Sabtu, 18 Oktober 2014

Agenda Tarbiyah di Era Jahriyah-Jamahiriyah: Perbesar Kualitas, Perbanyak Kuantitas ! (5)

Tiga Agenda Tarbiyah


"Banyak dalam Kuantitas, Baik dalam kualitas". Ungkapan ini adalah keinginan semua orang dalam da’wah ini. Ini bukan khayalan yang musykil. Allah SWT memberikan isyarat kemungkinannya pada QS. 3:146-148, yang artinya: "Dan berapa banyak para nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: "Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami, dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala di akherat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan."


Ada tiga kandungan penting dari ayat ini. Pertama, kenyataan bahwa para nabi membutuhkan pengikut dalam jumlah besar sebagai barisan mujahid fi sabilillah. Kedua, mereka itu (rabbaniyyin) memiliki kualitas yang handal dalam medan perjuangan. ‘Adamu al-wahn (tidak mudah lemah) dalam menghadapi ujian dunia, ‘Adamu adh-dha’fu (tidak mudah lesu) dalam menghadapi kesulitan perjuangan dan ‘Adamu al-Istikanah (tidak gampang menyerah) kepada musuh-musuh Allah. Ketiga, mereka adalah orang-orang yang menyadari kelemahan dan kesalahan dirinya. Mensikapinya dengan senantiasa memohon ampun dan bertaubat dari kesalahan dan kekeliruan, serta menggantungkan diri semata kepada Allah SWT dalam menghadapi musuh.


Tiga kandungan inilah yang menggambarkan agenda tarbiyah sekarang ini. Yaitu upaya sistematis untuk merekrut dan mencetak kader sebanyak-banyaknya. Kedua, mentarbiyah mereka secara manhaji agar memiliki kualitas yang handal. Ketiga, membangun sistem dan iklim da’wah yang baik. Yaitu yang mampu menghidupkan semangat quwwatu ash-shilah bil-lah, semangat muraqabatullah wa muhasabatun-nafs, semangat ta’awun wa tanashur serta iklim ihsanul-‘amal.


Agenda 1: Memperbanyak Rekrutmen Kader


Merekrut kader da’wah adalah upaya untuk memberi jalan kepada manusia untuk mendapatkan hidayah dan pilihan Allah SWT. Hasil akhirnya bergantung kepada kesediaan manusia untuk datang kepada Allah dan pada kehendak mutlak Allah sendiri. "... Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) Nya, orang yang

kembali (kepada-Nya)." (QS. 42:13).


Oleh karena itu, misi da’wah untuk merekrut manusia ke dalam Islam dan da’wah, hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang secara sadar mengkhidmatkan dirinya kepada Islam. Karena seorang da’i tidak mampu memberi hidayah, ia hanya menuntun manusia kepada hidayah itu. "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang

kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS. 28:56).


Misi da’wah untuk merekrut manusia ke dalam Islam dan da’wah hanya mampu dilakukan oleh mereka yang menjadikan da’wah sebagai pekerjaan utama dan terbaiknya, dengan ganjaran semata-mata dari Allah SWT. "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shaleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS. 41:33). "Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu. Upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam." (QS. 26:109).


Dengan ittijah semacam inilah, setiap kader akan memiliki kesiapan untuk berda’wah. Keberhasilan merekrut manusia kemudian akan ditentukan oleh kesungguhan dan totalitasnya dalam mengajak manusia. Hari-harinya adalah waktu da’wah. Perhatikan ungkapan nabi Nuh as: "Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang." (QS.

71:5). Ayat ini menggambarkan, dalam setiap kesempatan kapanpun, dalam setiap keberadaan di manapun, dalam situasi dan kondisi apapun, nabi Nuh menjadikan da’wah sebagai misi besar dan utamanya.


Keberhasilan dalam mencetak kader da’wah baru juga akan ditentukan oleh sikap mengembangkan generasi, bukan mengerdilkannya. Perhatikan peringatan Allah SWT: "Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya." (QS. 3:79).


Nabi Zakaria as, dalam usia yang sangat senja, masih memiliki kemauan kuat untuk bisa mengembangkan generasi da’wah. "Ia (Zakaria) berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku sudah beruban. Dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap penerus sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul. Maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub. Dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai." (QS. 19:4-6).


Prinsip dan sikap semacam inilah yang dibutuhkan pada setiap kader da’wah, sehingga mampu menggerakkan kekuatan rekrutmen da’wah secara optimal. Da’wah tidak dipandang sebagai beban, karena ia adalah jalan kehidupan kita. Sabilil-Mu’minim.


Agenda 2: Meningkatkan Kualitas Kader


Tidak ada keberhasilan terbaik dalam mencetak kader berkualitas kecuali apa yang dilakukan Muhammad Rasulullah SAW. Dengan izin Allah, beliau mampu mencetak pedagang menjadi pejuang, algojo menjadi pemimpin yang zuhud, pemuda menjadi ulama, dan budak menjadi birokrat. Apa kunci keberhasilan tarbiyah Islamiyah yang dilakukan Rasulullah SAW?


* Mengokohkan Bangunan Keyakinan


Rasulullah SAW mengawali pembentukan kepribadian kader dengan menanamkan bangunan keyakinan baru secara kokoh. Keimanan akan ke-Maha Kuasa-an Allah, keyakinan akan kebenaran Islam, pemahaman yang kokoh akan jalan da’wah Islam dan kerinduan yang sangat besar terhadap syurga. Keyakinan semacam inilah yang membentuk orientasi dan wawasan hidup para sahabat. Di sinilah lahir apa yang disebut militansi Islam dan militansi da’wah.


Ketika bangunan keyakinan ini kuat dan terpelihara, maka militansi para sahabat tetap membara. Sampai-sampai Khalid bin Walid begitu sedih karena harus menemui kematiannya di atas tempat tidur. Sebagai murabbi, Rasulullah SAW senantiasa mengingatkan murid-muridnya akan keyakinan dan orientasi ini. Khususnya ketika para sahabat mengalami ujian dan cobaan sulit dalam kehidupannya. Sekali lagi, rahasia pertama adalah: keimanan yang besar terhadap Allah SWT, keyakinan yang kuat akan kebenaran Islam, pemahaman yang kokoh tentang jalan da’wah dan kerinduan yang dalam terhadap syurga.


Yang diperlukan sekarang, bagaimana program-program tarbiyah di berbagai jenjang dan dalam berbagai forum, dihiasi dengan upaya untuk menyegarkan dan mengokohkan bangunan keyakinan ini. Munakh ruhi-ta’abbudi sangat mutlak untuk dihidupkan dalam berbagai liqa’at. Mengkaji sejarah kehidupan para anbiya, para salafus-shalih dan para mujahid da’wah akan sangat berpengaruh terhadap kekokohan militansi. Diskusi dan pendalaman akan manhaj da’wah dan doktrin-doktrinnya, perlu secara rutin dilakukan pada bagian awal liqa’at tarbawi atau tanzhimi. Juga membiasakan untuk mengevaluasi hasil-hasil pekerjaan, bukan saja dari sudut-pandang manajerial, tetapi juga ibrah dan hikmah rabbaniyah yang terkandung di dalamnya.


* Mendekatkan Interaksi dengan Al-Qur’an


Kunci kedua adalah kuatnya interaksi langsung antara ayat-ayat Allah dengan dinamika kehidupan. Sebagaimana kita pahami bersama, dinamika kehidupan Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya berjalanan beriringan dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga, bukan saja kehidupan itu berjalan di bawah bimbingan atau taujih Rabbani, tetapi juga ditandai interaksi yang langsung dan kuat dengan Al-Qur’an sebagai minhajul-hayah. Inilah yang menjadi alasan Sayyid Qutb menyebut mereka sebagai Jiil-Qur’ani atau generasi Qur’an.


Dalam konteks kekinian, interaksi dengan Al-Qur’an bukan sebatas aspek tilawah, hafalan dan pemahaman. Tetapi lebih penting pada sisi pengamalan Islam dan da’wah yang terus mengacu kepada bimbingan Al-Qur’an. Sepatutnyalah, setiap kader mampu menjelaskan seluruh aktifitas hariannya dengan acuan Al-Qur’an dan berusaha menemukan jawaban atas persoalan-persoalan hariannya dalam Al-Qur’an.


Ada indikasi sederhana pada generasi awal da’wah ini. Mereka memiliki kedekatan dengan Al-Qur’an terjemahan. Melalui terjemahan ini, kader-kader da’wah awal senantiasa mentadabburi ayat-ayat Allah untuk memahami dan menjelaskan kehidupannya. Sekarang ada fenomena dimana Al-Qur’an terjemahan tidak lagi populer dan tidak menjadi pegangan dalam berbagai liqa’at tarbawiyah. Mudah-mudahan saja, ia karena sudah banyak kader-kader da’wah yang menguasai bahasa Arab dan bahasa Al-Qur’an.


Untuk menjawab tantangan kualitas, maka harus segera dilakukan upaya mendekatkan interaksi kader dengan Al-Qur’an. Dalam enam bulan pertama mengawali proses tarbiyah, setiap mutarabbi dirancang sudah mampu menguasai bacaan Al-Qur’an dengan baik. Enam bulan berikutnya, mereka diprogram untuk menghapal ayat-ayat keimanan, khususnya pada juz 30. Masa-masa selanjutnya, program hapalan Al-Qur’an disesuaikan dengan tema-tema pembahasan tarbiyah, sehingga pemahaman ke-Islaman dan fikrah da’wah diikuti dengan hapalan ayat-ayat yang berkaitan.


Kegiatan kultum atau taushiyah dalam liqa’ tarbawi bisa dipolakan dengan kilasan tafsir dari ayat-ayat tilawah yang sedang dibaca. Tentu saja, kilasan tafsir ini diarahkan untuk mengacu kepada kitab-kitab tafsir (yang sudah banyak diterjemahkan). Begitupun, pembahasan berbagai qadhaya da’wah diupayakan mengacu kepada tinjauan Qur’ani. Sehingga pemahaman dan penguasan kader terhadap ma’na dan ibrah dari ayat-ayat Al-Qur’an menjadi kuat.


* Membimbing kepada Penerapan Amal


Islam adalah dinul-‘amal. Dalam arti bahwa Islam mengedepankan kebaikan amal sebagai bukti dari keimanan dan pemahaman. Selanjutnya, penerapan amal justru akan mempercepat dan memperkokoh bangunan keimanan dan pemahaman terhadap Islam. Tentu saja semua ini dilakukan dengan menjaga agar setiap amal yang dilakukan senantiasa dilandasi oleh al-ikhlas dan al-fahmu.


Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam mentarbiyah umatnya. Mereka menjadi qaumun ‘amaliyyun atau orang yang senantiasa beramal. "Dan katakanlah: "Beramallah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya beserta orang-orang mu’min akan melihat amalmu itu. Dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata. Lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. 9:105).


Ketika arahan amal begitu kuat dalam Islam, hal ini mendorong para sahabat untuk senantiasa berkomunikasi dan berkonsultasi kepada Rasulullah SAW dalam kapasitas sebagai nabi, qaid dan juga qadhi. Dari sinilah pemahaman mereka bertambah sejalan dengan banyaknya amal. Kebaikan mereka berlipat sejalan dengan kesalahan yang diperbaiki. Keyakinan mereka menguat sejalan dengan kemenangan amal yang mereka raih. Dan akhirnya, keyakinan Islam mereka semakin kokoh karena Rasul senantiasa menjanjikan balasan syurga kepada mereka yang sukses beramal shalih.


Tarbiyah bukan untuk tarbiyah. Tapi tarbiyah untuk da’wah. Kita adalah harakah da’wah, bukan harakah tarbiyah. Oleh karena itu, peningkatan kualitas kader harus mengacu kepada prinsip ini. Yaitu bagaimana para mutarabbi sejak awal tarbiyahnya, diarahkan dan dibimbing untuk mulai

mengamalkan Islam dan da’wahnya. Murabbi yang sukses adalah yang mampu menjadikan mutarabbinya sebagai subyek da’wah, dan bukan obyek da’wah. Ingatlah firman Allah SWT: ""Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya." (QS. 3:79).


Akhirnya kita menemukan satu kata kunci. Tajribah maydaniyah (pengalaman lapangan) adalah cara efektif untuk mematangkan keyakinan, pemaham dan kemampuan amal seorang kader. Ilmu Allah yang sangat luas akan diajarkan kepada kita, ketika kita ada di lapangan - untuk mengamalkan ajaran Islam - dengan sepenuh tawakal. "... Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarkanmu. Dan Allah Maha Mengatahui segala sesuatu." (QS. 2:282)


* Mengedepankan Keteladanan dan Kepemimpinan yang Baik


Perilaku dan amal para da’i adalah cerminan dari da’wahnya. Mereka adalah teladan dalam pembicaraan dan amalan. Slogan mereka adalah "ashlih nafsaka, wad’u ghairaka" (perbaiki dirimu, kemudian serulah orang lain).


Rasulullah SAW telah menampilkan keteladanan ini dalam dirinya. Sungguh, beliau adalah teladan yang sempurna bagi manusia. Ia adalah teladn bagi setiap da’i, setiap pemimpin, setiap bapak dari anak-anaknya, setiap suami dari istrinya, setiap sahabat, setiap murabbi, setiap praktisi politik, dan berbagai posisi sosial manusia yang lain.


Dengan cara inilah, Rasulullah sukses dalam mengkader sahabat-sahabatnya. Islam menampilkan keteladanan sebagai sarana da’wah dan tarbiyah yang paling efektif. Sehingga Islam menetapkan sistem tarbiyah yang kontinyu atas dasar prinsip keteladanan tersebut. Sesungguhnya, kebaikan amal seorang da’i adalah khutbah yang paling mantap. Akhlaknya yang mulia adalah "sihir" yang memikat hati. Karena itulah, seorang da’i yang sukses adalah da’i yang mengajak kepada kebenaran dengan perilakunya, meskipun dia sedikit bicara. Karena

pribadinya telah menjadi contoh yang hidup dan bergerak. Memperagakan prinsip-prinsip yang diyakininya.


Munculnya gejala penurunan kualitas kader sekarang ini sangat mungkin disebabkan karena lemahnya keteladanan yang ditampilkan para du’at dan para pemimpin. Mereka tidak bisa belajar secara langsung tentang kebaikan dari da’i dan pemimpinnya. Atau bahkan mereka dikacaukan dengan perilaku kontradiktif dari da’i dan pemimpinnya.


Untuk itu, apapun upaya peningkatan kualitas kader yang kita lakukan, pada akhirnya harus disempurnakan dengan keteladanan dan kepemimpinan yang baik dari para murabbi dan da’i. Kita tidak berhak menggugat kader yang lemah kualitasnya, selama kita sendiri belum mampu mengajarkan dan menunjukkan mereka tentang keteladanan.


Agenda 3: Mengembangkan Iklim Taushiyah


Ketika kita bekerja untuk menyiapkan kader berkualitas dalam jumlah banyak, langkah penting selanjutnya adalah melakukan ri’ayah nukhbawiyah (pemeliharaan kader). Ri’ayah ini mencakup aspek syakhsiyah Islamiyah dan syakhsiyah da’iyah mereka, sehingga kehidupan da’wah ini terus sehat dan kuat.


Tentu saja banyak cara yang bisa dilakukan untuk ini, salah satunya adalah mengembangkan iklim atau budaya taushiyah. Masyarakat mu’min diantara cirinya adalah kuatnya budaya taushiyah dan amar ma’ruf nahi munkar. Mereka memandang hal ini sebagai kebutuhan untuk menjaga kebaikan Islam. Juga sebagai hak-kewajiban seorang mu’min atas mu’min lainnya. Dan lebih penting, ini merupakan salah satu misi da’wah Islam.


Dalam sejarahnya, kehancuran umat terdahulu karena mereka tidak mengembangkan iklim taushiyah dan amar ma’ruf nahi munkar. Bisa jadi hal ini bukan karena kebodohan mereka terhadap ajaran agama, tetapi karena kungkungan budaya tertentu. Misalnya sikap pakewuh bila menegur orang lain, terutama yang status atau derajat sosialnya dianggap lebih tinggi. Atau rasa tidak enak hati akan menyinggung perasaan orang lain. Sikap-sikap ini akan menggiring untuk membiarkan kesalahan yang terjadi pada saudara kita. Kalau hal ini terus berlangsung, maka sensitifitas kita terhadap kemunkaran yang terjadi dalam kehidupan da’wah bisa lenyap. Inilah pintu malapetaka yang nyata bagi da’wah.


Ada banyak jalan untuk mengembangkan iklim ini. Yang paling mendasar adalah menghidupkan kembali suasana ukhuwah Islamiyah di kalangan kader. Manakala interaksi ukhowi hidup dengan baik, sesama kader saling menjalin silaturahim dan berbagai bentuk mu’amalah lainnya, ini akan

membuat seorang akh mengenal betul keadaan saudaranya yang lain. Semakin kenal kita dengan saudara yang lain, semakin tahu akan kebaikan atau kekurangannya. Di sinilah peluang amal shalih untuk melakukan taushiyah terbuka. Tabi’atnya, seseorang merasa lebih nyaman dan lapang, manakala yang memberi taushiyah adalah orang yang dekat dengannya.


Kemudian, peran taushiyah yang dilakukan setiap murabbi. Yaitu bagaimana seorang murabbi menjadikan liqa’ tarbawi sebagai sarana efektif untuk mentaushiyah para mutarabbinya. Nasehat-nasehat yang diberikan sesuai dengan dinamika dan persoalan kehidupan mereka. Sehingga para mutarabbi senantiasa terbimbing untuk istiqamah di jalan Islam. Untuk itu, interaksi antara murabbi dan mutarabbi tidak bisa sebatas di dalam liqa’at semata. Interaksi yang lebih personal di luar waktu liqa’at menjadi penting, agar kedua belah pihak lebih saling mengenal. Ingatlah dien itu adalah nasehat.


Terakhir adalah peran jajaran qiyadah di semua jenjang. Ketika memimpin rapat, mereka adalah qaid yang memiliki otoritas untuk mengontrol dan mengarahkan perilaku bawahannya. Taushiyah seorang pemimpin yang disampaikan secara bijak dan penuh ungkapan kasih-sayang, bukan saja akan meluruskan orientasi dan proses kerja. Tetapi juga akan menguatkan soliditas organisasi. Karena orang-orang di dalamnya tidak semata merasa terikat secara administratif, tapi juga dengan ikatan hati. Sehingga menjadi sangat penting dan mendesak, jajaran pemimpin da’wah – khususnya yang ada di basis operasional - untuk mengokohkan peran kepemimpinan spiritualnya. Dan jangan terjebak sebatas kepemimpinan administratif, yang fungsi dan peran kepemimpinannya hanya muncul saat liqa’at tanzhimiyah saja.


Dalam konteks kepemimpinan organisasi, perlu disediakan saluran agar antara pemimpin dan anggota-anggota organisasinya di setiap jenjang bisa bertemu dan membicarakan hal-hal penting secara bersama-sama. Di sini, disampaikan perkembangan dan permasalahan da’wah yang perlu diketahui para anggota. Dan jajaran pemimpin menghimpun masukan sebanyak-banyaknya dari para anggota. Setiap anggota berhak untuk menyampaikan kritikan, uneg-uneg dan sejenisnya secara terbuka dan konstruktif dalam forum ini.
Format acara ini bisa berbentuk temu kader tingkat ranting, tingkat cabang, dan seterusnya.


Apabila iklim taushiyah dan amar ma’ruf nahi munkar hidup dengan baik di semua lini, Insya Allah kehidupan da’wah ini akan selalu sehat dan kuat. Karena setiap potensi dan gejala penyakit bisa diantisipasi dengan cepat secara spontan. Menumpuknya masalah yang mengganggu tanzhim da’wah biasanya akibat tidak hidupnya iklim ini, sehingga semua persoalan harus ditanggung oleh tanzhim. Perhatikan firman Allah SWT: "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar. Mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maja Bijaksana." (QS. 9:71).
Bersambung............

Tidak ada komentar: