Senin, 27 Desember 2010

Apakah Menerapkan Metode Sirriyah (Rahasia) pada Masa-Masa Awal Dakwah Merupakan Perbuatan Bid’ah?

14/1/2006 | 13 Dhul-Hijjah 1426 H | 7,993 views
Oleh: Aba AbduLLAAH
Kirim Print
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS Yusuf, 12/111).
ALLAH SWT menyatakan dengan tegas dalam ayat ini: 1) bahwa kisah-kisah para Nabi dan Rasul ‘alaihimus shalatu was salam terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal, 2) bahwa Al-Qur’an bukan berisi kisah-kisah yang dibuat-buat melainkan membenarkan kitab-kitab sebelumnya, 3) bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan segala sesuatu dan menjadi hidayah dan rahmat bagi kaum mu’minin dan mu’minah.
Berkata Imam Abu Ja’far at-Thabari rahimahuLLAH dalam tafsirnya [1]: ALLAH SWT mengingatkan bahwa dalam kisah Yusuf as dan saudaranya ini terdapat pelajaran bagi orang yang berakal dan agar mereka mengambil pelajaran darinya dan nasihat agar mereka mencamkan nasihat tersebut. Selanjutnya Imam at-Thabari menyebutkan beberapa riwayat yang menyatakan bahwa kisah-kisah tersebut hanya menjadi pelajaran bagi Yusuf as dan saudara-saudaranya saja (bukan bagi kita), namun beliau (Imam at-Thabari) membantahnya karena dalil dalam ayat bersifat umum kepada semua ulil-albab. [2]
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya [3] bahwa makna (tashdiq alladzii bayna yadayhi) adalah: Al-Qur’an ini membenarkan hal-hal yang shahih (dari ajaran dan kisah nabi terdahulu) dan menghilangkan hal-hal yang menyimpang, perubahan dan penggantian serta menetapkan hukum nasakh (yang dihapus) maupun hukum taqrir (hukum yang ditetapkan). Lebih jauh beliau rahimahuLLAH menjelaskan [4] bahwa makna (tafshiila kulla syai’in) bermakna menjelaskan semua yang halal dan haram, semua yang mahbub dan makruh dan hal-hal yang selainnya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya [5] waLLAHu ‘almu bish shawab.
Setelah itu semua maka ketahuilah wahai al-mu’minun wal mu’minaat bahwa ALLAH SWT Yang Maha Tinggi lagi Maha Mengetahui telah menyebutkan dalam firman-NYA bahwa metode dakwah baik secara sirriyyah maupun ‘alaniyyah keduanya merupakan metode dakwah yang shahih dan diakui di dalam Al-Qur’an, dan tidaklah yang mencelanya kecuali orang yang jahil dan ghullat (ekstrem) dari kelompok khawarij-jadiidah (khawarij gaya baru) yang dengan mudah mencela dan memvonis kelompok lain tanpa dilandasi tabayyun (check) dan ta’akkud (re-check) karena hiqd dan hasad yang telah bersarang dalam hati mereka, naudzubiLLAHi min dzalikas shifah.
Setelah kita memahami tafsir ayat di atas, maka marilah kita bahas pula kandungan dan tafsir ayat di bawah ini:
“Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan. Kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam.” (QS Nuh, 71/8-9)
Bahwa ayat di atas digambarkan bagaimana berbagai metode dakwah telah ditempuh oleh Nabi Nuh as dalam mendakwahi kaum dan ummatnya. Nuh as adalah 1 diantara ‘ulul-’azmi minar rusul (Rasul-rasul yang memiliki ‘azzam yang kuat yang merupakan Rasul-rasul yang paling tinggi derajatnya disisi ALLAH SWT [6]), dimana beliau ‘alaihish shalatu was salam telah melakukan berbagai metode dalam dakwahnya baik sirriyyah maupun ‘alaniyyah.
Berkata Imam at-Thabari [7] bahwa makna ASRARTU LAHUM ISRARA adalah: Hanya antara Nuh as dengan kaumnya secara rahasia. Berkata Imam Al-Qurthubi [8] bahwa maknanya adalah Nuh as mendatangi mereka satu persatu ke rumah-rumah mereka. Sementara Imam An-Nasafi [9] menyebutkan bagaimana Nuh as mengoptimalkan semua potensi dan semua cara dalam berdakwah, pertama beliau as mendakwahi kaumnya secara rahasia siang dan malam, lalu beliau as mendakwahi mereka secara terang-terangan, kemudian beliau as menggabungkan cara rahasia dengan cara terang-terangan, demikianlah cara ber-amar ma’ruf nahyul munkar, hendaklah dimulai dengan rahasia dan lembut lalu jika tidak berhasil maka barulah menggunakan cara terang-terangan dan tegas.
Imam al-Maqrizi dalam kitabnya [10] menyitir pendapat ‘Urwah bin Zubair, Ibnu Syihab dan Ibnu Ishaq tentang waktu antara awal kenabian (turunnya QS Al-’Alaq di gua Hira’) sampai turunnya ayat FASHDA’ BIMAA TU’MARU WA A’RIDH ‘ANIL MUSYRIKIIN [11] sampai pada WA ANDZIR ‘ASYIIRATAKAL AQRABIIN [12] dan ayat QUL INNII ANAN NADZIIRUL MUBIIN [13] adalah 3 tahun, Al-Baladziri [14] menyebutkan 4 tahun. Ada pula beberapa pendapat yang menganggap masa terputusnya wahyu tersebut sekitar 40 hari, 15 hari atau bahkan 3 hari [15].
Dalam sirah [16] disebutkan saat Abubakar ra memulai dakwah maka ia mulai mengajak kepada ALLAH dan Islam, yaitu orang yang diyakinkannya bisa merahasiakan dan mendengarkan dakwah, melalui dakwahnya maka masuk Islamlah Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, AbduRRAHMAN bin Auf, Sa’d bin Abi Waqqash dan Thalhah bin ‘UbaidiLLAH. Dalam riwayat masuk Islamnya Ammar ra diantaranya disebutkan [17]: … aku melihat RasuluLLAH SAW sedang bersembunyi karena dimusuhi kaumnya… Bukti lain atas masalah ini ialah perkataan Imam Ibnu Hajar dalam syarahnya atas Shahih Bukhari [18], beliau menyebutkan bahwa timbulnya perbedaan pendapat tentang siapa yang lebih dulu masuk Islam disebabkan masing-masing sahabat tidak tahu siapa saja yang sudah Islam. Bukti lain dakwah Nabi SAW secara rahasia pada periode awal tersebut adalah kisah masuk islamnya segolongan Jin yang diriwayatkan dalam hadits shahih [19] yaitu saat Nabi SAW mengumpulkan para sahabatnya di luar Makkah.
Dalam sunnah Nabi muhammad SAW terlihat bahwa fase dakwah sirriyyah berakhir setelah Nabi SAW mendapatkan jaminan keamanan dari ALLAH SWT [20]. Demikianlah yang harus diikuti, yaitu pertimbangan sirriyyah dan ‘alaniyyah dalam berdakwah adalah keamanan dan perkiraan sampai serta diterimanya dakwah itu sendiri, setelah dakwah aman dilakukan secara jahriyyah, maka wajib bagi para da’i menyampaikannya secara jahriyyah, dan itulah yang dilakukan oleh para da’i AL-IKHWAN sesuai dengan as-sunnah yang shahih sampai saat ini, waliLLAHil hamdu wal minah.
Jika dikatakan bahwa peristiwa sirriyyah itu telah dihapuskan (di-nasakh) dengan ayat WA ANDZIR ‘ASYIIRATAKAL AQRABIIN [21] dan ayat YAA AYYUHAR RASUL BALLIGH MAA UNZILA ILAYKA MIN RABBIKA [22], maka saya katakan bahwa ayat ini sama sekali tidak menasakh dakwah sirriyyah, selain karena dakwah sirriyyah merupakan cara dakwah yang diakui dalam Al-Qur’an dan tidak pernah dihapuskan hukumnya, selain itu nabi SAW-pun pernah melakukan dakwah sirriyyah ini sekalipun setelah ayat-ayat di atas diturunkan. Seperti saat peristiwa bai’ah Aqabah pertama [23], pada saat janji setia yang bukan janji untuk berperang ini beliau SAW melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Demikian pula saat peristiwa ‘Aqabah yang kedua [24], yang disebut sebagai janji setia untuk peperangan [25] juga dilakukan di malam hari dan secara sembunyi-sembunyi [26], bahkan sesama suku Aus dan Khazraj yang musyrik sama sekali tidak saling tahu [27]. Saat peristiwa hijrah sebagian besar sahabat ber-hijrah secara sembunyi-sembunyi [28], bahkan beliau SAW-pun melakukannya dengan sembunyi-sembunyi [29] walaupun sebagian sahabat ra ada pula yang melakukannya secara terang-terang-an [30]. Demikianlah baik sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan adalah bagian dari metode dakwah, keduanya dapat dilakukan sesuai dengan maslahat dakwah. SELESAI.
Dalam beberapa riwayat tersebut di atas nampak jelas tentang bahwa tahapan antara sirriyyah dan ‘alaniyyah dalam dakwah tersebut bukan merupakan bid’ah yang dibuat-buat tapi merupakan sunnah yang shahih, ia merupakan sunnah para anbiya’ wal mursalin shalawatuLLAHi was salamu ‘alayhi ajma’in. Tidak boleh diingkari oleh seorang muslim yang mu’min kepada kitabuLLAH dan mengikuti atsar salafus shalih ridhwanaLLAHu ‘alayhi ajma’in, kalaupun terjadi perbedaan maka perbedaan tersebut semata-semata dalam memahami kapan kedua metode tersebut dilakukan dan bagaimana ia dilakukan, dan hal ini merupakan lapangan ijtihad yang tidak dihalalkan bagi mereka yang berbeda pendapat untuk memaksakan pendapatnya, apalagi sampai memvonis bid’ah bagi yang berbeda. Pembahasan ini selesai dengan izin ALLAH SWT. ALLAHu musta’an.
Wamaa taufiiqii illa biLLAHi ‘alaiHI tawakkaltu wa ‘ilaihi uniib..
REFERENSI:
[1] Tafsir Thabari, VII/324
[2] Ibid.
[3] Tafsir Ibnu Katsir, II/655
[4] Ibid.
[5] Tafsir Al-Baghawi, I/287
[6] Tafsir Ibnu Katsir, IV/219; At-Thabari XI/302
[7] Tafsir At-Thabari, XII/248
[8] Tafsir Al-Qurthubi, XVIII/120
[9] Tafsir An-Nasafi, IV/282
[10] Imta’ul Asma’, I/15 (ditahqiq oleh Syaikh Muhammad Syakir)
[11] QS Al-Hijr, 15/94
[12] QS Asy-Syu’araa’, 26/214
[13] QS Al-Hijr, 15/89
[14] Ansab al-Asyraf, I/116
[15] Ini juga disebutkan dalam Ash-Shahihain dari hadits Ummu Jamil bin Harb tentang turunnya QS Adh-Dhuha.
[16] Sirah Ibnu Hisyam, I/262-269.
[17] Shahih Muslim, I/596
[18] Fathul Bari’, VII/84
[19] Shahih Muslim bis Syarh Nawawi, IV/168-170
[20] QS Al-Hijr, 15/95
[21] QS Asy-Syu’araa’, 26/214
[22] QS Al-Ma’idah, 5/67
[23] Sirah Ibnu Hisyam, II/41-42, lih. Juga dalam Fathul Bari’ I/66 dan Shahih Muslim III/1333
[24] Ibid, I/438
[25] Ibid, II/63; lih. Juga Musnad Ahmad V/316
[26] Ibid, I/439-443, 447-448; lih. Juga Fathul Bari’ VII/221; Musnad Ahmad III/460
[27] Ibid.
[28] Ibid, I/468; juga Fathul Bari’ VII/260-261; Shahih Muslim II/632
[29] Fathul Bari’ , VII/226, 231-232, 389; Al-Bidayah wan Nihayah, III/179; Syarhul Mawahib liz Zarqani, I/323; Musnad Ahmad, I/248; lih. Juga tafsir QS Al-Anfal, 8/30; QS At-Taubah, 9/40.
[30] Fathul Bari’, VII/260

Tidak ada komentar: