Selasa, 21 Oktober 2014

Hadits Nabi Mempertahankan Qunut Shubuh Hingga Wafatnya, Shahihkah?

Thu, 16 October 2014 00:01 - 1977 | shalat

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Sebelumnya ustadz sudah menjelaskan bahwa para imam mazhab itu adalah ahli hadits juga. Maka kalau seseorang itu sudah menjadi ahli hadits, seharusnya dia tahu mana hadits shahih dan mana hadits tidak shahih.

Maka dalam kesempatan ini saya ingin bertanya bagaimana dengan qunut shubuh. Kata ustadz tempat saya biasa mengaji masalah agama, hadits tentang qunut shubuh ini tidak shahih atau lemah. Dan hadits lemah tidak bisa dijadikan dasar hukum.

Yang jadi pertanyaan saya, mengapa Al-Imam Asy-Syafi'i yang katanya pakar hadits malah memakai hadits lemah itu dalam mazhabnya? Seharusnya sebagai ahli hadits beliau membuang qunut shubuh, sebab Rasulullah SAW tidak qunut shubuh.

Bukankah kita harus shalat sebagaimana Rasulullah SAW? Ketika Rasulullah SAW tidak qunut maka seharusnya kita juga tidak qunut dong. Kalau kita nekat tetap mengerjakan qunut, berarti kita sudah menambah-nambahi agama sendiri di luar ketentuan Rasulullah SAW.

Sudah jelas-jelas tidak ada haditsnya, malah dipakai juga. Apalagi Al-Imam Asy-Syafi'i itu kata antum adalah pakar hadits. Lalu kenapa pakar hadits kok malah pakai hadits lemah?

Mohon jawaban dari ustadz dan sekaligus penjelasannya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas jawaban dari ustadz.

Wassalam

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Inti jawabannya sederhana saja, yaitu bahwa terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang shahih tidaknya hadits tentang qunut shubuh. Sebagian ulama mendhaifkan dan sebagian lagi justru menshahihkan. Al-Imam Asy-Syafi sebagai ahli hadits dan jutaan ulama hadits di berbagai belahan bumi menshahihkannya. Sedangkan Anda atau guru-guru ngaji Anda termasuk pada kelompok ulama ahli hadits yang tidak menshahihkan.

Jadi intinya masalah ini adalah masalah khilafiyah, karena mereka berselisih tentang shahih tidaknya hadits tentang qunut shubuh.

Rincian Pembahasan

Karena pertanyaan Anda ini bagus sekali dan menarik untuk dibahas, maka tidak salah kalau kita angkat masalah ini untuk lebih mempeluas khazanah keilmuan dan pemahaman kita tentang ilmu hadits dan ilmu fiqih. Boleh jadi pertanyaan seperti ini pasti juga ada di benak banyak orang.

Sebenarnya kalau kita perhatikan, hukum qunut pada shalat shubuh sangat kontroversial, lantaran perbedaan pendapat di kalangan para ulama sangat besar. Pendapat para ulama tentang hukum qunut pada shalat shubuh ini berkembang menjadi dua pendapat utama, yaitu kalangan yang menolak qunut shubuh dan kalangan yang mendukung.

Dan ternyata masing-masing pihak itu masih terbelah lagi, kalangan yang menentang qunut shubuh ada yang membid'ahkan tapi ada juga yang sekedar memakruhkan. Dan kalangan yang mendukung qunut shubuh ada yang berpendapat hukumnya mustahab, sunnah muakkadah bahkan mewajibkan.
A. Ulama Yang Menolak

Para ulama yang mengatakan bahwa qunut pada shalat shubuh tidak disyariatkan antara lain adalah mazhab Al-Hanafiyah, Al-Hanabilah dan Ats-Tsauri.[1] Termasuk yang berpendapat sama adalah dari kalangan shahabat di antaranya adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar dan Abu Ad-Darda' radhiyallahuanhum.

Kelompok yang menolak qunut shubuh. Terdiri dari dua pendapat, yaitu bid'ah dan makruh.
1. Bid'ah

Yang mengatakan bahwa qunut pada shalat shubuh adalah mazhab Al-Hanafiyah. Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah tegas mengatakan bahwa qunut pada shalat shubuh itu hukumnya bid'ah.[2]
2. Makruh

Pendapat yang lain adalah mazhab Al-Hanabilah. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah tidak membid'ahkan qunut shubuh namun beliau berpendapat hukumnya makruh.[3]
3. Dalil

Baik yang berpendapat bid'ah atau makruh, keduanya sama-sama mendasarkan pendapat mereka pada argumen bahwa qunut shalat shubuh itu pernah disyariatkan, namun kemudian dinasakh atau dihapuskan.

Di antara dalil nash yang menyebutkan hal itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ حَدَّثَهُ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ قَنَتَ شَهْرًا فِي صَلاةِ الصُّبْحِ

Dari Anas bin Malik diceritakan kepadanya bahwa Nabiyullah SAW melakukan doa qunut pada shalat shubuh selama sebulan. (HR. Al-Bukhari)

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ

Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan doa qunut mendoakan kebinasaan penduduk suatu dusun orang Arab selama sebulan lalu meninggalkannya (HR. Muslim)

Selain itu juga hadits lain yang menguatkan tentang beberapa shahabat utama seperti Abu Bakar, Utsman dan Alibin Abi Thalib radhiyallahuanhum yang tidak melakukan doa qunut pada shalat shubuh.

عَنْ أَبِي مَالِكٍ سَعْدِ بْنِ طَارِقٍ الأْشْجَعِيِّ قَال : قُلْتُ لأِبِي : يَا أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُول اللَّهِ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ هَاهُنَا بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ ؟ قَال : أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ . وَفِي لَفْظٍ : يَا بُنَيَّ إِنَّهَا بِدْعَةٌ

Dari Abi Malik Saad bin Thariq Al-Asyja'ie berkata,"Aku tanya kepada Ayahku : Wahai Ayahanda, Anda pernah shalat di belakang Rasulullah SAW, Abu Bakar, Utsman dan Ali disini di Kufah, selama lima tahun, apakah mereka membaca doa qunut?". Ayahku menjawab,"Wahai anakku, muhdats (hal baru yang diada-adakan)". Dalam lain riwayat : wahai anakku, qunut itu bid'ah". (HR. At-Tirmizy dan An-Nasa'i)

Dari hadits-hadits di atas, para ulama di dalam pendapat ini mengatakan bahwa pensyariatan qunut pada shalat shubuh pernah ada namun hanya berlaku selama sebulan saja, lantas kemudian dinasakh (dihapus).
B. Ulama Yang Mendukung

Kelompok kedua berpendapat bahwa qunut shubuh itu disyariatkan dan dikerjakan oleh Rasulullah SAW semasa hidup beliau. Dan tidak terjadi nasakh atau penghapusan atas pensyariatan qunut shalat shubuh.

Kelompok ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu mereka yang mengatakan hukumnya mustahab, sunnah muakkadah dan wajib.
1. Mustahab

Pendapat bahwa qunut pada shalat shubuh itu hukumnya mustahab (dicintai) dan fadhilah (diutamakan) difatwakan oleh mazhab Al-Malikiyah dalam qaul yang masyhur.[4]
2. Sunnah Muakkadah

Sedangkan mazhab Asy-Syafi'iyah menegaskan bahwa pendapat mereka bahwa qunut pada shalat shubuh ini hukumnya sunnah muakkadah.[5]
3. Wajib

Yang berpendapat bahwa melafadzkan doa qunut pada shalat shubuh hukumnya wajib adalah Ali bin Ziyad. Sehingga dalam pandangannya yang menyendiri itu, orang yang pada waktu shalat shubuh tidak membaca doa qunut, maka shalatnya tidak sah alias batal. [6]

Dalil yang mendasari tentunya sama dengan dua madzhab sebelumnya, bedanya kalau mazhab Al-Malikiyah menyimpulkan hukumnya mustahab, mazhab Asy-Syafi'iyah menyimpulkan hukumnya sunnah muakkadah, maka Ali bin Ziyad menyimpulkan hukumnya wajib.

Namun pendapat terkhir ini nampaknya bukan pendapat yang muktamad, tidak mewakili mayoritas ulama.
4. Dalil

Dalil-dalil yang digunakan oleh kelompok ini cenderung sama, namun mereka berbeda dalam kesimpulan akhirnya.

Dasar pendapat mereka adalah bahwa Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan qunut pada shalat shubuh sebagaimana yang diklaim pendapat sebelumnya. Mereka mempunyai dasar hadits yang menegaskan bahwa Rasulullah SAW melakukan doa qunut pada shalat shubuh hingga akhir hayat beliau.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad Imam Ahmad, jilid 2 hal. 215 menuliskan hadits berikut ini :

مَا زَال رَسُول اللَّهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

Rasulullah SAW tetap melakukan qunut pada shalat fajr (shubuh) hingga beliau meninggal dunia. (HR. Ahmad).

عَنْ أنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَهَ فَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتىَّ فَارَقَ الدُّنْيَا

Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW melakukan doa qunut selama sebulan mendoakan keburukan untuk mereka, kemudian meninggalkannya. Sedangkan pada waktu shubuh, beliau tetap melakukan doa qunut hingga meninggal dunia. (HR. Al-Baihaqi)

Hadits diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Baihaqi, dari Muhammad bin Abdullah Al-Hafidz, dari Bakr bin Muhammad As-Shairafi, dari Ahmad bin Muhammad bin Isa, dari Abu Na'im, dari Abu Ja'far Ar-Razi, dari Rabi' bin Anas, dari Anas, dari Rasulullah SAW.

Sedangkan derajat hadits ini dinyatakan shahih menurut beberapa ulama hadits, di antaranya :

Al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Balkhi bahwa sanad ini shahih dan para rawinya tsiqah.
Al-Hakim dalam kitab Al-Arbainnya berkata bahwa hadits ini shahih.
Diriwayatkan juga oleh Ad-Daruquthni dengan sanad yang shahih. [7]

Meski ada juga yang mendhaifkan hadits ini dengan alasan adanya Abu Ja'far Ar-Razi.Ibnul Jauzi mendhaifkan hadits ini. [8] Namun Al-Mulaqqan mengatakan bahwa pendhaifan ini tidak diterima, karena kesendirian Ibnul Jauzi.[9] Al-Albani juga mendhaifkan hadits ini munkar. dan mengatakannya sebagai hadits munkar.[10]

Di dalam hadits Al-Baihaqi ini lebih jelas lagi disebutkan perbedaan antara doa qunut dan doa keburukan kepada suatu kaum. Jelas sekali bahwa yang dimaksud bahwa Rasulullah SAW melakukannya selama sebulan lantas meninggalkannya itu bukan qunutnya, melainkan doa keburukan atas suatu kaum.

Kesimpulannya, doa qunut tetap dilakukan hingga Rasulullah SAW meninggal dunia, dan yang beliau tinggalkan hanyalah doa keburukan saja.[11]
Kurang lebih itulah jawaban para ulama di dalam mazhab Asy-syafi'iyah, yaitu bahwa hadits tentang qunut shubuhnya Rasulullah SAW adalah hadits yang shahih. Sanadnya tersambung sampai kepada Rasulullah SAW dan perawinya adalah orang-orang yang tsiqah. Maka kesimpulan mazhab itu, karena Rasulullah SAW 100% dipastikan menjalankan qunut shubuh hingga akhir hayat beliau berdasarkan hadits shahih, maka kalau tidak kita kerjakan justru menyalahi sifat shalat Rasulullah SAW sendiri.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc., MA

[1] Ibun Qudamah, Al-Mughni jilid 2 hal. 585, Al-Imam An-Nawawi, Raudhatut-Thalibin, jilid 1 hal. 254, Kasysyaf Al-Qina jilid 1 hal. 493.

[2] Majma' Al-Anhar jilid 2 hal. 129

[3] Syarah Muntaha Al-Iradat jilid 1 hal. 228, Kasysyaf Al-Qina jilid 1 hal. 493

[4] Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 66, Mawahibul Jalil jilid 1 hal. 539

[5] Al-Imam An-Nawawi, Al-Adzkar hal. 86

[6] Hasyiyatu Al-Banani 'ala Az-Zarqani jilid 1 hal. 212

[7] Khulashotul Ahkam, An-Nawawi, jilid 1 hal. 450

[8] Khulashah Al-Badru Al-Munir, jilid 1 hal. 127

[9] Al-'Ilal Al-Mutanahiyah, jilid 1 hal. 444

[10] Silsilah Dhaifah, jilid 12 hal. 148

[11] Al-Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, jilid 2 hal. 201

Tidak ada komentar: