Jumat, 31 Desember 2010

Jadilah Kitab Walau Tanpa Judul


Oleh : KH. Hilmi Aminuddin Lc.
Pepatah dalam bahasa Arab itu menyiratkan makna yang dalam, terutama menyangkut kondisi bangsa saat ini yang sarat konflik perebutan kekuasaan dan pengabaian amanah oleh pemimpin-pemimpin yang tidak menebar manfaat dengan jabatan dan otoritas yang dimilikinya. Bangsa ini telah kehilangan ruuhul jundiyah, yakni jiwa ksatria. Jundiyah adalah karakter keprajuritan yang di dalamnya terkandung jiwa ksatria sebagaimana diwariskan pejuang dan ulama bangsa ini saat perjuangan kemerdekaan.
Semangat perjuangan (hamasah jundiyah) adalah semangat untuk berperan dan bukan semangat untuk mengejar jabatan, posisi, dan gelar-gelar duniawi lainnya (hamasah manshabiyah). Saat ini, jiwa ksatria itu makin menghilang. Sebaliknya, muncul jiwa-jiwa kerdil dan pengecut yang menginginkan otoritas, kekuasaan, dan jabatan, tetapi tidak mau bertanggung jawab, apalagi berkurban. Yang terjadi adalah perebutan jabatan, baik di partai politik, ormas, maupun pemerintahan. Orang berlomba-lomba mengikuti persaingan untuk mendapatkan jabatan, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Akibatnya, di negeri ini banyak orang memiliki “judul”, baik judul akademis, judul keagamaan, judul kemiliteran, maupun judul birokratis, yang tanpa makna. Ada judulnya, tetapi tanpa substansi, tanpa isi, dan tanpa roh.
Padahal, ada kisah-kisah indah dan heroik berbagai bangsa di dunia. Misalnya, dalam Sirah Shahabah, disebutkan bahwa Said bin Zaid pernah menolak amanah menjadi gubernur di Himsh (Syria). Hal ini membuat Umar bin Khattab RA mencengkeram leher gamisnya seraya menghardiknya, “Celaka kau, Said! Kau berikan beban yang berat di pundakku dan kau menolak membantuku.” Baru kemudian, dengan berat hati, Said bin Zaid mau menjadi gubernur.
Ada lagi kisah lain, yaitu Umar bin Khattab memberhentikan Khalid bin Walid pada saat memimpin perang. Hal ini dilakukan untuk menghentikan pengultusan kepada sosok panglima yang selalu berhasil memenangkan pertempuran ini. Khalid menerimanya dengan ikhlas. Dengan singkat, ia berujar, “Aku berperang karena Allah dan bukan karena Umar atau jabatanku sebagai panglima.” Ia pun tetap berperang sebagai seorang prajurit biasa. Khalid dicopot “judul”-nya sebagai panglima perang. Namun, ia tetap membuat “kitab” dan membantu menorehkan kemenangan.
Ibrah yang bisa dipetik dari kisah-kisah tersebut adalah janganlah menjadi judul tanpa kitab; memiliki pangkat, tetapi tidak menuai manfaat. Maka, ruuhul jundiyah atau jiwa ksatria yang penuh pengorbanan harus dihadirkan kembali di tengah bangsa ini sehingga tidak timbul hubbul manaashib, yaitu cinta kepada kepangkatan, jabatan-jabatan, bahkan munafasah ‘alal manashib, berlomba-lomba untuk meraih jabatan-jabatan. Semoga
Readmore »»

Musyawarah

| |
Islamedia “Tidak kecewa orang yang istikharah (minta pilihan kepada Allah), tidak menyesal orang yang bermusyawarah, dan tidak melarat orang yang hemat.” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghir dan Al-Ausath)
Syura atau musyawarah merupakan derivasi (kata turunan) dari kata kerja ‘syawara’. Dan kata ‘syawara’ mempunyai beberapa makna, antara lain memeras madu dari sarang lebah; memelihara tubuh binatang ternak saat membelinya; menampilkan diri dalam perang. Dan makna yang dominan adalah meminta pendapat dan mencari kebenaran.
Secara terminologis, syura bermakna “memunculkan pendapat-pendapat dari orang-orang yang berkompeten untuk sampai pada kesimpulan yang paling tepat.” (Nizhamul-Hukmi Fil-Islam, Dr. ‘Arif Khalil, hal. 236)
Rasulullah saw. menjadikan berjalannya syura sebagai indikator kepemimpinan yang baik. Beliau bersabda, “Jika para pemimpin kalian adalah orang-orang terbaik, orang-orang kayanya merupakan orang-orang yang paling dermawan, dan urusan kalian dimusyawarahkan di antara kalian, maka permukaan bumi lebih baik bagi kalian dari pada perut bumi. Dan jika para pemimpin kalian adalah orang-orang paling buruk, orang-orang kaya merupakan orang-orang paling kikir, dan urusan kalian diserahkan kepada perempuan-perempuan kalian, maka perut bumi lebih baik bagi kalian ketimbang permukaannya.” (HR. At-Tirmidzi)
Apa yang diucapkan Rasulullah saw. itu tidak lain mempertegas perintah Allah swt. Firman-Nya, “Dan orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-syura: 36)
Dengan ayat itu, kita memahami bahwa Islam telah memposisikan musyawarah pada tempat yang agung. Syari’at Islam yang lapang ini telah memberinya tempat yang besar dalam dasar-dasar tasyri’ (yurisprudensi). Ayat itu memandang sikap komitmen kepada hukum-hukum syura dan menghiasi diri dengan adab syura sebagai salah satu faktor pembentuk kepribadian Islam, dan termasuk sifat-sifat mukmin sejati. Dan lebih menegaskan urgensi syura, ayat di atas menyebutkannya secara berdampingan dengan satu ibadah fardhu ‘ain yang tidaklah Islam sempurna dan tidak pula iman lengkap kecuali dengan ibadah itu, yakni shalat, infak, dan menjauhi perbuatan keji.
Bahkan untuk urusan keluarga saja, Allah swt. memerintahkan syura. Perhatikanlah ayat berikut, “Maka jika mereka berdua ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Wajar jika Rasulullah saw. adalah orang yang bersemangat untuk melaksanakan syura itu. Beliau banyak meminta pendapat (istisyarah) kepada para sahabatnya, baik dalam urusan besar maupun urusan kecil. Baik dalam masa-masa damai maupun saat peperangan. Beliau bertanya kepada laki-laki juga perempuan. Beliau mendengar pendapat mereka baik secara pribadi-pribadi maupun kolektif.
Beliau pernah meminta pendapat kaum Muslimin dalam perang Badar. Seorang sahabat yang bernama Al-Habab Bin Mundzir mengusulkan untuk mengubah strategi berperang. Lalu Rasulullah saw. menerima pendapat itu seraya mengatakan, “Kamu telah mengemukakan pendapat yang baik.”
Rasulullah saw. juga menerima usulan para sahabatnya dalam perang Uhud. Meskipun kaum Muslimin mengalami kerugian dalam perang itu, namun Quran tetap menekankan pentingnya musyawarah itu. Setelah usai perang Uhud, turunlah ayat Quran, “Maafkanlah mereka, mintakanlah ampunan bagi mereka, dan ajaklah mereka bermusyawarah.” (QS. Ali ‘Imran: 159)
Jika kaum Muslimin mengalami kerugian dalam sebuah pertempuran sementara syura telah menjadi prinsip di tengah masyarakat mereka, maka hal itu seribu kali lebih baik ketimbang mereka menyerahkan urusan mereka kepada penguasa zalim yang otoriter dan memperbudak.
Khalifah Umar Bin Khattab mengatakan, “Tiada kebaikan pada suatu urusan yang dilaksanakan tanpa musyawarah.” (An-Nizham As-Siyasi Fil-Islam, Muhammad Abdul-Qadir Abu Faris.)
Para sahabat dan para khalifah menempuh jalan yang telah digariskan oleh Rasulullah saw., nabi, dan pemimpin mereka dalam berbagai lini kehidupan. Mereka mengaplikasikan sistem syura pada masa-masa khulafaur-rasyidin. Abu Bakar misalnya, meminta pendapat Umar Bin Khattab dan mengumpulan para sahabat lainnya untuk membincangkan persoalan apa saja yang tidak didapati nashnya dalam Quran dan tidak pula dalam Sunnah. Dan begitu pula yang dilakukan Umar, Utsman, Ali, dan para pemimpin penaklukan.
Saat terjadi pertempuran dengan Persia, Panglima Tentara Persia meminta bertemu dengan Panglima Perang Kaum Muslimin untuk melakukan perundingan. Setelah Panglima Tentara Persia itu menyampaikan keinginannya, Panglima Perang Muslimin menjawab, “Beri saya waktu untuk bermusyawarah dengan orang-orang.” Panglima Persia itu mengatakan, “Kami tidak mengangkat orang yang selalu mengajak bermusyawarah sebagai pemimpin.” Panglima Muslim itu menjawab, “Karena itulah kami selalu mengalahkan kalian. Kami justru tidak pernah mengangkat pemimpin dari orang yang tidak mau bermusyawarah.”
Abu Bakar Ash-Shiddiq mengambil keputusan untuk memerangi orang-orang yang murtad setelah meminta pendapat para sahabat secara luas. Beliau meyakinkan mereka dengan nash-nash dan dalil-dalil yang dikemukakannya. Itu pula yang dilakukan oleh Al-Faruq. Dan Ali Bin Abi Thalib mensyaratkan agar orang-orang merujuk kepada ahlusy-syura (orang-orang yang berkompeten untuk bermusyawarah) sebelum ia bersedia menerima kepemimpinan kaum mukminin.

Syura wajib diikuti
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. –baik yang bersifat qauli (perkataan) maupun ‘amali (praktik)– telah menjelaskan bahwa syura memiliki nilai tinggi, wajib diikuti, dan bagian tak terpisahkan dari agama Islam. Firman Allah swt., “Maafkanlah mereka, mintakanlah ampunan bagi mereka, dan ajaklah mereka bermusyawarah.” (QS. Ali ‘Imran: 159)
Ayat itu turun setelah terjadi Perang Tabuk. Ayat itu mengakui kebenaran jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw. yang telah mengajak bermusyawarah kepada para sahabat untuk menghadapi orang-orang kafir di Uhud.
Dalam ayat 159 surah Ali ‘Imran: “fa bimaa rahmatin minallaahi linta lahum” (maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka) menunjukkan adanya perintah eksplisit wajibnya bersikap lemah lembut dan menyebarkan kedamaian dalam hati orang-orang yang bermusyawarah (para pembuat keputusan); dan mencerabut rasa takut dari hati mereka serta membuka ruang bagi mereka untuk mendiskusikan persoalan. Walaupun pada dasarnya mereka harus taat baik dalam hal yang ia suka atau pun dalam hal yang ia tidak suka.
Walau kunta fazhzhan ghalizhal-qalbi lanfadhdhu min haulik” (sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu), seandainya para peserta musyawarah merasakan ketakutan di tengah majelis pemimpinnya tentu mereka akan memilih patuh dalam rangka menyelamatkan diri dan akan menerima segala apa yang dikatakannya. Mereka tidak akan berani mengemukakan gagasan dan pemikiran mereka. Mereka juga tidak akan susah payah membela hujah-hujah mereka.
Jadi, suasana yang harus dimunculkan, seperti yang diungkapkan Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya, Tafsir Al-Quranil-‘Azhim, adalah suasana penuh keakraban dan kebersihan hati agar mereka lebih bersemangat melaksanakan musyawarah itu.
Fa’fu ‘anhum wastaghfir lahum wa syaawirhum fil-amr” (maka maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu). Jika suasana kedamaian telah muncul di kalangan para peserta musyawarah, maka adalah kewajiban mereka untuk bekerja keras dalam mengemukakan pandangan guna mencari solusi dan alternatif, menyampaikan alasan, pilihan dan skala prioritas.
Penyebutan perintah musyawarah setelah perintah memaafkan dan memohonkan ampunan tidak harus dipahami sebagai urutan. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Dan pemaafan serta permohonan ampunan terus berlangsung hingga usai majelis musyawarah. Tujuannya adalah untuk memaafkan dan memintakan ampunan kepada Allah atas segala kesalahan yang dilakukan para peserta musyawarah seperti omongan yang sia-sia, kekasaran dalam berbicara tanpa sengaja, dan sebagainya.
Kedudukan Syura
Al-Fakhrur-Razi, dalam tafsirnya, mendukung pendapat bahwa syura hukumnya wajib. Sebab hukum syura ditetapkan melalui perintah (amr). Sedangkan perintah menunjukkan makna wajib. Pendapat itu pula yang dipilih oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya. Abu Hurairah mengatakan, sebagaimana dicatat oleh Al-Bukhari, “Aku tidak melihat orang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya selain Rasulullah saw.”
Perbedaan pendapat terjadi dalam membincangkan: apakah hasil syura itu mengikat? Makna syura yang mengikat adalah syura yang menjadikan pemimpin atau penanggungjawab terikat dengan keputusan yang muncul dari jama’ah yang direpresentasikan oleh majelis niyabi (majelis perwakilan atau majelis syura) atau keputusan musyawarah yang dilakukan oleh ahlul-halli wal-‘aqdi , istilah yang populer dalam fiqih Islam. Ada pendapat yang mengatakan bahwa syura itu mengikat. Ada pula yang mengatakan bahwa ia hanyalah memberi informasi.
Pendapat yang mengatakan bahwa syura bersifat informatif belaka konsekuensinya bahwa pemimpin, amir, atau pun amirul-mukminin boleh meminta pendapat para ulama, para fuqaha, para pemikir dan orang-orang yang mempunyai keahlian tertetu. Akan tetapi, ia tidak terikat oleh pendapat mereka. Ia boleh melakukan apa saja yang menurutnya baik dan diyakininya, selama tidak bertentangan atau keluar dengan nash.
Para fuqaha, pemikir, mujtahid, dan ahli hadits kontemporer kita telah sampai pada kesimpulan bahwa syura itu mengikat pemimpin jika syura itu muncul dari lembaga yang dikhususkan dan berkompeten untuk itu. Mereka mengambil dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Al-Qur’an ada dua ayat yang membicarakan masalah syura. Yang pertama, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulaatkan tekad, maka bertakwakallah kepada Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 159)
Para ulama memahami dari ayat itu bahwa imam meminta pendapat kemudian setelah itu memancangkan tekad. Atas apa dia bertekad? Untuk melaksanakan pendapat yang bukan merupakan pandangannya? Ataukah atas pendapat yang bertentangan dengan pendapat ahlus-syura? Tentu tidak. Sesungguhnya syura tidak berbenturan dengan tekad (‘azm) setelah jelas yang paling tepat dan paling maslahat.
Dan ayat kedua menggambarkan bahwa kaum mukminin dalam kehidupan mereka, shalat mereka, interaksi mereka dan dalam segala urusan penting mereka berpijak di atas landasan saling memahami dan musyawarah guna mencapai hal yang lebih baik dan lebih maslahat. Ayat tersebut terdapat pada surat Asy-Syura ayat 38.
Ada pun dalam Sunnah kita mendapati Rasulullah saw. sebegitu jauh menggunakan syura ini. Beliau banyak sekali meminta pandangan para sahabat dan keluarganya, laki-laki dan perempuan, dewasa dan anak-anak, orang-orang secara umum dengan aneka cara dan berbagai bentuk. Artinya beliau mengajari manusia secara umum untuk berpartisipasi, berpikir, dan turut bertanggungjawab.
Rasulullah saw. pernah berbicara kepada Abu bakar dan Umar, “Jika kalian berdua bersepakat atas satu urusan niscaya aku tidak akan berbeda pendapat dengan kalian.” Dalam pernyataan itu, ada isyarat yang jelas adanya prinsip mayoritas. Dan bahwa hasil syura mengikat pemimpin walaupun semua itu bukan merupakan pendapatnya.
Dalam situasi perang, tidak banyak kesempatan untuk mengembangkan iklim dialogis sehingga peran musyawarah menjadi lemah dan kecil. Namun demikian, sebagai bukti concern-nya Rasulullah saw. dalam mengokohkan tiang kehidupan masyarakat Islam, beliau tetap bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam saat terjadi Perang Badar, Perang Uhud, dan Perang Khandaq. Rasulullah saw. menerima dan mengikuti pendapat mereka tanpa mengecam mereka karena kemudian terbukti bahwa usulan mereka tidak menguntungkan kaum Muslimin. Rasulullah saw. tidak mengatakan kepada mereka, misalnya, “Tuh lihat, apa yang terjadi akibat kalian bersikeras untuk keluar dari Madinah ke Uhud dan tidak mau mengikuti pendapatku?” Agar pemikiran mereka tidak menjadi tumpul dan agar partisipasi mereka tidak menjadi sempit. Sebab, mereka hanya menyampaikan gagasan yang mereka anggap baik atas dasar keikhlasan dan keyakinan.
Sikap para fuqaha kontemporer
Bila kita menelaah apa yang ditulis dan dikemukakan oleh para ulama dan mujtahid kontemporer, yang mempunyai reputasi tinggi dan terpercaya dalam hal ilmu dan keamanahannya, kita akan menemukan bahwa sejumlah besar mereka berpandangan bahwa syura itu bersifat mengikat.
Hasan Al-Banna –pendiri jamaah dakwah Ikhwanul Muslimin– pada mulanya berpandangan bahwa syura hanya bersifat masukan. Dia begitu bersemangat menawarkan gagasan itu kepada sahabat-sahabatnya, melalui dialog-dialog. Akan tetapi, pada masa-masa akhir kehidupannya ia menerima pandangan bahwa syura bersifat mengikat. Beliau mewariskan sebuah qanun (undang-undang) jama’ah yang disusun oleh tim yang terdiri dari ‘Abdul-Hakim ‘Abidin, Thahir Al-Khasysyab, dan Shalih Al-‘Asymawi. Dengan diketuai oleh Hasan Al-Banna, tim itu mengajukan draft undang-undang tentang syura itu. Maka, ditetapkanlah undang-undang itu pada tahun 1948 –setahun sebelum ia syahid. Undang-undang itu menyatakan keharusan menerima dan memegang pandangan mayoritas. Jika ada suara berimbang, maka pemimpim jama’ahlah yang menimbang di antara keduanya. Dan cara semacam itu dipakai dalam setiap lembaga modern di sebagian besar penjuru dunia ini.
Tampaknya, Hasan Al-Banna mengambil pandangan bahwa syura bersifat masukan saat para muridnya masih baru tumbuh. Namun, setelah mereka mencapai kematangan dalam pemahaman, ia mengambil pandangan bahwa syura itu mengikat. Agar hal itu menjadi landasan yang kokoh dalam qanun asasi bagi tanzhim yang dibangun dan dipimpinnya itu.
Al-Maududi juga mempunyai pandangan serupa dengan pandangan Hasan Al-Banna itu. Ia mengatakan bahwa syura bersifat memberikan masukan saja. Dalam bukunya, Nizham Al-Hayat Fil-Islam, ia menyatakan bahwa kepala negara mempunyai hak menolak pendapat syura. Namun pada akhirnya, setelah melalui pengalaman panjang dalam memimpin jama’ah yang ia dirikan, ia meninggalkan pandangan itu dan mengambil pandangan tentang syura yang mengikat. Ia kemudian mengukuhkan pandangannya itu dalam bukunya, Al-Hukumah Al-Islamiyyah. Di situ ia menegaskan wajibnya menerima apa yang telah menjadi kesepakatan semua atau mayoritas ahlus-syura. Jika tidak, maka syura kehilangan makna dan nilainya, sebagaimana yang dikatakan Al-Maududi.
Dr. Musthafa As-Siba’i pun mempunyai pandangan itu dan ia puas dengan pandangan itu selama ia menjadi mas’ul (pemimpin) tanzhim Ikhwan di Suriah. Begitu pula Syaikh Muhammad Syaltut dalam bukunya, Min Taujihatil-Islam, dan Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Asy-Syahid Sayyid Qutuhb, Asy-Syahid ‘Abdul-Qadir ‘Audah, Dr. Muhammad ‘Abdul-Qadir Abu Faris, dan lain-lain. Mereka semua menganut pandangan itu. Dan pandangan mereka itu selalu ditegaskan dalam buku-buku dan ceramah-ceramah mereka.
Aplikasi di kalangan sahabat
Syura seperti yang dipraktikkan Rasulullah saw. dilakukan pula para khulafaur-rasyidin. Ketika Abu Bakar bermusyawarah untuk memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat dan beberapa orang menentangnya, di antaranya Umar Bin Khattab, ia tidak melepas urusan itu begitu saja dan tidak pula semena-mena dengan pendapatnya sendiri. Abu Bakar melawan mereka dengan argumentasi hingga mereka tak berkutik lagi. Keputusannya adalah memerangi orang-orang yang memisahkan antara shalat dan zakat karena mereka dipandang telah murtad.
Dalam kitabnya, Al-Kharaj, Al-Qadhi Abu Yusuf menyebutkan bahwa ‘Umar Bin Khattab bermusyarah dengan para sahabat lainnya tentang tanah Iraq dan Syam. Ia menginginkan agar tanah itu menjadi wakaf bagi kaum Muslimin secara umum untuk memenuhi kebutuhan dana jihad; menggaji para hakim, para pegawai pemerintahan, dan para prajurit; memberi nafkah kepada para janda, anak yatim, dan orang-orang yang membutuhkan; serta manfaat lainnya bagi seluruh kaum Muslimin. Ternyata, ada orang yang berpandangan berbeda dengan usulan itu. Maka diadakanlah musyawarah yang melibatkan sepuluh orang sahabat penduduk Madinah. Mereka berdiskusi selama tiga hari sampai Umar mengemukakan argumentasi yang meyakinkan mereka akan kebenaran pendapatnya. Dan itulah yang menjadi keputusan syura.
Umar tidak melalukan tekanan kepada majelis syura. Yang terjadi justru sebaliknya. Umar mengatakan kepada mereka saat berkumpul, “Saya mengganggu kalian tidak lain agar kalian berperan serta dalam menanggung amanah saya dan urusan-urusan kalian yang saya pikul. Saya tidak lain seperti kalian juga. Dan hari ini, kalian telah mengemukakan kebenaran. Ada yang berbeda dan ada yang setuju dengan saya. Saya tidak ingin kalian mengikuti pendapat saya. Bersama kalian ada Kitabullah yang berbicara kebenaran. Demi Allah, jika saya mengatakan sesuatu yang kuinginkan maka saya tidak menginginkan selain kebenaran.” Mereka menjawab, “Kami dengar, wahai Amirul-Mukminin.” Allahu a’lam.

Ustadz Iman Santoso, Lc
Readmore »»

Kamis, 30 Desember 2010

Berbaik Sangka kepada ulama

Oleh: Farid Nu’man hasan

                Telah sampai kepada kami, email yang berisi tulisan yang berjudul: Kurang Kerjaan, Syaikh Qardhawi Puji Qatar Jadi Tuan Rumah Piala Dunia, yang berasal dari sebuah media Islam di internet yang katanya menjadi Media Islam Rujukan, yakni eramuslim. Dan, Alhamdulillah kami telah membacanya. Sayangnya, pada situs Media Islam Rujukan tersebut tidak dipaparkan secara utuh bagaimana isi perkataan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah yang katanya berasal dari khutbah Jumat Beliau.

                Maka, saya nasihatkan kepada diri saya sendiri dan kaum muslimin, termasuk   admin eramuslim secara khusus, yang telah menuliskan tulisan tersebut di dunia maya dengan bahasa yang tidak patut diberikan kepada  ulama dan orang tua (Syaikh Al Qaradhawi saat ini berusia 84 tahun), “kurang kerjaan” lalu nantinya dibaca oleh ribuan manusia, hingga akhirnya sedikit banyak menggerus kehormatan ulama tersebut. Walaupun eramuslim –bisa jadi atau bisa saja beralasan: “kami tidak bermaksud demikian.” Atau “kami hanya menyampaikan berita.”  Maka, mari kita takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla dari tergelincirnya lisan (dzallatul lisan) dengan merendahkan para ulama,  siapa pun dia, yang telah menghabiskan seluruh hidup dan umurnya untuk da’wah, ilmu, dan jihad.    Ketidaksetujuan kita terhadap pernyataan mereka, atau pendapat mereka, atau perbuatan mereka, tidaklah lantas menggugurkan sikap ta’zhim kepada mereka, lalu melupakan kita terhadap semua kebaikan yang telah dibangunnya sejak awal dakwahnya.  Berkacalah kepada diri sendiri,  apa yang telah kita lakukan untuk kemajuan Islam dan umat Islam?

Mari kita merenungkan hadits nabi yang mulia, sebagai berikut:

Dari ‘Ubadah bin Ash Shaamit Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

Bukan termasuk umatku, orang yang tidak menghormati orang besar kami (orang tua, pen), tidak menyayangi anak kecil kami, dan tidak mengetahui hak ulama kami.” (HR. Ahmad No. 22755, Al Bazzar No. 2718, Ath Thahawi dalam Syarh Musykilul Atsar No. 1328, Asy Syaasyi dalam Musnadnya No. 1272. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih lighairih. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 22755. Syaikh Al Albani menghasankan. Lihat Shahihul Jami’ No. 5443)

                Tiga hal dalam hadits ini yang dinilai bukan golongan umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yakni:

1.       Tidak menghormati orang besar/orang tua.

2.       Tidak sayang dengan yang kecil

3.       Tidak mengetahui hak ulama

Dalam konteks Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, maka terkumpul dua hal padanya; orang tua dan ulama, kalau pun eramuslim tidak mengakui keulamaannya, paling tidak dia adalah orang tua dan tokoh Islam abad modern. Kalau pun eramuslim tidak mengakui ketokohannya, paling tidak dia adalah saudara seiman kita. Semoga eramuslim masih mengakui keulamaan dan ketokohannya.

Namun sekedar pengakuan itu adalah perkara mudah! Terpenting adalah mengetahui hak ulama, dan memberikan hak itu kepada mereka, di antara hak ulama adalah  berprasangka baik kepada mereka, baik kepada perkataan, perbuatan, dan pendapatnya,  dan tidak berkata kecuali yang baik untuk mereka, dan senantiasa mendoakan mereka baik dunia dan akhiratnya.

Imam Ibnu ‘Asakir memberikan nasihat buat kita, khususnya orang yang merendahkan ulama (karena merasa sudah jadi ulama sehingga merendahkannya!):

يا أخي وفقنا الله وإياك لمرضاته وجعلنا ممن يغشاه ويتقيه حق تقاته أن لحوم العلماء مسمومة وعادة الله في هتك أستارمنتقصيهم معلومة وأن من أطلق لسانه في العلماء بالثلب ابتلاه الله تعالى قبل موته بموت القلب فليحذر الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو يصيبهم عذاب أليم

Wahai saudaraku –semoga Allah memberikan taufiq kepada saya dan anda untuk mendapatkan ridhaNya dan menjadikan kita termasuk orang yang bertaqwa kepadaNYa dengan sebenar-benarnya- dan Ketahuilah, bahwa daging–daging ulama itu beracun, dan sudah diketahui akan kebiasaan Allah dalam membongkar tirai orang-orang yang meremehkan mereka, dan sesungguhnya barang siapa siapa yang melepaskan mulutnya untuk mencela ulama maka Allah akan mengujinya dengan kematian hati sebelum ia mati: maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (Imam An Nawawi, At Tibyan, Hal. 30. Mawqi’ Al Warraq)

Ya, janganlah menyalahi perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan merendahkan para ulama.

Sungguh telah lama berlalu, para ulama yang lebih utama dibanding Syaikh Al Qaradhawi, mereka pun pernah mengeluarkan pernyataan yang lebih parah dibanding Syaikh Al Qaradhawi, seperti Imam Yahya bin Ma’in, Imam Al Baihaqi, dan lainnya, namun para imam kita, seperti Imam Adz Dzahabi memberikan ta’wil dan ‘udzur dalam rangka berbaik sangka terhadap mereka.

Sebagai contoh, Imam Yahya bin Ma’in pernah mengatakan –ketika melihat ada wanita cantik: “Allah bershalawat kepada wanita itu.” Seorang muridnya bertanya heran tentang ucapannya itu. Imam Yahya bin Ma’in mengulangi lagi: “Ya, Allah bershalawat kepada yang indah-indah.”

Imam Adz Dzahabi  dalam As Siyar-nya mengomentari hal ini dengan berbaik sangka bahwa itu sebagai gurauan semata dari Imam Ibnu Ma’in. (Subhanallah! Apa jadinya jika Imam Yahya bin Ma’in hidup zaman sekarang?! Mungkin ada yang berkomentar: “Kurang kerjaan tuh ulama!! Atau “ulama cabul?” )

Dahulu ada Imam Ibnu Ma’in dan komentarnya yang sebenarnya tidak wajar bagi ulama sekelas beliau, tetapi dahulu ada Imam Adz Dzahabi yang memberikan baik sangka kepadanya.

Saat ini ada Syaikh Al Qaradhawi dan komentarnya yang masih manusiawi (sebagaimana manusiawinya kita –misal-  ikut senang dan senyum ketika kesebelasan Indonesia menang melawan Thailand), namun saat ini tidak ada Imam Adz Dzahabi-nya yang  bisa berbaik sangka kepadanya, yang ada adalah eramuslim yang mencoba menasihatinya (dan memberitakannya) dengan sebutan “kurang kerjaan.” Allahul Musta’an!

Berkata Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullah ketika menasihati kalangan yang suka mencela para ulama dan da’i:

والمؤمن ينبغي أن يحمل كلام أخيه على أحسن المحامل، وقد قال بعض السلف: لا تظن بكلمة خرجت من أخيك السوء، وأنت تجد لها في الخير محملاً.
Seorang mu’min hendaknya menafsirkan perkataan saudaranya dengan penafsiran yang baik, sebagian salaf mengatakan: janganlah kau berprasangka buruk dengan perkataan yang keluar dari saudaramu, padahal engkau menemukan adanya makna yang baik pada perkataannya. (Fatawa Syabkah Al Islamiyah No. 18788)

Berkata Syaikh Dr. Abdullah Al Faqih –ketika memberikan nasihat kepada orang yang mencela Syaikh Al Qaradhawi:

ويجب احترام العلماء وتوقيرهم ، وإحسان الظن بهم ، ولزوم الأدب في نقاشهم أو الرد عليهم.
وإهانة العلماء وازدراؤهم -مع كون ذلك محرماً- يهون من قيمة العلم وأهله ، ويجرئ العامة على ترك التعلم ، والعزوف عن مجالس العلماء ، وربما قادهم ذلك إلى نبذ الدين رأساً.
والله المستعان.
Wajib menghormati para ulama dan  menjaga kewibawaan mereka, dan berbaik sangka terhadap mereka, dan mesti menjaga adab dalam berdiskusi dan menyanggah pendapat mereka.
Menghina ulama dan merendahkan mereka –yang mana itu adalah perbuatan haram- (berarti) telah menghina ilmu dan ahlinya, dan membuat orang umum meninggalkan upaya menuntut ilmu, dan menjauhi majelis para ulama, dan barang kali itu juga menuntun mereka untuk mengenyampingkan agama secara langsung. Wallahul Musta’an! (Fatawa Syabkah Al Islamiyah No. 10713)


Afna Hayatahu fid Da’wah

                Dahulu, Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq ketika ke Indonesia dan mengetahui ada sebagian kecil da’i menjelek-jelekkan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, beliau mengatakan: “Afna hayatahu fid da’wah!” (Hidupnya (Al Qaradhawi) telah dihabiskan untuk dakwah). Ya, hanya orang besar yang mampu menghormati orang besar!

                Orang yang oleh eramuslim disebut “kurang kerjaan” ini telah melalui penyiksaan di penjara pada masa mudanya, ikut berjihad di Terusan Suez, menghasilkan banyak karya bahkan sangat banyak dalam berbagai kajian Islam, posisinya pun penting dalam berbagai lembaga Fatwa, organisasi Islam dunia, ikut menyumbang hartanya dalam pembentukan bank-bank muslim di berbagai Negara muslim, dan … dan ………….. demikianlah profil ulama “kurang kerjaan.”  Sehingga Syaikh Abdul Majid Az Zindani menyebutnya sebagai: faqih yang mujahid!

                Hanya karena Syaikh Al Qaradhawi menunjukkan rasa senangnya Qatar menjadi tuan rumah piala dunia 2022, dan Syaikh juga menyebutkan alasan rasa suka citanya, yakni Qatar berhasil merendahkan Amerika Serikat! Inilah yang harusnya ditangkap dibalik kegembiraan Al Waalid Asy Syaikh Al Qardhawi.  Sekali pun hal itu salah dan kita tidak menyetujuinya, maka kesalahan tersebut tidak usah diapresiasikan dalam bentuk komentar yang seakan menggurui, seakan Syaikh belum pernah melakukan apa-apa, seakan eramuslim ingin mengajarkan kepadanya bagaimana seharusnya, dan mengatakan kepadanya: “seharusnya Anda sibuk dan  melakukan hal yang lebih bermanfaat …” . Padahal merendahkan ulama dan menyebut mereka kurang kerjaan lebih bukan  perkara membawa manfaat, justru mudharat bagi pelakunya sebagaimana dikatakan Imam Ibnu ‘Asakir Rahmihullah.

                Apalah artinya eramuslim –dahulu dan sekarang- sering mengutip dan memuat tulisan Syaikh Al Qaradhawi, tapi juga melecehkannya di sisi lain hanya karena komentar piala dunia! Apalah artinya pelukan hangat jika keris dihujamkan dari belakang?

                Terakhir …………………, ketahuilah! Merendahkan ulama tidaklah sama dengan merendahkan manusia lainnya, merendahkan ulama akan berdampak pada apa yang juga dibawanya, karena perendahan itu dapat menghilangkan kewibawaan dan merendahkan keilmuannya. Sehingga akhirnya umat menjauh dari para ulama .. bahkan dari agamanya.

                Wallahu A’lam wa ilaihil musytaka …

Readmore »»

Rabu, 29 Desember 2010

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqVJ8-_9gtzJtwd3Zvseip-de-McApitHCIgM52ONVichQmbdnX91VLtakT1XPW2MyZ5en_p7q7JsQ3nrwqNlFexFOnHk6hbYpdslrqvq-21wKoQk_k6atIdOn6cdHR0cFgKRLv7OdfLR8/s1600/z27.jpg

Dakwah Kepada Allah; Antara Sebab dan Akibat

| |
Islamedia:Segala puji bagi Allah, salawat dan salam atas Rasulullah saw beserta keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan… selanjutnya:

Tidak ada keraguan tentunya bahwa dakwah kepada Allah SWT dalam semua dimensinya harus berjalan sesuai dengan aturan utama yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw, dan Allah SWT telah memberikan takhlif kepada kita untuk menunaikan dakwah ini, sebagaimana telah menyerahkan tanggung jawab penting kepada kita, bahkan secara tegas Allah  SWT menekankan bahwa semua makhluk tidak diberikan beban kecuali sesuai dengan kesanggupan dan kemampuannya, karena itu, dakwah kepada Allah dalam berbagai dimensi dan sarananya adalah suatu kewajiban , sebagaimana yang difirmankan Allah SWT:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (An-Nahl:125)

Sesuai dengan kemampuannya, setiap individu muslim berkewajiban menunaikan dakwah ini; baik pria ataupun wanita, tidak ada alasan untuk menggugurkan perintah ini walaupun memiliki udzur (alasan). Allah SWT berfirman:

لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka Berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (At-Taubah: 91)

Karena tugas ini merupakan kepanjangan tangan dari tugas yang dalam syariat Islam sejak kita menyerahkan diri untuk Allah SWT, Tuhan semesta alam.

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik”. (Yusuf:108)

Bahkan jinpun memahami akan tugas ini, sejak dibacakan ayat Al-Qur’an, dan mereka langsung menunaikan tugas ini..

فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ
“Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan”. (Al-Ahqaf:29)

Dan Nabi tercinta saw telah menunaikan tugas ilahi ini dalam segala situasi dan kondisinya, memanfaatkan semua kemungkinan yang tersedia, dan bahkan pada saat beliau di Mekah Al-Mukarramah, saat bersama dengan umat Islam menghadapi kezhaliman dan penindasan sehingga beliau bersabda:

من يؤويني حتى أبلغ دعوة ربي؟
“Siapa yang mau membela dan melindungiku sehingga aku mampu menyapaikan dakwah Tuhanku?”

Dan belaiu masuk di bawah perlindungan Al-Muth’im bin Adi, padahal dia adalah seorang musyrik, namun dengan memanfaatkan salah satu nilai-nilai positif masyarakat jahili yaitu menghormati tetangga, beliau juga melakukan aliansi dengan semua kekuatan yang ada dalam masyarakat saat itu, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan dalam meraih tujuan mulia, yaitu menghilangkan kezhalimnan dari  semua yang tertindas, siapa pun dia, sehingga beliau masuk dalam aliansi berkomitmen kepada semua pihak dalam berbagai kebajikan “hilful fudhul” (aliansi kebajikan) di rumah Abdullah bin Jad’an”.

Nabi saw juga memanfaatkan persatuan Arab dari berbagai kabilah di baitullah Al-Haram, begitupula persatuan di pasar-pasar, baik pasar loak, atau pasar sastra dan puisi, hal ini telah dipraktekkan oleh Nabi Nuh as seperti yang  disebutkan dalam Al-Quran Al-Karim; beliau menggunakan segala cara dan sarana dakwah dalam berbagai kondisinya meskipun harus  menghadapi berbagai tekanan .. Allah SWT berfirman:

قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلا وَنَهَارًا
“Nuh berkata: “Ya Tuhanku Sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang”. (Nuh:5)

ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا . ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنْتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا .
“Kemudian Sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan. Kemudian Sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam”. (Nuh:8-9)

Dan para generasi Islam juga telah menunaikan tugas Allah ini dengan baik; mengemban amanah risalah dan menyampaikannya dari satu generasi ke generasi lainnya, sebagaimana yang telah disampaikan kabar gembiranya oleh Rasulullah saw:

يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين، وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين
“Hendaknya yang membawa ilmu ini orang yang berada dibelakang memiliki sifat adil sehingga mampu menghilangkan berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh orang yang melampaui batas, rekayasa para pelaku kebatilan dan ta’wil para jahili”.

Sebagaimana beliau juga memberikan kabar gembira kepada kita bahwa contoh teladan ini akan tetap ada pada generasi yang senantiasa membawa dan mengemban amanah dan risalah ini hingga hari kiamat sekalipun harus menghadapi berbagai rintangan dan tekanan, sekalipun harus menghadapi syaitan-syaitan dari bangsa jin dan manusia dengan berbagai rintangan dan kendala yang dibawanya

لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خالفهم ولا من خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم كذلك
“Umatku akan senantiasa tampil pada kebenaran, tidak takut akan ancaman dari orang-orang yang menentangnya dan celaan mereka hingga datang keputusan Allah dan mereka tetap dalam kondisi demikian”.

Dua kalimat yang disebutkan dalam hadits nabi saw merupakan ungkapan singkat namun padat bukan dua kata yang bersinonim sama, namun setiap kata dari dua kata tersebut memiliki makna yang kita butuhkan dalam menempuh jalan dakwah ini, merupakan ringkasan dari berbagai problema yang senantiasa dihadapi dalam amal jama’i ini.

Kata pertama adalah orang-orang yang menyimpang, maknanya adalah tidak akan berjalan mulus bersama mereka para penyimpang sejak awal dakwah yang mereka tempuh.

Kata kedua adalah orang-orang yang mencela mereka, maknanya adalah kata dalam bentuk lain yaitu bahwa satu kelompok orang yang berada ditengah bagian dari dakwah, namun akhirnya lepas dari melanjutkan amal dakwah bersama mereka baik dalam kondisi menghadapi ujian yang sangat keras atau kondisi fitnah kesenangan.

Inilah yang terjadi dan dialami oleh jamaah yang penuh berkah ini, akan panjangnya perjalanan dakwah dan usianya yang panjang dan luas secara geografis dan historis, persis seperti yang disampaikan oleh Nabi SAW.

Hasan Al-Banna rahimahullah telah mereguk sumber yang jernih ini, dan mengarahkan dan menuntun para pengikutnya, beliau adalah mursyid pertama jamaah ini yang mengikuti sunnah Nabi SAW dalam mengerahkan potensi yang dimiliki, disertai dengan keikhlasan dan pengorbanan serta ikatan yang kuat pada setiap individu jamaah sehingga mereka seperti bangunan yang kokoh dan kuat, mampu memberikan kemuliaan kepada mereka yang berusaha melindunginya.

Namun Allah SWT tidak membebani kita dengan hasil; karena hasil seringkali tidak datang hasil dengan keinginan kita setelah melakukan segala upaya lalu mengakibatkan putus asa dalam jiwa, tapi datang hiburan dari teladan kita Rasulullah saw ketika menghadapi berbagai tekanan dan bahkan serangan yang puncaknya adalah ketika di Taif , meskipun dia pergi ke Taif untuk menunaikan dakwah kepada Allah dan mengharap ridha-Nya dan dan tidak mendapat respon sedikitpun dari mereka, namun beliau tetap berharap dari mereka yang mendapat petunjuk

اللهم اهدِ قومي فإنهم لا يعلمون
“Ya Allah, berikanlah kepada mereka hidayah karena mereka tidak mengtahui”

وَيَا قَوْمِ مَا لِي أَدْعُوكُمْ إِلَى النَّجَاةِ وَتَدْعُونَنِي إِلَى النَّارِ
“Hai kaumku, Bagaimanakah kamu, aku menyeru kamu kepada keselamatan, tetapi kamu menyeru aku ke neraka?” (Ghafir:41)

فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَمَا سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى اللَّهِ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku Termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)”. (Yunus:72)

قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ فَإِنَّهُمْ لا يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللَّهِ يَجْحَدُونَ
“Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah”. (Al-An’am:33)

إِنْ عَلَيْكَ إِلا الْبَلاغُ
“Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah)”. (As-Syura:48)
Dan kita bersaksi bahwa nabi saw telah menyampaikan risalah dan meunaikan amanah dengan sebaik-baiknya atas apa yang ditugaskan kepadanya, dan kami memohon kepada Allah SWT untuk memberinya ganjaran terbaik kepada kami sebagaimana yang diberikan kepada nabi kepada umatnya, Nabi telah menceritakan kepada kita bahwa setiap nabi dari para utusan Allah saw akan dibangkitkan pada hari kiamat, walau tidak ada seorangpun yang merespon, seperti Nuh AS sebagai nabi yang usianya paling panjang dan salah satu dari ulul azmi, tinggal bersama kaumnya selama 950 tahun namun tidak ada yang merespon dakwah beliau kecuali hanya sedikit saja.

Allah SWT memisahkan antara sebab dan akibat seperti dalam firman Allah:

فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
“Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya”. (Al-Mulk:15)

Rasulullah saw dan sahabatnya membuat parit pada saat perang ahzab dan tidak menyadari adanya peperangan yang terjadi disekitarnya, namun datang hasilnya kepada beliau berupa kemenangan dari Allah dalam bentuk angin yang keras lagi dingin, hal tersebut tidak masuk dalam perkiraan mereka. Nabi saw juga membuat strategi yang begitu detail dan bagus pada saat akan melakukan hijrah ke Madinah, namun pada saat orang-orang kafir sampai ke Gua Tsur tempat nabi dan sahabatnya bersembunyi Allah memberikan pertolongan di luar konsep dan strategi yang dibuat oleh nabi saw dengan memalingkan pandangan mata orang-orang kafir.

Dan saudara-saudara kita para mujahidin di Palestina dan lainnya yang sedang menghadapi berbagai kesulitan dan cobaan untuk menghadirkan pertolongan Allah dan kemenangan dari arah yang tidak mereka duga setelah menyempurnakan dan menunaikan sebab-sebabnya, contohnya sangatlah banyak, namun secara singkat yang kita berharap kepada Allah dapat memberikan manfaat dalam agama dan dunia kita dalam topik seperti ini, yaitu:

  1. Ketulusan dari niat untuk Allah semata, karena dengannya kita mendapat ganjaran, taufik dan pertolongan serta kemenangan.
  2. Ketika tercapai apa yang kita inginkan, maka kita memuji Allah SWT atas karunia dan taufik yang telah diberikan kepada kita.
  3. Jika tidak tercapai apa yang kita harapkan, kita harus yakin bahwa ganjaran telah ditetapkan untuk kita, dan memohon semoga Allah SWT mentaqdirkan kita kebaikan; dimanapun dan bagaimanapun, kemudian Allah meridhai kita.
  4. Senantiasa melakukan tugas dalam hal apapun setelah memastikan keamanan mengambil sebab-sebabnya, dan mengerahkan seluruh potensi yang menegaskan bahwa segala perbuatan hanya karena Allah, karena selama amal untuk Allah maka akan kekal dan sampai kepada-Nya.
  5. Kita masih ingat sikap Hajar yang melakukan berbagai sebab dengan lari tujuah kali, yang mana pada setiap larian tidak mendapatkan hasil yang diinginkan, namun beliau tidak putus asa dan terus berlari sehigga terwujud seperti yang diinginkan oleh Allah untuknya dari berbagai kebaikan dan anugerah.
  6. Kita masih ingat wasiat Rasulullah saw untuk kita bahwa beliau bersabda
إذا قامت القيامة وفى يد أحدكم فسيلة فليغرسها
“Jika terjadi kiamat dan di tangan salah seorang dari kamu ada benih yang bisa ditanam maka tanamlah,”

Ini adalah akhir dari dunia dan bahkan benih berarti penanaman pohon kurma yang tidak berbuah kecuali setelah bertahun-tahun lamanya, dan tidak ada hasil yang diharapkan kecuali kelanjutan dari berbuat positif dan menunaikan tugas dan menggapai ganjaran yang telah dijanjikan.

Wahai umat Islam dimana saja kalian berada…

Wahai para generasi dakwah dari ikhwan dan akhwat…

Allah telah menganugerahkan kepada kita semua untuk senantiasa ikhlas, senantiasa beramal, senantiasa berharap dan senantiasa memohon pengkabulan, karena itu teruslah kalian bergerak dan beramal di jalan dakwah, semoga Allah memberkahi kalian… semoga Allah memberikan taufik kepada kalian dan tidak menyia-nyiakan amal ibadah kalian, dan semoga Allah SWT memberikan ganjaran yang terbaik dari apa yang telah kalian lakukan…

Allah Akbar dan segala puji hanya milik Allah

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh


Risalah dari Prof. DR. Muhammad Badi, 

Penerjemah:Abu ANaS - alikhwan
Readmore »»

Selasa, 28 Desember 2010


INDIBATH
Asfuri Bahri

Al-Indibath Az-Dzati

Indibath adalah ciri utama yang menopang keberlangsungan dunia kerja seseorang. Tanpa indibath seseorang tidak mungkin mampu mencapai kesuksesan yang pernah menjadi impian dalam hidupnya. Ada beberapa pengertian tentang indibath.
Di antaranya, indibath adalah kedisiplinan diri atau penguasaan terhadap diri seperti yang disebutkan dalam sebuah atsar,
“Jihad terbesar adalah jihad melawan hawa nafsu.” (Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar, yaitu jihad melawan nafsu).
Rasulullah memuji orang yang senantiasa mempunyai control dalam kondisi pelik dan tidak terbawa oleh nafsu syahwat. Beliau bersabda,
إن الله يحب البصر الناقد عند ورود الشبهات والعقل الكامل عند هجوم الشهوات
“Sesungguhnya Allah menyukai pandangan yang kritis di saat banyaknya syubuhat dan otak yang sempurna di saat serangan syahwat.”
Mengendalikan diri adalah tahapan pertama dan terakhir untuk merealisasikan kesuksesan hidup. Karena pada dasarnya mundur, meremehkan, dan menunda merupakan ciri utama manusia. Dan membiarkan jiwa sesuai dengan apa yang disukainya merupakan perbuatan menyenangkan dan menguntungkan untuk jangka pendek. Jika di malam hari anda berada dalam tidur yang nikmat, kemudian anda harus bangun esok hari untuk urusan yang sangat penting. Saat itu adan berada pada dua pilihan; membiarkan diri anda berada dalam kenikmatan tidur yang sesaat terdapat keuntungannya, atau melawan diri anda serta memaksanya untuk melakukan kewajiban dan itu berarti anda meninggalkan kesenangan sesaat demi sesuatu yang lebih penting.
Selain ciri ini, cenderung kepada hawa nafsu, ada lagi ciri lain yang tidak kalah bahayanya, yaitu berlari dari konfrontasi. Jika seseorang tidak mampu berbicara di hadapan audens ia bisa melakukan –kalau tidak dilarang agamanya- mengkonsumsi minuman keras atau zat aditif untuk menambah rasa percaya diri. Berlari dari konfrontasi terhadap masalah-masalah sulit memang ada rasa nikmat sesaat, namun kita akan membayar mahal untuk jangka menengah dan panjang. Sebab persoalan tidak berhenti sampai di situ.
Sifat ini kemudian melahirkan sifat lain yang juga berbahaya, yakni tidak mau menerima realita yang tidak sesuai dengan keinginannya. Jika anda harus melakukan kegisatan tertentu sebagai terapi demi kesehatan, harus bangun pagi-pagi untuk suatu urusan penting, atau harus menyampaikan pidato di hadapan audiens, mestinya tidak ada pilihan kecuali menerima kenyataan itu. Apalagi kewajiban itu tidak bisa dirubah kendatipun kita sendiri tidak tertarik untuk melakukannya. Pada saat itu kita tidak bisa menafikan adanya rasa malas dan bosan yang kerap kali menimpa orang kala dia melakukan suatu pekerjaan. Bahkan ia adalah bagian penting bagi sebuah pekerjaan yang sering dilupakan orang. Di mana banyak orang gagal dengan pekerjaan mereka yang penyebabnya adalah ketidak-mampuan mereka dalam mengatasi rasa bosan. Model orang seperti ini biasanya suka memulai suatu pekerjaan atau sebuah proyek, namun tidak lama setelah itu kejenuhan menimpa jiwanya akhirnya ia meninggalkan pekerjaan dan proyeknya itu untuk berpindah ke pekerjaan dan proyek lain. Ia meninggalkan apa yang telah dimulai lalu berputar-putar mencari cara lain untuk sampai kepada puncak cita-cita. Sebab ia hanya menginginkan sisi yang menyenangkan dari pekerjaan yang dilakukannya. Padahal tidak ada satu pekerjaan pun di dunia ini yang tidak diliputi sisi jenuh.
Ada satu hal penting yang perlu dicermati di sini, yaitu upaya mencari-cari alasan untuk mengalihkan setiap kegagalan. Ini biasanya terdapat pada orang yang kecanduan minuman keras. Dalam hidup kita sangat banyak contohnya.
Seseorang sering terlambat datang ke tempat kerjanya, ia mengalihkan kesalahannya itu dengan argumentasi yang seolah-olah ilmiah ketika ditanya atasannya, “Pekerjaan itu yang penting adalah produksifitasnya, bukan kehadirannya.” Memang benar apa yang diungkapkan, namun kenyataan sesungguhnya adalah, ia tidak ingin datang dan tidak menghendaki produksifitas.
Secara psikologi ada beberapa penyebab seseorang tidak memiliki sifat indibah ini, di antaranya:
  1. Biasa dimanja orang tua di masa kecil.
Anak-anak yang biasa dimanja tidak mengenal keusuksesan malalui kerja keras. Orang tua mereka biasa melakukan semua pekerjaan yang seharusnya mereka kerjakan. Dan ketika dewasa dan mereka harus bertarung dalam realita hidup ini untuk mendapatkan kesuksesan, mereka tidak mendapati orang tua di samping mereka yang melaksakan pekerjaan dan tugas mereka sebagaimana yang dilakukan di masa lalu.
  1. Keinginan untuk mencapai kesempurnaan.
Jika seseorang tidak mampu melakukan sesuatu secara sempurna maka ia tidak melakukannya sama sekali. Prestasi puncak adalah segala-galanya. Kalau tidak mencapai puncak prestasi, lebih baik tidak sama sekali.
  1. Merasa memiliki kekurangan dalam diri
Banyak orang yang tidak bisa membedakan antara merasa memiliki kekurangan dan kenyataan adanya kekurangan. Karena tidak ada orang yang kurang, yang ada adalah lebih rendah dari orang lain dalam beberapa skill. Jika saya tidak bisa mengalahkan anda dalam hal berlari, maka saya berada di bawah anda dalam hal ini. Ini tidak semestinya menjadikan saya merasa kurang dalam segala hal. Anda lebih rendah dari orang lain dalam satu hal, namun lebih dalam hal lain.

Ada beberapa hal yang dapat membantu kita mengatasi kelemahan dalam indibath ini. Di antaranya:
  1. Menentukan tujuan
  2. Mengenal kesedihan dan kesenangan.
  3. Membiasakan diri menghadapi berbagai kesulitan.
  4. Selalu kembali kepada nilai-nilai dan prinsip.
  5. Melepaskan diri dari adat dan kebiasaan negatif.
  6. Mengenal titik-titik kekuatan dan kelemahan diri.
  7. Belajar dari kesalahan.

Al-Indibath As-Syari
Jika untuk menggapai kesuksesan dunia seseorang membutuhkan sifat indibath dzati, untuk kesuksesan akhirat sangat dibutuhkan indibath syari. Yang demikian itu karena Allah menciptakan manusia dan alam semesta ini dengan serius dan tidak dengan sia-sia sebagaimana dugaan orang-orang kafir. Allah berfirman,
“Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mukminun: 115).

Indibath terhadap agama Allah merupakan sarana untuk menjaga keberlangsungan hidup dan kehidupan ini agar senantiasa berada dalam kedamaian dengan izin Allah. Sebaliknya, jika urusan manusia diserahkan kepada manusia itu sendiri dengan hawa nafsunya, yang terjadi adalah kerusakan dan tidak adanya harmonisme dalam hidup. Allah berfirman,
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al-Qur’an) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (Al-Mukminun: 71).
Sebagai bentuk ketundukan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya, seseorang harus mampu menundukkan diri dan nafsunya demi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Al-Ibanah Al-Kubra, Ibnu Batthah, hadits no 291)

Oleh karena itu seorang muslim mesti memiliki indibath terhadap agama Allah yang meliputi:
  1. Indibath aqidi ((الإنضباط العقدي
Ideologi adalah asas utama dalam bangunan keberagamaan seseorang. Kuat tidaknya bangunan itu sangat ditentukan oleh kuat tidaknya keyakinan seseorang kepada Rabbnya yang meliputi Rububiyyah-Nya, Uluhiyah-Nya, dan Asma wa Sifat-Nya. Tidak ada ruang dalam jiwanya selain ketundukan, kecintaan, loyalitas kepada Allah Sang Pencipta. Segala kebaikan senantiasa dikembalikan kepada Allah dan segala keburukan dikembalikan kepada keadilan hikmah Allah. Tidak ada yang terjadi di muka bumi ini tanpa sepengetahuan Allah. Ketika menghadapi berbagai kesulitan dan cobaan, bukan bukan mencari solusi kepada hal-hal yang tidak direstui Allah dengan melakukan tindakan yang menjerumuskannya ke dalam bid’ah dan kesyirikan, meskipun terkadang ada dorongan kuat dan desakan dari dalam jiwa dan orang-orang di sekitarnya.
  1. Indibath ‘ubudi
Seorang muslim mesti melakukan ibadah, dengan kualitas dan kuantitasnya seperti yang telah digariskan oleh syariah dan dicontohkan oleh Rasulullah. Indibath ubudi melingkupi tata-cara, waktu, syarat, rukun, serta menjauhi hal-hal yang dapat merusak nilai ibadah. Tidak meremehkan amal ibadah meskipun ia kecil. Sebab ketika amal, kendatipun kecil, namun dilakukan dengan ikhlas dan ihsan, nilainya besar di sisi Allah Ta’ala.
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ
“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang jika melakukan suatu amal, ia melakukannya dengan itqan.” (Thabrani)
  1. Indibath khuluqi
Indibath seorang muslim juga melingkupi ruangan akhlak dan interaksinya dengan Allah, sesama manusia, dirinya, dan alam semesta. Islam dengan keuniversalitasnya telah mengatur pola hubungan semua itu. Terlebih karena manusia mempunyai misi menjadi khalifah di muka bumi yang bertanggung-jawab mewujudkan keharmonisan di muka bumi sesuai dengan aturan Allah. Jika aturan-aturan itu diterapkan, ia akan menjadi solusi bagi persoalan hidup dan kehidupan ini.
  1. Indibath ‘aqli
Akal menempati posisi mulia di dalam Islam, ia sebagai sebab seorang muslim mendapat taklif dari Allah. Oleh karenanya menjaga akal agar tetap sehat termasuk dharuriyat dalam Islam. Segala tindakan yang dapat merusak akal dilarang. Menjadikan akal sebagai sarana menimbang setiap amal perbuatan adalah keniscayaan agar seseorang mendapatkan kebahagiaan dengan amal perbuatannya. Cara berpikir seseorang dalam kaitan dengan amal adalah melihat untung rugi untuk jangka panjang. Meskipun sebuah perbuatan nampak menyenangkan untuk jangka pendek, namun ia mengakibatkan kesengsaraan jangka panjang, seorang muslim lebih memprioritaskan kesenangan yang berjangka panjang karena ia lebih abadi

Al-Indibath Ad-Da’awi
Kerja dakwah merupakan proyek besar ummat yang harus ditunaikan secara baik, sistemik, dengan perencanaan, dan strategi. Jika para penyeru kejahatan demikian rapi memanaj aktifas mereka, dengan segala aturan main yang ditaati oleh orang-orang yang terlibat dalam aktifitas mereka. Terlebih kerja dakwah yang sasarannya adalah menyeru hati manusia agar tunduk patuh kepada Allah. Pekerjaan yang sangat sulit tentunya. Maka sikap Indibath para pelaku dakwah akan sangat menentukan keberhasilan dalam dakwah.
Sebaliknya, sikap ‘adamul-indibath terhadap dakwah akan menghambat laju dakwah bahkan membuat seseorang terpental dari kafilah para da’i. Di buku al-Mutasaqithuna fi Thariq ad-Dakwah Fathi Yakan mewanti-wanti fenomena ini. Beliau berkata, “Ada sekelompok orang yang tertarik kepada sebuah gerakan dakwah karena suatu kondisi tertentu. Lalu karena salah satu sebab terlihatlah bahwa mereka tidak mampu beradaptasi dengan kebijakan organisasi itu serta untuk bersikap as-Sam’u wa at-Tha’ah.
Di antara mereka ada orang yang tidak betah dengan ikatan-ukatan peraturan organisasi itu. Ketika sampai kepada anti klimaks ia mulai mundur teratur dengan berbagai cara dan alas an….
Ada juga yang tidak siap larut dalam bangunan organisasi itu dan lebih cenderung menjaga gensi pribadinya. Ketika terjadi benturan antara kepentingan pribadinya ia pun berlari dari pertempuran dan bersembunyi di balik tabir argumentasi dan alasannya…
Saya teringat akan seseorang yang biasa hidup serba tidak teratur dalam semua sisi kehidupannya, umum maupun khusus…” Hal ini akan berdampak kepada soliditas gerakan dakwah dan kerja-kerja dakwah.
Berbagai alasan pun terkadang dikemukakan, terkadang alasan ukhuwah dijadikan sebagai pembenaran bagi ulahnya. Ia menganggap bahwa ikhwah akan mentolerir seluruh tindakannya yang bertentangan dengan aturan organisasi dan membahayakan bagi kerja-kreja dakwah itu. Ukhuwah dijadikan sebagai pelindung bagi tindakannya yang bertentangan dengan aturan pergerakan, bahkan dijadikan sebagai pelindung bagi keteledorannya, penyimpangannya, bahkan dosa-dosa yang dilakukannya. Karena ia terikat dalam sebuah ukhuwah fillah, maka semua penyimpangannya akan dimaafkan dan dosa-dosanya akan diampuni.
Logika ‘adamul-indibath’ ini tentu saja tidak benar dan tidak syar’i, karena ia bisa mengacaukan nilai-nilai dan tata aturan yang disepakati juga mengacaukan kaidah hukuman dan pahala.
Pada skala yang lebih besar ‘adamul indibath sangat berbahaya bagai eksistensi Islam dan kaum Muslimin. Allah berfirman,

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau Saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (Al-Mujadilah: 22).

Aisyah pernah melapor kepada Rasulullah bahwa orang-orang Quraisy dibuat resah oleh seorang wanita dari bani Makhzum yang mencuri. Kemudian mereka bermusyawarah siapa dia antara mereka yang berani bernegosiasi dengan Rasulullah untuk meringankan hukumannya. Akhirnya mereka sepakat mengutus Usamah bin Zaid untuk negosiasi dengan Rasulullah. Rasulullah saw menanggapi hal dengan sabdanya,
أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Apakah kamu memberi syafaat untuk melanggar batasan Allah.” Beliau kemudian berdiri dan berpidato, “Hai sekalian manusia, binasanya ummat sebelum kalian karena jika orang kuat yang mecuri mereka membiarkannya, namun jika yang lemah mencuri mereka menegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, kalau Fathimah binti Muhammad mencuri pasti aku akan memotong tangannya.” (Bukhari Muslim).

Indibath Da’awi melingkupi beberapa item:
  1. Indibath bil Mawaid
Indibath bil mawa’id artinya disiplin memelihara janji dan waktu yang telah disepakati untuk menyelenggarakan kegiatan dakwah, baik sesama aktifis dakwah maupun dengan sasaran dakwah itu sendiri. Jika hal ini diabaikan, proses dakwah akan terhambat. Apalagi jika berkaitan dengan objek dakwah. Betapa banyak orang yang kecewa melihat seorang dai yang tidak tepat dengan waktu yang telah dijanjikan. Lebih dari itu karena kedudukannya sebagai uswah dan qudwah bagi mad’unya.
  1. Indibath bin-nudhum
Semua tata aturan dalam sebuah organisasi ditetapkan demi berjalannya semua program kerja. Tidak terkecuali bagi organisasi dakwah. Kendatipun aturan itu terkadang tidak ada nash sharih dari Al-qur’an dan Sunnah. Namun ketika ia tidak bertentangan dengan kaidah umu syariah Islam dan bahkan membantu mencapai kesuksesan amal dakwah. Maka menjadi wajib bagi seseorang untuk mengikuti tata aturan itu.
َالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Kaum Muslimin itu tergantung kepada apa yang disyaratkan sesama mereka. Kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” (Abu Dawud dan Tirmidzi).
  1. Indibath bil qararat
Seluruh keputusan organisasi harus ditaati karena ia merupakan hasil yang telah dicapai sekian banyak pelaku dakwah
  1. Indibath bil-wajibat ad-da’awiyah
Nataijul Indibath
Di antara hasil indibath adalah kesuksesan di dunia dan akhirat. Sebab sunnatullah senantiasa berlaku, barangsiapa melakukan sesuatu dengan serius, itqan, sungguh-sungguh, dan penuh indibath, Allah akan sampaikan kepada tujuannya.
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari jalan Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan Kami.” (al-Ankabut: 59).
Readmore »»