Minggu, 29 Januari 2017

Kantong Bocor!!


Imam mesjidil haram almakki dalam khutbahnya mengatakan:

إحذروا الكيس المثقوب

Hati-hati dengan kantong yg bocor

" تتوضأ أحسن وضوء " لكــن. .. تسرف في الماء' كيس مثقْوب

Engkau telah berwudhu dgn sebaik2 wudhu akan tetapi engkau boros memakai air, (itu sama dengan)
kantong bocor

" تتصدق عَلى الفقراء بمبلغ ثم .. تذلهم وتضايقهم كيس مثقْوب.

Engkau bersedekah kepada fakir miskin kemudian, engkau menghina dan menyulitkan mereka, (itu seperti)
kantong bocor

تقوم الليل وتصوم النهار وتطيع ربك" لكــن. .. قاطع الرحم كيس مثقْوب

Engkau sholat malam hari, puasa di siang hari,  dan mentaati tuhanmu,  tapi engkau memutuskan (tali) silaturrahmi, (jelas  adalah)
kantong bocor

تصوم وتصبر عَلى الجوع و العطش" لكـن .. تسب وتشتم وتلعن كيس مثقْوب

Engkau sabar dengan haus dan lapar,  tapi engkau menghina dan mencaci, (sama dengan)
kantong bocor

تلبسين الطرحه والعباية فوق الملابس "لكـن .. العطر فواح كيس مثقْوب

Engkau memakai baju kerudung dan kebaya,  tapi minyak Wangi menyengat, (itu)
kantong bocor

تكرم ضيفك وتحسن إليه لكـن .. بعد خروجه تغتابه وتخرج مساوئه كيس مثقْوب

Engkau memuliakan tamumu dan berbuat baik kepadanya,  tapi setelah dia pergi engkau menggunjingkanya, (sungguh itu)
kantong bocor

أخيرا ً لا تجمعوا حسناتكم في كيس مثقْوب . تجمعوها بصعوبة من جهة .. ثم تسقط بسهولة من جهه أخرى..
يا رب اسألك لي ولأحبتي الهداية والغفران.

Pada akhirnya engkau hanya mengumpulkan kebaikanmu dalam kantong bocor, satu sisi engkau mengumpulkan dengan susah payah kemudian engkau menjatuhkannya dg mudah di sisi lain.
Ya Rabb, kami mohon hidayah dan ampunan atas kami dan orang-orang yg kami cintai

عجائب الشعب العربي:
Keganjilan-keganjilan orang-orang Arab (secara khusus dan kaum muslimin umumnya)

1- لايستطيع السفر للحج لأن تكلفة الحج مرتفعه .. لكن يستطيع السفر رغبةً في تغيير الجو !
 ألا إن سلعة الله غالية

1. Tidak mampu pergi haji karna biayanya besar,  akan tetapi sanggup pergi wisata mengganti suasana,
bukankah perdagangan Allah itu mahal

2- لايستطيع شراء الأضحية لغلاء السعر لكن يستطيع شراء آيفون لمواكبة الموضة.
 ألا إن سلعة اللَّـه غالية

2. Tidak sanggup membeli hewan qurban karna harganya yg mahal,  tapi sanggup membeli iPhone sekedar ganti model.
bukankah perdagangan Allah itu mahal

3- يستطيع قراءة محادثات تصل إلى ١٠٠ محادثه في اليوم ..
ولا يستطيع قراءة ١٠ آيات من القرآن بحجة ليس لديه وقت لقراءة القرآن
ألا إن سلعة الله غالية

Sanggup membaca chatingan hingga seratus percakapan tiap hari,  namun tidak sanggup membaca 10 ayat alquran  dengan dalih tiada waktu yg cukup untuk membaca.
bukankah perdagangan Allah itu mahal

قليل من سيرسلها لأنه يشعر بالحرج .
Sedikit yg mau menyebarkannya/ men share karena merasa berat..

تخيل ان الله يراك وانت تنشرها لاجله.
Angankan di benakmu bahwa Allah selalu melihatmu.. Dan engkau menyebarkannya karenaNya..

 اذا اعجبتك الفكرة ..  فانشرها .
وإذا لم تعجبك .. فمر كأنك لم ترى شيئا.
Jika engkau terpanggil sebab tulisan ini maka sebarkanlah.. Namun jika tidak maka anggap engkau tidak pernah lihat..

يارب من يرسلها ترزقه من حيث لايحتسب

Ya Robb... Siapa yg mau menshare tulisan ini berilah rizki dari arah yg tidak disangka-sangka..Aamiin...
Readmore »»

USTADZ SUNNAH


@salimafillah

Ada istilah yang baru-baru ini membuat dahi berkerenyit, ketika sebagian penuntut ilmu membuat kategorisasi adanya "Ustadz Sunnah" dan "Kajian Sunnah". Saya berfikir, jadi yang selain itu, ustadz apa dan kajian apa?

Dua kemungkinan. Kalau "sunnah" di situ kebalikan dari "bid'ah", maka berarti ada ustadz bid'ah dan kajian bid'ah. Atau kalau "sunnah" di situ kebalikan dari "makruhah", berarti ada ustadz makruh dan kajian makruh.

Betapa tak nyaman bagi yang terkena gelaran.

Tidak, saya tak hendak menyalahkan pembuat istilah. Mereka yang bersemangat menuntut ilmu adalah orang-orang yang dimudahkan jalannya ke surga. Betapa saya berharap menjadi bagian dari mereka, walau mungkin hanya senilai anjing bagi Ashhabul Kahfi atau bahkan debu yang menempel di kaki.

Tapi bersama itu, mohon izin saya ceritakan ulang kisah berikut ini.

“Suatu kali”, demikian dihikayatkan Imam Tajuddin As Subki dalam Thabaqatusy Syafi’iyyah Al Kubra, “Seorang perempuan mendatangi majlis ilmu yang dihadiri oleh para Imam ahli hadits. Di antara mereka terdapatlah Imam Yahya ibn Ma'in, Imam Abu Khaitsamah, Khalaf ibn Salim, dan banyak lagi yang lain. Mereka saling menyebutkan hadits, mentartibkan sanad-sanadnya, dan membilang keragaman matannya.”

Ketika mereka sedang saling berbagi hadits, tetiba perempuan itu menyela. “Wahai para berilmu”, ujarnya, “Aku adalah seorang wanita yang bekerja sebagai tukang memandikan jenazah. Bagaimanakah hukumnya untukku jika harus memandikan jenazah ketika aku sedang dalam keadaan haidh?”

Semua ‘ulama besar yang hadir waktu itu tidak ada yang mampu menjawab. Mereka jadi saling berpandangan satu sama lain. Dalam benak mereka, tak satupun hadits yang dapat digunakan langsung untuk menjawab persoalan itu.

Ketika majelis itu terjeda hening karena tetap tak ada jawaban yang dinantikan, tetiba masuklah Imam Abu Tsaur, murid Imam Asy Syafi'i.  Di antara ‘ulama yang ada di sana pun lalu menunjuk ke arah beliau sembari berkata kepada tukang memandikan jenazah tersebut, "Tanyakanlah kepada orang yang baru datang itu, sebab dia adalah murid dari pemilik akal separuh penduduk dunia."

Perempuan itupun menoleh dan mendekat kepada sang Imam. Ditanyakannyalah hal serupa yang sungguh merisaukan dirinya, “Bolehkah wanita haidh memandikan jenazah?”

Imam Abu Tsaur tersenyum. “Tentu saja boleh, tidak ada masalah”, ujarnya. “Kamu boleh memandikan jenazah itu dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh ‘Utsman bin Al Ahnaf, dari Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr, dari ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘Anha, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Adapun haidhnya dirimu bukanlah berada di tanganmu.” Dan juga berdasarkan perkataan Ibunda kita ‘Aisyah, "Aku pernah menyirami, membasuh, dan membersihkan kepala Rasulullah dengan air lalu menyela-nyelai rambut beliau, menyisir, serta meminyakinya. Padahal waktu itu aku dalam keadaan haidh.”

“Apabila kepala orang hidup saja, dan bahkan adalah Nabi”, simpul Imam Abu Tsaur, “Boleh disiram, dibasuh, dan dibersihkan oleh wanita yang sedang haidh, apalagi orang yang sudah mati. Tentu kebolehannya lebih jelas lagi.”

Mendengar jawaban yang sangat jeli itu, serta-merta para ahli hadits yang hadir waktu tersebut berebutan membacakan hadits yang telah disebutkan oleh Abu Tsaur dari segala thuruq atau jalur periwayatan yang ada pada mereka. Salah satunya berkata, “Telah menceritakan si Fulan kepadaku..” Yang lain menimpali, “Kami mengenalnya melalui riwayat si Fulan..” Sampai akhirnya mereka membahas derajat berbagai macam riwayat hadits tersebut.

Melihat hal ini, si tukang memandikan jenazah berkata heran, "Aduhai.. Ke mana saja kalian sebelum ini?"

Kisah ini sama sekali bukan dalam rangka merendahkan kedudukan para Imam Ahlil Hadits yang mulia. Tidak. Ini hanya, gambaran penting atas apa yang disampaikan Al Imam Asy Syafi'i. Beliau menyatakan bahwa Ahli Fiqih bagaikan dokter yang bukan hanya tahu tentang khazanah obat, melainkan juga kondisi pasiennya. Sementara itu para Ahli Hadits adalah apotekernya.

Sudah seharusnya mereka bekerjasama, bukan saling menjauh dan saling mengatakan bahwa yang satu tak paham obat, yang lain tak mengerti pasien. Atau mengatakan bahwa Ahli Fiqih banyak membuat bid'ah, padahal sebenarnya pendapat mereka berdasar sumber yang shahih tapi disesuaikan dosisnya dengan kondisi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Atau mengatakan bahwa Ahli Hadits menyusahkan orang, padahal mereka memang hanya memberikan obat dengan dosis yang belum ditulis.

Kalau yang dimaksud Ustadz Sunnah dan Kajian Sunnah adalah para Ahli Hadits, pergi ke Apoteker memang menjadikan kita memperoleh obat. Jawabannya terang dan pasti; sakit A maka obatnya X.

Tapi cobalah sesekali datang ke majelis Ahli Fiqih yang mungkin tidak tampak sebagai Ustadz Sunnah dan Kajian Sunnah; barangkali di sana kita akan berjumpa dokter yang akan memeriksa kesesuaian kondisi badan kita dengan obat yang ada.

Kadang memang majelis seperti ini tidak langsung tegas memberi jawab obatnya apa. Telaahnya sering agak memutar, rumusannya sering tak pasti, tapi ia memberi kita wawasan untuk berpikir serta memutuskan pilihan sendiri. Demikianlah terapi yang mendewasakan kita dalam beragama.
Readmore »»

Belajar Fiqih, Kalem Aja, Bro ...


Oleh : Ust Ahmad Zarkasyi, Lc

Dalam banyak literasi fiqih, fuqaha sering sekali menyebutkan kaidah yang memang sudah disepakati dalam hal perbedaan pendapat di kalangan madzhab, yakni kaidah:
لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْه
ِ"Tidak boleh mengingkari perkara yang (keharamannya) masih diperdebatkan, tapi (harus) mengingkari perkara yang (keharamannya)sudah disepakati"[1]

Ini dijelaskan oleh banyak fuqaha, di antaranya ada Ibnu Nujaim al-hanafi dan juga Imam Al-Suyuthi dalam kitabnya yang memang ditulis untuk membahas kaidah-kaidah fiqih, Al-Asybah wa Al-Nazhoir, maksudnya bahwa kita tidak bisa seenaknya menyalahkan orang lain yang melakukan sebuah perkara yang haramnya masih diperdebatkan.

Mungkin saja, ia berpegang dengan pendapat yang tidak mengharamkan itu, berbeda dengan apa yang kita pegang.Akan tetapi jika keharaman sesuatu itu sudah disepakati, seperti haramnya zina, mencuri, korupsi, riba, meninggalkan sholat, dan sejenisnya, maka tidak ada kata kompromi lagi. Kalau dia sudah disepakati haram, sudah tidak ada lagi toleransi untuk mereka yang mau melakukannya.

Dengan bahasa yang lebih dekat seperti ini:"kalo masalahnya masih diperselisihkan, masih mukhtalaf fiih, kaga usah kenceng kenceng diskusinya, kaga usah keras keras debatnya, percuma, buang energi aja akhirnya. Kalem aja, nyantai aja, woles aja brai. Karena masalah yang masuk dalam kategori mukhtalaf fiih, mao ditarik kemana juga ngga bakal kemana-mana. Ngga bakal ada yang menang. Yang mao ngambil pendapat A yaa monggo, yang mao ngambil pendapat B juga monggo. Asal jangan pada ribut. Ulama dulu juga berbeda, tapi pada kalem aja tuh.

"Di sini ulama fiqih sangat memperhatikan keberlangsungan hidup harmonis antar sesama, dengan tidak menyalahkan siapa yang berbeda dengan apa yang kita yakini, selama memang apayang diyakininya itu bersandar kepada pendapat ulama lain yang juga muktamad.

Sahabat Abdullah bin Mas'ud 
Sahabat Abdullah bin Mas'ud dengan tegas menyatakan bahwa seorang musafir, afdholnya ialah sholat qashar, tidak tamm(sempurna), jika ada musafir yang sholatnya sempurna 4 rokaat, beliau mengatakan itu adalah mukholafatul-aula [مخالفة الأولى](menyelisih pendapat yang utama). Akan tetapi dengan rela ia meninggalkan pendapatnya dan ikut sholat sempurna 4 rokaat di belakang Utsman bin Affan yang memandang berbeda dengannya dalam masalah ini. lalu Ibnu Mas'ud ditanya:"kau mengkritik Utsman, tapi kenapa kau mnegikutinya sholat 4 rokaat?".Ibn Mas'ud menjawab:[الخلاف شر] "berbeda itu buruk!".[2]

Karena tahu, bahwa jika ia menonjolkan perbedaan itu depan umum yang tidak semuanya paham masalah tersebut, Ibnu Mas'ud memilih untuk tetap mengikuti Utsman walaupun itu menyelisih pandangannya sendiri.

Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi'i,
Kita juga tahu secara detail bagaimana Imam Syafi'i meninggalkan qunut subuh ketika menjadi Imam untuk para pengikut Imam Abu Hanifah yang tidak melihat adanya kesunahan qunut dalam sholat subuh, di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Syafi'i-lah pelopor qunut subuh dan menjadikannya sunnah muakkad dalam sholat subuh yang jika meninggalkannya, maka sunnah diganti dengan sujud sahwi. Tapi beliau rela meninggalkan itu, karena tahu dimana ia saat itu.

Imam Ahmad bin Hanbal
Kita juga tahu betul bahwa Imam Ahmad bin Hanbal punya pendapat yang mengatakan bahwaorang mimisan, yang keluar darah dari hidungnyaitu batal wudhunya, sama seperti orang yang berbekam.Akan tetapi ketika ia ditanya: "bagaimana jika imam yang sedang mengimami dan anda dalam barisan makmum, lalu ia keluar darah (luka) dan tidak berwudhu lagi, apakah anda tetap sholat di belakangnya?", Imam Ahmad menjawab..
:كَيْفَ لَا أُصَلِّي خَلْفَ الإِمَامِ مَالِك وَسَعِيْدِ بْنِ اْلمُسَيِّبِ
"bagaimana mungkin aku tidak mau sholat di belakang Imam Malik dan Sa'id bin Al-musayyib?"[3]

Indikasinya bahwa Imam Malik dan Imam Sa'id bin Al-Musayyib berbeda pandangan dengan Imam Ahmad dalam Masalah orang yang keluar darah dari tubuh, apakah batal wudhu atau tidak? tapi Imam Ahmad tidak menyalahkan mereka danjustru tetap mengikuti sholat di belakangnya. Hebat bukan?

Imam al-Sudais di Indonesia
Akhir Novermber 2014 kemarin, Imam Abdurrahman al-Sudais diberi kehormatan oleh imam besar masjid Istiqlal untuk menjadi Imam shalat jumat bagi warga Indonesia di masjid tersebut. Karena tahu bahwa orang Indonesia itu kebanyakan al-Syafi'iyyah, beliau rela melepas baju Hanbaliy-nya dengan mengeraskan bacaan"bismillah" ketika memulai al-fatihah.

Padahal itu tidak pernah beliau lakukan selama menjadi Imam masjidil-Haram, karena memang dalam madzhab Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan "bismillah" itu dibaca sir (lirih) atau tidak dikeraskan, itulah pendapat madzhab. Akan tetapi beliau rela mengeraskan bacaan bismillah-nya, karena beliau mengerti dan faham bagaimana bersikap dalam perbedaan yang non-prinsipil ini.

Nasehat Imam Ibnu Taimiyyah Imam ibnu Taimiyah rahimahullah terekam dalam majmu; al-Fatawa;
:فَمَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ الشَّافِعِيِّ لَمْ يُنْكِرْ عَلَى مَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ مَالِكٍ وَمَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ أَحْمَدلَمْ يُنْكِرْ عَلَى مَنْ تَرَجَّحَ عِنْدَهُ تَقْلِيدُ الشَّافِعِيِّ وَنَحْوُ ذَلِك
َSiapa yang merasa bahwa mengikuti syafi'i itu lebih baik, maka ia tidak boleh menginkari orang yang mengikuti Malik. Yang lebih memilih mengikuti Ahmad tidak boleh menginkari orang yang mengikuti syafi'i dan begitu juga seterusnya.

Belajar Fiqih, Harus Tahu Konsekuensinya
Perbedaan Dalam litelatur fiqih, kita pasti akan mendapatkan perbedaan-perbedaan (Ikhtilaf) pendapat di kalangan ulama, baik itu lintas madzhab atau juga dalam madzhab itu sendiri.Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam masalah fiqih yang memang tempatnya ulama berijtihad.

Konsekuensi yang harus muncul ketika adanya ijtihad ialah adanya perbedaan itu sendiri. Jadi memang perbedaan dalam masalah fiqih ialah sesuatu yang ada dan bukan diada-adakan. Jadi sebelum lebih jauh mendalami fiqih, seorang harus siap menghadapi perbedaan itu dan bersikap bijak dalam perbedaan itu.

Imam Syathibi dalam kitabnyaAl-Muwafaqat, meriwayatkan qoul Imam Qatadah yang mana qoulini sangat masyhur sekali di kalangan para fuqaha dan pembelajar fiqih:
مَنْ لَمْ يَعْرِفْ الِاخْتِلَافَ لَمْ يشمَّ أنفُه الْفِقْه
َ"Siapa yang tidak tahu (Tidak mengakui) Ikhtilaf, ia sama sekali tidak bisa mencium Fiqih"[4]

Keras Dalam Masalah Yang Disepakati

Akan tetapi, kalau masalahnya sudah disepakati oleh ulama sejagad dan tidak ada lagi yang menginkari, maka di situ layak keraskan otot, tegangkan otak untuk merealisasikan itu. Islam menuntut pemeluknya untuk hidup sehat, Islam menntut umatnya untuk hidup bersih, Islam menuntut umatnya untuk bias mandiri; mandiri ekonomi, mandiri mental dst. Islam menuntut umatnya untuk berbuat baik kepada siapapun yang masih berstatus manusia, selama Ia tidak memerangi. Ini yang disepakati oleh ulama sejagad, maka dalam hal-hal ini, layak dan legal kita keraskan otot dan otak untuk mengajak keluarga, sertaorang sekitar untuk hidup sehat, hidup bersih, hidup mandiri, dan hidup damai, dengan siapapun itu.Wallahu a'lam

[1]Al-Asybah wa Al-Nazhoir li Al-Suyuthi 158
[2]Fathul-Baari 2/564
[3]Abad Al-Ikhtilaf fi Al-Islam 117
[4]Al-Muwafaqat 5/122
Readmore »»

Sabtu, 28 Januari 2017

Ittijah Intiqa-iy (Trend Memilih-Milih)






By. ust Musyaffa Lc, MA



مِمَّا قَالَهُ فَضِيْلَةُ الدُّكْتُور مُحَمَّد رَاتِب النَّابْلُسِيّ
Diantara “wejangan” yang mulia DR. Muhammad Ratib An-Nablusi adalah
خُطُوْرَةُ الاِتِّجَاهِ اَلاِنْتِقَائِيِّ
Bahayanya trend pilih-pilih

أَخْطَرُ اِتِّجَاهٍ فِي الْإِسْلَاِم أَنْ نَنْتَقِيَ مِنْهُ مَا يُعْجِبُنَا، وَأَنْ نَدَعَ مِنْهُ مَا لَا يُعْجِبُنَا،
Trend paling berbahaya dalam ber-Islam adalah trend yang mengajak kita untuk memilih-milih bagian dari agama yang cocok dengan selera kita serta meninggalkan bagian-bagian dari agama yang kita tidak ada selera terhadapnya.

هَذَا الاِتِّجَاهُ اَلاِنْتِقَائِيُّ خَطِيْرٌ جِدًّا، لِأَنَّ هَذَا الدِّيْنَ كُلٌّ لَا يَتَجَزَّأُ، وَهُوَ مِنْ عِنْدِ الْخَبِيْرِ، مِنْ عِنْدِ الْعَلِيْمِ، مِنْ عِنْدِ الَّذِيْ يَعْلَمُ وَحْدَهُ أَسْبَابَ سَلَامَتِنَا وَسَعَادَتِنَا،
Trend pilih-pilih ini sangat berbahaya sekali, sebab agama ini (Islam) adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebab semuanya datang dari Allah Dzat yang Maha Mengetahui mana yang membawa maslahat dan mana yang mendatangkan madharat, Dzat yang Maha Berilmu. Islam ini adalah agama yang datang dari satu-satunya Dzat yang mengetahui sebab-sebab keselamatan dan kebahagiaan kita.

فَإِذَا أَخَذْنَا مَنْهَجَهُ، وَاخْتَرْنَا مِنْهُ مَا يُعْجِبُنَا، وَتَرَكْنَا مَا لَا يُعْجِبُنَا لَنْ نَسْتَطِيْعَ أَنْ نَقْطِفَ مِنْ هَذَا الدِّيْنِ شَيْئًا.
Oleh karena itu, jika kita mengambil manhaj Islam dengan cara mengambil bagian-bagian yang sesuai dengan selera kita dan meninggalkan bagian-bagian yang tidak sesuai dengan selera kita, maka [dipastikan] kita tidak akan memetik buah manfaat apapun dari agama ini.
Readmore »»

Prioritas Amal, Antara Jihad Qital dan Ibadah


Suatu hari Imam Abdullah bin Mubarak Rahimahullah seorang abid, alim, wara', faqih plus mujahid "menyindir"-melalui syair,  sahabatnya Imam Fudhail bin 'Iyadh Rahimahullah seorang abid,  alim, wara', faqih yang hanya fokus utk beribadah,  dan tidak ikut berjihad..

ياعابدَ الحرمينِ لوْ أبصرتنـاَ لَعَلِمتَ أنَّك فَي العِبَادَة ِ تَلْعَبُمنْ كانَ يخضبُ جيدهُ بدموعِه فَنُحورُنَا بِدِمَائنَـا تَتَخَضَّـبُأوْ كانَ يُتعبُ خيلهُ في باطـلِ فخيولُنا يومَ الصبيحة ِ تَتعـبُريحُ العَبِيرِ لَكُمْ وَنَحنُ عَبِيرُنَا رهجُ السنابِكِوالغبارُ الأطيبُولقدْ أتانَا مـنْ مقـالِ نَبينَـا قَولٌ صَحِيحٌ صَادِقٌ لا يَكْذِبُلا يَستَوي غُبَارُ خَيِل الله فِـي أنْفِ امرِىء وَدُخَانُ نَارٍ تَلْهَبُهَذَا كَتَابُ الله يَنْطِـق بَيْنَنَـا لَيْسَ الشَّهِيدُ بِمَيِّتٍ لاَ يَكْـذب

"ُWahai Abid Haramain jika kau perhatikan kami, Kau akan mengetahui sesungguhnya kau hanya bermain main dengan ibadah mu ...

Anda hanya mengalirkan air mata dipipinya, Maka leher leher kami pula mengalir darah....

Ataupun orang yang meletihkan kuda nya kepada kebatilan, Maka kuda kuda kami telah pun letih diwaktu pagi (dalam sengitnya perang)...

Bauan yang wangi bagi kalian, Namun wangian kami ialah kepulan debu yang diterbangkan kaki-kaki kuda...

Sesungguhnya telah datang kewajiban jihad kepada kami dari sabda nabi...

Perkataan yang betul benar dan tiada dusta..

Tidak sama antara debu kuda Allah pada hidung seseorang dengan asap api neraka yang menyala-nyalaInilah kitab Allah yang bertutur antara kita....

Bukannya dusta bila orang yang syahid itu tidak mati...

Syair di atas ditulis oleh Abdullah ibnu Al-Mubarak dalam suratnya, yang ditujukan kepada Fudlail bin 'Iyadl (seorang imam ahli zuhud, ahli ibadah dizamannya).

Bukan bertujuan untuk mencela atau pun menghina, tapi semata-mata mengingatkan untuk kepentingan FASTABIQUL KHAIRAAT.

Dan memang Fudlail sendiri juga mengakui apa yang telah ditulis Ibnu Mubarak adalah bukanlah salah adanya. Terbukti Fudlail langsung menitikkan air mata usai membacanya seraya berkata,"Engkau benar Ibnu Al-Mubarak, demi Allah, engkau benar."

Bahkan Al-Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah memberi kesaksian -seraya bersumpah dalam perkataannya-, “Demi pemilik Ka’bah, kedua mataku belum pernah melihat orang yang semisal dengan Ibnu al-Mubarak."

Ibrah:
Imam Abdullah bin Mubarak telah mengajarkan kita bhw prioritas amal tergantung kebutuhan dan waktunya..

Ketika waktu dan kebutuhan saat ini adalah berjihad, maka amalan lain mesti ditangguhkan dan diprioritaskan amalan jihad tsb.

Jikapun tidak mungkin utk ditangguhkan atau ditinggalkan maka dapat dilakukan pensiasatan/pengaturan/manajemen saja...

Bukan utk dikhawatirkan, apalagi ditakutkan hingga mesti ditolak  amalan jihad tsb.

Imam Abdullah bin Mubarak tidak pernah melarang shabatnya Imam Fudhail bin 'Iyadh utk beribadah..krn beliau sendiri dikenal sbg seorang 'Abid/Ahli Ibadah...Tapi bliau hanya mengingatkan sahabatnya utk ikut berjihad krn umat membutuhkan SDM berjihad saat itu.

Maka perhatikan dan manfaatkan momen amal prioritas yg sekarang atau akan dihadapi seoptimal mungkin.,.karena ia tidak akan lama dan akan berlalu..
Readmore »»

Kisah Burung KakaTua


oleh Tim Redaksi Tekad

كان هناك شيخ يعلم تلاميذه العقيدة
Ada seorang guru agama yg mengajarkan Aqidah kepada murid-muridnya..
يعلمهم لا إله إلا اللـه يشرحها لهم
Dia mengajarkan “La ilaaha illallah” kepada mereka & menjelaskan maknanya..
يربيهم عليها أسوة بما كان يفعل رسول الله صلى الله عليه وسلم
Mendidik mereka dengan keteladanan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam..
عندما كان يعلم أصحابه العقيدة ويغرسها في نفوسهم
Ketika mengajarkan aqidah, beliau berusaha menanamkanya kedalam jiwa murid-muridnya..
وكان الشيخ يحب تربية الطيور والقطط
Sang guru senang memelihara burung & kucing..
فأهداه أحد تلاميذه ببغاء
Lalu seorang muridnya-pun menghadiahkan padanya seekor burung kakatua..
ومع الأيام أحب الشيخ الببغاء
Makin hari sang guru pun senang dengan burung itu..
وكان يأخذه معه في دروسه
Dan sering membawanya pada saatmengajar murid-muridnya..
حتى تعلم الببغاء نطق كلمة لا إلهإلا الله
Sehingga kakatua itu belajar mengucapkan kalimat tauhid.. “La ilaha illallah”..
فكان ينطقها ليلا ونهارا
Burung kakatua itupun bisa mengucapkan (Laa Ilaaha Illallah) siang malam..
وفي مرة وجد التلاميذ شيخهم يبكي
Suatu ketika murid-murid mendapati sang guru tengah menangis..
وينتحب وعندما سألوه
Ketika ditanya, beliau menjelaskan dengan ter-bata2..
قال لهم هجم القط على الببغاء وقتله
Kucing telah menerkam kakatua & membunuhnya..
فقالوا له لهذا تبكي
Merekapun bertanya dengan heran:karna ini kah engkau menangis !!..
إن شئت أحضرنا لك غيره وأفضل منہ
Kalau anda menginginkan, kami bisa datangkan burung lain bahkan yg jauh lbh baik..
رد الشيخ وقال لا أبكي لهذا
Sang guru berkata: bukan karena itu aku menangis..
ولكن أبكاني أنه عندما هاجم القط الببغاء
Tetapi.. Yang membuat aku menangis adalah, ketika diserang kucing..
أخذ يصرخ ويصرخ إلي أن مات
Burung itu hanya teriak-terak saja sampai matinya..
مع أنه كان يكثر من قول لا إله إلا الله
Padahal dia sering sekali mengucapkan kalimat.. “Laa Ilaaha Illallah”..
إلا أنه عندما هاجمه القط نسيها
Tetapi ketika diterkam kucing, ia lupa kalimat itu..
ولم يقم إلا بالصراخ
Tidak mengucapkan apapun kecuali hanya teriakan & rintihan !!..
لأنه كان يقولها بلسانه
Karena waktu itu ia hanya mengucapkan “Laa Ilaaha Illallah” dengan lisannya saja..
فقط ولم يعلمها قلبه ولم يشعر بها
Sementara hatinya tidak memahami & tidak menghayati nya!!..
ثم قال الشيخ
Sang guru pun berkata..
أخاف أن نكون مثل هذا الببغاء
Aku khawatir kalau nanti kita seperti kakatua itu..
نعيش حياتنا نردد لا إله إلا الله
Saat kita hidup mengulang-ulang kalimat.. “Laa Ilaaha Illallah”..
بألسنتنا وعندما يحضرنا الموت ننساها
Dengan lisan kita, tapi ketika maut datang kita pun lupa..
ولا نتذكرها؛ لأن قلوبنا لم تعرفها
Tidak bisa mengingatnya, karena hati kita belum menghayatinya..
فأخذ الطلبة يبكون؛ خوفا من عدم الصدق في لا إله إلا اللـه
Kemudian para muridnya pun menangis, khawatir tdk jujur terhadap kalimat tauhid ini..
ونحن.. هل تعلمنا لا إله إلا الله بقلوبنا
 ?!Dan kita sendiri.. Apakah kita telah menanamkan kalimat “Laa Ilaaha Illallah” ini kedalam hati sanubari kita ?!..
يا الله بها ياالله بها يا كريم يا اللهيا الله بحسن الخاتمة
Readmore »»

Inilah Akhir Kehidupan Penguasa Muslim Yang Zalimi Ulama (Sejarah Islam)


Ngelmu.com - Ternyata sejarah memaparkan bagaimana penguasa yang muslim juga bisa bertindak zalim kepada para ulama.

Uraian ini diambil dari kultwit bertajuk "Gubernur" yang dirilis akun @salimfillah di tahun 2013. Isinya relevan untuk kita renungkan saat-saat ini. Silahkan disimak dan kita ambil hikmah dan ibrahnya (pelajaran)..

Gubernur

1) Ada zaman ketika Al Hajjaj ibn Yusuf yang ‘alim lagi faqih berkuasa & menindas di ‘Iraq hingga Hijjaz. Tapi nurani tak susah bersikap.

2) Al Hajjaj adalah “orang kuat”. JabatannyaGubernur; tapi para Penguasa Bani ‘Umayyah tak berani mengambil tindakan apapun terhadapnya.

3) Ditulis Ibn Al Atsir dalam Al Kamil; jumlahyang dibunuhnya mencapai 120.000 orang; belum termasuk 80.000 yang mati di pemenjaraannya.

4) Semua karena pemaksaannya agar masyarakat tunduk pada kuasa Daulah ‘Umayyah; tak boleh ada tanya, masukan, nasehat, kritik, & oposisi.

5) Korban keganasannya yang paling masyhur: ‘Abdullah ibn Az Zubair Radhiyallahu ‘Anhuma; dalam kisah dimanjaniqnya Ka’bah hingga lantak.

6) Kali ini mohon izin bercerita tentang Sa’idibn Jubair; si ‘alim murid kesayangan Ibn ‘Abbas yang menjadi penutup kejahatan Al Hajjaj.

7) Setelah beliau ditangkap, Al Hajjaj bertanya; “Siapa namamu?” Beliau menjawab; “Sa’id ibn Jubair (orang bahagia;putra orang jaya).”

8) “Tidak”, sergah Al Hajjaj, “Namamu Saqi ibn Kusair (orang celaka anak orang hancur)!” “Ibuku lebih tahu siapa namaku!”, timpal Sa’id.

9) Kemudian Al Hajjaj bertanya tentang Rasulullah ﷺ & Khulafaur Rasyidin. Dia berharap Sa’id menjelekkan ‘Ali, tapi beliau muliakan semua.

10) Ditanya tentang siapa Khalifah Bani ‘Umayyah yang terbaik; jawabnya; “Yang paling diridhai Rabbnya!” “Siapa itu?”, kejar Al Hajjaj.

11) “Ilmu tentang itu di sisi Allah”; jawab Sa’id mengutip Quran. “Kalau tentang aku?”, tanya Al Hajjaj. “Kau lebih tahu tentang dirimu.”

12) “Aku ingin tahu pendapatmu!”, desak Al Hajjaj. “Itu akan menyedihkanmu & mengusir kegembiraanmu”, tukas Sa’id. “Katakan!”, geramnya.

13) “Kau telah menyelisihi Kitabullah. Kau lakukan hal yang kauharap berwibawa karenanya; tapi ia menghinakan & menjatuhkanmu ke neraka!”

14) “Demi Allah aku akan membunuhmu!”, kata Al Hajjaj. “Dengan itu kauhancurkan duniaku & kuhancurkan akhiratmu”, sahut Sa’id tersenyum.

15) “Dengan cara apa kau mau dibunuh?”, sergah Al Hajjaj. “Pilihlah untukmu; dengan cara yang sama kelak Allah membalasmu!”, jawab Sa’id.

16) “Apa kau mau kuampuni?”, tanya Al Hajjaj. “Sesungguhnya ampunan hanya dari Allah; kau tak punya & tak berhak atasnya!”, jawab Sa’id.

17) “Prajurit! Siapkan pedang & alas!”, perintah Al Hajjaj. Maka Sa’id mensenyumkan tawa. “Apa yang membuatmu tertawa?”, tanya Al Hajjaj.

18) “Aku takjub atas kelancanganmu kepada Allah & santun-lembutnya Allah padamu”, kata Sa’id. “Prajurit, penggal dia!”, teriak Al Hajjaj.

19) Sa’id menghadap kiblat & membaca {QS6:79}: “Kuhadapkan wajahku pada Yang Mencipta langit & bumi..” “Palingkan dia!”, ujar Al Hajjaj.

20) Sa’id pun lalu membaca {QS2:115}: “Ke manapun kamu menghadap; di sanalah wajah Allah.” “Telungkupkan dia ke tanah!”, gusar Al Hajjaj.

21) Maka Sa’id kemudian membaca {QS20:55}: “Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu..”

22) “Sembelih dia”, kata Al Hajjaj. “Sungguh tak ada orang yang lebih kuat hafalan Qurannya dari dia!” Maka Sa’id berdoa terakhir kali..

23) “Ya Allah; jangan kuasakan dia atas seorangpun sesudah diriku!” Lalu beliau dibunuh. Lima belas hari kemudian, Al Hajjaj mulai demam.

24) Sakit itu mengantarnya pada kematian. Dia terlelap sesaat lalu bangun berulang kalidalam ketakutan; “Sa’id ibn Jubair mencekikku!”

25) Punggawanya mengadu pada Hasan Al Bashri, memohonnya mendoakan sang majikan. Al Hasan berkata, "Sudah kukatakan padanya, jangan menzhalimi para 'Ulama!"

26) Jelang sakaratul maut, doa-harapnya menakjubkan; “Ya Allah, orang-orang mengira Kau takkan mengampuniku. Sungguh buruk persangkaan mereka padaMu!”

27) Al Hajjaj mati bakda 40 hari; ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz & Hasan Al Bashri sujud syukur berulang kali. Kelak ‘Umar & beberapa ‘Alim lain bermimpi.

28) Bahwa Al Hajjaj dibunuh Allah sebanyakpembunuhan yang dia lakukan; kecuali atas Sa’id ibn Jubair; Allah membalasnya dengan 70 kali.

29) Benar; sungguh benar; “Hari keadilan bagi si zhalim; lebih berat daripada hari kezhaliman bagi mereka yang teraniaya.” Wallahu A’lam.

30) Islam adalah agama yang hendak menghapus kezhaliman; dari yang mengakukafir maupun yang mendaku muslim. Tiap sikap; dicatat Allah & Sejarah.

31) Ya Allah; tunjuki kami yang haq itu haq; karuniai kami keteguhan Sa’id ibn Jubair, juga sikap ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz & Hasan Al Bashri

32) Tunjukkan pada kami yang bathil itu bathil; seperti mereka lihat itu pada Al Hajjaj yang ‘alim tapi zhalim; juga pada sosok yang lebih tak samar lagi.
Readmore »»

Sabtu, 18 April 2015

Benarkah Al Ma’tsurat tidak boleh dibaca dan tidak layak diamalkan?

Oleh ust. Farid Nu'man, S.S
Benarkah Al Ma’tsurat tidak boleh dibaca dan tidak layak diamalkan? Kami mendengar disebuah stasiun radio –yakni Roja- seorang ustadz mengatakan demikian. Jika memang ada yang dhaif bisakah disebutkan contohnya? (dari beberapa ikhwah di berbagai forum dan pertemuan)

Jawaban:

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah wa ba’d:

Al Ma’tsurat adalah kitab kecil berupa kumpulan doa yang disusun oleh Al Imam Hasan Al Banna Rahimahullah yang berisi doa-doa yang berasal dari Al Quran dan As Sunnah. Boleh dikatakan, dalam era penerbitan modern, dibanding kitab sejenisnya, Al Ma’tsurat adalah kitab yang paling luas penyebarannya di dunia Islam dan paling banyak jumlah eksemplarnya dengan naik cetak berkali-kali.

Kitab ini, sebagaimana kitab-kitab lain secara umum, tentu tidaklah sempurna. Telah banyak pihak yang memberikan penjelasan, penelitian terhadap haditsnya, bahkan juga kritikan, hingga tahap celaan terhadapnya hingga ada yang mengatakan: tidak boleh dibaca, karena terdapat hadits yang dhaif dan palsu. Sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah Ta’ala, oleh karena itu mengharapkan selain diriNya adalah sempurna merupakan tindakan yang keliru dan menyalahi kodrat dan tabiat kehidupan.

Jauh sebelum Al Ma’tsurat, sudah ada kitab-kitab sejenis yang di susun para ulama; seperti Al Adzkar karya Imam An Nawawi dan Kalimatuth Thayyibah karya Imam Ibnu Taimiyah. Kedua kitab inilah yang menjadi rujukan utama Al Ustadz Hasan Al Banna dalam menyusun Al Ma’tsurat sebagaimana dikatakan oleh Al ‘Allamah Asy Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah Ta’ala. Oleh karenanya, menjadi aneh ketika Al Ma’tsurat dicela karena adanya riwayat yang dhaif, namun sumber pengambilannya tidak dicela. Kami pun tidak ingin ada manusia yang lancang mencela Al Adzkar dan Kalimatuth Thayyibah, itu bukan keinginan kita bersama, ini hanya untuk menunjukkan bahwa kedengkianlah yang membuat mereka bersikap tidak adil terhadap Al Ustadz Hasan Al Banna dan Al Ma’tsurat. Jika mereka mau adil, sadar, jujur, mereka pun tidak akan temukan kitab-kitab kumpulan doa yang disusun ulama masa lalu yang tanpa hadits-hadits dhaif (bahkan kitab tafsir, nasihat, fiqih dan kumpulan hadits pun memuat riwayat yang dhaif). Kritik dan nasihat tetaplah ada, tetapi demi ilmu, bukan untuk menjatuhkan kehormatan penulisnya dan memancing manusia untuk membencinya, serta membuang jauh karya-karyanya. Amat berbeda dengan pihak yang selalu mengkritik Al Ustadz Hasan Al Banna, dan apa-apa yang berasal darinya dan tentang dirinya. Allahul Musta’an!

Zaman ini, kumpulan doa yang disusun ulama masa kini, telah dibuat sebisa mungkin tanpa riwayat yang dhaif -walhamdulillah, seperti Hishnul Muslim yang disusun oleh ulama muda, Asy Syaikh Said bin Ali Wahf Al Qahthani Hafizhahullah, juga kumpulan doa karya ulama lainnya, termasuk oleh penulis-penulis lokal. Demikianlah zaman telah berubah …

Dalam Al Ma’tsurat ini, sebenarnya Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah memuat sangat banyak dan lengkap, tidak seperti yang beredar di masyarakat yang lebih dikenal dengan wazhifah sughra dan wazhifah kubra.

Di dalamnya beliau membuat lima pembahasan:

Qismul Awwal (bagian pertama), Al Ustadz Al Banna memberi judul Al Wazhiifah, yaitu berisi wirid pagi dan sore yang berasal dari Al Quran dan As Sunnah. Inilah yang umumnya beredar dan manusia mengenal dan menyebutnya dengan Al Ma’tsurat. Dan, ini pula yang menjadi pembahasan kami dalam buku ini.

Qismuts Tsaani (bagian kedua), berjudul Al Wirdul Qur’aniy (wirid Al Quran), yaitu berisi wirid-wirid berasal dari ayat-ayat pilihan dari Al Quran.

Qismuts Tsaalits (bagian ketiga), berjudul Ad’iyah Al Yaum wal Lailah (doa-doa sehari-hari siang dan malam), seperti doa bangun tidur, doa berpakaian, dan lainnya.

Qismur Raabi’, (bagian keempat) berjudul Al Ad’iyah Al Ma’tsurah fi Haalat Mukhtalifah (doa-doa ma’tsur pada berbagai keadaan).

Bagian kelima, adalah Wirdul Ikhwan (wirid Al Ikhwan), yaitu wirid-wirid ma’tsur yang anjurkan untuk dibaca oleh para aktifis Al Ikhwan Al Muslimun. Di dalamnya terdapat doa rabithah, dia bukan doa ma’tsur melainkan susunan Al Ustadz Hasan Al Banna sendiri, maka jangan sampai ada yang terkecoh.

Semua inilah Al Ma’tsurat itu. Cukup banyak dan panjang, dalam kitab aslinya –khususnya penerbit Maktabah At Taufiqiyah- ada pada hal. 371 – 413, telah memakan 42 halaman dari kitab Majmu’ah Rasail. Sedangkan Al Ma’tsurat yang biasa beredar dipasaran adalah hanya pada qismul awwal (bagian pertama) saja, yakni terdapat pada hal. 379-388 (hanya sembilan halaman, sudah mencakup wazhifah sughra dan kubra). Oleh karena itu menjadi sangat aneh jika hanya karena beberapa hadits yang dhaif pada qismul awwal (yakni bagian Al Wazhiifah), membuat bagian lainnya menjadi hina dan tidak berharga, serta dibuang jauh dari hak umat, sebagaimana yang dikehendaki sebagian orang yang dengki kepada Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah.

Ada pun susunan yang beliau buat, tidak berarti itu suatu yang baku, dan beliau pun tidak pernah mengatakan demikian. Siapa saja boleh membacanya dengan urutan yang tidak sama dengan Al Ma’tsurat. Hal ini perlu kami tekankan, agar tidak ada lagi tuduhan terhadap Al Ustadz Al Banna bahwa beliau sengaja membuat urutan wirid tersendiri, yang dengan itu jatuhlah vonis bid’ah terhadapnya.

Sedangkan, tentang derajat hadits yang menganjurkan wirid Al Quran dan juga beberapa dzikir dari hadits pada Al Ma’tsurat, memang ada yang dhaif, munkar, bahkan maudhu’ (palsu). Walau ada juga yang kedhaifannya masih diperselisihkan para pakar hadits. Namun, jumlahnya tidak banyak dan ulama sebelum Al Ustadz Hasan Al Banna pun ada yang melakukannya, dan kita menilainya sebagai kekhilafan yang manusiawi. Sungguh berlebihan jika ada yang menganggap bahwa adanya hadits-hadits dhaif tersebut adalah kesengajaan yang dibuat oleh penulisnya dengan niat buruk terhadap kemurnian agama. Haihaata haata …. (sungguh jauh sekali hal tersebut).

Ditambah lagi, sebagian besar ulama membolehkan menggunakan hadits dhaif untuk urusan fadha’ilul a’mal, dan urusan stimulus untuk membaca ini dan itu dari kalimat doa dan dzikir merupakan bagian dari fadha’ilul a’mal. Bahkan Imam An Nawawi mengklaim telah disepakati kebolehannya, dan kebolehan itu mesti dengan syarat-syarat. Ada pun yang benar adalah hal ini diperselisihkan, bukan kesepakatan. Hal ini telah kami bahas dalam tanya jawab di islamedia ini. Walau demikian, menggunakan riwayat yang shahih adalah lebih utama dan lebih selamat untuk diamalkan.

Berikut ini adalah fatwa yang kami ambil dari Fatawa Asy Syabkah Al Islamiyah, fatwa No. 23832, 8 Sya’ban 1423H:

Pertanyaan:

Apa hukum membaca Al Ma’tsurat-nya Asy Syahid Hasan Al Banna secara berjamaah dengan satu suara atau satu persatu? Jazakumullah khairan …

Fatwa:

Alhamdulillah Ash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi, amma ba’d:

Tidak apa-apa membaca kitab Al Ma’tsurat-nya Syaikh Hasan Al Banna dan lainnya yang termasuk kitab-kitab dzikir. Dan, kami telah menjelaskan dhawabith (rambu-rambu)-nya pada fatwa no. 8381. Di dalamnya disebutkan bahwa dzikir jama’i dengan satu suara termasuk bid’ah. Wallahu A’lam

Mufti: Markaz Fatwa (Pusat Fatwa), penanggung jawab: Dr. Abdullah Al Faqih

Wallahu A’lam

Beberapa Contoh Dzikir Dhaif dalam Al Ma’tsurat:

Sebagai amanah ilmiah, kami sampaikan beberapa contoh dzikir yang dhaif yang terdapat dalam Al Ma’tsurat.

1. Membaca surat At Taubah ayat 129

“Cukuplah Allah bagiku, tiada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung.” (QS. At Taubah: 129) (dibaca tujuh kali)

* * *

Tentang anjuran membaca ayat ini sebanyak tujuh kali pada pagi dan sore tidak memiliki dasar yang shahih.

Imam Ibnus Sunni meriwayatkan dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah:

Telah bercerita kepadaku Ahmad bin Sulaiman Al Jarami, bercerita kepada kami Ahmad bin ‘Abdurrazzaq, bercerita kepadaku kakekku ‘Abdurrazzaq bin Muslim Ad Dimasyqi dari Mudrik bin Sa’ad, dari Abu Ad Darda’ , dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa Beliau bersabda:

“Barangsiapa yang membaca pada setiap hari ketika pagi dan sore: (Hasbiyallah Laa Ilaha Illa huwa ‘alaihi tawakkaltu wa huwa Rabbul ‘Arsyil ‘Azhim) tujuh kali, maka Allah akan mencukupi apa yang diinginkan dari perkara dunia dan akhirat.”

Riwayat ini dhaif. Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah:

“Isnad ini marfu’, terdapat seorang dhaif yang menyelisihi orang-orang terpercaya, dia adalah Ahmad bin Abdurrazzaq.” (Syarh Sunan Abi Daud [577], Maktabah Misykah)

Oleh karena itu, Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini munkar. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 5287). Hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dhaif dan berlawanan dengan orang yang tsiqat (terpercaya), sebagaimana dikatakan dalam Nuhbatul Fikar.

Imam Abu Daud juga meriwayatkan dalam Sunannya secara mauquf, sebagai ucapan sahabat Nabi, yaitu Abu Darda’ Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

“Barangsiapa yang membaca ketika pagi dan sore: (Hasbiyallah Laa Ilaha Illa huwa ‘alaihi tawakkaltu wa huwa Rabbul ‘Arsyil ‘Azhim) tujuh kali, maka Allah akan mencukupi apa yang diinginkan, baik yang dia benarkan atau yang dia dustakan.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud No. 5081)

Namun Syaikh Al Albani telah meneliti riwayat ini sebagai riwayat maudhu’ (palsu). (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 5081)

Imam Ibnu ‘Asakir juga meriwayatkan dalam Tarikh Dimasyqi, dalam biografi Abdurrazzaq bin Umar, sebagai berikut:

Dari riwayat Abu Zur’ah Ad Dimasyqi, darinya, dari Abu Sa’ad Mudrik bin Abi Sa’ad Al Fazari, dari Yunus bin Maysarah bin Halis, dari Ummu Ad Darda’, aku mendegar Abu Ad Darda’ berkata: Tidaklah seorang hamba berkata: (Hasbiyallah Laa Ilaha Illa huwa ‘alaihi tawakkaltu wa huwa Rabbul ‘Arsyil ‘Azhim) tujuh kali, baik yang dia benarkan atau yang dia dustakan, maka Allah akan mencukupi apa yang diinginkan.” (Tarikh Dimasyqi, 10/291)

Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya terhadap surat At Taubah ayat 129, khususnya ketika membahas riwayat Ibnu ‘Asakir ini: “ini (hadits) munkar.” (Tafsir Al Quran Al ’Azhim, 4/244. Darut Thayyibah)

Kesimpulan, maka anjuran berdzikir dengan membaca surat At Taubah ayat 129 sebanyak tujuh kali setiap pagi dan sore, adalah sangat lemah. Wallahu A’lam

2. Membaca surat Al Isra’ ayat 110-111

“Katakanlah, ‘Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al Asmaaul Husna (nama-nama yang terbaik) dan jangan kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.’ Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempuyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan peng-agungan yang sebenar-benarnya’.” (QS. Al Isra’: 110-111)

* * *

Tentang bacaan ayat di atas, Imam Abu Ya’la meriwayatkan sebagai berikut:

Berkata kepada kami Bisyr bin Saihan Al Bashri, berkata kepada kami Harb bin Maimun, berkata kepada kami Musa bin ‘Ubaidah Az Zabadiy, dari Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhiy, dari Abu Hurairah, dia berkata: “Saya dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar, tangan saya di atas tangannya. Datanglah seorang laki-laki berpenampilan lusuh.” Beliau bersabda: “Hai fulan, apa yang membuatmu sampai seperti yang saya lihat?” Dia menjawab: “Penyakit dan keadaan sulit ya Rasulullah.” Beliau bersabda: “Maukah kamu saya ajarkan ucapan yang dapat menghilangkan sakit dan kesulitanmu?.” Dia menjawab: “Tidak, itu tidaklah menggembirakanku sampai aku menjadi syahid bersamamu pada perang Badar dan Uhud.” Abu Hurairah berkata: “Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tertawa.” Lalu beliau bersabda: “Apakah kamu tahu Ahli Badar dan Ahli Uhud, tidakkah kamu tahu orang yang faqir dan qana’ah (merasa puas)?” Lalu Abu Hurairah berkata: “Wahai Rasulullah, beritahu aku juga.” Beliau bersabda: “Wahai Abu Hurairah, hendakya kau bertawakal kepada yang Maha Hidup yang tidak pernah mati, dan Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempuyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan peng-agungan yang sebenar-benarnya. (QS. Al Isra’ : 111)

Laki-laki itu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendatangi saya dan keadaan saya sudah membaik.” Beliau bersaba: “Bagaimana keadaanmu?” Aku berkata: “Wahai Rasulullah aku senantiasa membaca kalimat yang kau ajarkan kepadaku.” (HR. Abu Ya’la, 12/23)

Imam Ibnu Katsir mengatakan: “Sanadnya dhaif dan matannya munkar.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 5/131)

Imam Nuruddin Al Haitsami mengatakan: “Dalam sanadnya terdapat Musa bin ‘Ubaidah Az Zabadiy, dia seorang yang dhaif.” (Majma’ Az Zawaid, 7/52)

Imam Ahmad mengatakan tentang Musa bin ‘Ubaidah Az Zabadiy: “Haditsnya jangan ditulis.” Imam An Nasa’i dan lainnya: “Dhaif.” Imam Ibnu ‘Adi mengatakan: “kedhaifan haditsnya jelas.” Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Dia bukan apa-apa.” Juga mengatakan: “haditsnya tidak bisa dijadikan hujjah.” Imam Yahya bin Sa’id mengatakan: “Kami takut/menjauhi haditsnya.” Imam Ibnu Sa’ad mengatakan: “Terpercaya, tapi tidak bisa dijadikan hujjah.” Ya’qub bin Syaibah mengatakan: “Jujur, tapi haditsnya sangat dhaif. ” (Al Hafizh Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 4/213)

Maka, jelaslah kedhaifan riwayat ini.

Ada riwayat lain yang berbunyi:

"Barang siapa yang membaca pada pagi dan petang (Qulid’uullaha awid’uurrahmaan) (QS. Al Isra: 110) hingga akhir surat, niscaya tidaklah akan mati hatinya pada hari itu dan tidak pula pada malam harinya.” (Ad Dailami dari Abu Musa). (Lihat Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 2594, juga Imam As Suyuthi dalam Jami’ Al Ahadits No 23452, dan Jami’ Al Kabir No. 6185)

Para ulama menyebut hadits ini termasuk riwayat makdzuub –didustakan/palsu. (Lihat Syaikh Hisamuddin bin Musa ‘Afanah, Fatawa Yas’alunaka, 7/210), Syaikh Abdullah Al Faqih menyebutnya termasuk hadits yang diperkirakan dhaif dan palsu. (Lihat juga Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih, Fatawa Asy Syabkah Al Islamiyah, No. 61592) Wallahu A’lam

3. Membaca surat Al Mu’minun ayat 115-118

“Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami? Maka Maha Tinggi Allah, raja yang sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (yang mempunyai) 'Arsy yang mulia. dan Barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, Padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung. dan Katakanlah: "Ya Tuhanku berilah ampun dan berilah rahmat, dan Engkau adalah pemberi rahmat yang paling baik." (QS. Al Mu’minun: 115-118)

* * *

Tentang anjuran membaca ayat ini, diriwayatkan oleh Imam Abu Nu’aim Rahimahullah sebagai berikut:

Telah bercerita kepada kami Abu Ahmad Al Ghithrifi, bercerita kepada kami Zakaria As Saaji, bercerita kepada kami Yazid bin Yusuf bin Amru, bercerita kepada kami Khalid bin Nizar, telah bercerita kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah, dari Muhammad bin Al Munkadir, dari Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dari ayahnya, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengirim kami dalam sebuah ekspedisi, kemudian beliau memerintahkan agar kami membaca, afahasibtum annama khalaqnakum….. dan ayat-ayat berikutnya, di waktu sore dan pagi. Kami pun membacanya, maka kami berhasil memperoleh keselamatan dan rampasan perang.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah, No. 726, juga Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, 27-28/75)

Hadits ini dhaif. Imam Adz Dzahabi menyebutkan, Yazid bin Yusuf bin Amru adalah majhul (tidak diketahui keadaanya). Jika dia adalah Yazid bin Yusuf Al Mishri maka dia juga majhul. Jika dia adalah Yazid bin Yusuf Ash Shan’ani, kawan Al Auza’i, maka juga dhaif. Imam Abu Hatim mengatakan: lam yakun bi qawwi (tidak kuat). Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: Laisa bi tsiqah, qad ra’aytuhu (bukan orang terpercaya, saya pernah melihatnya). Imam An Nasa’i mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan). Shalih Jazarah mengatakan: mereka (para ulama) meninggalkan haditsnya. (Mizanul I’tidal, 4/442)

Khalid bin Nizar juga demikian, Syaikh Al Albani telah menyebutkan kelemahannya yang ringan, selain Yazid bin Yusuf bin Amru yang tidak ditemukan biografinya. Maka, beliau pun mendhaifkan hadits ini. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 4274)

4. Membaca surat Ar Ruum ayat 17-26

“Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh, dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang hari dan di waktu kamu berada di waktu Zuhur. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. dan seperti Itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur). dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur). dan kepunyaan-Nyalah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. semuanya hanya kepada-Nya tunduk. (QS. Ar Ruum: 17-26)

* * *

Ada beberapa riwayat yang menyebutkan agar membaca ayat ini dibaca setiap pagi dan sore, namun tidak satu pun yang shahih.

Imam Ahmad dalam Musnadnya merwayatkan sebagai berikut:

Telah bercerita kepada kami Hasan, telah bercerita kepada kami Ibnu Luhai’ah, bercerita kepada kami Zabban bin Faaid, dari Sahl, dari ayahnya, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa beliau bersabda: “Maukah saya kabarkan kenapa Allah Tabaraka wa Ta’ala menamakan Ibrahim sebagai kekasihNya yang menepati janji? Karena dia membaca ketika pagi dan sore: Fasubhanallahi hiina tumsuuna wa hiina tushbihuun (QS. Ar Ruum: 17), sampai penutup ayat.” (HR. Ahmad No. 15624, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 16826, Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Tafsirnya, 22/545)

Hadits ini dhaif, lantaran kedhaifan Ibnu Luhai’ah dan Zabban bin Faaid.

Kelemahan Ibnu Luhai’ah sangat terkenal dikalangan muhadditsin, khususnya ketika buku-bukunya terbakar sehingga hapalannya kacau, dan dahulunya dia seorang tsiqah bil kutub (terpercaya dengan buku-bukunya). Oleh karenanya, para ulama meninggalkan hadits-haditsnya ketika pasca terbakar buku-bukunya yang membuat kacau hapalannya. Namun demikian, para ulama tetap mengambil hadits darinya jika hadits beliau diriwayatkan dari empat orang bernama Abdullah, sebab mereka mendengarnya ketika hapalannya masih bagus.

Imam Ibnu Hibban bercerita –sebagaimana dikutip Imam Adz Dzahabi:

“Dia adalah orang shalih, tetapi dia melakukan tadlis (manipulasi/penggelapan) dari orang-orang dhaif, kemudian buku-bukunya terbakar. Kawan-kawan kami mengatakan: “Boleh saja mendengar dari orang yang mendengarkan hadits darinya sebelum terbakar buku-bukunya dari para ‘abadilah , yaitu: Abdullah bin Wahb, Abdullah bin Al Mubarak, Abdullah bin Yazid Al Muqri, dan Abdullah bin Maslamah Al Qa’nabi, maka mendengarkan dari mereka adalah shahih.” (Mizanul I’tidal, 2/482)

Dan, hadits di atas tidaklah diriwayatkan oleh empat Abdullah darinya. Maka, jelas kelemahan hadits ini.

Ditambah lagi, adanya Zabban bin Faaid, seorang yang didhaifkan oleh jamaah ahli hadits, hanya Abu Hatim yang mentsiqahkannya. (Lihat Imam Al Haitsami, Majma’ Az Zawaid, 5/284)

Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Imam Ahmad mengatakan hadits-hadits Zabban adalah munkar. Imam Yahya bin Ma’in mengatakan sebagai syaikh yang dhaif. Sedangkan Imam Abu Hatim mengatakan shalihul hadits (haditsnya baik). (Tahdzibut Tahdzib, 3/08)

Syaikh Syu’aih Al Arnauth mengomentari hadits ini: isnaaduhu dhaif- isnadnya dhaif. (Lihat Tahqiq Musnad Ahmad, 24/388)

Selain itu, ada riwayat lain tentang anjuran membaca surat Ar Ruum ayat 17, sebagai berikut:

Bercerita kepada kami Syu’aib Al Azdi, bercerita kepada kami Abdullah bin Shalih, bercerita kepadaku Al Laits bin Sa’ad, dari Sa’id bin Basyir, dari Muhammad bin Abdurrahman Al Bailamani, dari ayahnya, dari Abdullah bin Abbas, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:

“Barangsiapa yang membaca saat pagi: Fasubhanallahi hiina tumsuuna wa hiina tushbihuun … dst (QS. Ar Ruum: 17) sampai semuanya, maka dia akan menemukan apa-apa yang luput darinya pada siangnya, dan yang membacanya ketka sore maka dia akan menemukan apa-apa yang luput darinya pada malam harinya.” (HR. Abu Daud No. 5076. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 12815)

Riwayat ini juga dhaif jiddan (sangat lemah). Lantaran beberapa rawinya yang dhaif.

Sa’id bin Basyir, dia didhaifkan para imam. Imam Al Bukhari memasukkanya dalam kitabnya Adh Dhu’afa (orang-orang lemah), dan mengatakan: haditsnya tidak shahih. Abu Hatim mengatakan bahwa Sa’id bin Basyir adalah guru dari Al Laits bin Sa’ad, tetapi tidak terkenal. Ibnu Hibban mengatakan: laisa bi syai’ (bukan apa-apa). Al Uqaili mengatakan: majhul (tidak dikenal). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 4/11)

Muhammad bin Abdurrahman Al Bailamani, dia juga didhaifkan para imam. Imam Al Bukhari dan Imam Abu Hatim mengatakan: munkarul hadits (haditsnya munkar). Imam Ad Daruquthni dan lainnya mengatakan: dhaif. Imam Ibnu Hibban mengatakan: “Dia meriwayatkan hadits dari ayahnya (Abdurrahman Al Bailamani) salinan naskah yang samar, sejumlah dua ratus hadits yang semuanya palsu.” Imam Ibnu ‘Adi mengatakan: “Semua hal yang diriwayatkan Ibnu Al Bailamani terdapat bala’ (musibah) yang berasal darinya.” (Al Hafizh Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 3/618-619)

Ada pun Abdurrahman Al Bailamani -ayah dari Muhammad bin Abdurrahman Al Bailamani- juga seorang yang didhaifkan oleh mayoritas ulama. Imam Abu Hatim mengatakan dhaif, Imam Ad Daruquthni mengatakan dhaif, dan tidak kuat dijadikan hujjah. (Ibid, 2/551)

Oleh karenanya Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini; dhaif jiddan (sangat lemah). (Lihat Dhaiful Jami’ No. 5733)

5. Membaca surat Ghafir (Al Mu’min) ayat 1-3

“Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. “Ha Mim. Diturunkan Kitab ini (Al-Qur'an) dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, Yang mengampuni dosa dan menerima taubat lagi keras hukuman-Nya; Yang mempunyai karunia. Tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Hanya kepada-Nyalah kembali (semua makhluk).” (QS. Al Mukmin: 1-3)

* * *

Tentang keutamaan membaca ayat di atas, Imam At Tirmidzi meriwayatkan:

Bercerita kepada kami Yahya bin Al Mughirah Abu Salamah Al Makhzumi Al Madani, bercerita kepada kami Ibnu Abi Fudaik, dari Abdurrahman bin Abi Bakr Al Mulaiki, dari Zurarah bin Mush’ab, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dia berkata: bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Barangsiapa yang membaca Hammiim dalam surat Al Mu’min, sampai Ilaihil Mashiir dan ayat Kursi ketika pagi, maka dia akan dijaga oleh keduanya sampai sore. Barang siapa yang membacanya ketika sore dia akan dijaga oleh keduanya sampai pagi.” (HR. At Tirmidzi No. 2879, katanya: gharib. Ad Darimi No. 3449)

Imam At Tirmidzi mengisyaratkan kedhaifan hadits ini, lantaran ada perawi yang dhaif. Beliau berkata:

“Sebagian ulama membincangkan Abdurrahman bin Abu Bakr bin Abu Mulaikah Al Mulaiki dari sisi hapalannya, dan Zurarah bin Mush’ab, dia adalah Ibnu Abdirrahman bin ‘Auf, dia adalah kakak dari Abu Mush’ab Al Madani.” (Sunan At Tirmidzi No. 2879)

Abdurrahman bin Abu Bakr Al Mulaiki telah didhaifkan para imam. Imam Bukhari mengatakan: dzaahibul hadits (haditsnya terhapus). Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: dhaif. Imam Ahmad mengatakan: munkarul hadits (haditsnya munkar). Imam An Nasa’i mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan). (Mizanul I’tidal, 2/550)

Sementara Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini. (Dhaiful Jami’ No. 5769)

6. Membaca surat Al Hasyr ayat 22-24

“Dia-lah Allah Yang tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pe-nyayang. Dia-lah Allah Yang tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih KepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi.Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Hasyr: 22-24)

* * *

Tentang anjuran membaca beberapa ayat terakhir surat Al Hasyr, diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi sebagai berikut:

Mengabarkan kepada kami Abu Sa’ad Al Malini, bercerita kepada kami Abu Ahmad bin ‘Adi Al Hafizh, bercerita kepada kami Abu Abdurrahman An Nasa’i, mengabarkan kepada kami Abdullah bin Abdurrahman As Samarqandi, bercerita kepada kami Salim bin ‘Utsman Al Fauzi, bercerita kepada kami Muhammad bin Ziyad Al Alhani, bercerita kepada kami Abu Umamah Al Bahili, katanya: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Barang siapa yang membaca beberapa ayat penutup surat Al Hasyr pada malam hari atau siang, lalu dia mati pada siang atau malamnya, maka dia pasti masuk surga.” Salim bin ‘Utsman telah menyendiri dalam meriwayatkannya, dari Muhammad bin Ziyad. (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 2399)

Hadits ini dhaif jiddan. Salim bin ‘Utsman adalah perawi yang tidak bisa dipercaya. Imam Adz Dzahabi mengatakan bahwa dia: laisa bi tsiqah (bukan orang yang bisa dipercaya). Abu Zur’ah mengingkari haditsnya dan mengatakan bahwa hadits darinya tidak menyerupai hadits orang-orang terpercaya. Bahkan, Imam Abu Zur’ah mengatakan hadits ini termasuk yang setara dengan hadits palsu.” (Mizanul I’tidal, 2/230-231)

Sementara Imam Adz Dzahabi menyebutkan dalam Al Mughni bahwa Salim bin Utsman adalah seorang yang tertuduh sebagai pembohong dan juga lemah. Ditambah lagi beliau meriwayatkan hadits ini secara sendiri. Maka, wajar jika Syaikh Al Albani mengatakan dhaif jiddan. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 4631)

7. Membaca surat Al Zalzalah ayat 1-8

“Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. “Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya, ‘Mengapa bumi (jadi begini)?’ Pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kapadanya. Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al Zalzalah: 1-8)

* * *

Riwayat tentang keutamaan surat Al Zalzalah adalah sebagai berikut:

Telah bercerita kepada kami Ali bin Hujr, mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun, mengabarkan kepada kami Yaman bin Al Mughirah Al ‘Anzi, telah mengabarkan kami ‘Atha dari Ibnu Abbas, katanya: bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

“Idza Zulzilat setara dengan setengah Al Quran, dan Qul Huwallahu Ahad setara dengan sepertiga Al Quran, dan Qul yaa ayyuhal kaafirun setara dengan seperempat Al Quran.” (HR. At Tirmidzi No. 2894, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 2078, katanya: sanadnya shahih)

Syaikh Al Albani menyatakan ini adalah hadits munkar. (As Silsilah Adh Dhaifah No. 1342), karena hadits ini bertentangan dengan riwayat lain yang lebih tsiqah.

Sedangkan Imam At Tirmidzi sendiri mengisyaratkan kedhaifan hadits ini, katanya: “Hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Yaman bin Al Mughirah.” (Sunan At Tirmidzi No. 2894)

Sedangkan penshahihan Imam Al Hakim telah dikoreksi oleh Imam Adz Dzahabi, dengan mengatakan: “Bahkan mereka telah mendhaifkan Yaman.”

Imam Al Bukhari mengomentari Yaman: munkarul hadits (haditsnya munkar). Yahya mengatakan: dia bukan apa-apa. Imam An Nasa’i mengatakan: tidak bisa dipercaya. Imam Ad Daruquthni dan Imam Abu Zur’ah mengatakan: dhaif. Imam Ibnu ‘Adi mengatakan: menurut saya tidak apa-apa. (Mizanul I’tidal, 4/461)

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri, mengutip dari Imam Al Munawi, katanya:

“Hadits ini munkar dan penshahihan Al Hakim adalah tertolak. Selesai.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 8/206)

Selanjutnya, Syaikh Al Mubarkafuri mengutip dari Al Hafizh Ibnu Hajar:

Al Bukhari dan Abu Hatim berkata: Dia (Yaman) adalah munkarul hadits, meriwayatkan hadits-hadits munkar yang tidak memiliki dasar, maka dia berhak ditinggalkan. Demikian dalam Tahdzibut Tahdzib. (Ibid)

Dengan demikian hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, karena kelemahannya. Ada pun yang shahih adalah Qul huwallahu ahad adalah sepertiganya Al Quran, sebab itu diriwayatkan dalam Shahihain (Bukhari-Muslim).

Dan, hadits ini pun tidak ada anjuran untuk membaca Al Zalzalah pada pagi dan sore. Wallahu A’lam

8. Membaca surat Al Kafirun ayat 1-6

“Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. “Katakanlah, ‘Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak akan menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku.’” (QS. Al Kafirun: 1-6)

* * *

Keutamaan surat Al Kafirun sudah disebutkan dalam hadits sebelumnya, yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dan Imam Al Hakim di atas, namun termasuk hadits munkar.

Dalam riwayat lain juga ada yang menyebutkan keutaman surat Al Kafirun, yaitu:

Bercerita kepada kami ‘Uqbah bin Mukram Al ‘Ammi Al Bashri, bercerita kepada saya Abu Fudaik, mengabarkan kami Salamah bin Wardan, dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada seorang laki-laki dari sahabatnya: “Wahai fulan, apakah kau sudah menikah?” Dia menjawab: “Belum, demi Allah ya rasulullah, saya tidak punya sesuatu yang saya gunakan buat menikah.” Nabi bersabda: “Bukankah kau memiliki Qul huwallahu Ahad?” Dia menjawab: “tentu.” Nabi bersabda: “(Dia) Sepertiga Al Quran.” Dan bersabada lagi: “Bukankah kau memiliki Idza Ja’a Nashrullahi wal Fath?” Dia menjawab: “tentu.” Beliau bersabda: “Seperempat Al Quran.” Nabi bersabda lagi: “Bukankah kau memiliki Qul Yaa Ayyuhal Kaafirun?” dia menjawab: ”tentu.” Nabi bersabda: “(dia) seperempat Al Quran.” Nabi bertanya: “Bukankah kau memiliki Zulzilat Al Ardh?” Dia menjawab: “tentu.” Nabi bersabda: “Dia seperampat Al Quran, menikahlah!” (HR. At Tirmidzi No. 2895, katanya: hasan)

Penghasanan Imam At Tirmidzi terhadap hadits ini telah dikritik oleh Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, sebagai berikut:

“Ini adalah hadits dhaif karena kelemahan Salamah bin Wardan, sesungguhnya At Tirmidzi menghasankannya karena dia adalah termasuk yang mempermudah/memperlonggar dalam hal ini, karena ini termasuk masalah fadhailul a’mal. Selesai.” (Sebagaimana dikutip dalam Tuhfah Al Ahwadzi, 8/205)

Imam Abu Hatim mengomentari Salamah bin Wardan, katanya: “Bukan orang kuat, umumnya riwayat Anas yang ada padanya adalah munkar.” Dan hadits ini beliau riwayatkan dari Anas. Imam Abu Daud mengatakan:”Dhaif.” Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Dia bukan apa-apa.” Imam Ahmad mengatakan: “Munkatul hadits (haditsnya munkar).” Imam Al Hakim mengatakan: “Riwayatnya yang dari Anas kebanyakan adalah munkar.” (Mizanul I’tidal, 2/193)

Maka, pandangan yang lebih kuat adalah hadits ini dhaif, bukan hasan. Syaikh Al Albani juga mendhaifkan hadits ini. (Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2894)

Namun, ada hadits shahih yang menyebutkan keutamaan surat Al Kafirun yaitu sunah membacanya ketka shalat sunah fajar dan ba’diyah maghrib. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca pada dua rakaat shalat sunah fajar: Qul yaa ayyuhal kaafiruun dan Qul huwallahu ahad.” (HR. Muslim No. Abu Daud No. 1256, Ibnu Majah No. 1148, An Nasa’i No. 945)

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Qul huwallahu ahad setara dengan sepertiga Al Quran, dan Qul yaa ayyuhal kafiruun setara dengan seperemat Al Quran.” Beliau membaca keduanya dalam dua rakaat shalat sunah fajar. (HR. Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 13311. Syaikh Al Albani mengatakan shahih lighairihi. Lihat Shahih At Targhib wat Tarhib, No. 583)

Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam dua rakaat setelah maghrib membaca: (Qul yaa ayyuhal kaafiruun dan Qul huwallahu ahad).” (HR. Ibnu Majah No. 1166. Shahih, lihat Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1166)

Qul yaa ayyuhal kaafiruun juga dianjurkan dibaca menjelang tidur. Dari Farwah bin Naufal Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

“Bahwa dia mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: “Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku sesuatu yang aku ucapkan jika aku berbaring di atas kasurku.” Beliau bersabda: “Bacalah Qul yaa ayyuhal kaafiruun, sesungguhnya itu merupakan pemutus dari kesyirikan.” (HR. At Tirmidzi No. 3403. Syaikh Al Albani menshahihkannya. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 3403. Juga diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 2150, dari Jabalah bin Haritsah)

Demikian keutamaan surat Al Kafirun, dan tak satu pun yang menyebutkan keutamaannya dibaca pagi dan sore secara rutin.

9. Jika pagi membaca:

“Allahumma Inni ashbahtu minka fi nimatin wa ‘aafiyatin wa sitrin, fa atimma ‘alayya ni’mataka wa ‘aafiyataka wa sitraka fid dun-ya wal akhirah.” (3X)

* * *

Dzikir diatas berdasarkan riwayat berikut:

“Ya Allah sesungguhnya aku berpagi hari dariMu dalam kenikmatan, pertolongan, dan perlindungan. Maka sempurnakanlah bagiku nikmatMu, pertolonganMu, dan perlindunganMu, di dunia dan akhirat.” (3x ketika pagi dan sore, maka hak Allah ‘Azza wa Jalla untuk menyempurnakan nikmatNya atasnya)

Hadits ini diriwayatkan oleh:

- Imam Ibnu Sunni, ‘Amalul Yaum wal Lailah, No. 55. Telah berkata kepadaku ‘Ubaidilllah bin Syabib bin Abdul Malik, dari Yazid bin Sinan, telah berkata kepadaku ‘Amru bin Al Hushain, telah berkata kepadaku Ibrahim bin Abdul Malik, dari Qatadah, dari Said bin Abu Al Hasan, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: ..(lalu disebut hadits di atas)

- Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Umal, No. 3602, katanya: diriwayatkan oleh Ibnu Sunni dari Ibnu Abbas.

Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), lantaran dalam sanadnya terdapat dua rawi yang bermasalah, bahkan dianggap pendusta. Pertama, Yazid bin Sinan. Dia adalah Yazid bin Sinan bin Yazid At Tamimi Al Jazari Abu Farwah Ar Rahawi. Segenap para imam hadits mendhaifkannya.

Imam Ahmad berkata tentangnya: dhaif (lemah). Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: haditsnya bukan apa-apa. Imam Ali bin Al Madini mengatakan: dhaiful hadits (lemah haditsnya). Marwan bin Mu’awiyah menguatkannya. Sementara Imam Abu Hatim mengatakan: banyak lalai, haditsnya boleh ditulis tapi tidak bisa dijadikan hujah. Imam Bukhari mengatakan: anaknya meriwayatkan darinya hadits-hadits munkar. Imam Abu Daud mengatakan: dia dan anaknya bukan apa-apa. Imam An Nasa’i mengatakan: lemah lagi ditinggalkan haditsnya. Ad Daruquthni mengatakan: dhaif. Al Jauzujani mengatakan: lemah. Imam Abu Zur’ah mengatakan: laisa bi qawwi (tidak kuat). Imam Al Azdi mengatakan: munkarul hadits. Imam Al Hakim mengatakan: dia meriwayatkan dari Az Zuhri, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Hisyam bin ‘Urwah, berupa hadits munkar yang banyak. Al ‘Uqaili mengatakan: haditsnya tidak bisa diikuti. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 293/293. Darul Fikr. Lihat juga Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 4/427. Darul Ma’rifah)

Kedua, ‘Amru bin Al Hushain, dia juga seorang yang lemah. Imam Ad Daruquthni mengatakan: matruk (ditinggalkan). Imam Abu Zur’ah mengatakan: lemah. (Imam Ad Dzahabi, Mizanul I’tidal, 3/253). Al Hafizh menyebutnya pendusta. (Tahdzibut Tahdzib, 9/241)

10. Membaca:

“Subhanallah wal hamdulillah wa laa Ilaha Illallah wallahu akbar.” (100 kali)

* * *

Anjuran membaca tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir sebanyak seratus kali setiap pagi dan sore, didasarkan beberapa riwayat.

Pertama. Dalam Sunan At Tirmidzi, telah bercerita kepada kami Muhammad bin Wazir Al Wasithi, dari Abu Sufyan Al Himyari, dari Adh Dhahak bin Humrah, dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Barangsiapa bertasbih (membaca ‘subhanallah’) kepada Allah seratus kali ketika pagi hari dan seratus kali ketika sore hari, maka ia seperti orang yang melakukan haji seratus kali. Barangsiapa bertahmid (membaca ‘al-hamdulillah’) kepada Allah seratus kali ketika pagi hari dan seratus kali ketika sore hari, maka ia seperti orang yang membawa seratus kuda perang untuk berjihad di jalan Allah, atau dia seperti orang yang berperang seratus kali perang. Barangsiapa mengucapkan tahlil (membaca 'la ilaha illallah') seratus kali ketika pagi hari dan seratus kali ketika sore hari, maka ia seperti memerdekakan seratus budak dari anak cucu Ismail. Barangsiapa mengucapkan takbir (ucapan 'Allahu Akbar') seratus kali di pagi hari dan seratus kali di sore hari, maka Allah tidak akan memberikan kepada seseorang pun melebihi apa yang diberikan orang itu kepadanya, kecuali bagi orang yang melakukan ucapan yang sama atau lebih ." (HR. At Tirmidzi No. 3471, katanya: hasan gharib)

Penghasanan Imam At Tirmidzi terhadap hadits ini telah dikoreksi para ulama setelahnya, karena kelemahan Adh Dhahak bin Humrah. Syaikh Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri mengatakan:

Yaitu sanadnya terdapat Adh Dhahak bin Humrah, dan dia seorang yang lemah.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 9/441)

Imam An Nasa’i mengomentari Adh Dhahak bin Humrah: Laisa bi tsiqah (tidak bisa dipercaya). Imam Bukhari mengatakan: munkarul hadits, majhul (haditsnya munkar dan tidak dikenal). Yahya bin Ma’in mengatakan: Laisa bi syai’ (dia bukan apa-apa). (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 2/322-323)

Imam Adz Dzahabi mengoreksi penghasanan Imam At Tirmidzi dengan mengatakan:

“Beliau menghasankannya, tetapi sama sekali tidak tepat.” (Ibid, 2/323)

Sedangkan Syaikh Al Albani menyatakan bahwa sanad hadits ini dhaif, dan matannya munkar. (Lihat As Silsilah Adh Dhaifah, No. 1315. Dhaiful Jami’ No. 5619)

Kedua. Ada juga riwayat seperti di atas dalam Musnad Ahmad, sebagai berikut

Telah bercerita kepada kami Sa’id bin Sulaiman, bercerita kepada kami Musa bin Khalaf, bercerita kepada kami ‘Ashim bin Bahdalah, dari Abu Shalih, dari Ummu Hani’ binti Abi Thalib, dia berkata: Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lewat di hadapan saya, lalu saya berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya sudah tua dan lemah,” atau perkataan seperti itu, “tunjukkanlah kepada saya amalan yang bisa saya lakukan sambil duduk.” Beliau bersabda: “Bertasbih kepada Allah seratus kali, itu setara bagimu dengan memerdekakan seratus budak dari anak-anak Ismail. Bertahmid kepada Allah seratus kali, itu setara bagimu dengan seratus kuda perang yang engkau bawa dalam perang fi sabilillah. Bertakbir kepada Allah seratus kali, setara bagimu dengan seratus unta yang terikat lagi jinak. Dan, bertahlil seratus kali,” berkata Ibnu Khalaf: “Saya kira beliau berkata: “akan memenuhi antara langit dan bumi, dan saat itu tidak seorang pun yang serupa dengan amalmu, kecuali dia melakukan seperti apa yang kau lakukan.” (HR. Ahmad No. 26911, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 10680, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah No. 844. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 1280, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 20580. Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 20445, juga dalam Al Awsath, No. 4235)

Imam Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir, 2/254-255, dari Uqbah berkata: riwayat ini tidak ada yang shahih dari Ummu Hani’.

Sebaliknya, Imam Al Haitsami mengatakan: ”Asaaniduhum hasanah.” (sanad-sanad mereka hasan – bagus). (Lihat Majma’ Az Zawaid, 10/92)

Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnaduhu dhaif lidha’fi abi shaalih – isnadnya dhaif lantaran kedhaifan Abu Shalih, juga ‘Ashim bin Bahdalah, seorang yang diperselisihkan kelayakannya. (Tahqiq Musnad Ahmad No. 26911)

Syaikh Al Albani juga mendhaifkannya. (Lihat Dhaiful Jami’ No. 3234), tetapi beliau menghasanan dalam kitabnya yang lain. ( As Silsilah Ash Shahihah No. 1316, Shahih At Targhib wat Tarhib, No. 1553)

Abu Shalih adalah Baadzaam, dia dhaifkan oleh para ulama di antaranya Imam Bukhari dan Imam An Nasa’i, beliau mengatakan; Laisa bi tsiqah – tidak bisa dipercaya.

Zakariya bin Abi Zaidah mengatakan, bahwa Asy Sya’bi melewati Abu Shalih, lalu dia menjewer telinganya, lalu berkata: “Celaka kamu! Kamu menafsirkan Al Quran padahal kamu tidak hafal Al Quran!”

Ismail bin Abi Khalid berkata: “Dahulu Abu Shalih berbohong, maka tidaklah saya bertanya kepadanya melainkan dia merincinya untuk saya.” Abdul Haq berkata dalam Al Ahkam: “dhaif jiddan – sangat lemah.” Tetapi kalimat ini diingkari oleh Abul Hasan bin Al Qaththan. (Lihat Mizanul I’tidal, 1/296)

Sebagian lain ada yang menganggapnya tidak apa-apa. Yahya bin Ma’in mengatakan: “Laisa bihi ba’san – dia tidak apa-apa.” Beliau juga mengatakan: “Jika dia meriwayatkan dari Al Kalbi, maka tidak apa-apa.”

Yahya Al Qaththan mengatakan; “Saya belum pernah lihat sahabat-sabahat kami meninggalkan hadits Abu Shalih, pelayan Ummu Hani’.” (Ibid)

Jika kita lihat, pihak yang mengkritik (jarh) lebih banyak dan lebih rinci, dibanding pujiannya yang masih sangat umum. Maka sesuai kaidah: Jarh mufassar muqaddamaun ala ta’dilil ‘aam (Kritikan yang terperinci lebih diutamakan dibanding pujian yang masih umum). Maka, kedhaifannya lebih kuat.

Selain itu,tetang ‘Ashim bin Bahdalah yaitu ‘Ashim bin Abi An Nujud, para ulama berselisih pendapat tentangnya. Imam Adz Dzahabi mengatakan: “Kuat dalam qiraah, tapi tidak kuat dalam hadits, dia jujur tapi bimbang.”

Imam Yahya Al Qaththan mengatakan: “Aku belum menjumpai seorang pun yang bernama ‘Ashim melainkan dia adalah orang yang buruk hapalannya.”

Imam An Nasa’i mengatakan: Laisa bihaafizh – bukan orang yang terjaga hapalannya.

Imam Ad Daruquthni mengatakan: Fi hizhi ‘Ashim syai’ – pada hapalannya terdapat masalah.

Imam Ibnu Khirasy mengatakan: pada haditsnya terdapat hal yang diingkari.

Imam Abu Hatim mengatakan: kedudukannya sebagai orang yang jujur. Imam Ahmad dan Imam Abu Zur’ah megatakan: tsiqah (bisa dipercaya). Begitu pula Imam Adz Dzahabi megatakan tsiqah. Sementara Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan darinya, tetapi hadits-hadits yang bersambung dengan tanpanya dan tidak memiliki asal, dan menyendiri. (Lihat semua dalam Mizanul I’tidal, 2/357)

Ketiga. Riwayat dalam Al Mu’jam Al Kabir-nya Imam Ath Thabarani, juga dari Ummu Hani’ dengan sanad yang berbeda.

Telah bercerita kepada kami Mu’adz bin Al Mutsanna, bercerita kepada kami Mush’ab Az Zubair, bercerita kepada kami Al Husain bin Ishaq, bercerita kepada kami Makhlad bin Malik Al Harrani, mereka berdua berkata: bercerita kepada kami ‘Aththaf bin Khalid, bercerita kepada kami Sa’id bin ‘Amru bin Ja’dah bin Hubairah, dari Ummu Hani’ binti Abi Thalib, dia adalah neneknya, dia berkata: “Saya masuk menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu saya berkata: “Wahai Rasulullah, saya melakukan shalat dan saya berat melaksanakannya, tunjukkanlah kepada saya amalan yang jika saya lakukan Allah akan memberikan ganjaran kepada saya, dan saya melakukannya dengan duduk.” Beliau bersabda: “Wahai Ummu Hani, jika kau pada pagi hari bertasbihlah kepada Allah sebanyak seratus kali, bertahlil seratus kali, bertahmid seratus kali, dan bertakbir seratus kali. Sesungguhnya seratus kali tasbih setara dengan seratus Unta, seratus takbir setara dengan seratus Unta yang dikurbankan, dan seratus tahlil akan membuat tidak tersisanya dosa baik yang sebelum dan sesudahnya.” (HR. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 20433)

Riwayat ini juga berasal dari Ummu Hani’, dan Uqbah mengatakan: “Riwayat ini tak satu pun yang shahih berasal dari Ummu Hani’.” (Imam Al Bukhari, At Tarikh Al Kabir, 2/254-255)

Dalam sanadnya terdapat ‘Aththaf bin Khalid Al Makhzumi. Sebagian ulama memujinya. Imam Ahmad mengatakan: tsiqah. Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: Laisa bihi ba’s- Dia tidak apa-apa.

Namun, kebanyakan mengkritiknya. Imam Abu Ahmad Al Hakim mengatakan: “Laisa bil matiin ‘indahum – menurut mereka (para ahli hadits) dia tidak kuat.” Imam Malik melemahkannya. Imam Bukhari mengatakan: “Imam Malik tidak memujinya.” Imam Abu Hatim dan lainnya mengatakan: “Dia bukan orang yang layak.” (Lihat Mizanul I’tidal, 3/69)

Syaikh Syau’aib Al Arnauth mengatakan bahwa semua jalur Ummu Hani ini adalah dhaif- lemah. (Tahqiq Musnad Ahmad, 44/480)

Keempat. Riwayat Ibnu Majah dalam Sunannya yang juga dari Ummu Hani’, sebagai berikut:

Bercerita kepada kami Ibrahim bin Al Mundzir Al Hizami, bercerita kepada kami Abu Yahya Zakariya bin Manzhur, bercerita kepada kami Muhammad bin ‘Uqbah bin Abi Malik, dari Ummu Hani’, dia berkata: Aku mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu saya berkata: Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku tentang sebuah amalan, sesungguhnya saya sudah tua, lemah, dan gemuk. Maka Beliau bersabda: “Bertakbirlah kepada Allah sebanyak seratus kali, bertahmid seratus kali, dan bertasbih seratus kali, itu lebih baik dbanding seratus kuda perang berpelana di jalan Allah, dan lebih baik disbanding seratus unta, dan lebih baik dibanding memerdekakan seratus budak.” (HR. Ibnu Majah No. 3810)

Imam Al Haitsami mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. (Majma’ Az Zawaid, 10/92)

Syaikh Al Albani juga mengatakan hasan. (Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3810)

Tentang para perawinya, Ibrahim bin Al Mundzir Al Hizami, umumnya para ulama memberinya pujian, kecuali Imam Ahmad yang mencelanya. Banyak para imam yang mengambil hadits darinya seperti Al Bukhari, An Nasa’i, Ibnu Majah, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Ibnu Ma’in, Abu Bakar bin Abi Khaitsamah, dan lainnya. An Nasa’i mengatakan: Laa ba’sa bihi – dia tidak apa-apa. Shalih bin Muhammad dan Abu Hatim mengatakan: shaduuq (jujur). Abu Hatim juga mengatakan: “Dia adalah yang paling tahu tentang hadits dari Ibrahim bin Hamzah, hanya saja pernah tercampur dengan Al Quran.” Ad Daruquthni mengatakan; tsiqah. Sedangkan Yahya bin Ma’in dan umumnya para huffazh meridhai dan mempercayainya.

As Saaji mengatakan: telah sampai kepadaku bahwa Ahmad bin Hambal membincangkan dan mencelanya. (Lihat semua dalam karya Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 1/ 166-167)

Rawi selanjutnya yakni Abu Yahya Zakariya bin Manzhur, umumnya para imam mengkritiknya. Imam Adz Dzahabi mengatakan: “Dha’afahu Jama’ah – jamaah ahli hadits mendhaifkannya.” Yahya bin Ma’in mengatakan: Laisa bi tsiqah – bukan orang terpercaya. Beliau juga mengatakan: dhaif. Ad Daruquthni mengatakan: matruk – ditinggalkan. (Mizanul I’tidal, 2/74-75, 78).

Namun dalam kitab lain, Yahya bin Ma’in menyebutnya dengan: Laisa bi syai’ – dia bukan apa-apa. Beliau juga berkata: Laisa bihi ba’san – dia tidak apa-apa. Ahmad bin Al Mishri juga mengatakan: dia tidak apa-apa.

Ahmad mengatakan bahwa dia seorang syaikh namun lemah (layyin). Ibnu Al Madini dan An Nasa’i mengatakan dhaif. Amru bin Ali dan As Saaji mengatakan: padanya ada kelemahan (fiihi dha’iif). Abu Zur’ah mengatakan: haditsnya lemah dan munkar. Abu Hatim mengatakan: tidak kuat, haditsnya dhaif dan munkar, namun haditsnya boleh ditulis saja. Al Bukhari mengatakan: munkarul hadits. Ibnu Hibban mengatakan: munkarul hadits jiddan – haditsnya sangat munkar, dan dia meriwayatkan dari Abu Hazim riwayat yang tidak ada asalnya. Abu Ahmad Al Hakim mengatakan: Laisa bil qawwi ‘indahum - menurut mereka (para ulama) dia tidak kuat. Ad Daruquthni mengatakan: matruk (ditinggalkan). Abi Bisyr Ad Daulabi mengatakan: Laisa bi tsiqah – bukan yang bisa dipercaya . (Tahdzibut Tahdzib, 3/332-333)

Selanjutnya adalah Muhammad bin ‘Uqbah bin Abi Malik Al Qurzhi. Imam Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats Tsiqaat (orang-orang terpercaya). (Tahdzibut Tahdzib, 9/346)

Demikianlah para perawinya, semuanya tsiqah kecuali Zakariya bin Manzhur, dia pun tidak sampai dituduh pendusta dan pemalsu hadits, bahkan kadangkala Yahya bin Ma’in –juga Ahmad bin Al Mishri- menyatakan; tidak apa-apa. Maka, tidaklah hadits ini dhaif, namun juga tidak sampai shahih. Oleh karenanya Syaikh Al Albani menyebutnya sebagai hadits hasan. Wallahu A’lam

Kelima. Ada sanad lain dengan lafaz yang agak berbeda:

Bercerita kepada kami Muhammad bin Abdurrahman bin Asy’ats, bercerita kepada kami Abu Mashar, bercerita kepada kami Hiql bin Ziyad, bercerita kepadaku Al Auza’i, dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata: bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barang siapa yang mengucapkan Subhanallah (100 X) sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, itu lebih utama dibanding seratus unta. Barang siapa yang mengucapkan Alhamdulillah (100X) sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, itu lebih utama dibanding kuda perang yang dia bawa. Barang siapa yang mengucapkan Allahu Akbar (100X) sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, itu lebih utama disbanding memerdekakan seratus budak. Barang siapa yang mengucapkan Laa ilaha illallahu wahdahu laa syarika lahu lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai’in qadiir (100X) sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, maka tidak seorang pun yang mampu mendatangkan amal yang lebih utama darinya pada hari kiamat nanti kecuali orang yang mengucapkan seperti yang diucapkannya atau lebih.” (HR. An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 10657)

Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani.(Lihat Shahih At Targhib wat Tarhib No. 658)

Dengan demikian, membaca tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir sebanyak seratus kali pada pagi dan petang, memiliki landasan dalam syariat, yakni berdasarkan beberapa riwayat yang maqbul (bisa diterima), yakni riwayat Ibnu Majah dalam As Sunannya No. 3810 dan An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 10657, dengan sanad hasan.

Demikian beberapa contoh yang dhaif, dan sebagian diperselisihkan kedhaifannya.
Wash Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhamamdin wa ‘ala Aalihi wa Shahbihhi wa Sallam - See more at: http://www.faridnuman.com/2014/11/benarkah-al-matsurat-tidak-layak-dibaca.html#sthash.2MHgEe3E.dpuf
Readmore »»