariat, demikianlah perbuatan dosa kedua yang dilakukan oleh makhluq adalah karena kedengkian.

5. Ujub, Ghurur dan Takabbur, ketika manusia atau kelompok manusia sudah merasa dalam hatinya bahwa dirinya lebih pandai dan alim maka ia telah ujub, lalu jika ia mulai meremehkan dan mencela orang lain maka ia menjadi ghurur, dan ketika ia telah merasa bahwa kebenaran hanya ada pada diri dan kelompoknya sementara yang lain semua salah dan ia tidak mau menerima kebenaran dari orang lain walaupun disampaikan dengan hujjah yang nyata maka ia menjadi takabbur. Lihatlah perkataan Fir’aun:

“Apakah aku yang lebih baik ataukah orang yang hina ini yang hampir tidak bisa jelas dalam berbicara?” (QS 43/52-53)

Dalam ayat ini Fir’aun tidak memperhatikan kebenaran yang disampaikan oleh Musa, tapi ia berusaha mencari-cari kelemahan yang ada pada diri Musa saja dengan tujuan untuk menghinanya.

6. Menutupi kelemahan diri, orang yang tidak mau diketahui kelemahannya sehingga ia berusaha menjelek-jelekan orang lain, hal ini dilakukannya karena merasa ia akan kalah pengaruh dan ketenaran dari orang yang di-ghibbah-nya, maka ia meng-ghibbah orang tersebut untuk menutupi kekurangannya dan kelompoknya dari orang tersebut, sehingga orang-orang memujinya dan menganggapnya alim dan orang pun menjelek-jelekan orang lain yang di-ghibbah-nya tersebut.

7. Disibukkan dalam Hal Sepele, orang-orang yang terbiasa disibukkan dengan hal yang kecil dan tidak mengetahui masalah-masalah besar yang dihadapi oleh ummat akan terus mencari-cari kesalahan orang lain, karena banyaknya waktu yang dimilikinya yang seandainya waktu tersebut digunakannya untuk mengurus masalah-masalah ummat yang sudah sedemikian gawat ini maka tidak akan ada waktu baginya untuk meng-ghibbah. Hal ini juga dimungkinkan karena tidak mengerti tentang prioritas amal yang harus dilakukan.

8. Tidak mengetahui tentang Bahaya Ghibbah, ummat yang tidak mengetahui tentang dosa besar dan bahaya ghibbah akan menganggap ghibbah sebagai hal yang sepele, padahal ia sangat besar disisi ALLAH SWT:

“Dan kalian menganggapnya sepele, padahal ia disisi ALLAH adalah sangat besar (dosanya).” (QS 24/15)

Berkata Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya:

Tidak aku lihat dosa yang pelakunya demikian keras ditegur oleh ALLAH SWT dan diancam dengan azab yang sangat keras, melainkan dosa orang-orang yang menuduh dengan tuduhan bohong dan meng-ghibbah ummul mu’minin Aisyah ra.

9. Tidak Terbiasanya Ummat dalam Hukum Syariah, ummat yang faham maka mereka akan segera menghentikan para pelaku ghibbah siapapun mereka, mencegahnya dengan lembut dan keras atau meninggalkannya sama sekali sebagai hukuman syariat terhadapnya agar para pelaku ghibbah menyadari kesalahannya dan kembali ke jalan yang benar.

10. Tidak Jelas dalam Penyampaian, kata-kata, ungkapan, cerita yang tidak jelas atau tidak selesai, bisa mengakibatkan kesalahfahaman diantara yang mendengar. Maka nabi SAW jika berbicara jelas, tegas dan tidak bertele-tele agar yang mendengar dapat memahaminya dengan sempurna, dan beliau SAW juga biasa mengulangi kata-katanya 2 atau 3 kali, supaya jelas.

11. Bercanda dan Main-Main, bercanda dan main-main dalam Islam ada batasnya, canda itu tidak boleh memasukkan kejelekan orang lain sebagai bahan tertawaan dan permainan, sabda nabi SAW:

“Sesungguhnya seorang mengatakan 1 kata yang tidak disadarinya bahayanya, yang akibatnya ia dilemparkan ke neraka dalam jarak lebih jauh dari jarak Timur dan Barat.” (HR Bukhari 11/265-266, Muslim 2988, Tirmidzi 2315, Thabrani 2/985)

(Bersambung…)

Tidak ada komentar: